Azab dan Sengsara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Baris 21:
* [[/Bab 5]] : Jatuh Melarat
 
* [[/Bab 6]] : Makin Jauh
== MAKIN JAUH ==
 
Hal Ihwal penduduk rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu
telah kita maklumi. Siapa Mariamin, siapa ayah bundanya, telah
dikenal benar-benar. Jadi tiadalah kita heran jagi, apa sebabnya si ibu
bersusah hati, waktu ia sakit itu, sebagai sudah tersebut pada awal
cerita ini. Nyawa manusia tiada dapat ditentukan, kalau ia mati, apa
pulakah jadinya anak yang dua itu? Yang dipikulnya pun telah berat
sejak suaminya meninggal dunia. Harta habis, bangsa pun hilang. Akan
tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati. Beban itu
dipikulnya dengan pikiran yang tenang. Karena, meskipun hidupnya di
dunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya
bertambah teguh. Sekalian penanggungannya yang berat itu diserahkannya
kepada Tuhan Yang Pengasih, karena tahulah ia, bahwa di
dunia ini suatu pun tiada yang kekal. Mereka anak-beranak dalam
kemelaratan, siapa tahu besok lusa datang perubahannya. Meskipun
kesenangan itu tiada diperoleh di atas dunia ini, tentu kita makin cinta
kepada kesenangan, yang diterima umat Allah yang percaya kepada-
Nya pada hari yang kemudian. Sebab memikirkan itulah si ibu
bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam hati anaknya
ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, agama itulah
yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri di waktu banjir dan air
pasang. Agama itulah yang memberi tenaga bagi kita akan memikul
beban kehidupan kita. Agama itulah yang menghiburkan hati kita yang
gundah gulana sebab keazaban dunia, karena firman Tuhan kita
ketahui, hidup di dunia yang sengsara itu akan bertukar dengan
kesenangan yang kekal di akhirat. Harapan akan kesenangan di akhirat,
tempat bersukacita itulah menjadikan kita terhibur, meskipun air mata
kita di bawah langit ini acap kali tercucur.
Memang berat tanggungan ibu yang saleh itu. Sebenarnyalah itu,
waktu suaminya hidup dan sepe.ninggal dia. Bukankah banyak yang
dideritanya karena suaminya? Akan tetapi meskipun demikian lebih
suka jugalah ia, kalau mimpinya itu tiada kejadian. Benarlah sekarang
apa yang dimimpikannya itu: "Gempa amat kuat, tanah menelan
suaminya, kekayaan habis semua, hanya ia bertiga dengan anaknyalah
yang tinggal". Akan tetapi tak guna duduk bercintakan itu, karena
takdir Allah atas hambanya tak dapat ditolak.
Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal,
terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi
dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia mencari
upahan, pada waktu mengerjakan sawah, misalnya menyiangi,
mengirik padi dan lain-lainnya, karena tahulah ia, pekerjaan yang halal
itu tiada menghinakan orang. Dua tahun sudah mereka itu bersakitsakit,
sekalipun belum pernah mereka kekurangan makan, karena usaha
si ibu itu dan berkat Tuhan yang memelihara makhluknya. Pakaian
anaknya pun adalah dengan secukupnya juga, tiadalah nampak di mata
orang, bahwa mereka itu orang melarat. Mariamin anak gadis yang
muda remaja itu pun tiadalah malu, sebagai kebiasaan anak gadis di
Sipirok, bekerja mencari upahan. Ibunya acap kali berkata, "Riam,
tinggallah anakku di rumah, ibu masih hidup, cukuplah ibu sendiri
mencari makan kita."
Apakah jawab si anak itu?
"Barangkali ibuku malu, atau takut dikata-kata orang, sebab
anaknda mencari upahan? Benarlah seperti kata ibu itu, ibu sendiri pun
padalah bekerja untuk kita. Tetapi selagi anaknda bersama-sama
dengan ibu, apalah salahnya, anaknda menolong ibu, supaya ibu dapat
berhenti sehari dua hari."
Mendengar perkataan anaknya itu, si ibu termenung, karena dipikirnya,
sebenarnyalah perkataan anaknya itu. Katanya, "Meskipun
bagaimana juga, lambat-laun kami akan bercerai juga, karena
sepanjang adat haruslah ia dipersuamikan. Wah, sungguh amat susah
benar bercerai dengan anakku ini, karena dialah yang menjadi
penghibur hatiku, tetapi pada suatu masa harus juga ia meninggalkan
aku. Ah, kebiasaan yang diaturkan Tuhan tak boleh diubah. Hanya
itulah harapanku kepada Allah, moga-moga ia beroleh suami yang baik,
janganlah sebagai kurasai ini. Kalau anak beruntung, tentu orang tua
bersukacita." Demikianlah kenang-kenangan si ibu itu.
Pada dugaannya pun tiadalah Mariamin akan lama lagi di tangannya,
sebab badannya telah besar, umur pun sudah sampai. Akan tetapi
sekalian orang yang datang meminta dia, ditolak oleh Mariamin. Tak
adalah orang muda yang disukainya untuk jadi suaminya. Karena itu
bertanyalah ibunya, "Riam, ibu bukan bosan melihat kau. Anakku tahu
betapa kasih sayang ibu kepadamu berdua bersaudara. Tapi apakah
sebabnya engkau menolak permintaan sekalian orang itu, bukankah
sudah layaknya anakku bersuami?"
