Azab dan Sengsara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Baris 17:
* [[/Bab 3]] : Banjir
 
* [[/Bab 4]] : Laki-Istri dan Anak-Beranak
== LAKI-ISTRI DAN ANAK-BERANAK ==
 
Sebelum kisah persahabatan Aminu'ddin dengan Mariamin diteruskan,
baiklah kita kembali dahulu sebentar kepada kematian Sutan Baringin
dan bagaimana jalannya kehidupan orang anakberanak itu jatuh melarat,
sebagai tersebut pada awal cerita ini.
Orang tua Sutan Baringin masuk golongan orang yang kaya di
antara penduduk Sipirok. Hanya ia sendirilah anak orang tuanya yang
laki-laki. Sebagai acap kali kejadian akan tabiat anak tunggal itu,
adalah amat manja dan nakal pada waktu ia masih anakanak, karena
barang apa kesukaannya selamanya dituruti orang tuanya. Meskipun ia
salah atau kelakuannya tiada baik, jaranglah ia dimarahi orang tuanya,
apalagi kena pukul jangan dikata lagi. Kalau bapaknya marah kepadanya
karena nakalnya, ibunya pun datang menarik dia dari hadapan
bapaknya, seraya berkata, "Salah sedikit sudah mau dihantam; kelakuan
bapak apakah demikian kepada anaknya? Tiadakah engkau tahu, ia
hanya sendiri saja yang laki-laki?"
Tohir, demikianlah nama anak itu pada waktu kecilnya, makin lama
makin besarlah. Akan tetapi tiadalah ia anak yang baik dan penurut
kepada orang tuanya. Sehari-hari ia menjadi pokok pertengkaran di
antara ayah dan ibunya dan ia pun tiada mendapat didikan yang baik,
karena ibunya selalu memanjakan dia dan suatu pun tiada dapat si
bapak berusaha akan memimpin anaknya itu, supaya menjadi orang
yang baik di belakang hari. Ia amat bersusah hati karena semua
pekerjaannya percuma dan anaknya semakin nakal dan bengis
kelakuannya. Yang menyebabkan itu semua tiada lain dari sebab perbuatan
istrinya. Kadang-kadang ia marah kepada ibu si Tohir serta
katanya, "Jangan dibiarkan anak kita itu sebagai anak yang tiada
mempunyai orang tua, yang memberi pengajaran yang baik bagi dia."
"Apakah maksud perkataanmu itu? sahut si ibu, yang tiada mengerti
ujud perkataan suaminya itu.
"Maksudku begini: Kalau si Tohir salah harus dimarahi, kalau perlu,
jangan segan memakai pemukul."
"Perkataan apakah itu? Anak hanya satu, kausamakan lagi dengan
anak yang telah besar. Bukankah ia masih kecil? Kalau sudah besar
tentu ia tahu, mana yang salah, dan ia pun sudah tentu takkan mau lagi
berbuat yang salah itu."
"Ia masih kecil, saya tahu juga," sahut si bapak. "Akan tetapi kalau
tiada ia beroleh teguran akan kesalahannya yang sekarang, nanti lamalama,
bila ia sudah besar, tak tahu lagi ia perbuatannya yang salah;
karena pada waktu kecilnya ia berbuat demikian, dan tiada dimarahi
orang tuanya. Lagi pula harus kauingat, manusia itu lahir ke dunia
membawa tabiat yang baik dan buruk. Dua-dua mesti ada, akan tetapi
selama orang itu masih anak-anak belum nyata benar; tetapi kalau
diperhatikan nyata juga. Adapun tabiat atau sifat yang tiada baik, yang
ada pada anak itu, sama halnya dengan benalu. Pada mulanya kecil,
akan tetapi selamanya bertambah-tambah rimbunnya dan akarnya pun
makin panjang. Bagaimana kesudahannya? Kayu tempat benalu itu
tumbuh, makin lama makin kurus dan merana, dan kesudahannya
binasa oleh benalu itu. Demikianlah halnya dengan tabiat yang buruk,
yang ada tersimpan dalam hati seorang anak. Selama anak itu kecil tak
tahu ia tabiatnya itu buruk; itu karena pikirannya masih terlalu muda
akan membedakan yang baik dan yang jahat. Anak itu makin besar dan
tabiat yang buruk itu makin menjalar dalam hatinya. Betapa kejadiannya
kelak? Anak itu tiada menjadi manusia yang baik, sebaliknya ia
jadi orang yang jahat; semua sifat yang baik telah musnah dimakan
akar benalu tadi, yang membinasakan hati dan jiwa anak itu, dan ... ia
pun rusak binasalah.
Kalau dipikir panjang, siapakah yang salah? Tentu orang tuanya.
Bukankah seharusnya bagi orang tua memelihara anaknya? Bukanlah
badannya saja yang harus dijaga, akan tetapi jiwa anak itu pun harus
dipelihara, ya, lebih lagi dari badannya. Kalau nampak benalu itu,
haruslah dipotong dan akar-akarnya dicabut sama sekali, supaya kayu
itu subur tumbuhnya. Inilah pekerjaan dan kewajiban orang tua kepada
anaknya, karena kalau anak itu binasa hidupnya di belakang hari dan
jiwanya jadi makanan api neraka, tentu si ibu dan si bapaklah mendapat
hukuman yang berat pada hari kemudian, karena barang yang
dikurniakan Allah itu disia-siakannya."
"Jadi maksudmu, kita harus berlaku keras kepada si Tohir, bukan?"
jawab si ibu. "Amat pandai engkau berkata-kata; kaubawa ke sana,
kauumpamakan ke mari, tapi kesudahannya memberi nasihat, yang
tiada mungkin di hati ibu, yang mengasihi anaknya sebagai darahnya,
ya, lebih lagi dari dirinya."
"Engkau jangan sebebal itu," ujar suaminya dengan suara agak
keras, karena ia agak kesal, oleh sebab perbuatan istrinya itu. "Aku
pakai kiasan, supaya engkau mengerti benar-benar. Bukankah kautahu,
anak itu boleh diumpamakan dengan kayu? Waktu kecil kayu itu
mudah dibengkokkan; kalau sudah besar tak dapat lagi: kalau
dibengkokkan sekuat-kuatmu ia akan patah."
"Ya, tahulah aku di bengkok-bengkokmu itu," sahut si ibu
merengus, "akan tetapi perkataanmu itu takkan didengar oleh ibu yang
kasih kepada buah hatinya. Perempuan yang memandang anaknya
sebagai barang yang menyusahkan kehidupannya, maulah barangkali
menurut nasihatmu itu."
"Lebih baik engkau diam, kaulah yang membinasakan budak itu,
sesal yang tiada berkeputusanlah hasil perbuatanmu bersitegang urat
leher itu," kata suaminya dengan suara besar, karena ia tak dapat lagi
menahan marahnya.
"Tahulah aku kasih bapak kepada anak," sahut si ibu.
"Diam! Lebih baik engkau menutup mulutmu, perempuan ce....!
Astaga, hampir aku berdosa, lebih baiklah aku pergi," kata suaminya
dalam hatinya. Ia pun meninggalkan istrinya yang membawa anaknya
ke dunia ini, akan tetapi bukan si ibu yang memelihara hati dan jiwa
manusia yang dilahirkannya itu.
Demikianlah halnya didikan yang diperoleh Sutan Baringin pada
waktu kecilnya. Setelah ia besar, benarlah sebagai perkataan bapaknya.
