Azab dan Sengsara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Baris 15:
* [[/Bab 2]] : Tali Persahabatan dan Perkauman
 
* [[/Bab 3]] : Banjir
== BANJIR ==
Aminu'ddin mengetahui, bahwa Mariamin dalam ketakutan yang tiada
tentu, barangkali disebabkan hujan yang amat lebat itu serta melihat
kilat dan mendengar guruh yang tiada berhentinya. Lalu ia pun
menghiburkan hati Mariamin, supaya sahabatnya itu melupakan barang
yang ditakutinya itu.
"Riam," katanya dengan muka yang riang, "saya ada mem punyai
cerita yang bagus, yang baru diceritakan guru kami di sekolah; sukakah
engkau mendengarnya?"
Perkataannya yang dua tiga patah itu menggembirakan hati
Mariamin. Anak perempuan itu pun lupalah akan hal keadaan hari yang
buruk itu. Dengan tersenyum serta matanya bercahaya, ia pun berkata,
"Cobalah angkang ceritakan, betapakah sedapnya mendengarkan dia
itu, apalagi pada waktu yang serupa ini. Mulailah!" kata Mariamin,
seraya ia mendekat duduk kepada Aminu'ddin, supaya suara sahabatnya
bercerita itu jangan dibawa oleh angin yang kencang itu.
"Bukankah engkau bersungut-sungut tadi?" tanya Aminu'ddin.
"Waktu itu kau berkata: amatlah sakitnya jadi perempuan."
"Pabila?"
"Waktu kita menyiangi sawah tadi."
"Ya, apa sebabnya angkang menanyakan itu?"
"O, bukan; saya hanya hendak memberi nasihat saja, yakni, haruslah
kita sabar menerima pemberian Allah," ujar Aminu'ddin. "Dengarlah
cerita seorang yang tiada bersenang hati kepada untungnya. Ia
mengumpat-umpat nasib dirinya, karena berlain dengan orang-orang
yang di atasnya dan dikatakannya Allah taala itu tak adil."
"Bagaimanakah cerita itu?" tanya Mariamin dengan inginnya.
"Dalam sebuah kampung, dekat hutan yang besar, tinggal Seorang
perempuan yang sudah tua." Aminu'ddin memulai ceritanya.
"Pekerjaan perempuan itu mencari kayu api. Kayu itu dijualnya ke
pasar; uang yang sedikit yang diperolehnya dari harga kayu itu dibelikannya
kepada beras dan garam serta apa yang berguna untuk
hidupnya. Dengan bersenang hati serta memuji nama Tuhan, ia pulang
ke rumahnya. Demikianlah kehidupan perempuan itu; siang mengambil
kayu dan malam tidur dalam rumahnya dengan nyenyaknya.
Dekat rumahnya itu diam pula seorang laki-laki tua, pekerjaannya
mengambil kayu juga. Di hutan dan di pasar acap kali kedua orang itu
berjumpa. Dilihat oleh perempuan itu pendapatan orang tua laki-laki itu
lebih banyak mendapat uang dari dia. Kalau ia menerima lima puluh
sen, laki-laki itu menerima delapan puluh sen, kadang-kadang serupiah.
Perempuan itu pun tiada bersenang hati, karena hati yang cemburu
sudah acap kali timbul dalam pikirannya.-Akan tetapi kalau
dipikirkannya lebih panjang, tentu ia tiada bersungut-sungut dalam
hatinya. Orang tua laki-laki itu bekerja tiada akan mencari nafkahnya
sendiri, tetapi anak dan bininya harus pula diberinya makan. Oleh
sebab itu terpaksalah ia memikul beban yang lebih berat, supaya ia
lebih banyak beroleh uang, dan kalau ia tiada kuat, apakah jadinya anak
bininya? Meskipun ia beroleh uang serupiah dalam dua had, jauhlah
lebih senang kehidupan perempuan tua tadi. Akan tetapi hal itu tiada
dipikirkan oleh perempuan tua itu; itulah sebab ia bersungutsungut.
Sekali waktu ia pulang membawa kayu ke rumahnya, ia pun duduklah
berhenti, akan melepaskan lelahnya. Dari jauh ia melihat laki-laki tua
itu memikul kayu juga, sedang berjalan pulang ke kampung. "Wah,
besarnya beban orang itu, tetapi ia tiada keberatan memikulnya," kata
perempuan itu. "Saya hampir setengah mati dan bebanku hanya laku
sepuluh sen. Benarlah Tuhan tidak adil; apakah sebabnya perempuan
kurang kekuatannya daripada laki-laki?"