"Sebenarnyalah perkataan ibu itu," sahut Mariamin, "akan tetapi
bagaimanakah anaknda menerima permintaan orang itu, karena telah
ada yang lebih dahulu tempat anaknda berjanji. Sebagaimana ibu tahu,
adalah anaknda ini berutang budi kepada dia. Waktu ia hendak
berangkat, kami berteguh-teguhan janji pula; adalah kami seolah-olah
bersumpah; masing-masing wajib menepati janji, walau bagaimana
sekalipun, lamun bersetuju dalam pikiran orang tua. Pergaulan anaknda
sejak kecil dengan Aminu'ddin tentu ibu sudah tahu; kelakuannya pun
tak perlu lagi anaknda katakan."
"Bagaimanakah anakku memikirkan yang demikian? Benar
Aminu'ddin masih dekat lagi, akan tetapi adakah mungkin dia berkehendak
kepada anakku? Pertama mereka itu orang berada dan kita
orang miskin. Kedua Aminu'ddin tak ada di sini, ia sekarang di
perantauan. Dan lagi kalau ada pikiran Aminu'ddin serupa itu, tentu ia
datang barang sekali melawan ibu bermupakat, sebelum ia hendak
berangkat."
"Anaknda pun sudah mengatakan itu kepada Aminu'ddin, dan ia
pun amatlah menyukai; dan jawabnya, "Riam, janganlah engkau berkata
yang demikian, kekayaan, kemiskinan tak kuindahkan, karena
kaulah yang kuharapkan. Sebabnya pun ia pergi ke Deli, karena ia akan
dikawinkan orang tuanya. Itu jugalah sebabnya tiada disuruhnya orang
tuanya datang kepada ibu, akan memperkatakan itu. Ia sendiri akan
berunding dengan ibu, sudah tentu kuranglah beratnya perkataanperkataan
itu. Kalau ia sudah beroleh pekerjaan di Medan dan jodohnya
itu telah dikawinkan orang tuanya dengan orang lain, di situlah ia
hendak mupakat dengan orang tuanya tentang maksud kami itu. Kalau
ia dapat permisi, ia sendirilah datang menjemput anaknda akan
dibawanya ke Deli. Demikianlah katanya kepada anaknda. Sekarang
bagaimanakah pikiran ibu? Haraplah anaknda supaya ibu bersetuju
akan keinginan anaknda itu, karena Aminu'ddin sajalah yang anaknda
cintakan akan menjadi menantu ibu."
Mariamin menundukkan kepalanya, dan pada mukanya terbayanglah
awan bimbang gundah, gulana.
Sudah tentu percakapan itu menerbitkan rindu dendamnya kepada
sahabat karibnya itu. Sekalian perkataan Aminu'ddin waktu mereka itu
bercerai, seolah-olah terdengar juga olehnya. Apalagi ketika akan
bercerai, mereka itu berjabat tangan dengan air mata yang bercucuran
dan berjanji tiada akan melupakan seorang akan seorang.
Ibunya duduk termenung memikirkan perkataan anaknya itu. Ia pun
amat ingin, supaya kehendak Aminu'ddin dan anaknya itu lekas
sampai. Akan tetapi bila dikenangnya akan segala hal mereka itu kedua
belah pihak, kuranglah harapannya, karena adalah cita-cita anaknya itu
sebagai pungguk bercintakan bulan di langit.
Ia pun memandang Mariamin, seraya berkata, "Semuanya hal ini
kita serahkan kepada Tuhan, sebab Dia-lah yang tahu mana yang baik
akan hambanya."
"Sekalian angan-angan kita itu benarlah takkan diperoleh, kalau
Allah tiada mengizinkan, tapi ingin jugalah anaknda akan mengetahui,
adakah ibuku mengizinkan anaknda akan jadi istri Aminu'ddin?" tanya
Mariamin.
"Mengapakah ibu tiada mengizinkannya, asal diperkenankan oleh
orang tuanya. Kalau tiada demikian, tentulah Riam menjadi pokok
percederaan antara anak dan orang tua," sahut ibunya.
"Ya, janji kami pun begitu juga, Mak. Itulah sebabnya anaknda
bertanya tadi, kalau-kalau bunda tak bersetuju. Aminu'ddin pun hendak
mupakat juga dengan orang tuanya. Sudah tentu ayah bundanya
berkenan akan permintaannya itu, karena Aminu'ddin sudah besar, jadi
tak maulah mereka itu memaksa dia."