Ia tiada menjadi orang yang berkelakuan baik dan patut. Hormatnya
kepada orang tuanya pun kuranglah daripada yang biasa. Setelah
bapaknya meninggal dunia, tinggallah ia dengan ibunya dan seorang
saudaranya perempuan yang masih kecil. Sekarang timbullah pikiran
dalam hati ibunya hendak memperistrikan anaknya itu. Meskipun si
Tohir<nowiki>*)</nowiki> menjadi anak muda, tetapi apa-apa keperluan orang yang
berumah tangga, belum diketahuinya. Ibunya berpikir, "Siapa tahu usia
manusia ini. Kalau anakku bagaimana-bagaimana di belakang hari dan
ia belum diperistrikan, sudah tentu hilanglah nama bapak dan neneknya
dari atas dunia ini." Itulah sebabnya, maka ibunya lekas mengambil
anak dara untuk jadi istri anaknya itu. Lagi pula kalau anaknya itu
sudah kawin, tentu hatinya lekas tua dan perangainya berubah menjadi
baik.
Pikiran yang serupa itu acap kali didapati pada setengah penduduk
kampung, yang kurang mengindahkan hal perkawinan yang serupa itu
di belakang hari. Mereka itu memandang perkawinan itu suatu
kebiasaan, yakni kalau anaknya yang perempuan sudah genap umurnya
harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah
ia lekas dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak, kalau
orang tua terlambat memperistrikan anaknya.
") Si Tohir, yaitu Sutan Baringin. Menurut kebiasaan orang Batak
yang mendiami Tapian na Uli, adalah dua nama yang dipakai
masing-masing laki-laki. Satu nama yang diberikan pada waktu
mudanya, artinya sebelum ia kawin. Sesudah kawin, orang itu pun
mempunyai nama yang kedua. Inilah yang disebutkan gelar.
Demikianlah juga si bapak yang dalam cerita ini; waktu anak-anak
ia dipanggil si Tohir, dan Sutan Baringin gelarnya, sesudah
beristri.
Perkawinan memang suatu adat dan kebiasaan yang harus dilakukan
tiap-tiap manusia, bila sudah sampai waktunya. Tuhan yang
menjadikan segala yang ada, itulah yang mengaturkan yang demikian
bagi kita yang mendiami bumi ini, karena la pun menjadikan seorang
laki-laki dan seorang perempuan Adam dan Siti Hawa dan kedua
manusia itu disuruhnya hidup bersama-sama, tolong-menolong,
berkasih-kasihan sama sendirinya. Maka adat yang telah diaturkan
itulah yang kita turut. Tapi menurut sebaiknya haruslah kita pikir lebih
panjang, adakah perkawinan itu akan membawa kesenangan dan
keuntungan bagi laki-laki dan perempuan kedua belah pihak. Dan tali
pengikat perkawinan itu haruslah hendaknya kuat benar, supaya jangan
acap kali kejadian perceraian atau talak, karena inilah suatu hal yang
merusakkan kesempurnaan dan kesenangan orang yang berlaki istri.
Cobalah kita kenangkan, betapa sedihnya hati melihat seorang laki-laki,
yang menceraikan bininya yang sedang mengandung, yang dikurniakan
Tuhan, karena ia memberkati perkawinan yang diaturkannya di antara
hambanya. Kalau anak yang dikandung itu nanti lahir ke dunia, wah,
betapakah pedihnya perasaan hati si ibu melihat anaknya itu. "Aduhai,
Anakku, tangkai kalbuku," katanya, seraya memandang anaknya yang
terletak di pangkuannya, dengan air matanya berjatuhan, "amatlah
malangnya bundamu dan anakku pun lahir ke dunia dengan tiada
mendengar suara bapakmu, karena ia membuangkan ibu dan engkau.
Kalau sekiranya bapakmu menaruh sayang kepadamu, meskipun ia
membenci ibumu, tentu tiada ia akan membuangkan aku, karena
engkau masih dalam kandunganku. Tetapi sekarang kita berdua
tiadalah berguna oleh bapakmu, apa boleh buat karena sudah demikian
takdir pada kita."
Tiadalah sedikit perempuan yang melarat, disebabkan nasib yang
serupa itu, kadang-kadang tiada ia segan memutuskan nyawanya, asal
bercerai daripada anaknya, karena tiadalah ia dapat melihat anaknya
mati tak mati, hidup tak hidup, oleh sebab tiada dapat pemeliharaan
yang sepatutnya. Ya, apa boleh buat, sedang badan si ibu masih kurus
dan mukanya pun pucat, karena baru melahirkan anaknya itu; apalah
dayanya akan mencari makanannya dan keperluan anaknya itu.
Daripada melihat keadaan anaknya yang serupa itu, lebih baiklah
membunuh diri, karena maut sajalah yang dapat melepaskan dia
daripada untungnya yang celaka itu.
Itulah kesudahan perkawinan yang tiada terikat dengan tali percintaan.
Sebagai sebuah contoh betapa kemelaratannya perkawinan
yang tiada kukuh itu, ada tertera di bawah ini:
Seorang perempuan janda pekerjaannya menjadi koki dalam rumah
seorang Eropa di Jakarta. Perempuan itu ada mempunyai seorang anak
pekerjaannya menjadi penjaga anak tuannya yang masih kecil. Setelah
si anak berusia lima belas tahun, datanglah seorang muda meminta dia
akan jadi bininya. Si ibu pun menyampaikan permintaan orang itu
kepada anaknya itu.
"Apakah sebabnya ibuku mempunyai pikiran yang serupa itu," sahut
anak dara itu, "orang muda itu tak kukenal, ibuku pun tidak mengetahui
adatnya; saya masih anak-anak, apakah salahnya kita lebih lama lagi
bersama-sama? Apakah yang ibuku susahkan; kalau ibu tiada kuat
bekerja lagi, biarlah saya sendiri makan gaji; barang pendapatanku itu
cukuplah rasanya kita makan berdua."
"Jadi maksudmu tak akan bersuami? Itu tiada patut di mata dan di
hati orang," kata ibunya.
"Bukan maksud saya akan menyimpang dari adat itu. Akan tetapi
sebagai kata saya tadi, orang muda itu tiada kukenal; maklumlah ibuku,
kota ini amat ramai. Lagi pula saya belum dewasa benar," jawab anak
itu.
Akan tetapi sebagai kebiasaannya, orang tua itu beroleh maksudnya
juga, karena si anak tiada berani mempertahankan dirinya. Meskipun ia
telah melihat dahulu kemelaratan, yang akan menimpa dirinya, tiadalah
sampai hatinya menolak dengan keras maksud orang tuanya, yang
kadang-kadang mempergunakan ancaman kepadanya.
Demikianlah anak dara itu kawin juga dengan laki-laki yang tak
dikenalnya itu. Pekerjaan suaminya itu tak diketahuinya dengan
sebenarnya, hanya menurut cerita orang, ia ada seorang mandur. Di
mana? Mandur apa? Itu tak diketahuinya.
Dua bulan sudah kawin, meninggallah ibunya. Ia mati itu tentu
bersenang hati, karena ia sempat melihat anaknya sudah bersuami, yang
memelihara dan menyayangi anaknya yang seorang itu, lebih daripada
orang tuanya. Akan tetapi tiadalah dipikirkannya. Betapakah nasib
anaknya dalam tangan menantunya itu, bila dia tiada lagi?
Ada juga barang dan uang peninggalan mandiang si ibu, meskipun
tiada banyak, tapi cukuplah untuk orang kebanyakan. Setahun lamanya
anak perempuan itu hidup dengan suaminya barulah ia tahu benar,
suaminya itu orang pemboros benar. Nafsu bekerja tak ada padanya,
kesukaannya hanya menyenang-nyenangkan diri saja. Sudah tentu
sekalian uang peninggalan mentuanya itu habis dan barang-barang diangkut
ke rumah gadai. Pencarian istrinya itu pun, karena ia masih
tetap juga bekerja di rumah tuannya, tiada tinggal, tandas sama sekali,
sebagai hujan jatuh ke pasir. Uang habis, barang sudah tersimpan di
gudang rumah gadai, si suami hilang lenyap, pergi entah ke mana.