Pada waktu itu datanglah seorang malaikat ke tempat perempuan
itu. Ia terkejut, karena tiada dikenalnya malaikat itu. Mukanya berseriseri
amat elok parasnya. Malaikat itu menghampiri perempuan tua itu,
seraya berkata, "Janganlah ketakutan; saya ini Jibrail; saya datang ke
mari membawa firman Tuhan. Tadi engkau menyebut Allah taala tak
adil, sebab Ia menjadikan laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Itu
pun kalau engkau suka menjadi laki-laki, katakanlah, supaya jangan
bersungut-sungut juga di belakang hari, mengatakan Allah taala tidak
adil."
Perempuan itu berlutut hendak menyembah malaikat itu. Tetapi
malaikat itu menangkap tangannya, seraya berkata, "Janganlah engkau
menyembah aku, Allah saja yang wajib disembah. Katakanlah, sukakah
engkau menjadi laki-laki?"
"Sudah tentu, lamun Allah taala yang akbar tiada murka akan
hamba," sahut perempuan itu.
"Permintaanmu itu kabul dan menjadilah engkau seorang lakilaki,"
kata malaikat itu. Setelah itu maka Jibrail itu pun gaiblah.
Perempuan itu berdiri seraya melompat-lompat karena suka-citanya.
Ia sudah menjadi laki-laki dan kekuatannya pun sudah jauh bertambah.
"Mulai dari sekarang ini barulah aku amat beruntung, tak ada yang
kususahkan lagi. Sedikit hari lagi tentu aku mempunyai uang yang
banyak," katanya, sambil ia menjinjing bebannya, lalu berlari pulang ke
rumahnya.
Berbulan-bulan sudah itu, ia pun belum juga menjadi orang kaya.
Hidup sendiri kuranglah sedapnya dipandang mata, karena menurut sepanjang
adat, adalah keaiban bagi laki-laki yang tiada beristri itu. Oleh
karena itu ia pun kawinlah. Dua tahun di belakang, lahirlah seorang
anaknya. Sekarang barulah ia tahu, betapa beratnya tanggungan bapak
yang harus memeliharakan anak dan istri serta keperluan rumah
tangganya. Pendapatannya yang sekarang—pada persangkaannya
dulu—dulu telah banyak hampir-hampir tak cukup akan dimakan anakberanak.
Meskipun ia mempergunakan sehabis-habis tenaganya, tetapi
amat susah jugalah rasanya akan mencari yang sesuap pagi dan sesuap
petang. Kesudahannya ia tiada bersenang hati lagi. Pada suatu hari
pekan, sedang ia menjual kayu di pasar, ia pun terpikir, betapa
senangnya kehidupan saudagar-saudagar. Mereka itu menjual kain
yang mahal-mahal dan permata yang indah-indah, sedang kerjanya
tiada berapa. Di tengah jalan, waktu hendak pulang ke rumah, ia pun
berkata sendirinya, "Apakah sebabnya nasib manusia itu beruparupa?
Karena apa maka sedemikian ini untungku ditakdirkan Allah? Sehari
aku tak pergi ke hutan mencari kayu, sudah tentu kami anak-beranak
mati kelaparan. Pendapatanku amat sedikit; hendak menyimpan uang
tak mungkin. Lain benar halnya dengan saudagar-saudagar yang kaya
itu. Mereka itu duduk saja sehari-hari, uang datang sendiri; sedikit pun
tak ke luar keringatnya. Aku ini tiada lepas dari panas dan dingin, hujan
dan angin, akan tetapi tiada lebih kuperoleh daripada yang cukup
dimakan. Kalau aku jadi saudagar yang serupa itu, betapakah
senangnya kehidupanku."
Pada sekejap itu berdirilah Jibrail di hadapannya, seraya berkata,
"Tak usah engkau bersungut-sungut; kesukaanmu itu diperkenankan
Tuhan sarwa sekalian alam."