"Itu jangan anaknda tentukan, karena Riam masih anak-anak, ibulah
yang lebih tahu akan hal itu. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah
yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja. Demikianlah yang biasa
kejadian di antara bangsa kita. Misalnya banyak, umpamanya ibu
sendiri. Tiadalah ibu ditanya nenekmu dahulu akan kesukaanku, tatkala
ibu hendak dipersuamikan. Tentang perkawinan kami dengan
mendiang ayahmu amatlah menyedihkan hati. Sekali-kali janganlah
bersua yang demikian pada anakku. Itulah sebabnya ibu tiada mau
memaksa engkau. Cuma ibu memberi timbangan; lain fasal kalau anak
belum cukup umur. Percayalah anakku, ibu takkan mau mengerasi kau,
seperti perbuatan kebanyakan orang tua, karena tahulah ibu, bahwa
yang kawin itu si anak, bukan orang tuanya. Siapakah di belakang hari
yang menanggung dan siapa yang menyesal, kalau jodoh si anak itu
tiada bersesuaian pikiran dan tabiat dengan suaminya? Sudah tentu
mereka takkan berkasih-kasihan lagi, akhirnya bercerai. Siapakah yang
menanggungkan, tentu si anak itu juga. Seumur hidupnya menyesallah
ia kepada orang tuanya, yang memaksa dia itu. Bukankah sudah nyata,
bahwa perkawinan anak itu dengan paksa tiada baik? Kewajiban orang
tua hanyalah memberi timbangan, dan itulah sekarang yang ibu
ingatkan. Kalau Riam yakin benar-benar, Amuni'ddin kasih akan
anaknda, amatlah senang hati ibu; dari kecil pun telah ibu mengetahui
perangai Aminu'ddin. Adalah ia masuk golongan anak yang baik-baik;
tetapi sebagai kataku tadi, haruslah kita menyerahkan hal ini kepada
Tuhan Yang Mahamulia, karena Dia-lah yang mengatur sekalian nasib
hamba-Nya."
"Kalau demikian, baiklah anaknda berkirim surat kepada Aminu'ddin
akan membalas suratnya yang baru kuterima itu. Lagi pula
supaya anaknda menceritakan sekalian perkataan bunda itu," kata
Mariamin.
Mariamin pun mengambil surat itu dari kamarnya, lalu dibacalah di
hadapan ibunya, yang kira-kira begini bunyinya :
Adinda yang kucintai!
Tiga bulan sudah lamanya saya meninggalkan negeri tumpah
darah kita, meninggalkan kampung halaman tempat kita bermainmain,
meninggalkan kekasihku, Mariamin. A duh, bukan
buatanlah sedihnya perceraian itu, barulah sekarang kurasa.
Akan tetapi itu tak mengapa, harapanku akan pertemuan kita
nanti di belakang hari, itulah yang menghiburkan hati, ya, Riam?
Dengan girang hatiku, kakanda memaklumkan kepada adinda,
bahwa kakanda telah beroleh pekerjaan, yakni dengan
pertolongan kaum kita, tempat kakanda sekarang menumpang.
Riam, itu semua rahmat Tuhan kepada kita. Lihatlah, cita-cita kita
makin dekat, mogamoga Allah mengabulkannya.
Hal perjalananku dan keramaiannya kota Medan, tiada
kuceritakan sekali ini, karena kakanda menunggu surat balasan
daripada adinda. Kabar yang lain ada baik.
Bagaimanakah hal adinda dan ibu kita sekararrg? Haraplah
kakanda adinda bercerita panjang; maklumlah Riam akan
keinginanku menerima surat dari negeriku, lebih-lebih daripada
orang yang menjadi anganangan dan impianku. Ah, tak dapatlah
kakanda menggambarkan perasaanku dalam surat ini!
Sampai di sinilah dahulu, pekerjaanku amat banyak,
maklumlah, segala pekerjaan itu harus kupelajari.
Terimalah salam daripada
kekasihmu,
AMINU'DDIN
Alamat: AMINU'DDIN
kerani onderneming HALVETIA
MEDAN
Setelah surat itu habis dibacanya, ia pun masuklah ke bilik tempat
tidurnya, lalu ia menulis sepucuk surat akan pembalas surat Aminu'ddin
itu. Dua tiga kali terpaksa ia berhenti daripada me nulis itu, sebab
dadanya sakit karena ia duduk membungkuk itu. Meja dan kursi sudah
tentu tak ada dalam pondok kecil itu. Sebuah peti kayu tempat
menyimpan pakaiannya, itulah ganti meja jati tatkala mereka hidup
dalam kekayaan. Kursi atau bangku tak usah dikata lagi. Anak gadis
yang miskin itu duduk bersila di atas lantai, dan peti itu di hadapannya,
di atas itulah ia menulis. Tangkai pena yang ditangannya pun tiadalah
sebagai yang biasa dipakai orang, hanyalah sepotong pimping. Penanya
dicocokkan saja pada pangkal pimping itu, sebagaimana kita
memasukkan pena ke gagang pena. Demikianlah sakitnya kemiskinan
itu, yang dahulunya biasa dalam kesenangan. Akan tetapi semuanya itu
tiada menyusahkan hati Mariamin. Bukankah cita-cita dan kenangkenangan
mereka itu sudah dekat? Kalau ia nanti bersama-sama dengan
Aminu'ddin, tentu datanglah pertukaran dalam kehidupannya. Ia
menurutkan suaminya makan gaji, meninggalkan Sipirok, tempat orang
yang memandang mereka itu hina. Ia akan pergi ke Deli, tanah emas,
yaitu ke tempat pencarian yang amat murah.