Siapakah dapat mencari dia, di kota yang seluas dan sebesar itu? Kalau
ia lari ke Bandung, Semarang, Medan, biar setahun pun dicari, tak akan
berhasil. Lagi pula siapakah yang menyusul dia, polisi? Tentu tidak. la
tiada membunuh orang atau membongkar rumah.
Perempuan yang malang itu tiada mempunyai ibu dan bapak lagi,
tinggallah seorang diri, dengan tiada mempunyai uang sepeser dan
barang sepotong juga, lain daripada pakaian yang lekat di badannya.
Sekarang ia tinggal di kampung, dalam sebuah rumah bambu, sebuah
pondok, karena dua minggu yang lewat ia sudah berhenti bekerja di
rumah tuannya. Sebab ia tiada kuat lagi, karena percampurannya
dengan suaminya diberkati Tuhan dan hampirlah genap bulannya anak
itu dalam kandungannya. Tuannya perlu memakai pembantu, tentu
perempuan itu harus dilepaskan, akan mengambil orang lain. Dengan
menyerahkan nasibnya kepada Allah, perempuan yang sedang
mengandung itu, diam di kampung, dalam sebuah pondok kecil, karena
itu sewanya yang murah. Tenang dan sabar si ibu yang belum berumur
tujuh belas tahun itu, memikirkan untungnya, sebab ia menunggununggu
kelahiran anaknya. "Kalau anakku ini lahir dengan selamat,
barangkali ia membawa perubahan dalam kehidupanku. Sudah tentu
bapaknya bergirang hati melihat tetesan darahnya iVu. Bila ia berbesar
hati, karena kelahiran anak kami ini, sudah tentu terbitlah kecintaan
dalam hatinya, kecintaan kepada anak dan istri, karena akulah yang
melahirkan kesukaan hatinya itu. Aku pun dapatlah mencari pekerjaan
dan suamiku pun tentu berubah kelakuannya, karena ia sekarang
memikirkan keselamatan kami. Anak-beranak hidup bercinta-cintaan,
dan di mana cinta dan sayang itu, di situlah damai dan kesenangan,"
demikianlah pikiran dan harapan perempuan yang sedang hamil itu.
Betul amat sakit penanggungannya dalam pondok bambu yang
berlantaikan: tanah itu, akan tetapi harapannya itulah yang membagi
dia kekuatan akan memikul kemiskinan yang pahit itu. Dan apalah
gunanya dia terlampau bersusah hati, cincin, ikat pinggang, kalau perlu
baju dan sarung, masih ada yang akan digadaikan akan pembeli beras
untuk dimakan. Lagi pun yang ditunggu-tunggu, tak akan lama lagi,
yakni kelahiran anaknya itu. Bukankah anaknya itu nanti sebagaimana
harapannya yang akan membawa sinar kesukaan dan mengusir awan
kedukaan, sebagai kabut yang lenyap oleh sinar matahari pagi?
Dua hari lagi sebelum ia melahirkan, itulah kiranya waktu suaminya
meninggalkan dia. la tinggal seorang diri, tiada mempunyai kaum atau
kenalan. Aduh, betapakah sedihnya hal sebagai ini bagi perempuan itu!
Betapa penanggungan pikiran dan badannya pada waktu ia hamil itu,
pada waktu ia nanti melahirkan anak, anak yang diterimanya dari
suaminya, anak yang akan diserahkan kepada suaminya. Ah, sungguh
amat sedih! Kesedihan itu rasanya tak dapat dituliskan dengan pena,
karena sudah lebih daripada yang patut.
Hari yang dinantikan si ibu pun tibalah, anak yang dikandungnya itu
lahirlah dengan selamat. Tiga minggu lamanya dapatlah ia turun dan
bekerja sedikit, sekadar mencuci dan menanak nasi yang akan dimakannya.
Syukurlah dalam waktu yang sekian lama itu, orang yang
berdekatan dengan dia, menaruh kasihan kepadanya. Adapun anak
yang lahir itu, seorang anak laki-laki. Amatlah bersih dan bagus, gemuk
dan subur tubuhnya. Tak salah ibunya bergirang hati, sebagai ibu yang
lain setelah anaknya lahir.
Bukankah penanggungan perempuan yang sedang melahirkan itu,
penanggungan manusia yang sesakit-sakitnya di atas dunia ini? Akan
tetapi bagaimanapun sakitnya penanggungan itu, demikianlah besarnya
kegirangan hati si ibu itu, setelah ia melihat anaknya itu. Adakah lagi
barang yang kita peroleh di bawah langit ini, yang lebih menghiburkan
hati si ibu itu daripada kelahiran seorang anaknya?
Anak sudah lahir, harapan si ibu pun telah terbang semuanya.
Benarlah anaknya itu membawa perubahan, tetapi perubahan yang
buruk juga. Langit itu makin tebal ditutupi awan; kabut semakin gelap,
sehingga matahari pun tiada lagi memancarkan cahayanya.
Demikianlah kehidupan perempuan yang malang itu. Dahulunya
kurang percayanya, suaminya itu benar-benar meninggalkannya,
sekarang barulah ia tahu, karena genaplah sudah umur anaknya itu
sebulan, suatu pun tiada ia mendengar kabar suaminya itu. Apakah
daya si ibu itu sekarang? Barang yang akan dijual tak ada lagi. Hendak
bekerja, tiada kuat, karena badan kurus dan tiada bertenaga. Bukankah
banyak dirasa dan ditanggung si ibu, waktu anaknya lahir? Jadi tiadalah
mengherankan, kalau si ibu yang tiada dapat pemeliharaan yang baik
dan makanan yang cukup, menjadi kurus dan pucat. Kadang-kadang
menjadi bahaya bagi jiwanya.
Ibu yang muda itu pun sampailah kemelaratannya. Bagaimanakah ia
hendak mencari pekerjaan, kalau badan kurus dan sakit-sakit? Betapakah
tiada demikian, karena sejak ia melahirkan anak, tiadalah memakan
makanan yang menguatkan badan. Syukurlah ia tiada mati kelaparan,
sebab masih ada orang yang membagi nasi kepadanya, karena iba hatinya
melihat. Memberi yang lebih dari itu, takkan mungkin, karena yang
berdekatan rumah dengan dia itu pun orang miskin pula. Betul
perempuan yang melarat itu tahu, bahwa sisa-sisa makanan dari meja
tuannya kadang-kadang dapat dimakannya, waktu ia bekerja, akan
tetapi sekarang tentu tiada berguna lagi ia mengharapkan semuanya itu.
Apakah pertaliannya sekarang dengan tuannya yang dahulu? Bukankah
ia sudah lepas, dan orang lain yang menggantikannya? Boleh jadi
dalam kemelaratan yang sangat itu, timbul kadangkadang pikiran yang
demikian, "Aku mati kelaparan, tetapi orang yang kaya makan berlebih-
lebihan."
Akan tetapi sudahlah demikian halnya, manusia itu mempunyai
nasib bermacam-macam, dan bumi itu penuh dengan rupa-rupa tamasya
dan kejadian.