Orang itu hendak memegang dan memeluk kaki Jibrail itu, akan
tetapi malaikat itu sudah gaib entah ke mana. Dengan bergirang hati
orang itu pun pulanglah ke rumahnya. Sejak daripada hari itu tak perlu
lagi ia pergi mengambil kayu ke hutan. Setiap hari dapat ia tinggal bersama-
sama dengan anak-istrinya dan uang pun tiada kekurangan lagi
akan pembeli apa yang dikehendakinya. Tambahan lagi ia pun menjadi
orang kaya, mempunyai toko yang besar-besar, penuh dengan barang
dagangan, yang memberi laba yang besar. Demikianlah orang itu hidup
senang dan beruntung. Akan tetapi itu pun tiada kekal, karena penyakit
yang lama sudah datang pula menggoda pikirannya.
Pada suatu hari orang pun beramai-ramai dalam negeri itu mengeluelukan
seorang panglima perang yang pulang dari medari peperangan
membawa kemenangan yang besar, karena musuh raja negeri itu sudah
dikalahkannya. Segala bunyi-bunyian serta alat kehormatan kerajaan
pun dikeluarkan oranglah, dan baginda sendiri turut juga menyongsong
panglima besar yang gagah berani itu. Baru panglima perang itu masuk
ke dalam kota, orang pun bertampik dan bersorak, karena semuanya
bersuka-cita, sebab mereku itu telah lepas daripada mara bahaya.
Dengan kehormatan dan kemuliaan yang besar, panglima besar itu diarak
orang sampai ke istana raja.
Melihat hal yang demikian itu saudagar tadi bersungut-sungut pula,
"Hartaku sudah banyak, tapi tak mungkin aku bersenang hati selamalamanya.
Kalau harta orang banyak dan namanya masyhur dan harum,
barulah ia boleh dikatakan beruntung. Kekayaan dan kemasyhuran,
barang yang dua itulah yang menyenangkan manusia di dalam dunia
ini. Ah, apakah sebabnya aku tiada menjadi panglima besar, supaya
kuperoleh keinginanku itu? "
"Tak usah bersusah hati, keinginanmu itu diperlakukan Tuhan
khalikul alam," kata Malaikat Jibrail, yang membawa firman Allah. Sebelum
saudagar itu sekarang telah menjadi panglima besar menyahut
suatu apa, malaikat itu telah aib.
Sekarang tak usah lagi ia bersusah hati. Rumahnya besar dan bagus,
anak dan istrinya dilayani dayang-dayang yang elok-elok rupanya.
Pendeknya amatlah senang kehidupannya, harta dan kemuliaan sudah
diperolehnya, siapa lagi yang di atasnya dalam kerajaan baginda yang
luas itu, kecuali raja yang empunya kerajaan itu?
Semuanya di bawah perintahnya, akan tetapi ada kecualinya.
Pikiran yang demikian inilah yang menjadikan sebab bagi orang itu,
maka ia tiada bersenang hati. "Kalau aku menjadi raja, barulah
sempurna hidupku di dunia ini, karena seorang pun tiada yang jadi
rintangan bagi mataku," kata orang itu pula pada sendirinya.
"Rintangan yang menyusahkan matamu itu kuambil, supaya
kesenanganmu sempurna dalam dunia ini," sahut Jibrail pula.
"Besarlah terima kasih aku kepada tuan, dan sebagai tanda syukur,
aku akan memberi peringatan, yaitu suatu benda yang mahal. Haraplah
tuan sudi menanti dia dalam istanaku ini," titah raja baru itu.
"Emas dan intan tiada berguna untuk kami," sahut Jibrail itu
"penduduk surga lebih menghargakan ibadat serta perbuatan yang baik
daripada harta dunia, dan lagi kepada aku tak boleh engkau mengucap
syukur, karena aku hanya si pembawa firman Allah, Tuhan sekalian
yang ada. Ingat-ingatlah akan perkataanku itu. Allah yang pengasih,
Tuhan sekalian alam, memenuhi apa-apa yang engkau cintakan, kamu
pun harus menyayangi segala umatnya, karena seharusnyalah raja itu
memikirkan kesentosaan rakyatnya, bukanlah raja itu memuaskan hawa
nafsunya saja dan orang banyak menanggungkan kemelaratannya.
Sekali lagi aku ulangi: Kasihanilah makhluk Allah, sebagai Tuhan
menyayangi engkau!"
"Bertahun-tahun lamanya raja itu duduk di atas takhta kerajaannya.