Semua kenang-kenangan yang serupa itulah yang mengurangkan
kesakitan hidup anak gadis itu. Tetapi sungguhpun demikian adalah
juga yang menyedihkan hatinya, tatkala ia menulis surat itu, sehingga
ia terpaksa berhenti beberapa kali. Kadang-kadang tangannya gemetar
dan kaku, kadang-kadang ia diam serta memandang ke muka. Sebabnya
itu, ialah karena terkenang akan pergaulannya dengan Aminu'ddin;
persahabatan yang karib, budi yang baik, cakap yang lemah-lembut,
segala hal mereka itu yang dulu-dulu terkenang dalam hatinya.
"Sekarang ia sudah jauh, Aminu'ddin kekasihku itu," kata anak dara itu,
seraya ia mengeluh. Kemudian ia membulatkan pikirannya seraya
meneruskan suratnya itu. Dalam hatinya ia berkata, "Haruslah saya
menceritakan sekalian perasaanku kepadanya. Benar perempuan itu
harus pandai menyembunyikan rahasianya, akan tetapi kepada
Aminu'ddin tak usahlah saya menaruh rahasia, karena ia itu adalah
sebagai saudaraku sejati. Saya ini harus menyerahkan diri kepadanya,
dialah yang kuasa atas diri saya, karena kasihnya, budinya dan
pertolongannya. Bukankah saya sudah lama berkubur dalam air, jika
sekiranya tiada dengan pertolongannya?"
Tiada berapa lamanya surat itu pun sudahlah. Setelah dibacanya
sekali akan memeriksa susun kalimatnya, lalu dimasukkannya ke dalam
sampulnya. Alamatnya itu ditulisnya lambat-lambat dengan huruf yang
besar. Di sudut sebelah kanan atas sampul itu dibubuhnya perangko,
yang dibelinya dengan uang upah menjahit sarung. Setelah selesai surat
itu, dimasukkannya ke pos. Berapa lama ia menunggu kedatangan
balasannya, tiadalah diketahui lagi. Hanyalah siang dan malam
Mariamin tiada melupakan kekasihnya itu dan harapan akan
kenikmatan persahabatan adalah dari sehari ke sehari makin besar
dalam kalbu anak dara yang menanggung rindu itu.
Setelah surat Mariamin itu diterima oleh Aminu'ddin, amatlah
girang hatinya. Baru dilihatnya alamatnya, ia pun mengenal tulisan
kekasihnya itu. Di pinggir surat itu tertulis pula nama si pengirim. Surat
itu diciumnya, lalu dibukanya dengan tergopoh-gopoh. Jarinya
gemetar, karena sukacita. Surat itu dibacanya berulang-ulang; bunyinya
adalah kira-kira begini:
Kakanda Aminu'ddin!
Rindu dan gundah gulana silih berganti dalam hati adinda
selama kakanda meninggalkan Sipirok yang indah itu. Rindu
karena suara kakanda tak kudengar, muka kakanda tak kulihat
lagi. Bimbang dan gulana hati adinda, karena sudah sekian
lama adinda tiada menerima kabar daripada kakanda. Aduh
Kakanda, tiadalah dapat adinda menceritakan dalam waktu
yang tiga bulan ini; kadang-kadang adinda bertanya dalam hati
adinda sendiri, "Bagaimanakah hal Dangkang<nowiki>*)</nowiki> Aminu'ddin
dalam perjalanan?" Bagaimana lamanya yang tiga bulan itu tak
tahu lagi adinda, karena pada perasaan adinda seolah-olah
lebih dari setahun.
Sekarang, setelah adinda menerima surat kakanda itu, bukan
buatanlah sukacita adinda. Syukur alhamdulillah! Kakanda pun
telah beroleh pekerjaan dan bertemu pula dengan keluarga yang
menaruh kasihan akan kakanda. Mudah-mudahan Allah yang
rahmatlah menyampaikan segala maksud kita.
Akan adinda, tak usahlah kubukakan di sini isi dadaku.
Meskipun bagaimana jauhnya kakanda, tiadalah berkurang
kasihku; gunung yang tinggi kudaki, lurah yang dalam kuturuni,
sungai yang lebar kuseberangi, supaya bertemu dengan
kakanda, lamun waktunya sudah datang. Aminu'ddinlah jiwaku,
kakandalah yang kuharapkan. Bukankah adinda dipaksa hatiku
menyerahkan diri kepada angkang, karena nyawaku pun sudah
angkang lepaskan dari bahaya maut.
Tentang pikiran adinda, ibu kita adalah bersetuju dengan
permintaan adinda. Dengan hati yang ikhlas ia telah memberi
izin. Itulah supaya kakanda maklum.
Kabar yang lain adalah baik. Adinda dan bunda serta
dengan adik dalam sehat, kakanda Aminu'ddin pun adinda
haraplah bersenang hati mendapat surat yang secarik ini.
Sehingga inilah dahulu ceritaku. Benar banyak lagi yang
akan adinda katakan, tetapi biarlah dahulu kita sabar; kelak di
belakang hari akan adinda ceritakan semuanya.