Semua ada ukurannya. Jikalau tabung itu diisi terlampau penuh,
sudah tentu ia rebah dan isinya tertumpah sama sekali. Si ibu sakit dan
kurus, air susu pun tentu jadi kurang, kelak anak dan ibu sama-sama
melarat. Inilah yang akan dihindarkan perempuan itu. Ibu amat cinta
kepada anaknya dan kecintaan ibu itu acap kali menjadikan orang lupa
akan dirinya; ia mengurbankan badan dan nyawanya untuk keselamatan
anaknya. "Aku binasa tiada mengapa, asal anakku ini selamat," pikir
ibu yang malang itu. la pun memberikan anaknya itu kepada seorang
kaya. Orang itu sudah lama menyuruhkan orang meminta anaknya itu,
karena ia tiada beranak. Lagi amatlah inginnya melihat anak yang
bagus dan gemuk itu. Uang pembelinya pun tiada dipedulikannya,
seberapa akan diminta oleh ibu anak itu, sebegitu dibayarnya.
Bukankah sebenarnya dunia ini penuh dengan kejadian? Orang kaya
itu bercintakan anak, akan tetapi istrinya tiada melahirkan anak.
Kelahiran anak menyusahkan ibu sebagai tersebut dalam cerita ini,
akan tetapi perkawinannya dengan suaminya diberkati Allah yang
mahatinggi. Bukanlah hal itu mengherankan hati? Akan tetapi
demikianlah rupanya keadaan dunia ini.
"Berapa ratus rupiah kauminta?" tanya orang kaya itu kepada ibu
anak yang mengantarkan buah hatinya itu.
"Aku tiada ingin beroleh uang, Tuan," sahut perempuan itu
perlahan-lahan. "Sebabnya aku serahkan anakku ini ke tangan tuan,
tuan maklum juga, bukan sebab memandang uang, hanyalah keselamatan
anakku ini di belakang hari ...."
Di sini terpaksa perempuan itu terdiam, lidahnya tiada berdaya
meneruskan percakapannya, hanya air matanya saja yang mengalir di
pipi yang pucat dan cekung itu, menunjukkan kepada orang yang melihat
dia, betapa beratnya perasaan si ibu bercerai dengan anaknya.
"Ya, ya, jangan susah, jangan susah hati," sahut orang kaya itu,
sambil menggoyang kursinya. Ia pun membuka pundi-pundinya lalu
mengeluarkan uang kertas beberapa helai, lalu katanya, "Pulanglah,
bawalah uang ini akan belanjamu!"
"Tunggu dahulu, Tuan," jawab perempuan itu, seraya memberikan
anaknya yang lagi tidur nyenyak, tiada tahu akan dirinya, bahwa sejak
dari waktu itu tiada akan merasa air susu ibunya lagi, kepangkuan istri
orang kaya itu.
"Uang tuan itu tak dapat kuterima, sebab tiada berguna bagiku;
bahkan uang itu sebagai racun bagiku. Uang yang tuan berikan akan
harga anakku itu akan kubelanjakan, sekali-kali tidak, karena tiadalah
sampai hati kuberbuat yang demikian itu, yaitu hidup dengan harga
badan dan nyawa anakku. Bukankah aku seolah-olah memakan daging
dan meminum darahnya, jika aku menerima uang itu? Tak usah Tuan!
Hanya permintaanku yang dua pasal ini, yang kuharap tuan lakukan
dua laki-istri. Pertama: tuan peliharakanlah anakku yang malang ini
sebagai anak tuan sendiri. Kedua, kalau ia nanti sudah besar dan bila ia
bertanyakan orang tuanya, berkata benarlah tuan, sebab tuan pun tahu
juga halku. Jangan tuan lupa menyebutkan, apa sebabnya ia kuserahkan
ke tangan tuan. Itu pun kalau ia bertanyakan orang tuanya, kalau tiada,
tuan rahasiakan sajalah. Kalau ia nanti hendak mencariku, tuan larang,
sebab tiada gunanya, sudah tentu aku takkan didapatnya lagi; rasanya
matahari yang akan terbit besok pagi, sinarnya takkan kulihat. Inilah
tanda peringatanku untuk dia," ujar perempuan itu sambil memberikan
perhiasan rantai lehernya. Di tengah-tengah perhiasan yang bundar itu
ada gambarnya yang berpinggirkan emas.
Orang kaya itu pun menerima tanda peringatan itu, lalu dimasukkannya
ke kantungnya. Setelah itu ia pun berkata, "Uangmu ini
hendak kusimpan, dan apabila berguna bagimu, beri kabar kepadaku,
nanti kukirim ke tempat tinggalmu."
Perempuan itu tiada menjawab, matanya tiada lepas daripada anaknya,
yang tidur dengan nyenyaknya di atas pangkuan istri orang kaya
itu.
Tengoklah, bagaimana si ibu itu bercerai dengan anaknya, anak
yang dilahirkannya dalam penanggungan yang tiada terderitakan itu.
Matanya tiada kering oleh air mata. Dengan tersedu-sedu ia memegang
kedua belah tangan anaknya itu dengan perlahan, supaya ia jangan terbangun
dari tidurnya.
"Selamat ... selamat tinggal ... cahaya mataku, buah hati ibumu ....!
Di dunia kita bercerai ... di akhirat kita bertemu." Lebih panjang tiada
dapat ibu muda itu berkata lagi. Kepalanya ditundukkannya, dipeluknya
budak itu, serta diciumnya berulangulang, yaitu cium yang penghabisan
sekali.
"Selamat tinggal anakku yang amat kucintai!" berseru si ibu sekali
lagi, lalu ia pun berjalan ke luar rumah itu. Sekali lagi ia menengok ke
belakang, akan melihat kesayangannya itu. Itulah pandang yang
penghabisan.
Demikianlah kesudahannya cerita yang sedih ini. Bagaimanakah kesudahan
si ibu dan si anak itu?
Kesudahannya tiadalah diketahui. Tetapi dari perkataannya, "Esok
hari takkan kulihat lagi cahaya matahari naik," menyatakan, bahwa ia
tak ada di dunia lagi. Bagaimana kematiannya, sudah tentu sungguh
sedih dan ngeri! Tapi apa boleh buat, karena orang yang pendek akalnya,
kalau hidupnya sudah terlampau melarat, tiada ia memandang
nyawanya lagi. "Daripada hidup serupa ini, lebih baik mati membuang
diri." Begitulah kebiasaan keputusan pikiran orang, yang menanggung
serupa itu.
Nyatalah sekarang betapa berbahayanya perkawinan yang dipaksakan
itu, yang tiada disertai cinta kasih keduanya.
Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuang
adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada
manusia itu. Bukankah perkawinan yang lekas-lekas itu membinasakan
perempuan? la dikawinkan oleh orang tuanya dengan orang yang tiada
disukainya. Apa sebabnya ia tiada suka kepada orang itu? Sudah tentu
karena ia tiada mengenalnya. Perkawinan yang serupa itu kerap kali
disudahi kengerian. Sungguh benar! Yang tersebut di atas ini; hanyalah
sekedar keterangan saja. Kalau diceritakan sekalian apa yang dilihat
tentang kemelaratan orang yang kawin, yang tiada dikukuhkan oleh
suka, sayang dan cinta, tentu buku ini penuh dengan kisah sedih-sedih.
Tengoklah sekeliling kita, tidak kurang yang sebagai itu. Kalau kita
bertempat tinggal di negeri besar-besar sebagai Jakarta, Bandung,
Semarang, Medan dan lain-lain tentulah akan terlihat dengan mudahnya
kemelaratan manusia disebabkan talak. Berapa puluh, berapa ratus
perempuan yang berkeliaran pada waktu malam, ya, juga pada siang
hari, melakukan pekerjaan yang tiada senonoh. Mereka itu tiada menghargakan
kehormatannya lagi; agama tiada diindahkannya dan kalau
dapat, undang-undang pun hendak dilanggarnya.
Akan kemelaratan dan kecelakaan yang ditimbulkan perempuan
yang serupa itu, tiadalah akan diuraikan di sini, melainkan semua orang
telah memakluminya, betapa hina dan buruknya pekerjaannya itu,
karena bukanlah agama saja yang melarang, tetapi adat pun mengutuknya.