Akan tetapi penyakitnya yang lama itu tiadalah sembuhsembuhnya,
karena sekalipun tidak pernah diobatinya. Seorang yang demam kura,
selalu minum air kelapa muda, sebab ia kehausan, tentu tiada menjadi
baik; sebaliknya, kura itu bertambah-tambah besar dan demamnya
semangkin jadi, akhirnya ia rusak binasa. Demikianlah halnya raja itu.
Nafsunya hendak beroleh yang lebih, selalu diturutinya. Sudah tentu
nafsu itu tiada mati atau puas, jika sudah diturutkan sekali. Kebalikannya
dia menjadi besar, sebagai api yang selalu beroleh kayu akan menjadi
makanannya.
"Manusia yang mendiami bumi ini amat banyaknya. Alangkah baiknya
aku sendiri yang memerintahkan bumi ini. Tuhan hanya satu, raja
pun haruslah satu pula." Pikiran yang demikian itulah yang merusakkan
hati raja itu; siang-malam ia mencari akal akan mencapai maksudnya
itu. Lupalah sudah ia akan perkataan malaikat itu.
"Satu Tuhan satu raja," Begitulah beraninya manusia yang loba dan
tamak itu. Ia mencari kesenangan dalam kekayaan dan kemuliaan:
Orang yang serupa itu tiada pernah akan beroleh kesenangan, karena ia
tiada pernah sabar. Siapa yang sabar dan mempersenang hatinya
dengan pemberian Allah, itulah yang beruntung. Benarkah itu
Mariamin?" tanya Aminu'ddin kepada sahabatnya itu.
Yang ditanya itu menundukkan kepalanya, seraya bertanya, "Bagaimanakah
kesudahannya raja itu, beruntungkah ia di belakang hari?
Dapatkah ia mencapai maksudnya itu?" tanya Mariamin.
"Tentu tidak, bukankah sudah kukatakan, orang tiada pernah
beruntung, kalau ia mencari kesenangan yang sempurna dalam kekayaan
dan kemuliaan dunia," sahut Aminu'ddin, "tetapi sebelum aku
menyudahkan kisah raja itu, baiklah aku menceritakan cerita yang lain,
yang menjadi pelajaran untuk kita. Dalam sebuah negeri adalah seorang
raja. Adapun raja itu amat disayangi rakyatnya, karena ia terlalu cinta
akan anak buahnya. Tetapi adalah suatu tabiat raja itu yang kurang
baik, yakni ia selalu berkehendak supaya ia raja yang lebih besar dan
kuat daripada raja-raja yang lain. Pada suatu hari sedang ia berburu
dengan menteri-menterinya, ia pun sesat dan sampai ke dalam sebuah
lembah yang lebar. Dalam lembah itu diafn seorang gembala. Dari jauh
raja itu mendengar suara gembala itu, menyanyikan lagu yang riangriang;
kadang-kadang berganti dengan suara suling yang merdu. Raja
itu pun berjalanlah menuju tempat pondok gembala itu; amatlah suka
citanya, karena ia telah bersua dengan manusia. Gembala itu
mempersilakan raja itu masuk ke pondoknya meskipun tiada
dikenalnya. Kemudian diajaknya makan bersama-sama. Makanan yang
sederhana, yang diberikan gembala itu, amatlah lezatnya pada perasaan
baginda itu, dan air minum yang diambil dari sungai, dekat pondok
orang itu, lebih enak daripada minum-minuman yang disediakan
dayang-dayang yang ternama dalam istananya. Selama gembala itu
tinggal dalain pondok yang sunyi itu amatlah senang perasaannya, air
mukanya pun selamanya berseri-seri, sehat dan riang nampaknya.
Belum berapa lamanya raja dalam pondok itu, tahulah baginda bahwa
gembala itu hidup beruntung dan berbahagia, lebih daripada dia, raja
yang empunya tanah itu, yang tiada mengenal kekurangan dan
kemiskinan. Setelah sudah makan, gembala itu pun mengantarkan
jamunya itu ke jalan yang benar, yakni jalan pulang ke istana. Waktu
mereka itu hendak bercerai, raja itu berkata, "Belum lama aku tinggal
bersama-sama dengan engkau, tapi sudah terang kuketahui, bahwa
engkau merasa dirimu beruntung. Cobalah katakan apa yang
menyenangkan hatimu dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari negeri
yang ramai-ramai, tempat orang berkumpul dan bersenang-senang
diri?"
