Azab dan Sengsara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Baris 13:
* [[/Bab 1]] : Waktu Senja
 
* [[/Bab 2]] : Tali Persahabatan dan Perkauman
== TALI PERSAHABATAN DAN PERKAUMAN ==
Sekarang baiklah kita tinggalkan rumah kecil tempat kediaman ibu dan
anaknya itu; kita biarkan mereka tidur dengan senangnya, karena tidur
yang nyenyak itu amat berguna kepada mereka, untuk menguatkan
badannya menanggung kemiskinan yang akan datang waktu besok atau
lusa. Marilah kita berjalan melalui jalan besar yang menuju ke luar kota
Sipirok, yang menuju ke sebelah utara. Kalau sekiranya waktu itu siang
dan hari baik, tentu dapatlah kita melihat arah tujuan kita.
Tetapi tak mengapa, kita takkan sesat, sebab jalan itu tak banyak
simpang-siurnya, lagi telah dikenal benar-benar. Tengoklah ke muka!
Apakah yang tampak?
Kiri-kanan jalan besar itu terbentang sawah yang luas, lebih baik
dikatakan jalan itu terentang di tengah-tengah sawah yang luas. Padi
yang sedang hendak berbuah itu hijau daunnya, sehingga lapangan
yang luas itu seolah-olah ditutup dengan beledu hijau yang lebar. Kirakira
satu setengah pal dari Sipirok, nampaklah di tengah-tengah sawah
yang subur itu puncak-puncak pohon nyiur dan kayu-kayuan, antaranya
kelihatanlah rumah-rumah yang beratap ijuk. Makin dekat makin
nyatalah, bahwa tempat itu sebuah kampung, dan itulah tempat lahir
dan tinggal Aminu'ddin, seorang anak muda yang baru berumur
delapan belas tahun. Anak muda itu anak kepala kampung yang
memerintahkan kampung A itu.
Nama kampung itu, hanya huruf awalnya saja yang dituliskan di
sini, sebab kuranglah baik rasanya, kalau disebutkan nama yang
secukupnya.
Ayah Aminu'ddin bolehlah dikatakan seorang kepala kampung yang
terkenal di antero luhak Sipirok. Harta bendanya amatlah banyaknya,
dan kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas<nowiki>*)</nowiki>, apalagi sawahnya
berlungguk-lungguk<nowiki>**)</nowiki>, sehingga harga padi yang dijualnya tiap-tiap
tahun beratus-ratus rupiah, mana lagi hasil kebun kopi belum terhitung.
Adapun kekayaannya yang sederhana itu tiada sekali diperolehnya,
asalnya peninggalan orang tuanya juga; akan tetapi sebab rajinnya
berusaha, maka hartanya itu pun makin lama makin bertambah-tambah.
<nowiki>*)</nowiki> Padang Lawas yaitu nama suatu luhak di Keresidenan Tapanuli.
Padang Lawas artinya padang yang luas; pekerjaan orang penduduk
negeri itu terutama beternak kerbau dan lembu, karena padang yang
lebar itu amat bagus tempat memelihara kerbau dan lembu. Adapun
hewan yang dipelihara di situ, kebanyakan kepunyaan orang negeri
luaran.
<nowiki>*)</nowiki> Belungguk-lungguk; selungguk artinya setumpuk sawah, yang
luasnya ± 1 km2.
Kekayaan yang sederhana itu, pangkat kepala kampung itu,
ditambahi pula budi yang baik, itulah sebabnya orang itu terkenal di
luhak Sipirok dan anak buahnya, yakni penduduk dusun A itu pun
menyegani dia.
Dua puluh tahun ia sudah memegang pangkat peninggalan bapak
dan neneknya itu. Dalam waktu yang sekian lama itulah ia hidup
bersama-sama dengan istrinya, hidup beruntung sebagaimana orang
yang lain. Sebagaimana orang lain? O, bukan, karena tiadalah semua
orang mendapat rezeki yang sebaik itu. Akan tetapi apakah sebabnya
mereka itu tiada bersenang hati? Perkawinan mereka itu terikat dengan
kecintaan yang bersih dan teguh, apalagi ada juga pertaliannya, yaitu
mereka itu orang berkaum juga. Si laki mengasihi istrinya sejak dari
mula gadisnya sampai ia sudah kawin, dan sampai pada waktu
sekarang. Bagaimana pula ia tiada mencintai istrinya itu, karena
perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkahlakunya pun
adalah setuju dengan si suami. Romannya yang sederhana dan
tabiatnya yang lemah-lembut itu, cukuplah sudah kekuatannya akan
mengikat hati suaminya, akan menarik pikiran si laki kepada istrinya.