Tuhanlah yang mengasihi hambanya!
Salam takzim dari adinda,
MARIAMIN
<nowiki>*)</nowiki> dangkang = angkang, kakak.
Sekali lagi Aminu'ddin mengulangi membaca surat kekasihnya itu.
Kemudian ia termenung sejurus lamanya, lalu dengan perlahan-lahan ia
mengangkat tangan kirinya ke mulutnya, dan mencium cincin suasa,
yang ada pada jari manisnya itu. Cincin itu pemberian Mariamin.
"Aduh Riam, adinda ingin sekali, tetapi lebih keraslah hasrat
kakanda ini," kata Aminu'ddin, sambil ia berdiri mendapatkan meja
tulisnya.
Maka ia pun menulis surat kepada ayahnya, kepala kampung dusun
A. Dalam surat itu ia meminta dengan keras, supaya orang tuanya
mencarikannya perempuan akan jadi istrinya. Adapun perempuan itu
ialah Mariamin, karena itu sajalah yang disetujuinya. Hal ini harus
lekas diurus, karena amatlah susahnya bagi dia menumpang di rumah
orang; lagi pula banyaklah bencananya bagi dia bekerja di kebun,
tempat perkumpulan laki-laki perempuan yang menjadi pekerja di sana.
Siapa yang telah menjejak Pesisir Timur, tentu telah maklumlah makna
perkataan Aminu'ddin itu.
Kepada Mariamin ia menulis pula sepucuk surat akan menyuruh dia
berkemas. "Waktu pertemuan kedua kalinya sudah dekat. Betapakah
senangnya!" katanya di ujung suratnya itu.
Ya, selambat-lambatnya dua bulan lagi mereka itu akan bersamasama
sebagai pada waktu dahulu. Lebih lagi, karena sekarang tiada
persahabatan saja lagi yang ada di antara mereka itu, tetapi mereka itu
hidup menjadi bersatu, berkasih-kasihan, tiada kelak akan bercerai,
karena cinta mengebat mereka itu telah bertahun-tahun berurat berakar
dalam kalbu mereka.
Lepas dua bulan lagi akan bertukarlah perasaan hidupnya. Bukankah
ia merasa bosan di tanah asing, bercampur gaul dengan orang yang
tiada dikenal, dengan orang lain, sedang orang penghibur hatinya jauh
di balik Bukit Barisan?
Lepas dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan citacitanya,
sejak akil balig. Di situlah kelak ia merasa dirinya beruntung,
karena tangkai kalbunya telah di sisinya, yakni Mariamin buah hatinya
itu.
Ya, waktu yang dinanti-nanti Aminu'ddin itu tiada jauh lagi.
Mariamin kelak akan membawa ke hadapannya. Yang perlu hanya ia
harus menunggu dengan sabar apa yang akan datang, itulah yang
menentukannya.
Surat yang dua pucuk itu sampai kepada alamatnya. Mariamin
menerima dengan girang. Sekejap itu dibacanya di hadapan ibunya.
Tiadalah dapat dikira-kira lagi betapa sukacitanya, dan pada malamnya
itu pun ia memimpikan untung bahagia yang akan datang itu.
Orang tua Aminu'ddin pun berbesar hati pula mendengar kabar yang
baik itu. Pekerjaan anak sudah ada, gaji pun adalah sederhana, apakah
lagi yang ditunggu-tunggu? Dahulu ia tak mau kawin, sekarang ia
sendirilah yang memintanya; wah, betapakah baiknya itu? Ibu
Aminu'ddin pun amatlah riangnya mendengar bunyi surat yang dibaca
suaminya itu. "Kita berdua sudah tua, dan amatlah ingin hatiku hendak
mendukung cucuku," katanya kepada suaminya.
Kedua laki-istri itu mupakat akan mencarikan jodoh anak mereka
itu. Apakah yang kurang lagi bagi mereka itu akan memperoleh anak
dara yang patut-patut? Ayah Aminu'ddin seorang kepala kampung yang
dimalui di luhak Sipirok. Uang banyak, sawah lebar, kerbau dan lembu
pun cukup, sedang anaknya orang makan gaji, di Deli pula. Sekali ini
haruslah mereka itu mengambil anak bangsawan sekurang-kurangnya
yang sama dengan mereka itu, yang di bawah pantang. Demikianlah
pikiran orang tua itu. Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi akan
datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara
kesukaan Aminu'ddin itu; sungguhpun pertalian mereka itu masih
dekat.
Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu?
Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di
mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskinmiskinnya
di daerah Sipirok? Orang yang begitukah yang akan jadi
tunangan Aminu'ddin? O, sekali-kali tidak boleh; Aminu'ddin seorang
anak muda, belum tahu ia membedakan bangsa, haruskah didengar
permintaannya itu? Betul anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk
kaum mereka juga, akan tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang
elok dapat dicari.