Gembala itu tersenyum seraya berkata, "Bagaimanakah aku tiada
akan bersenang hati, suatu pun tiada yang kususahkan. Makanan
untukku pagi dan petang cukup, sayur dan ulam pun tiada pernah
kekurangan. Sedang burung-burung yang di bawah langit ini, yang
tiada mempunyai lumbung tempat mengumpulkan makanan, tiada mati
kelaparan, sebab Allah memeliharakan makhluknya, apalagi aku. Dan
air gunung yang kuminum setiap hari itu, adakah dapat diperoleh dalam
negeri yang ramai, tempat penyakit bersarang? Tuan berkata: hutan ini
sunyi; akan tetapi pada perasaanku tiadalah demikian. Kalau matahari
menunjukkan cahayanya di sebelah timur, keluarlah aku dari pondokku.
Di sana-sini kedengaranlah suara unggas yang menyanyi pada
puncak kayu yang tinggi-tinggi, mengucap syukur kepada Tuhan
khalikulalam, yang menjadikan semesta alam ini. Saya pun tak lupa
menyembah dia. Dalam hawa pagi yang semerbak dan segarnya itu
saya halaukan biri-biriku ke padang rumput yang ada di lerenglereng
bukit itu. Kalau hari malam saya tidur dengan nyenyaknya dan segala
keletihanku siangnya itu telah lenyap dan badanku kembali pula.segar
dan kuat serta nafsu bekerja bertambah besar.
Cobalah tuan katakan: Apakah jalan yang membawa saya ke dalam
lautan dukacita, sebagai orang kota? Kalau matahari hendak masuk ke
perhentiannya, ia memancarkan sinar yang seperti emas disepuh ke
puncak gunung dan pokok-pokok kayu yang tinggi-tinggi itu, dan lagi
pelangi yang berwarna-warna, melengkung di sebelah timur, adakah
tontonan yang seindah itu dalam kota yang ramai? Itu kuperoleh
dengan tiada membayar sepeser jua pun. Emas dan perak tak berguna
bagiku, meskipun rumahku emas dan halamanku bertabur intan, takkan
berbahagia saya oleh karena itu. Lagi pula istana raja kita dan
kerajaannya yang besar itu takkan sama harganya dengan tangan dan
mataku. Ah, tak dapatlah saya menceritakan segala barang yang
menyenangkan hatiku di dunia ini. Akan tetapi itu harus kukatakan:
Sekaliannya itu kuperoleh daripada Allah yang rahmat, yang telah
menyediakan kesenangan selama-lamanya bagi hambanya yang
percaya akan dia, yaitu surga yang kekal, ganti dunia yang fana ini.
Itulah sebabnya saya selamanya bernyanyi dengan girang memuji nama
Tuhan seru sekalian alam."
"Engkau orang gunung yang berbahagia," sahut raja itu, "lebih
besarlah tuahmu daripadaku, raja yang memegang kuasa di negeri ini."
Setelah baginda itu mengucapkan terima kasih akan pertolongan
gembala itu, ia pun meneruskan perjalanannya menuju istananya, di
mana hamba-hambanya berusaha akan menyenangkan dia, tetapi ...
dengan semuanya itu tiadalah baginda beroleh bahagia, sebagai yang
diperoleh gembala yang hina dalam pondoknya yang kecil itu."
Aminu'ddin berdiam sebentar, setelah ceritanya habis, Mariamin
pun memegang tangan sahabatnya itu, seraya berkata, "Bagus benar
cerita angkang itu."
"Ya, Anggi," sahut Aminu'ddin, "nanti di belakang hari apabila
engkau besar, barulah kautahu kelezatannya yang sebenarnya, yaitu
bila engkau mengerti akan kias cerita itu."
Anak dara yang kecil itu termenung. Kemudian ia berkata, "Cobalah
angkang teruskan cerita orang pengambil kayu yang tak pernah puas
kepada untungnya itu."
"Sebenarnya aku sudah payah berkata-kata ini, tetapi sebab Riam
ingin juga mendengarkan kesudahan cerita itu, baiklah aku teruskan,"
sahut Aminu'ddin. "Dengarkanlah Anggi!"
Raja yang tadi mengumpulkan tenteranya akan memerangi raja-raja
yang tiada mau takluk kepadanya; karena maksudnya hendak mendirikan
sebuah kerajaan di atas bumi ini dan dialah yang akan memerintahkan
segala bangsa manusia, sebagai Allah menguasai alam ini.