Amatlah pandainya ia menghiburkan hati suaminya, bila dalam
kedukaan, dan dalam segala kesusahan ia menolong suaminya, dengan
akal dan bicara, karena ia tahu benar, bahwa seharusnyalah perempuan
itu menyenangkan suaminya. Ia patut tertawa, kalau si laki marah,
supaya kening yang berkerut menjadi licin; oleh sebab senyum simpul
si perempuan yang manis itu dan perkataannya yang lemah-lembut, itu
pun hati si laki yang panas itu menjadi dingin dan tawar. Bila
perempuan mempunyai tabiat yang serupa itu, dapatlah ia memerintahkan
suaminya, boleh dikatakan suaminya itu ada di bawah
kuasa jari kelingkingnya.
Dua tahun mereka itu bergaul, maka si istri pun melahirkan buah
perkawinan mereka itu, yakni seorang anak laki-laki, itulah dia
Aminu'ddin. Tali perhubungan antara kedua laki-istri pun makin kuat,
sehingga seorang mencintai yang lain sebagai dirinya sendiri. Kalau si
ibu menyusukan buah hatinya itu di atas tempat tidur, si bapak pun
tiada dapat menahan sukacitanya. Ia memeluk istrinya, seraya berkata,
"Ah, sungguh saya merasa beruntung karena anak kita ini sebagai
matahari yang menyinari perkawinan kita dengan cahaya kegirangan.
Bukankah benar perkataanku itu, Anggi?"
"Perasaan laki-laki sudah demikian, karena kelahiran anaknya.
Betapa pula lagi besarnya kegirangan hati si ibu, yang menanggung
rupa-rupa penanggungan, waktu melahirkan anaknya, yang menjadi
buah hati dan tangkai kalbunya?" sahut si istri dengan senyum yang
manis, seraya memandang muka suaminya dengan pandang yang tetap.
Cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki; cahaya
mata itu memancar dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya,
sehingga api hasrat dan kasihnya akan istrinya itu bernyala-nyala. Ia
mendekap dan memeluk istrinya; sekali ini lebih kuat, sambil tangannya
gemetar sedikit.
"Awas, anak kita! Tiadakah engkau sabar lagi? Tunggu sebentar ia
tertidur, biar dahulu ia kuletakkan," sahut si ibu, seraya menidurkan
buah hatinya itu.
"Bukan main cantikmu kupandang ini, aku amat beruntung dipertemukan
Tuhan dengan engkau," kata suaminya seraya ia berdiri,
meninggalkan tempat tidur istrinya itu, dengan muka yang berseri-seri,
menunjukkan kesenangan hatinya.
Setelah Aminu'ddin berumur delapan tahun, maka ia pun disuruh
oleh orang tuanya bersekolah. Dalam kelasnya, ialah anak yang
termuda sekali, kebanyakan sudah berumur sembilan atau sepuluh
tahun, karena pada masa itu orang tua tiada suka menyuruh anaknya
yang masih kecil ke sekolah, lainlah halnya dengan sekarang.
Meskipun ia yang terlebih kecil di antara kawan-kawannya, akan
tetapi ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga
gurunya amat menyayangi dia. Bila gurunya berkata-kata atau menerangkan
sesuatu apa, matanya tiada lepas dari muka guru itu. Segala
keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya, serta diperhatikannya
benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada
yang tak dikenalnya. Jadi tiadalah heran lagi, kalau ia menjadi murid
kesayangan gurunya. Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak
yang terpandai di kelasnya. Meskipun demikian tiadalah pernah ia menyombongkan
diri, sebagai tabiat yang nampak pada kebanyakan orang
muda-muda. Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya,
nampak benar-benar, bahwa ia tiada mempunyai hati yang meninggi. Ia
disukai oleh kawan-kawannya, seorang pun tiada yang menaruh
cemburu kepadanya, lagi pula tak ada jalan bagi temannya akan membencinya.
Di luar dan di dalam sekolah ia selalu menolong mereka, asal
dapat olehnya. Ia dimarahi sekali-sekali oleh gurunya, kadang-kadang
sampai mendapat hukuman, tetapi bukanlah karena nakal atau jahatnya,
hanyalah karena menolong temannya, waktu berhitung. Sudah tentu
guru gusar oleh karena itu, dan Aminu'ddin menahan juga dalam
hatinya, akan tetapi kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan
nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan kepada
kawannya. Meskipun guru menghukumnya, karena kesalahan itu,
tiadalah bertukar hati gurunya melihatnya, tiadalah pernah gurunya
membencinya ataupun memarahinya dengan kata yang kasar-kasar,
karena tahulah gurunya itu, bahwa budak itu berperasaan yang halus
sebagai perempuan, dan mempunyai kekerasan hati sebagai laki-laki
yang sebenarnya. Semuanya itu dapat dilihat pada matanya yang tajam,
yang terletak di bawah bulu kening yang hitam, melengkung sebagai
busur terpasang.