Begitulah sebabnya ayah Aminu'ddin tak jadi pergi ke rumah ibu
Mariamin. Istrinya mencoba membujuk-bujuk suaminya akan menurut
permintaan anaknya itu, karena meskipun bagaimana melaratnya seisi
rumah Sutan Baringin karena perbuatannya, adalah ia merasa kasihan
juga dalam hatinya kepada ibu dan anak yang dua orang itu. Benar
Sutan Baringin salah, ia tiada mendengar nasihat mereka itu, tetapi
apakah salahnya anak yang dua orang itu? Oleh sebab itu ia pun
mempertahankan kesukaan Aminu'ddin itu. Kalau Mariamin telah
menjadi menantunya, tentu adalah perubahan kemelaratan orang itu,
pikir ibu Aminu'ddin.
Akan tetapi suaminya tiada bersetuju dengan maksud istrinya itu;
untuk menolaknya dia tidak dapat, karena ibu dan anak bersama-sama
melawan dia. Setelah seminggu lamanya, pada suatu malam berkata ia
kepada istrinya, "Kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi
baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh
dipermudah-mudahkan. Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik
menantu kita; kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu<nowiki>*)</nowiki>
Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminu'ddin, bila ia
beristrikan Mariamin. Datu itulah yang masyhur sekarang fasal hal
faal<nowiki>**)</nowiki>. Pekerjaan ini janganlah dilengahkan lagi. Kalau pertemuan
mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang lain."
Pada keesokan harinya pergilah kedua laki-istri itu membawa nasi
bungkus ke rumah Datu itu. Setelah habis makan, mereka itu pun
menceritakan maksud kedatangan mereka. Datu itu pun bertanya nama
yang laki-laki dan orang tuanya, nama anak gadis itu serta orang tuanya
pula. Kemenyan pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh dengan asap
dan bau kemenyan. Beberapa lamanya dukun itu menganggukanggukkan
kepalanya perlahan-lahan serta berbisik-bisik membaca doa
dan mentera. Kemudian ia membuka buku yang terletak di bawah
pedupaan itu, lalu dibacanya ayat yang tertulis dalamnya.
"Maksud itu kurang baik. Awalnya laki-istri selamat dan beruntung.
Lepas dua tahun, lahir seorang anak laki-laki, tetapi baru ia berusia
tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia," kata Datu itu lambat-lambat
tetapi terang dan nyata suaranya.
Kedua laki-istri bermohon diri, lalu pulang ke rumah; istrinya
dengan hati kesal, karena yang diinginkannya tak jadi; suaminya
dengan girang hati, karena kehendaknyalah yang mesti diturut. Akan
tetapi sepanjang jalan tiadalah ia memperlihatkan sukacitanya itu, takut
kalau-kalau istrinya itu sakit hati.
Dalam rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu duduklah
Mariamin menanti-nanti kedatangan ayahnya (bapak Aminu'ddin).
Sejak ia menerima surat Aminu'ddin itu, amat banyaklah pekerjaannya.
Menyediakan pakaiannya, karena kakaknya berkata demikian. Betul
tiada banyak, tetapi semua dikerjakannya sendiri. Kalau dia orang
berada, tukang jahitlah yang menjahit pakaiannya itu. Membuat seperai
akan dibawa ke Deli; menganyam tikar untuk tempat duduk ayahnya
(bapak Aminu'ddin), kalau ia datang ke rumah hendak bermupakat
dengan ibunya. Tikar itu tentu ganti permadani, supaya kemiskinan
mereka itu jangan mengurangkan adat di rumah mereka. Kalau jamu
datang, malulah ia kalau ia duduk di atas lantai saja.
Serbuk kopi telah sedia tersimpan disalaian, supaya ada minuman
kepala kampung itu, bila ia datang. Juadah pun telah sedia dalam
tempatnya akan kawan air kahwa itu. Semua sudah sedia akan menanti
ayah Aminu'ddin, yang akan menjadi bapaknya pula.
Sekalian telah teratur untuk perjalanan mendapatkan kakandanya
<nowiki>*)</nowiki> Datu = Dukun
<nowiki>**)</nowiki> Faal = tenung
itu. Semua sedia dan teratur, tetapi yang ditunggu-tunggu tak juga
datang.
Ya, dia hanya menunggu, dan menunggu, tetapi yang ditunggu tidak
akan datang. Yang akan sampai ke telinganya hanya kabar yang tiada
disangka-sangka. Kabar yang akan menghamburkan air mata, meremukredamkan
hati sebagai kaca terempas ke batu.
Ketika matahari hampir terbenam, duduklah ayah Aminu'ddin di
beranda rumahnya dengan istrinya. Istrinya pun bertanya, "Siapakah
yang jadi kita ambil akan menantu kita? Jangan diperlambat-lambatkan
lagi."
"Bimbang hatiku, karena pada waktu itu adalah kurang yang akan
dipilih. Itulah sekarang yang kupikir-pikir," sahut Baginda Diatas;
begitulah disebut orang gelar kepala kampung itu.
"Kurang yang akan dipilih?" tanya istrinya. "Negeri Sipirok sebesar
ini, berapa ratus anak gadis di luhak ini, sedang yang akan dicari hanya
seorang juga."
"Aku pun tahu juga. Akan tetapi yang akan diambil bukanlah orang
sembarangan."