Sekarang tentu ada orang yang akan bertanya: Apakah sebabnya,
maka perempuan-perempuan itu tiada memandang kehinaan, tiada
takut akan Tuhan dan agama? Karena kalau mereka itu masih
mengindahkan sekalian yang tersebut, tentu mereka tiada akan berlaku
sehina itu.
Sebabnya memang ada; karena perempuan-perempuan yang sedemikian
itu, bukannya lahir ke dunia, supaya menjadi orang yang
serupa itu.
Dengan ringkas dapat dijawab pertanyaan itu. Kebanyakan disebabkan
talak. Sesudah ia diceraikan oleh lakinya, tentu keadaannya
semakin buruk. Badan sudah bertambah tua, tiada berada, kaum kerabat
pun tak ada atau jauh tempatnya. Hendak kawin sekali lagi tak
mungkin, karena rupa sudah berkurang eloknya. Jadi apa kesudahannya?
Disebabkan hati susah, dipaksa kemiskinan, ia pun lupa akan
Tuhan, lalu menjadi perempuan .... Ada pula setengahnya kawin dua
tiga kali lagi, tetapi karena selalu diceraikan si laki-laki yang tiada berperasaan
itu, ia pun ingkar dan tiada lagi mempedulikan malu dan aib.
Dalam hal ini kesalahan itu tak dapat dijatuhkan kepada perempuanperempuan
yang malang itu, tetapi semata-mata laki-lakilah yang bersalah
besar. Oleh sebab perbuatan laki-laki itulah, maka perempuan
sesamanya makhluk Allah itu, gugur ke lubang kemelaratan, sehingga
badan dan jiwanya rusak binasa.
Allah subhanahu wa taala menjadikan laki-laki dan perempuan dan
mempersatukan mereka itu dengan maksud, supaya mereka itu
berkasih-kasihan; si perempuan menyenangkan hati suaminya dan si
suami menghiburkan hati istrinya. Maka seharusnyalah mereka itu
sehidup-semati, artinya; sengsara sama ditanggung, kesenangan sama
dirasa. Itulah kewajiban orang yang berlaki-istri. Maka perkawinan
yang serupa itu adalah membawa bahagia kepadanya. Sebab itu seharusnya
janganlah dilupakan akan ujudnya perkawinan yang diaturkan
Tuhan itu. Janganlah ada lagi kita, yang memandang dia, sebagai
perkara kecil dan mempergunakan aturan yang suci itu akan keperluan
sendiri, sehingga kesudahannya pihak perempuan banyak yang jatuh
terjerumus ke dalam ngarai, yang penuh dengan azab dan sengsara
yang tiada berkesudahan!
Sudah jauh kita meninggalkan pokok cerita ini, disebabkan paparan
tentang ibu Sutan Baringin yang mengawinkan anaknya itu dengan
lekas-lekas. Akan meneruskan cerita ini, baiklah diceritakan dahulu
kisah kehidupannya dan hal perkawinannya dengan istrinya itu.
Adapun anak dara yang dijodohkan ibunya itu, adalah seorang
perempuan yang mempunyai kelakuan yang baik. Seberang tingkahlakunya
sedikit pun tiada dapat dicela. Tertib dan sikapnya pun adalah
menunjukkan kebangsawanannya, artinya setia dan penyabar. Keadaan
itu tampak pada air mukanya yang jernih dan pada matanya yang bercahaya.
Bila dilihat pakaian dan perhiasan dirinya, tahulah kita, bahwa
ia seorang perempuan yang tiada menyukai pakaian yang berlebihlebihan,
karena sekalian barang yang terlekat pada badannya, adalah
menunjukkan, ia orang perendah dan gemar kepada kesederhanaan.
Akan tetapi meskipun ia memakai dengan sederhana, adalah rupa dan
romannya bertambah cantik, karena kecantikannya itu mengalahkan keelokan
pakaiannya itu. Tiadalah sebagai kebanyakan perempuan, yakni
perhiasan lebih bagus daripada badan yang dihiasi; kesudahannya yang
dihiasi itu bertambah buruk atau kebagusannya makin kurang, oleh
sebab dialahkan barang yang menghiasi tubuhnya itu. Adapun tabiat
dan adat perempuan itu berlawanan dengan fiil Sutan Baringin. Ia
penyabar dan tutur bahasanya lemah-lembut; suaminya orang yang
suka marah-marah dan perkataannya pun tiada berapa menyenangkan
hati orang yang mendengarkan. Perempuan itu pengiba, peramah serta
tahu menghormati orang; akan Sutan Baringin adalah sebaliknya:
bengis, angkuh dan hatinya amat tinggi, tiada tahu ia akan hormat
kepada orang lain. Tentang kebaikan perempuan itu dan keburukan
perangai yang laki-laki itu akan terlihat lagi kelak di belakang hari.
Akan tetapi sekarang pun sudah diketahui juga akan tabiat orang itu,
masing-masing jauhlah daripada bunyi pantun ini:
Jeruju dengan durinya,
di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya,
seperti bulan dengan matahari.
Karena itu dapatlah dimaklumi, bahwa percampuran yang demikian
itu kurang kekalnya; dan nikmatnya pun tentu hilang. Meskipun Sutan
Baringin kurang menyayangi istrinya itu, cinta yang sebenar-benarnya
tiadalah terkandung di dadanya terhadap kepada Nuria adalah pada
pemandangan orang luar, perkawinan mereka itu tiada kurang suatu
apa. Nuria seorang perempuan sejati, selamanya mengusahakan dirinya
akan menutup barang sesuatu apa yang kurang antara kedua mereka itu,
serta menerbitkan kecintaan di dalam hati suaminya. Tahulah ia
rupanya, apa-apa kewajiban perempuan kepada suaminya. Oleh sebab
itu tiadalah ia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan
sepenuh-penuh hati. Seorang pun tiada mengetahui hal itu, hanya ia
sendirilah yang tahu, karena dirasanya benar-benar; acap kali ia
bertanya dalam hatinya, "Apakah sebabnya hati dan pikiranku kurang
terikat kepada suamiku? Kalau ia dalam perjalanan, kuranglah rinduku
kepadanya. Kadang-kadang adalah aku melupakan dia.
Pada waktu mudaku, aku pernah menanggung rindu kepada orang
yang acap kali datang bertandang<nowiki>*)</nowiki> ke rumahku.
Ini aku sudah kawin dengan dia dan kami sudah sekian lama
bersama-sama. Tetapi sungguhpun demikian, tiadalah berapa cintaku
kepadanya. Ia, suamiku, kurang kucintai; orang muda pertandangku<nowiki>**)</nowiki>
kurindui. Sudah tentu aku berdosa kepada suamiku.
Akan tetapi apakah sebabnya itu, karena bukan kusengaja. Tiadalah
kusengaja dahulu menaruh rindu kepada orang muda itu; karena
persahabatan kami timbul dari pergaulan. Di belakang hari
persahabatan itu makin dalam di hati kami, sehingga di antara kami
berdua tumbuh percintaan. Tumbuh percintaan? Memang, karena
bukan kulihat dia sebagai pohon kayu tumbuh, tetapi kurasa; terasa
benar-benar dalam hatiku: Makin lama makin besar cinta itu, sebagai
tanam-tanaman. Lama-lama berurat dan berakar, sehingga aku menaruh
rindu dendam kepadanya. Dia pun demikian juga. Meskipun pada
mulanya aku sembunyikan perasaan itu, tapi pada suatu ketika, sedang
kami duduk berdua saja, ia berkata, "Nuria, selama ini perasaanku
kurahasiakan. Sekarang aku tiada dapat menahan dia lagi, dan
terpaksalah aku mengatakannya: Aku cinta kepadamu. Sekarang
haraplah aku, Nuria berkata benar, adakah Nuria menaruh sedikit
perasaan kepada diriku ini." Mendengar itu, air mukaku berubah,
seraya jawabku, "Perasaanku kepada tuan tiada sedikit, tuanlah yang
menjadi buah angan-anganku."