Waktu ia duduk di kelas tiga, genaplah usianya sepuluh tahun.
Lepas dari sekolah, ia pun membantu bapaknya bekerja di sawah atau
di kebun. Jaranglah ia diam atau bermain-main saja, karena ia dapat
juga mencari pekerjaannya dan bapaknya pun membiasakan dia sebagai
orang tani yang patut. Si ibu yang melihat kelakuan suaminya kepada
anaknya, acap kali berkata, "Janganlah kakanda terlalu keras kepada
anak kita itu! Umurnya belum berapa dan tulangnya belum kuat, tetapi
kakanda selalu menyuruh dia bekerja. Jangan kakanda samakan
kekuatannya dengan kekuatan kakanda. Bukan adinda melarang dia
bekerja, akan tetapi jangan terlampau keras; selagi ia kecil, jangan ia
dipaksa; dia dibawa ke sawah, hanya sekadar membiasakan saja,
supaya tahu ia berusaha di belakang hari."
"Janganlah adinda kuatir, bukanlah kakanda memaksa dia, akan
tetapi anak kita itu amat gemarnya bekerja, tiadalah ubahnya dengan
kakanda, semasa kecilku. Bukankah baik itu, anak mencontoh tabiat
bapaknya? Masakan kakanda tiada menjaga Aminu'ddin, buah hati dan
cahaya mata kakanda itu," sahut si suami dengan suara melembutkan
hati istrinya.
"Adinda pun tahu juga, anak kita itu kakanda cintai, sebagaimana
adinda mencintai dia," kata si istrinya, tetapi suaranya sudah berkurang
kerasnya, oleh sebab bujukan suaminya.
"Tidak benar, ibu lebih menyayangi anaknya daripada bapak," sahut
suaminya itu, seraya tersenyum-senyum.
Percakapan yang serupa itu biasa terjadi waktu malam, sesudah
Aminu'ddin tidur dalam kamarnya, pada sebelah kanan serambi muka,
di muka kamar tidur orang tuanya.
"Sudahkah tertidur Aminu'ddin?" tanya suaminya, setelah sejurus
panjang lamanya ia termenung.
"Adinda rasa sudah," sahut istrinya. "Tadi sesudah makan, ia terus
pergi ke kamarnya, karena ia sudah payah benar bekerja sehari ini."
"Bekerja katamu? Sehari ini kakanda tak ada melihatnya."
"Ia menolong mencangkul sawah mak Mariamin. Hari ini ia libur
sekolah karena hari besar. Karena itu ia pergi tadi pagi ke Sipirok.
Petang inilah baru ia pulang. Tentu ia sudah letih," kata istrinya.
"Menolong Mariamin?" kata suaminya perlahan-lahan, karena
adalah yang dipikirkannya. "Ehm, ehm, baik benar hati anak kita itu
kepada ibu Mariamin. Apakah maknanya itu?"
"Apalah maknanya? Tak ada ... hanya ia merasa rapat hatinya
kepada mamaknya. Bukankah mereka itu kaum kita juga? Adinda amat
setuju dan memuji perbuatan anak kita itu. Sungguhpun ia muda, tetapi
telah tua pikirannya, ia telah mempunyai perasaan kepada mereka yang
dalam kemiskinan itu. Tiadalah sebagai kakanda! Bukankah mendiang
Sutan Baringin saudara kandungku, ipar kandung kakanda dan mamak
Aminu'ddin? Apakah sebabnya kakanda tidak melihat-lihat sawah
mereka itu, sejak sepeninggal saudaraku? Tiadakah kakanda menaruh
perasaan iba? Udin mempunyai kasihan, itulah sebabnya ia menolong
mamaknya." Mendengar itu suaminya tinggal diam, dia tiada marah
mendapat umpatan itu.
"Apakah maksud perkataan adinda, melihat-lihat sawah mereka
itu?"
"Kakanda tiada tahu maksud adinda? Melihat-lihat sawah mereka
itu, artinya menolong mereka itu mengerjakan sawah, karena kalau
sawah mereka itu tiada dicangkul dan ditanami, apalah yang akan
dimakan mereka itu bertiga beranak? Sekarang orang sudah hampir
menanam padi, akan tetapi sawah mereka belum habis dicangkul.
Tiadakah kakanda menaruh kasihan kepada anak dan istri saudaraku
itu?" tanya istrinya.
Suaminya termenung, ia teringat hal iparnya, Sutan Baringin, pada
waktu hidupnya.
Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan
seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka
beperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual,
akan penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhirnya... jatuh miskin,
sedang yang dicarinya dalam perkara itu tiada seberapa, bila dibandingkan
dengan kerugiannya. Seorang asisten residen yang sudah
lama memerintah di Padangsidempuan, ibu negeri Sipirok, berkata di
hadapan orang banyak, "Kalau ada perselisihan kamu di kampung
tentang sawah atau harta benda peninggalan orang tuamu atau hal yang
lain, lebih baiklah kamu putuskan saja perselisihan itu dengan jalan
damai. Sekali-kali jangan terburu-buru membawa perselisihan itu ke
hadapan pengadilan, supaya jangan menjadi perkara. Jangan, jangan,
nanti kamu menyesal di belakang hari. Ingatlah nasihatku ini! Siapa
yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu."
Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya, supaya berhenti dari
pada beperkara, tetapi tiada juga diindahkannya.
Ia kalah di pengadilan yang rendah, pergi lagi ke pengadilan yang
lebih tinggi, yaitu di Padang. Kalah di sana, minta banding lagi ke
pengadilan tinggi di Jakarta. Itu semua karena ia mendengar hasutan
orang yang hendak mencelakakan dia, karena orang itu hendak mencari
upah daripadanya. Upah menulis surat, upah mengarang rekes, upah
ini, upah itu, karena orang itu manusia yang... entah, masuk manusia
apa manusia semacam itu. Di negeri kecil orang menamai mereka itu
pokrol bambu. Lagak dan cakapnya sebagai orang yang pandai, yang
ahli dalam ilmu hakim, akan tetapi pengetahuannya tiada suatu apa,
ibarat gendang, kalau dipalu, keras suaranya, dibelah, tak ada isinya.
Kemalanganlah yang menimpa barang siapa yang pcrcaya kepada
orang yang macam itu.
Kalau ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil
orang tua-tua sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan
baik. Kerugian tiada berapa, pikiran tiada susah dan kita kembali hidup
damai. Inilah untung yang teramat besar di dunia dan akhirat.
Perhatikanlah, hai saudara-saudaraku!
Sutan Baringin menutup telinganya, tiada hendak mendengarkan
kata istrinya, meskipun beberapa kali perempuan yang baik itu
mengingatkan suaminya. Segala bujuk dan nasihat, yang diucapkan
istrinya, sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Si suami menurut
nasihat pokrol bambu juga.
Istri yang baik itu tiada putus as-a. Ia mengumpulkan kaum keluarganya;
Ayah Aminu'ddin, kepala kampung A, pun turutlah. Maksud
ibu yang mulia itu: perkataannya sendiri ditolak suaminya; kalau semua
kaumnya bersama-sama memberi petuah yang baik, barangkali
suaminya ada segan melaluinya.
Akan tetapi apakah kesudahannya? Sekalian ikhtiar istrinya itu siasia.
Suaminya tinggal menegangkan urat lehernya. Pengajaran setan
manusia yang berlidah petah itu sudah masuk benar ke hatinya, dan
matanya pun tak melihat lagi, bagaimana kesudahan perbuatannya itu
di belakang hari. Akan mengerasi dan memaksa suaminya itu tak berani
perempuan yang berhati lemah-lembut itu, karena amatlah hormatnya
kepada suaminya itu. Memberi ingat suami pun tiada berani lagi ia,
sejak Sutan Baringin membentak dia dengan perkataan, "Diam kau;
perempuan tiada patut mencampuri perkara laki-laki; dapur sajalah
bagianmu!"
"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, Angkang,"
jawab istrinya perlahan-lahan; takut ia kalau-kalau darah suaminya itu
naik. Akan tetapi ia mengucapkan perkataan itu.dengan suara yang
sedih dan air mata berhamburan, karena terasalah olehnya, kemelaratan
yang akan menimpa mereka anakberanak kelak.
"Kakanda, ingatlah perkataan adinda! Tiadakah kakanda menaruh
kasihan kepada anak kita yang dua orang ini?"
"Diam! Perempuan apakah engkau?" sahut suaminya dengan muka
yang merah, seraya ia berdiri; lalu pergi ke luar.
Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang
air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu.
Hatinya hancur sebagai kaca terempas ke batu, memikirkan nasib
mereka itu di belakang hari.
"Menangiskah Ibuku?" tanya Mariamin, yang baru datang dari
sawah, lalu ia memeluk dan mencium kedua belah pipi ibunya yang
dicintainya itu.
"Wahai ... biji mataku, bagaimanakah nasibmu di belakang hari,"
kata ibunya mengeluh, lalu ia berdiri akan menidurkan anak yang
disusukannya itu ke bilik tempat tidurnya.
Siapakah lawan Sutan Baringin dalam perkara itu?
Sebagaimana diceritakan di atas Sutan Baringin itu beripar dengan
ayah Aminu'ddin, yang tinggalnya tiada berapa jauh dari Sipirok.