Sejurus kedua laki-istri itu berdiam, kemudian Baginda Diatas
berkata, "Cuma seorang sajalah yang kusetujui; rupanya pantas,
bangsanya cukup, akan tetapi kelakuannya belum kuketahui:"
"Apakah marganya?<nowiki>*)</nowiki> Siapa orang tuanya?" tanya istrinya.
"Marganya Siregar, dan bapaknya kepala kampung. Kupikir baik
akan jadi menantu kita. Baiklah aku pergi ke sana. Sepanjang dugaanku
anak itu mungkin kita peroleh; tentang "boli" kita takkan mundur,"<nowiki>**)</nowiki>
jawab suaminya.
Untuk menjelaskan adat-istiadat orang Batak, lebih-lebih adat
perkawinannya, baiklah diterangkan sekadar aturan-aturan yang harus
diturut orang dalam perkawinan itu.
Adapun masing-masing orang Batak mempunyai suku (marga).
Seorang anak yang baru lahir beroleh marga bapaknya. Marga itu ada
bermacam-macam, misalnya di luhak Sipirok, Siregar dan Harahaplah
yang terbanyak; marga lain ada pula umpama: Pane, Pohan, Sibuan dan
lain-lain. Bagaimana timbulnya marga yang banyak itu, tiadalah
hendak diceritakan di sini. Orang yang sebanyak itu dua tiga sajalah
neneknya, yaitu yang empunya keturunan, sedang marga sekarang
banyak ragamnya. Jadi sudah tentu marga Siregar bersaudara juga
dahulunya dengan marga Harahap, Pohan atau yang lain-lain. Di mana
perceraianya itu, wallahualam; karena hal itu adalah bersambung
dengan ceritacerita tambo. Seorang berkata begini, yang lain berkata
begitu, sehingga tiada tahu mana yang benarnya lagi. Lagi pula cerita
<nowiki>*)</nowiki> marga = suku
<nowiki>**)</nowiki> boli atau sere = mas kawin
itu sudah sebagai dongeng di telinga.
Maka barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil
orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar
tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu
sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu,
yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada
boleh ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh
adat. Akan tetapi anak muda marga Siregar boleh mengambil seorang
perempuan marga Harahap, meskipun perkaumannya dengan anak
gadis itu masih dekat, umpama senenek dengan dia. Artinya, nenek si
laki dari pihak ibu, nenek si perempuan dari pihak bapak.
Hanya margalah yang berlainan, sebenarnya mereka itu masih
sedarah; akan tetapi sebab pengaruh adat itu, perkawinan yang kedua
ini dilazimkan dan perkawinan yang pertama dilarang keras.
Larangan itu mengherankan hati. Apakah salahnya si Anu kawin
dengan si Itu, kalau pertalian (perkauman) mereka itu sudah jauh, ya,
kadang-kadang tak ada lagi, karena masingmasing tak tahu lagi, di
waktu mana nenek moyang mereka itu bersaudara atau sedarah.
Haruskah perkawinan mereka itu dicegah, oleh sebab mereka itu samasama
Harahap, Pane dan lainlain? Padahal mereka itu telah berkasihkasihan,
seorang ingin kepada yang seorang. Sebab yang tersebut
tiadalah patut menjadi larangan; betul mereka itu semarga, tetapi sudah
jauh dan tiada, sedarah lagi.
Di negeri lain misalnya Deli, Palembang, Jawa, tiada ditemui aturan
yang serupa itu, hanya di Tapanuli.
Ya, kata pepatah: Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain
belalangnya.
Itu benar. Masing-masing daerah mempunyai adat yang berlainan
daripada daerah yang lain. Maka seharusnyalah penduduk daerah itu
setia kepada adatnya yang telah diaturkan nenek moyangnya.
Akan tetapi mengingat peredaran masa ini, tiadalah dapat dipertahankan
semua peraturan-peraturan itu, sudah seharusnyalah
mengubah apa yang kurang baik, dan menghapuskan yang tiada patut.
Salah satu di antaranya ialah, tentang larangan kawin sesuku itu. Ini
tidak dipertahankan lagi. Sebab itu seorang hendaklah dibebaskan
kawin dengan orang lain, meskipun mereka itu sesuku, artinya tali
persaudaraan mereka masih rapat lagi menurut adat.
Tentang emas kawin di tanah Batak adalah suatu adat yang
memberatkan. Emas kawin itu biasa disebut orang sere atau boli.
Adapun sere itu dibayar si laki-laki kepada orang tua anak gadis,
banyaknya dari 200 sampai 400 rupiah. Ini diambil jumlah pertengahan,
karena ada juga yang kurang, umpamanya 120 rupiah, ada
pula yang lebih sampai 600 rupiah. Sere itu boleh dibayar semua
dengan uang semata, atau separuh dengan kerbau atau lembu.
Aturan itu pun sangat memberatkan, sudah seharusnya dihapuskan,
kalau susah, dientengkan. Banyaklah terjadi yang sedih-sedih disebabkan
boli itu. Umpamanya, seorang anak muda yang tiada berada,
haruskah ia tinggal bujang selama hidupnya, karena ia tiada mempunyai
uang 200 rupiah di kantungnya?