Sejak itu makin kukuh persahabatan kami, sehingga orang berkata,
bahwa dialah yang akan menjadi jodohku di belakang hari. Sayang!
Orang tuaku tiada setuju. Kalau jadi, sudah tentu aku dapat mengecap
kenikmatan orang berlaki-istri itu, sebagaimana kukenang-kenangkan
pada waktu hari mudaku. Akan tetapi cita-cita itu sudah lenyap, sebagai
kabut ditiup angin. Yang lain, yang tiada disangkasangkakan, itulah
yang terletak di hadapanku sekarang. Sungguh amat menyusahkan hati,
sedang badanku masih muda. Inilah dia waktu yang pertama dalam
perkawinanku, sudah pula begini halnya, betapa pula di belakang hari.
Tapi suatu pun tiada faedahnya aku berkata-kata demikian, karena
perkawinan sudah lalu, tiadalah dapat diundurkan lagi; orang berumah
<nowiki>*)</nowiki> "Martandang" bahasa Batak; dalam bahasa Melayu
"bertandang". Adapun arti semata perkataan "martandang"
itu, ialah mengunjungi orang, dengan maksud hendak
bercakap-cakap. Martandang itu dipakai biasanya kepada
orang muda-muda, karena dalam adat orang Batak bebaslah
orang muda laki-laki datang martandang (mengunjungi)
perempuan-perempuan muda. Maka pada waktu itulah
mereka mendapat waktu yang baik akan berkenal-kenalan.
Adat ini memudahkan bagi laki-laki akan mencari anak dari
yang disetujuinya menjadi istrinya.
<nowiki>*)</nowiki> Pertandang, yaitu laki-laki yang mengunjungi perempuan, ke
rumah untuk berkenal-kenalan.
itu tiada sebagai berdayung, kalau ada barang yang mengalang biduk
dapat dikelokkan. Baiklah aku sabar, dan siapa tahu nanti, barangkali
jerih payahku berbuah. Dan kuusahakanlah diriku untuk suamiku,
karena dialah yang mempunyai aku, dialah yang menjadi tuan dan
rajaku."
Sebenarnyalah perkataan Nuria itu, maksudnya itu pun amat suci,
tetapi amatlah susah diperolehnya. Bagaimanakah ia dapat mencintai
suaminya dengan sepenuh-penuh hatinya, jika yang dicintai tiada
menaruh cinta kepadanya? Sudah tentu tangan kita sebelah kiri tiada
dapat bertepuk, kalau tangan kanan tiada turut.
"Berumah itu tiada sebagai berdayung, yakni kalau biduk tertumbuk,
boleh dikelokkan," katanya tadi.
Akan meluaskan pemandangan dan akan mengetahui sedikit adat
lembaga orang di tanah Batak, baiklah diterangkan arti kalimat itu.
Kalimat itu sebenarnya peribahasa orang Batak, dan adalah kira-kira
begini salinannya dalam bahasa Indonesia. Dari peribahasa itu tahulah
kita, bahwa perkawinan di sana amat kukuhnya. Perkara talak satu, dua,
tiga, amatlah jarangnya kejadian. Kehinaan besar dipadang orang kalau
seorang laki-laki menceraikan bininya. Perempuan yang meminta talak
itu pun tiada berharga di mata orang; kawin kedua kalinya amat susah
bagi dia, karena orang berkata dalam hatinya: "Perempuan itu tiada
baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau
mengambil dia akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya
hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu."
Hal itu menunjukkan juga, bagaimana kuat perkawinan orang Batak
yang sejati. Lebih lima belas tahun saya tinggal di kampung
kelahiranku, yang tiada berapa jauh dari Sipirok, tempat cerita ini
terjadi; tiadalah lebih dari dua kali saja, yang kulihat dan kuketahui
orang yang cerai. Sungguh amat jarang, bukan? Di negeri Medan hal
cerai-mencerai itu adalah seperti kejadian sehari-hari, sedang kawinmengawinkan
itu tiada ubahnya di mata mereka sebagai kebiasaan. Di
sana dengan mudah seorang laki-laki mengusir istrinya dan perempuan
yang meminta talak kepada lakinya tiada kurang. Demikianlah
banyaknya yang nampak seharihari. Jadi nyatalah bagi kita, bahwa
perkawinan orang di negeri ramai itu kuranglah kukuhnya, bila
dibandingkan dengan negeri kecil-kecil, meskipun penduduknya,
belum maju, sebagai sebutsebutan orang pada zaman ini. Maka barang
di mana perkawinan itu kukuh, di situlah langkah serong jarang
kejadian. Akan tetapi sayang, karena orang-orang yang diam di
kampung pun sekarang mulai mempermudah-mudahkan perkawinan
itu. Apakah gerangan yang menyebabkan ini? Sebab orang kampung
yang diam di tanah hulu-huluan juga sudah menurut kemajuan orang
kotakah?
Sebabnya dikatakan demikian, karena pada waktu ini makin acap
kalilah terdengar perceraian itu. Yang tersebut ini di daerah negeri
Sipirok. Karena dalam waktu empat tahun, selama saya meninggalkan
negeriku, lebihlah banyak terdengar orang yang menceraikan kawan
sehidupnya, bila dibandingkan dengan waktu lima belas tahun, waktu
saya masih tinggal di kampung. Bila kupandang hal perubahan yang
buruk itu pada lingkungan bangsaku, amatlah menyedihkan hati.
Hatiku sedih, karena, saya mencintai tanah airku. Maka barang siapa
mencintai tanah airnya itu, sudah tentu bangsanya yang mendiami
tanah itu, disayanginya juga. Kalau ada suatu penyakit atau kecelakaan
yang akan atau sudah menimpa bangsanya, sudah tentu ia mencari
daya-upaya akan menolong bangsanya, karena itulah suatu tanda yang
menunjukkan cinta tanah air.
Kesentosaan dan kenikmatan perkawinan di antara bangsaku terancam
oleh pengaruh talak, dan hal itu amat memilukan hatiku. Apakah
yang menyebabkan itu? Kemajuan yang salahkah atau karena dunia
sudah tua? Sebabnya yang pasti, belumlah kuketahui benar-benar, tapi
sungguh pun demikian saya mengusahakan diriku akan menolong
bangsaku itu.
Tiap-tiap orang bekerja menurut kekuatan dan kepandaiannya; saya
pun menolong bangsaku dengan hal yang demikian itu juga, sebab
dengan menulis buku inilah suatu jalan yang mudah bagiku
menunjukkan jasaku kepadanya. Cerita ini adalah suatu kumpulan apaapa
yang sudah kejadian, dengan maksud, supaya dibaca bangsaku.
Dan saya percaya, yang pembacaan ini membawa kebajikan. Oleh
sebab itu baca dan perhatikanlah. Moga-moga dia membawa bahagia
bagi lingkungan bangsaku yang miskin. Ya, sebenarnyalah bangsaku
miskin; karena tiada menaruh ilmu yang tinggi, sedang pembacaan
masih amat sedikit sekali.