Jalannya mereka itu bertali, yakni ibu Aminu'ddin adik kandung Sutan
Baringin. Jadi Aminu'ddin memanggil Sutan Baringin tulang (artinya
mamak) dan kepada ibu Mariamin nantulang (artinya ina tulang = istri
mamak). Menurut adat orang di negeri itu (Batak) seharusnyalah bagi
Aminu'ddin menyebut Mariamin adik (anggi bahasa Batak) dan
perkawinan antara anak muda yang serupa itu amat disukai orang tua
kedua belah pihak. "Tali perkauman bertambah kuat," kata orang di
kampungkampung. Barangkali perkawinan yang serupa itu, tiada biasa
di tempat lain. "Lain padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,"
kata peribahasa.
Sutan Baringin ialah seorang yang berharta; sawah-sawahnya yang
lebar itu mendatangkan keuntungan yang banyak kepadanya. Tiadalah
ia payah dan susah membajak dan menanami tanahnya yang subur itu;
habis tahun ia menerima untung yang bersih, yaitu sebagian dari padi
hasil sawahnya, yang diusahakan orang lain; biasanya dua perlima
bagian yang punya sawah. Sejak orang tuanya meninggal dunia dan ia
telah beristri, ia hidup dalam kesenangan, atau lebih baik dikatakan
dalam kekayaan, karena tiada selamanya orang kaya bersenang hati.
Anaknya dua orang; yang sulung perempuan berumur enam tahun, dan
yang bungsu laki-laki yang masih menyusu. Anak perempuannya itu
bernama Mariamin dan ringkasan namanya Riam. Anak itu seorang
anak yang elok parasnya. Akan tetapi kecantikan rupanya itu belumlah
nampak dengan terangnya, karena ia masih kecil, ibarat bunga yang
belum kembang. Jadi kecantikannya itu belum ke luar, masih
tersembunyi dipalut oleh tajuk bunga yang kuncup itu. Tapi
sungguhpun demikian, barang siapa yang melihat anak itu, tentu ia
mengaku, kecantikan Mariamin bertambah lagi, dan romannya pun
makin elok, yakni bila bunga yang kuncup itu sudah kembang dan
sekalian bagian-bagiannya yang tertutup itu nampak dengan nyatanya,
pendeknya bila anak gadis itu besar dan ia mencapai potongan badannya
yang secukupnya. Lihatlah warna kulitnya yang jernih dan bersih
itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat
serta dengan terang itu, menunjukkan kepada kita, bahwa anak itu
mempunyai tabiat pengasih. Pada bibirnya yang tipis dan merah itu
selamanya terbayang senyum yang manis. Jika ia berkata-kata atau tertawa-
tawa, tampaklah giginya yang putih dan halus, berkilat--kilat
sebagai mutiara. Kalau diamat-amati roman anak dara itu, tampaklah di
mata, air mukanya yang hening dan jernih, suci dan bersih, sebagai seri
gunung waktu matahari akan terbenam adanya. Pendeknya makin lama
mata memandang dia, makin heran hati melihat kecantikan parasnya,
barangkali timbul lagi pikiran mengatakan, "Tak benarlah budak ini
anak manusia, barangkali keturunan bidadari jua, yang menjelma ke
dunia ini."
Setelah Mariamin berumur tujuh tahun, ia pun diserahkan orang
tuanya ke sekolah. Meskipun ibu-bapaknya orang kampung saja, tahu
jugalah mereka itu, bahwa anak-anak perempuan pun harus juga di
sekolahkan. Ia harus tahu membaca dan menulis, mengira dan berhitung,
sebagaimana teman-temannya anak lakilaki. Bukan maksudnya
supaya kepintarannya yang menyamai laki-laki, tetapi sepatutnyalah ia
mempunyai badan yang segar dan pikiran yang tajam dan cerdas. Akan
memperoleh semua yang amat berguna itu, tentu anak-anak itu jangan
dipaksa saja tinggal di rumah, akan tetapi haruslah ia diserahkan ke
sekolah, akan belajar kepandaian yang berguna baginya pada hari
kemudian akan membukakan pikirannya, supaya ia kelak menjadi ibu
yang cakap dan pintar, lebih-lebih dalam hal memelihara rumah
tangganya. Tambahan pula sekolah itu bukan tempat mencari ilmu saja,
tetapi adat lembaga dan kesopanan pun diajarkan juga kepada anakanak,
yang berfaedah baginya di hari besarnya. Bukankah anak-anak
itu, manusia yang nanti menggantikan orang tuanya mendiami bumi
ini?