Sudah tentu kerajaan yang lain-lain itu hendak mempertahankan tanah
airnya, dan segala kekuatannya dipakainya untuk melawan, supaya
negerinya jangan terampas oleh raja yang ganas itu. Sudah tentu
perbuatan raja yang loba itu buas adanya. Ia melebarkan kekuasaannya
dengan mengurbankan nyawa rakyatnya; memuaskan cita-citanya
dengan darah dan nyawa manusia yang ada di bumi ini. Beberapa
negeri yang terbakar, perusahaan rusak binasa, sawah dan ladang menjadi
tempat orang berkubur, betapa pula kesusahan dan kesedihan yang
ditanggung anak dan ibu oleh karena si bapak telah mati di medan
perang, mati disebabkan menurut perintah raja yang ganas, raja yang
garang, lebih lagi buasnya dari harimau. Semuanya kecelakaan itu disebabkan
nafsu raja itu saja. Lupalah ia akan arti raja kepada rakyatnya.
Bukankah raja itu menjadi bapak bagi hambanya! Ialah yang harus
mencari keamanan bagi anak buahnya.
Pada suatu petang sedang matahari hendak terbenam, baginda itu
pun berdirilah pada sebuah bukit tempatnya bermalam. Maka ia pun
melayangkan pemandangannya ke negeri musuh yang sudah ditawan
oleh laskarnya pada hari itu. Dengan tersenyum ia pun berkata kepada
wazir-wazirnya, "Seorang pun tiada yang dapat menahan perang kita."
Sembah wazir itu, "Ya, Tuanku. Benar banyak tentara kita yang
mati, tetapi lebih banyak lagi bangkai musuh yang berserak di tengah
padang itu. Lagi pula kemenangan jatuh ke tangan seri paduka tuanku."
Sedang raja itu menunduk-nundukkan kepalanya dan mukanya berseri-
seri, karena ia selalu beroleh kemenangan, maka dengan tidak
disangka-sangka berdirilah Malaikat Jibrail di hadapannya. "Saya
membawa firman Tuhanyang menjadikan alam dan isinya. Segala permintaanmu
sudah dikabulkannya, akan tetapi watasnya sudah lewat dan
ukurannya telah penuh. Darah orang yang tiada bersalah yang tumpah
di tengah padang itu, air mata orang yang kematian, semuanya itu
terang di hadapan Tuhan. Dan sebagai yang saya katakan tadi, perbuatanmu
telah lewat dari watasnya, oleh sebab itu hukuman yang
besarlah yang akan menimpa badan dan jiwamu. Nanti malam engkau
masih boleh tidur, tetapi esok engkau tiada akan melihat matahari,
terbit lagi." Setelah itu malaikat itu pun lenyaplah dari mata raja itu.
Ia tercengang memikirkan perkataan Jibrail itu, tak mungkin terjadi
yang sebagai itu kata hatinya. Pada sangkanya, tiada benar ia bersua
dengan malaikat itu, hanya penglihatan dan pendengarannya juga yang
salah, karena itu ia bertanya kepada menteri-menterinya, kalau-kalau
mereka itu melihat kedatangan seorang malaikat. Dengan tercengang
mereka itu menyahut, bahwa tiada suatu pun yang nampak olehnya.
Hari pun malamlah dan raja itu pun beradulah dengan senangnya
karena esoknya itu ia akan bertentangan lagi dengan musuhnya, yang
sudah tentu akan dikalahkannya pula.
Kehendak Allah tentu berlaku. Waktu fajar menyingsing turunlah
hujan yang amat lebat disertai kilat dan guruh. Sedang baginda, yang
hendak menjadi raja dunia itu, tidur dengan nyenyaknya, maka kemah
tempat baginda beradu itu pun ditembak petir dan ... sekejap itu juga
orang pun mendapati mayat raja itu telah angus terbakar oleh api langit
itu. Demikianlah kesudahannya nasib orang yang tiada mengindahkan
sesamanya makhluk. Badannya binasa dan jiwanya makanan api neraka
yang kekal selama-lamanya."
"He, amatlah ngeri kesudahan cerita itu," kata Mariamin setelah
Aminu'ddin berhenti. "Tak usah aku senang di dunia ini, asal jiwaku
jangan menanggung di akhirat."
"Tentu," sahut Aminu'ddin seraya berdiri hendak menoleh ke luar,
kalau-kalau hujan yang lebat itu sudah berhenti.