Kita kembali kepada Sutan Baringin dengan istrinya si Nuria. Sudah
sepuluh tahun lamanya mereka bersama-sama. Dalam waktu yang
sekian lama itu tiadalah seberapa yang kejadian di antara mereka itu
anak-beranak. Ibunya masih hidup lagi dan istri nya telah melahirkan
dua orang anak. Yang sulung perempuan, bernama Mariamin, dan yang
bungsu laki-laki, baru berumur tiga bulan. Akan tetapi janganlah
disangkakan, mereka itu hidup dalam kesenangan. Betul bila dilihat
dari luar, tak boleh tidak orang akan berkata, "Orang beruntung
benarlah yang mendiami rumah ini."
Rumahnya besar dan bagus, sawah dan ladangnya lebar, harta
banyak, sedang bangsa pun cukup.<nowiki>*)</nowiki> Jika ditilik demikian, tiadalah
suatu jua yang menyusahkan orang itu. Akan tetapi hal itu sekalian,
tiada lebih daripada tirai yang menghambati pemandangan saja. Bila
kita mengangkat tirai itu dan menengok ke dalam, niscaya tahulah kita,
betapa mereka itu yang sebenarnya. Sutan Baringin anak yang terlalu
amat manja waktu mudanya. Sudah besar, tiadalah berubah
kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros.
Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya; jadi bukan
yang dicarinya dengan keringatnya. Semua tabiatnya yang buruk itu
dilihat oleh ibunya dengan hati kesal, karena takutlah ia, kalau-kalau
anaknya itu jatuh miskin; oleh karena sekalian nasihatnya tiada
diindahkan oleh Sutan Baringin. Sekarang barulah ia tahu kebenaran
perkataan suaminya itu: waktu kecil kayu itu dapat dibungkukkan, jika
sudah besar tak dapat lagi.
Kalau si ibu itu lama hidup lagi, tentu -ia melihat betapa kesudahan
hidup anaknya, yaitu rusak binasa dan amat melarat. Tapi syukurlah
baginya, karena ia meninggalkan dunia, setahun lebih dahulu daripada
kejadian yang akan diceritakan di sini. Sungguhpun demikian, amatlah
ia menyesal, setelah dilihatnya, anaknya itu, bukan seorang bapak yang
baik sebagai suaminya, ayah Sutan Baringin. Akan tetapi suatu pun
tiada lagi faedahnya sesalnya itu, hanya memahitkan kehidupannya
sampai pada saat yang penghabisan.
Setelah ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati
istrinya itu, karena tahulah ia benar-benar, bahwa suaminya itu tiada
akan mengubah kelakuannya itu lagi. Lebih-lebih sekarang, tiadalah
yang akan melarang atau memberi nasihat kepada dia; ibunya tiada
lagi, dan hidupnya sudah tentu menjadi lepas-lelas, suatu pun tak ada
lagi, yang mengalang-alangi kesukaannya. Apa yang ditakutkan mak
Mariamin itu benarlah kejadian. Pada permulaan Sutan Baringin
bertambah kerap kali meninggalkan rumah malam hari, karena ia pergi
ke kedai nasi atau ke rumah kopi. Maka di sanalah ia selalu bercakapcakap
dengan orangorang banyak; sudah tentu orang itu masuk
golongan orang yang kurang baik. Kalau ia pergi itu belum makan,
terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa
orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu.
<nowiki>*)</nowiki> Sebagaimana sudah dikatakan pada permulaan cerita ini adalah ayah Sutan
Baringin orang kaya dan golongan orang bangsawan, karena dia masih
keturunan raja-raja di Sipirok, tapi sudah agak jauh. Tandanya ia bersuku
Siregar, dan kebanyakan raja-raja di sana mempunyai suku Siregar. Jadi
bolehlah dikatakan suku Siregar itu golongan bangsawan di daerah Sipirok,
tetapi di tempat lain, lain pula. Umpama di Mandailing, Lubis, dan di
Angkola, Harahap. Akan tetapi sebagai di mana-mana, adalah kebangsawanan
itu sudah jauh kurang dipandang orang. Siapa yang pandai, kaya, serta
berilmu, ialah yang lebih dari orang bangsawan.
"Seharusnyalah kami bersama-sama makan, karena kuranglah baiknya,
kalau istri itu lebih dahulu makan daripada suaminya." Demikianlah
pikiran ibu yang setia itu. Kalau sudah berbunyi pukul delapan ia pun
memberi makan anaknya yang dua orang itu, lalu ditidurkannya;
kemudian pergilah ke kamar makan, di sanalah ia menantinanti
kedatangan suaminya. Akan mengurangkan perasaan bosan, ia selalu
mengerjakan pekerjaan yang ringan: menganyam tikar atau menjahit
pakaian anaknya yang koyak, karena siang hari ia tiada sempat
melakukan itu, oleh karena banyak urusannya. Maklumlah, suaminya
itu tiada suka bekerja, oleh sebab itu terpaksalah ia jadi tahanan
sekalian pekerjaan orang berumah tangga itu. Sungguh amat berat
beban yang dipikul si ibu yang penyabar itu. Bila suaminya itu pulang,
tiadalah pernah ia bermuka masam. Dengan suara yang lemah-lembut
ia menanya Sutan Baringin, kalau-kalau ia hendak makan. Jikalau
mereka itu bersama-sama, ia pun selalu menghiburkan hati suaminya
dengan rupa-rupa jalan, misalnya dengan menceritakan ini dan itu atau
apa yang kejadian. Kadang-kadang ia bertanyakan rupa-rupa hal
kepada dia, dengan maksud, suaminya itu suka bercakap-cakap dengan
dia. Rumah dan pekarangan selalu bersih nampaknya dan letaknya
sekalian perkakas rumah rapi dan beraturan. Dan meskipun ia tiada
menghiasi dirinya atau memakai pakaian yang mahal-mahal, tiadalah
kurang kecantikan parasnya. Sebaliknya, kebaya dan sarung yang
sederhana itu seolah-olah menambah kebagusannya. Lagi pun
sebagaimana rapinya bekerja, begitulah hati-hatinya memeliharakan
dirinya. Kalau dilihat air mukanya, suatu pun tiada pertukaran, yang
diubahkan kelahiran anaknya yang dua itu; seri dan cahaya romannya
sebagai pada waktu mudanya juga. Benarlah Sutan Baringin amat
beruntung sekali beroleh kawan sehidup yang serupa itu, akan tetapi
sebagai sudah kita lihat, tiadalah ia mengetahui untungnya itu, atau
lebih terang, kalau dikatakan: tiadalah ia menghargakan dia. Amat
besarnya bahagia laki-laki itu, bila ia beroleh perempuan yang baik dan
setia. Akan tetapi sudahlah menjadi tabiat oleh manusia, yakni jikalau
barang itu sudah hilang, barulah diketahui harganya. Seorang sahabat
yang karib itu kurang karib terasa selagi dalam bergaul. Tetapi sesudah
bercerai, tahulah bahwa ia amat perlu bagi kita. Harga kesehatan badan
itu pun baru diketahui orang, kalau ia di dalam berpenyakit.
Demikianlah halnya dengan Sutan Baringin. Tiadalah ia mencintai
istrinya, sungguhpun si ibu itu mengusahakan dirinya untuk dia. Kalau
ia menaruh kasih dan sayang tentulah ia berlaku manis kepada istrinya
itu, sebagai istrinya kepada dia. Akan segala budi bahasa si ibu yang
ramah-tamah itu, tiadalah menerbitkan suatu apa dalam hatinya. Ia
tiada menaruh perasaan kepada tutur yang manis, bahasa yang rendah
dan perbuatan yang baik, karena anak yang manja waktu mudanya itu,
orang pembengis juga di belakang hari. Manusia yang serupa itu amat
buruknya dan akan hal itu diketahui Nuria benar-benar. Itulah kadangkadang
yang menjadi awan kedukaan bagi dia. Kerap kali kalau hari
sudah jauh malam, sedang ia sendiri tinggal di rumah bersama-sama
dengan anaknya yang sedang tidur itu, dipandang anaknya itu dengan
hati yang sedih. Perasaannya lain, karena terasa olehnya dalam hatinya,
bahwa tali yang mengikat perkawinan mereka itu makin rapuh.