Mariamin anak yang cantik itu, duduk sekarang di kelas dua dan
Aminu'ddin di kelas empat. Kalau murid-murid sudah ke luar, kedua
budak itu sama-sama pulang ke rumahnya, yang kirakira sepal jauhnya
dari rumah sekolah. Akan tetapi Aminu'ddin harus berjalan kaki lagi ke
kampungnya, yaitu tengah dua pal jauhnya dari Sipirok. Waktu pukul
tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan
Aminu'ddin, supaya mereka itu sama-sama pergi ke sekolah. Masingmasing
menyukai temannya dan amatlah karibnya persahabatan kedua
anak itu. Itu tiada mengherankan, karena seorang memandang yang lain
sebagai dirinya, sebab mereka itu berkarib, yakni emak yang seorang
bersaudara seibu-sebapak dengan ayah yang lain. Oleh sebab itu adalah
perasaan mereka itu sebagai bersaudara kandung. Lagi pula bagaimana
rapatnya orang berkaum, dapatlah dilihat di antara orang-orang
kampung. Amatlah jauh perbedaannya dengan orang hidup di pesisir
atau negeri ramai, yang hanya berkaum di mulut, sebagai biasa dikatakan
orang.
Lain daripada itu ada lagi tali lain yang mengikat hati kedua anak
itu, yaitu: sifat dan tabiat mereka yang bersamaan. Seperti yang sudah
diceritakan, Mariamin bertabiat pengiba, Aminu'ddin pun demikian
juga, hanya saja tiada sama jangkanya. Mariamin seorang anak
perempuan, sudah tentu lebih pengiba dari Aminu ddin, seorang anak
laki-laki. Karena menilik kebiasaannya adalah perempuan itu lebih
halus perasaannya, sedang laki-laki itu lebih keras hatinya. Umpamanya
seorang perempuan tiada akan menolak suaminya, yang meminta
ampun akan kesalahannya, meskipun bagaimana sekali besarnya dosa
laki-laki itu kepada istrinya. Penanggungan perempuan yang sakit,
aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya
meminta ampun di hadapannya. Kadang-kadang dengan air mata yang
berhamburan, sebab kesedihan hatinya bercampur dengan sukacitanya,
karena kecintaan suaminya kepadanya telah hidup kembali, maka ia
mendekap dan memeluk suaminya, seraya berkata, "Syukurlah. Mudahmudahan
Allah mengampuni dosa kita."
Akan tetapi tiada jarang kejadian seorang laki-laki memandang istri
yang bersalah kepadanya, sebagai musuh besar, meskipun perempuan
itu berlutut dan membasahi kaki suaminya dengan air matanya akan
meminta ampun atas kesalahan yang diperbuatnya dalam pikiran yang
sesat itu. Kerap kali laki-laki itu menerjang kepala istrinya dengan
kakinya yang basah oleh air mata itu, seraya berkata dengan mata yang
merah, "Nyah engkau, perempuan celaka?"
Aminu'ddin anak yang bijaksana, adat dan kelakuannya baik dan
halus budi bahasanya. Oleh sebab itu Mariamin pun amatlah suka bercampur
dengan dia dan ia amat suka mendengar cerita-cerita
Aminu'ddin, yang diceritakannya, bila mereka itu tengah berjalan
pulang atau pergi ke sekolah atau ketika mereka itu bersama-sama di
sawah, karena sawah orang tua mereka itu berwawasan. Aminu'ddin
pun gemar juga mengajak angginya itu berkata-kata, karena amatlah
setuju ia akan tertib dan budi anak gadis yang kecil itu. Mariamin pun
menghormati dan menyayangi dia dengan sebenar-benarnya. Kalau hari
hujan tiadalah ia membiarkan Aminu'ddin pulang ke rumahnya; ia
selalu berkata, "Singgahlah angkang dahulu, menantikan hujan ini
teduh, lagi nasi pun sudah sedia untuk kita, karena mak tahu juga,
angkang tak dapat pulang ke kampung dalam hujan begini."
"Ah, biarlah saya terus, hujan tiada berapa, kalau saya berhenti,
tentu saya pulang sendiri; eloklah ramai-ramai dengan kawan-kawan,"
sahut Aminu'ddin.
Akan tetapi angginya itu bukan anak yang mudah kalah bercakap.
Dengan segera ia memegang tangan Aminu'ddin, seraya berkata, "Ah,
tak baik begitu, nanti angkang sakit sebagai dahulu, karena ditimpa
hujan, bukankah orang tua kita yang susah? Saya kawani nanti pulang,
kalau angkang tak suka berjalan sendiri."
Sudan tentu Aminu'ddin tak dapat menolak ajakan adiknya itu,
karena mamaknya sudah memanggil namanya dari dalam rumah.
Percakapan mereka itu telah kedengaran oleh Sutan Baringin; sebab
itulah ia ke luar mengajak kemanakannya itu masuk ke dalam dan
Aminu'ddin sudah tentu segan melewati rumah mamaknya itu.
Demikianlah halnya, maka ia beberapa kali bercampur gaul dengan
Mariamin. Dari sekolah, waktu pulang ke A, di sawah, di situlah
mereka itu bersama-sama, tiada ubahnya sebagai orang yang kakakberadik.
Karena menilik umur pun adalah demikian rupanya, karena
sekarang genaplah umur Mariamin delapan dan Aminu'ddin sebelas
tahun.