Hujan itu belum berhenti benar-benar, akan tetapi karena hari itu
sudah hendak malam, berkemaslah kedua anak itu hendak pulang ke
rumahnya. Sebab rumah Mariamin yang lebih dekat dari tempat itu,
mereka itu pun bersama-samalah berjalan menuju Sipirok. Biasanya
keduanya itu bercerai di tengah jalan, masingmasing pulang ke
kampungnya.
Aminu'ddin pun meminta cangkul adiknya itu, diikatnya bersamasama
dengan cangkulnya serta diletakkannya di atas bahunya.
Demikianlah ia berjalan di muka dan Mariamin tiada membawa suatu
apa. Itulah kesukaan Aminu'ddin, supaya sahabatnya itu dapat berjalan
dengan senang, karena jalan amat licinnya karena hujan lebat itu.
Memang kedua anak itu amat berkasih-kasihan. Lebih-lebih waktu
itu Aminu'ddin sangat menjaga dengan hati-hatinya diri sahabatnya itu,
sedang pada hari yang biasa, tetaplah Mariamin memikul barangnya,
bila. balik dari sawah. Kalau sampai pada jalan yang licin, tiadalah ia
lupa membimbing tangan Mariamin, supaya jangan jatuh tergelincir.
Sebentar-sebentar ia berkata, "Ingat-ingat, Anggi! Tengok benar-benar
jalan itu, jangan engkau tergelincir."
Sejak dari kecil, keduanya telah diikat tali persahabatan. Sudah
besar sedikit, tali itu diperkuat oleh perkauman lagi dan pada waktu
muda lebih kukuh lagi perhubungan itu, karena di antara mereka telah
timbul percintaan, yang akan mempersatukan mereka di belakang hari,
sebagaimana yang telah diceritakan pada permulaan cerita ini.
Tabuh berbunyi di mesjid besar akan memberi tahu kepada orang,
bahwa waktu magrib sudah ada, yakni waktu akan menyembah Tuhan.
Aminu'ddin terkejut mendengar bunyi tabuh itu, karena barulah ia
tahu, siang telah bertukar dengan malam.
"Hampir kemalaman kita ini," katanya kepada Mariamin, "tetapi tak
mengapa, kita sudah dekat; kalau sungai itu telah terseberangi, bolehlah
dikatakan, kita sudah tiba di rumah."
"Ah, bukan main besarnya air itu, dari jauh telah kedengaran
suaranya," sahut Mariamin.
"Ya," ujar Aminu'ddin, "karena hujan pun sebagai dicurahkan lebatnya.
Akan tetapi lain benar perasaanku pada ketika ini, dadaku berdebar
dan seram-seram bulu badanku, apakah maknanya itu?"
Mariamin terdiam mendengar perkataan angkangnya itu karena ia
ketakutan. Melihat itu, maka kata Aminu'ddin. "Ah, aku pikir tiada lain
sebabnya hanya karena aku kedinginan. Baiklah kita lekas sedikit,
supaya kita sampai dengan segera ke rumah. Wah, bukan main
sedapnya nanti berdiang, ya, Anggi," ujar Aminu'ddin pula.
Ia berkata-kata demikian hanya dengan maksud, supaya Mariamin
jangan ketakutan lagi.
Tiada berapa lama sampailah mereka ke tepi sungai yang akan diseberangi
mereka itu. Mariamin terkejut melihat sungai itu banjir. Air,
yang penuh dengan buih itu, mengalir dengan derasnya serta menghanyutkan
batu dan kayu-kayuan. Akan tetapi sebab hari sudah mulai
gelap, tiada nyata kelihatan kehebatan air, sungai itu. Kalau demikian
sudah tentu tiada berani mereka itu melalui titian yang kecil, tempat
orang menyeberangi sungai itu.
Pada permulaan titi itu Aminu'ddin berdiri termenung memandang
sungai yang deras itu. Kemudian ia pun berkata, "Dahululah engkau
Anggi."
Mariamin menjawab, "Angkanglah dahulu. Kalau sudah Angkang
sampai ke seberang, barulah aku menyeberang."
"Baik," sahut Aminu'ddin, "Akan tetapi sebelum aku sampai ke
seberang, jangan engkau meniti!" Aminu'ddin berjalanlah melalui titi
kayu yang kecil itu. Dengan hati-hati ia menjejakkan kakinya dan
matanya tiada lepas dari titi itu. Akan tetapi tiadalah tahu, bahwa
setelah ia lewat pertengahan titi itu, Mariamin sudah datang dari
belakang.