Daripada pihak suaminya tak ada yang diharapkan. Kekuatannya
harnpir-hampir habis. Sepuluh tahunlah sudah ia berusaha itu, suatu
pun tiada hasilnya. Bukanlah ia bosan, tetapi khawatir, kalau-kalau ia
kehabisan tenaga dan ..., kesudahannya perkawinannya putus dan dia
serta anaknya melarat. Tangannya gemetar, peluhnya ke luar, disebabkan
pikiran yang serupa itu. Dengan tiada disengajanya, ia pun
memeluk anaknya itu, diciumnya dengan cinta yang sepenuhpenuhnya,
sambil air matanya bercucuran, laksana mutiara yang gugur dari
karangannya.
Malam itu amat dingin, karena angin amat kencang, bercampur
hujan rintik-rintik. Sekali-sekali kilat menunjukkan sinarnya, seolaholah
menerangi dewi malam yang memenuhi alam ini. Itu semua jadi
alamat hujan akan turun dengan lebatnya, karena langit berwarna hitam
dipalut awan yang tebal, sehingga cahaya bintang-bintang yang berjutajuta
itu hilang lenyap semuanya.
Semalam-malaman itu Sutan Baringin tiada pulang, dan istrinya
tidur penuh dengan kemasygulan. Akan tetapi apakah gunanya ia
pulang, karena meskipun diketahuinya apa yang diderita istrinya itu,
takkanlah ada berfaedah, karena sebagaimana telah dimaklumi, tiadalah
suatu tempat dalam hatinya untuk istrinya; bagi anaknya pun susah
ditentukan. Adalah pada pikirannya, perempuan itu diadakan Tuhan
akan sekedar penyertai laki-laki saja. Apabila laki-laki itu merasa perlu
akan bersama-sama dengan perempuan, di situlah waktunya bagi dia
kawin. Kawin artinya si laki mengambil perempuan, sebab ia perlu
kepadanya. Oleh sebab orang itu ada gunanya bagi dia, haruslah ia
menyediakan belanja untuk istrinya. Itu sajalah kewajiban si laki
kepada si istri. Tetapi perempuan itu harus menyerahkan badan dan
hatinya kepada suaminya. Adalah kewajiban bagi dia mengusahakan
dirinya untuk kesenangan lakinya, karena lakinya mengambil dia untuk
kesenangannya. Ia harus menaruh cinta kepada lakinya, akan tetapi
tiada perlu ia mendapat balasan cinta itu. Pendeknya tiada berwatas
kewajiban perempuan itu. Demikianlah rukun yang diketahui dan yang
patut pada timbangan Sutan Baringin. Yang lebih ganjil lagi:
"Perempuan itu tiada menaruh jiwa; kalau ia sudah mati, habis hidupnya.
Akan akhirat tiada berguna bagi dia". Begitulah persangkaan
Sutan Baringin.
Hujan yang lebat itu, suara guruh dan halilintar yang seperti hendak
membelah bumi, semuanya didengar Nuria. Meskipun ia memejamkan
matanya dan membulatkan pikirannya, tiadalah juga ia tertidur. Apabila
pikirannya hampir-hampir hilang sebab hendak tertidur, tiba-tiba ia terbangun
kembali, sebagai terperan-jat. Ia duduk sebentar, memikirkan
sebabnya, tetapi tiadalah diketahuinya. Sesudah ia membetulkan
selimut anaknya yang tidur dengan nyenyaknya itu, ia pun merebahkan
dirinya pula, sambil mengeluh.
Sesudah tengah malam barulah ia tertidur dengan nyenyak, karena
badannya telah lesu. Maka ia pun bermimpilah: "Sedang matahari baru
ke luar dan memancarkan sinarnya, tiba-tiba diselimuti awan yang amat
hitam serta dengan tebalnya, makin lama makin hilanglah matahari itu
dan cahayanya pun tiada dapat lagi menerusi awan yang gelap itu.
Puncak gunung tinggi-tinggi itu lenyaplah dari pemandangan mata, dan
dataran tinggi Sipirok pun penuhlah oleh kabut. Perlahan-lahan
kedengaran bunyi guruh yang mendayu-dayu; mula-mula jauh,
kemudian makin dekat dan makin keras, sedang gunung Sibualbuali
adalah asyik bekerja memuntahkan asap yang bergumpal-gumpal.
Tanah pun gemetarlah oleh sebab digoyang gempa. Masing-masing
orang berlari ke luar dengan terkejut, karena pada persangkaan orang
adalah mara bahaya besar yang akan datang itu. la pun berlari ke luar
seraya mendukung dan memangku anaknya kedua-duanya. Setelah
sampai ke luar ia pun menengok ke belakang. Maka nampaklah olehnya
tanah perumahan mereka itu mereiigkah. Dengan sekejap itu rumah
dan pekarangan mereka jatuh ke dalam lubang yang terbuka itu. Ia terkejut
serta menangis, karena suaminya, Sutan Baringin, masih di dalam
rumah yang ditelan bumi itu. Maka tanah itu pun kembali tertutup dan
rumah mereka terkubur dalam sekajap itu juga. Pada saat itu juga
kedengaranlah suara yang amat gemuruh. Sibual-buali yang berapi itu
meletus. Asap dan belerang yang cair mengalir membinasakan segala
yang dilaluinya: kebun, sawah, kampung dan lain-lain. Sawah-ladang
mereka pun telah binasa sama sekali, akan tetapi ia dan anaknya itu
sempat lagi melarikan diri."
Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Tiada berapa lama kedengaranlah
olehnya bunyi ayam berkokok. Sejak itu tiadalah ia dapat tidur lagi.
Hatinya gundah gulana, karena ia tiada mengerti akan takwil mimpinya
itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah, lalu mengambil air
sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya
kepada Tuhan. "Mimpiku ini sebagai tanda, yang memberitahukan apa
yang akan datang atas diriku. Akan tetapi apa-apa yang akan datang itu,
kepada-Mu-lah kuserahkan, ya, Allah yang pengasih dan penyayang."
Setelah ia mengucapkan perkataan itu, maka ia pun sembahyang
subuhlah. Sehabisnya menyembah Tuhan Yang Maha Akbar itu, hatinya
merasa lebih senang. Mimpinya itu pun hampir hilang dari kenangkenangannya.
Kemudian ia kembali ke tempat tidur, tempat anaknya
yang tiada mengetahui kesusahan dunia itu ditidurkannya. Si ibu yang
pengasih dan penyayang itu membetulkan selimut mereka itu. Sudah
itu ia pun menundukkan kepalanya lalu mencium dahi si jantung
hatinya itu berganti-ganti.
Matahari masih tersembunyi di balik dolok<nowiki>*)</nowiki> Sipipisan yang permai
itu; binatang-binatang yang mendiami rimba belantara masih tidur
semuanya, akan tetapi ibu yang rajin dan setia itu, . telah sibuk di dapur
menguruskan pekerjaan rumah tangga. Kalau diperhatikan mukanya,
tahulah kita, betapa perubahan romannya, karena penanggungannya
yang selama itu. Betul ia tiada merasa sakit atau mendapat luka di
badan, akan tetapi penanggungan hati dan jiwa itu lebih berat dari yang
lain-lain, sehingga badannya pun menderita juga olehnya. Demikianlah
halnya dengan ibu itu, amatlah berubah roman mukanya, karena kejadian
semalam itu.
<nowiki>*)</nowiki> dolok = gunung
== JATUH MELARAT ==
"Ayah sudah datang, sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,"