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi
padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya, Aminu'ddin pun memanggil
dari watas sawah mereka itu, "Riam, marilah kita pulang ke kampung,
nanti kita dihambat hujan."
"Saya tengah menyudahkan bengkalai yang tak habis semalam,
biarlah kuhabiskan dahulu pekerjaan ini, supaya hatiku senang. Lagi
pula matahari belum ruyup benar; tunggulah sebentar," kata Mariamin,
lalu ia meneruskan pekerjaannya itu dengan rajinnya.
"Ayo, marilah kita pulang, Riam! Pekerjaan itu boleh disudahkan
besok," sahut Aminu'ddin, seraya menghampiri tempat adiknya bekerja
itu. "Tengoklah matahari tak nampak lagi, karena telah disaputi awan
yang hitam. Baiklah kita pulang ke rumah, sebentar lagi hujan akan
turun dengan lebatnya, lagi amat panasnya sehari ini, sehingga kepalaku
serasa dipanggang."
"Lama lagi hujan akan turun, barangkali nanti malam. Bagaimanapun
lekasnya, saya sempat lagi menyiapkan pekerjaanku yang
terbengkalai ini, tak banyak lagi," jawab Mariamin. Dan dengan suara
yang ramah ia berkata pula, "Barangkali angkang bosan menunggu
saya, eloklah angkang pergi duduk-duduk ke pondok itu!"
Aminu'ddin berdiri juga, tiada tentu pikirannya. Akan tetapi sebab
sahabatnya itu hendak menyudahkan pekerjaan juga, terpaksalah ia
menurutkan kesukaan Mariamin itu. la pun menyingsingkan lengan
bajunya, lalu masuk ke sawah tempat adiknya bekerja itu, karena ia
mengerti apa maksud perkataan Mariamin yang akhir itu, lagi pula
selalu ia bersuka hati menolong temannya itu pada sebarang hal;
barangkali karena ibanya atau kasihnya. Ia pun berkata seraya menghampiri
anak perempuan itu, "Sebenarnya saya sudah letih, Riam,
tengoklah beratnya pekerjaan itu, tetapi ...."
"Saya pun tahu juga, angkang sudah payah; itulah sebabnya
angkang kusuruh pergi berhenti ke pondok itu," kata Mariamin dengan
lekas mendahului perkataan Aminu'ddin. "Tetapi kalau laki-laki biasa
juga letih oleh pekerjaan, bagaimanakah perempuan, manusia yang
lebih lemah, yang tiada mempunyai daya dan kekuatan sebagai lakilaki?"
Aminu'ddin terdiam sebentar, ia tiada meneruskan perkataannya.
Dengan rajinnya ia terus menyiangi sawah itu bersaina-sama dengan
adiknya itu. Sejurus panjang lamanya maka ia pun berkata, "Riam,
rupanya kau memandang laki-laki itu manusia yang tinggi dari
perempuan?"
"Memang," sahut Mariamin dengan segera, "kalau saya lakilaki,
tentu saya kuat bekerja sebagai angkang; saya bersenang hati, karena
pada hari mudaku boleh aku kelak pergi ke sana-sini, pergi ke negeri
orang merantau ke Deli akan mencari pekerjaan. Lainlah halnya dengan
kami perempuan. Perempuan harus tinggal di rumah, tiada boleh acap
kali ke luar-luar, kalau badan sudah besar."
Percakapan kedua orang anak itu berhenti. Mariamin berdiam,
karena hatinya kepada pekerjaan itu saja; Aminu'ddin berdiam pula,
akan tetapi adalah juga yang dipikir-pikirkannya. Bagaimana anganangan
yang memenuhi hatinya, hanya dia saja yang tahu.
Langit pun makin lama makin gelap ditutupi awan yang tebal. Hari
yang terang itu pun menjadi kelam sebagai waktu matahari terbenam.
Guruh pun berbunyilah perlahan-lahan, jauh kedengarannya, antara ada
dengan tiada suaranya, akan tetapi makin lama makin keras. Semuanya
itu memberi tahu kepada mereka, sebentar lagi awan yang tebal itu
hendak kembali kepada asalnya dan hujan yang lebat akan turun
menyirami bumi yang kering.
Kedua anak itu terus juga bekerja; oleh sebab asyiknya, tiadalah
mereka tahu, bahwa hari yang baik itu sudah bertukar adanya.
"Sekarang barulah senang hatiku, sawahku sudah habis disiangi dan
padi itu pun tentu tumbuh dengan suburnya," kata Mariamin seraya
berdiri di atas pematang sawahnya. Dengan muka yang riang, sebagaimana
kebiasaannya ia bertanya pula kepada Aminu'ddin, "Sudah
tentu angkang penat benar? Sekarang baiklah kita pulang ke rumah."