Sedang ia di tengah-tengah, maka kedengaranlah olehnya suara
adiknya itu memekik, "Tolong, 'Kang!" dengan terkejut ia menoleh ke
belakang.
Apakah yang nampak kepadanya?
Dengan sekejap itu dilihatnya Mariamin jatuh ke air. Cangkul yang
dibahunya pun dilemparkannya dan setelah bajunya ditanggalinya, ia
pun mengucap, "Tolong, Tuhan!" Dengan perkataan yang dua patah
itu, Aminu'ddin melompat ke dalam air akan menyusul Mariamin, yang
dihanyutkan banjir yang tiada menaruh iba kasihan kepada kurbannya
itu. Meskipun semuanya terjadi dengan sekejap saja, sudah jauhlah
gadis kecil itu dihanyutkan air. Aminu'ddin berenang dengan sekuatkuatnya,
mengejar anak yang malang itu. Dua tiga kali anak itu
memekik lagi, "Tolong Angkang!" bila ia timbul ke atas. Keempat
kalinya tidak kedengaran lagi; rupanya akalnya sudah hilang.
Suara yang penghabisan itu didengar oleh Aminu'ddin dengan
kesedihannya, hatinya sebagai diremas dan harapannya pun hampir
putus, lebih-lebih setelah Mariamin tiada timbul lagi. Akan tetapi
sungguhpun demikian, ia berenang juga secepat-cepatnya, dan matanya
tiada berhenti melihat ke kanan dan ke kiri.
Hari sudah hampir gelap, suatu pun tak ada yang tampak, selain dari
muka air yang berbuih itu. Maka adalah sungai itu sebagai berhantu
pada pemandangan matanya.
"Biar aku mati, tak mau aku ke luar dari sungai ini, sebelum aku
mendapat Mariamin, adik kesayanganku itu. Kalau mati, sama-sama
berkuburlah kami di sini," kata anak laki-laki yang gagah berani itu
dalam hatinya.
Sik! sik! ... sik! Dua tiga kali berturut-turut kilat datang dan
cahayanya pun memancar-mancarlah menerangi alam yang kelam, itu.
Pada waktu yang sekejap itu nampaklah oleh Aminu'ddin Mariamin
terapung sebentar. Dengan secepat-cepatnya ia pun menangkap anak
perempuan itu, lalu didakapnya dengan tangan kirinya, dan dengan
tangan kanannya ia berenang. Meskipun ia amat payah, kedinginan dan
kekuatannya pun hampir-hampir habis, ia pun berenang juga sedapatdapatnya,
yaitu sambil berhanyut, ia berenang perlahan-lahan ke tepi.
Setelah ia sampai ke pinggir, maka ia pun mengamati Mariamin.
Syukurlah, napasnya masih ada sekali-sekali. Ia pun mendukung anak
itu menuju sebuah pondok, yang ada dekat pada tempat itu. Dengan
tiada pikir panjang, ia pun berlarilah ke rumah memberitahukan kepada
tulang dan nantulangnya (mamaknya laki-laki dan istri mamaknya itu,
yakni orang tua Mariamin). Rumah mereka itu tiada jauh dari sana,
hanya lima menit perjalanan saja.
Sudah tentu semua orang amat terkejut mendengar kabar itu.
Mereka pun berlarilah ke pondok yang tersebut. Api dihidupkan dan
pakaian yang basah itu diganti dengan kain baju yang kering dan
bersih. Dengan usaha serta pertolongan orang-orang sebelahmenyebelah
rumah, anak perempuan itu pun sadarlah akan dirinya. Air
yang terminum olehnya dimuntahkannya.
Adalah empat belas hari lamanya baru Mariamin sembuh dan dapat
kembali bersekolah. Sejak kecelakaan itu sudah tentu persahabatan
mereka itu lebih rapat lagi. Mariamin pun selalu merasa, bahwa ia
berhutang nyawa kepada angkangnya, yang telah mengurbankan dirinya
sendiri untuk keselamatannya itu.
Ya, di belakang hari, bila ia sudah besar, tentu mengertilah ia akan
makna: "Utang mas dapat dibayar, utang budi dibawa mati".
 
== LAKI-ISTRI DAN ANAK-BERANAK ==