"Pulang ke rumah?" sahut Aminu'ddin mengulangi perkataan
sahabatnya, seraya ia memandang ke kanan dan ke kiri, yakni ke
tempat yang jauh akan melihat puncak-puncak gunung yang mengelilingi
dataran tinggi Sipirok itu. Ditengoknya ke barat, Sibualbuali
sudah hampir hilang dipalut awan. Matanya ditujukannya ke timur,
Sipipisan pun sudah hilang puncaknya yang bagus itu; bentuknya sebagai
bentuk ranggah ayam jantan, yang berdiri dengan gagahnya.
"Kita sudah dihambat oleh hujan. Lekas Riam, baiklah kita berlari ke
pondok itu!" kata Aminu'ddin dengan lekas.
Suara hujan pun sudah kedengaran dan kilat yang diiringi guruh
yang menderu-deru telah memenuhi lingkungan alam ini.
Pada sekejap itu turunlah hujan yang amat lebat, tiada ubahnya
seperti air yang dicurahkan dari langit. Syukurlah budak itu keduanya
sudah sampai pada pondok yang kecil itu.
Waktu itu belum lewat pukul empat, tetapi kalau dilihat udara yang
kelam itu, adalah seperti senja rupanya. Akan sekadar memanaskan
badan, karena angin amat kencangnya itu yang menambah kedinginan
tubuh mereka itu, Mariamin pun menghidupkan api. Dengan sabar
kedua anak yang karib itu duduk berdiang menantikan hujan reda.
Selama mereka duduk, sudah beberapa kali Mariamin memandang
muka kakaknya itu, karena heranlah hatinya melihat Aminu'ddin duduk
berdiam diri saja dan matanya memandang nyala api yang memanaskan
hawa berkeliling tempat itu. Sekalipun matanya menghadap kepada api,
tetapi kelihatan pikirannya dalam kebimbangan. Apa yang dikenangkannya
tiadalah diketahui Mariamin, meskipun sudah beberapa kali ia
melihat muka sahabatnya itu dan mencoba-coba mengira-ngira apa
yang tergores dalam hati anak muda itu.
"Apakah sebabnya angkang termenung? Adakah yang angkang
pikirkan?" ujar Mariamin serta meletakkan tangannya yang halus itu
perlahan-lahan ke atas bahu Aminu'ddin. Aminu'ddin terkejut, barang
kali oleh sebab ia terganggu sedang berpikir-pikir itu. Dengan tiada
berkata suatu apa, ia memandang kepada Mariamin. Rupanya ia tiada
mendengar pertanyaan temannya itu. "Jangan marah sebab saya
mengejutkan angkang. Tapi apakah sebabnya angkang berdiam saja?
Adakah yang disusahkan? Katakanlah supaya kuketahui!" ujar
Mariamin pula, sambil duduk dekat anak muda itu.
"Ah, tidak apa-apa Riam," sahut Aminu'ddin dengan pendek:
"Mana boleh tidak, janganlah Udin menyimpan-nyimpannya, atau
barangkali angkang menaruh rahasia kepadaku," kata Mariamin pula,
seraya memandang mata Aminu'ddin, seolah-olah ia hendak masuk
menyelam ke dalam hati anak muda itu, supaya ia dapat mengetahui
sebabnya ia duduk termenung. Keinginannya bertambah-tambah, akan
tetapi Aminu'ddin tinggal diam saja.
"Katakanlah supaya kudengar," ujar Mariamin lagi dengan muka
yang tiada sabar, akan tetapi dengan suara yang ramah juga.
"Tidak apa-apa, Riam," sahut anak muda itu, "hanya perasaanku
tidak tentu, lain benar daripada yang biasa."
"Lain bagaimana? Sakitkah angkang?" tanya Mariamin dengan
herannya.
"Sakit tidak. Tapi buluku seram dan hatiku berdebar, tak tahu aku
artinya itu. Barangkali mara bahaya yang akan datang, siapa tahu. Tapi
janganlah engkau cemas, Allah memeliharakan hamba-Nya," kata
Aminu'ddin menghiburkan Mariamin, karena dilihatnya muka anak
perempuan itu bertukar menjadi pucat, karena hatinya merasa takut.
Sejurus lamanya mereka itu berdiam diri, hujan makin lebat,
menderu-deru bunyinya dan kilat pun sabung-menyabung dituruti
halilintar yang seolah-olah membelah bumi bunyinya. Angin pun berhembuslah
dengan kencangnya, serta berdengung-dengung. Bunyi
hujan, angin dan guruh itu amat mendahsyatkan hati keduanya yang
berlindung di pondok kecil, di tengah-tengah sawah yang luas itu.
"Bahaya apakah yang akan datang?" tanya anak gadis yang kecil itu
dalam hatinya, sedang kemasygulannya pun bertambah-tambahlah.
 
== BANJIR ==