Orang yang serupa itu tiada sedikit. Betul uang boli itu tidak akan
masuk kantung orang tua si perempuan semuanya. Separuhnya dipakainya
juga akan pembeli emas, perhiasan anaknya dan pembayar ongkos
perjamuan, umpamanya kenduri, pesta dan sebagainya, ketika anaknya
dikawinkan. Akan tetapi apakah salahnya dihilangkan pesta itu, apakah
faedahnya mengarak anak dara dan pengantin sekeliling kota, karena
uang pembeli kerbau yang disembelih itu terbuang saja?
Kasarlah didengar telinga, bila orang berkata, "Di tengahtengah
Pulau Sumatera yang besar itu masih ada orang menjual anaknya yang
perempuan."
Ya, memang ada yang serupa itu. Kalau akan mengawinkan
anaknya yang perempuan, maka lebih dahulu membicarakan boli. Betul
boli itu berguna juga diterima untuk pembeli yang berguna bagi
anaknya, tetapi bicara itu terbaliklah rasanya. Seharusnya janji kawin
lebih dahulu dipadu, sedang boli perkara kedua. Itulah yang bernama
emas kawin, emas (uang) ongkos-ongkos perkawinan. Halal dan bersih
uang yang serupa itu di tangan! Akan tetapi sere (boli) yang diterima
harga anak itu, tiadalah patut lagi.
Itulah aturan-aturan adat yang berlaku di sana, yang masih dipegang
teguh.
Sekarang marilah diceritakan seorang anak gadis dari sebuah
kampung yang tiada berapa jauh dari Sipirok, karena itulah yang
disetujui Baginda Diatas. Gadis itu anak kepala kampung. "Bangsa"
lebih dari "kepandaian" bagi dia. Kedatangan Baginda Diatas diterima
baik oleh orang tua gadis itu. Melihat keelokan jodoh anaknya itu, terus
mengiakan permintaan Baginda Diatas. Apalagi yang diinginkannya,
berapa pun besarnya boli yang dimintanya akan diperkenankan juga
oleh orang tua bakal menantunya itu. Setelah sampai pada masanya <nowiki>*)</nowiki>,
anak gadis itu pun dijemput dan dibawa ke rumah ayah Aminu'ddin,
supaya esok atau lusa berangkat ke Deli.
Adapun sekalian hal ini dilakukan dengan rahasia, supaya jangan
ketahuan oleh Mariamin dengan ibunya.
* Di sana orang masih percaya akan masa (waktu). Kalau
hendak menjemput anak dara, lebih dahulu diperiksa hari
dan jamnya yang baik. Dentikian juga kalau hendak membuat
perjalanan, mendirikan rumah dan lain-lain. Daladn
hal ini Datulah yang menentukan.
Setelah lengkaplah sekalian, Baginda Diatas pun berangkatlah ke
Deli mengantarkan menantunya itu. Sebab dia sendiri pergi, supaya
dapat ia menceritakan kepada anaknya, apa sebabnya maka yang lain
yang diambil mereka itu. Ya, siapakah orang yang mau mengambil
orang celaka? Bukankah sudah dikatakan Datu, bahwa Mariamin itu
anak yang membawa celaka? Kalau Aminu'ddin mendengar keadaan
itu, tentu ia akan menurut kehendak. orang tuanya.
Supaya Aminu'ddin lebih dahulu mengetahui akan kedatangan
mereka itu, ayahnya pun mengetok kawat. Karena banyaklah nanti
yang disediakannya akan menerima istrinya itu. Apakah salahnya, ia
lebih dahulu bersukacita oleh karena kedatangan kekasihnya itu.
Setelah Aminu'ddin menerima surat kawat ayahnya, yang bunyinya
demikian, "Aminu'ddin, bapak membawa menantu songsong ke
stasiun," ia pun meminta permisi kepada sepnya, meskipun lima hari
lagi ayahnya akan tiba. Dengan hati yang girang, pergilah ia kepada
kaumnya, yang mencarikan ia pekerjaan itu, dan diceritakannya kabar
itu, karena dia inilah nanti yang akan menolong dia. Betul ia beroleh
rumah dari perkebunan tempat ia makan gaji, tetapi kuranglah baiknya,
jika ia membawa
Mariamin terus ke rumahnya, karena seorang perempuan pun tak
ada yang mengawani dia.
Pada waktu itu Aminu'ddin menyangka juga akan kedatangan
Mariamin.
Waktu yang lima hari itu terlalu amat lama pada perasaan Aminu'ddin,
lebih lama daripada waktu yang bertahun-tahun yang telah
dirasainya itu. Sementara itu ia pun menyuruh membersihkan rumahnya,
membeli apa-apa yang peirlu, supaya mereka itu lebih lekas
tinggal di rumah sendiri. Terlampau lama di rumah orang, tentu mendatangkan
susah pula bagi orang tempat menumpang. Demikianlah
pikiran Aminu'ddin.
Empat hari sudah lewat. Besoknya pukul sepuluh pagi tentu
bersualah ia dengan kekasihnya itu, yang sekarang akan jadi istrinya,
karena itulah waktunya kereta api pertama tiba di stasiun Medan. Wah,
betapakah senangnya perasaan Aminu'ddin.
Hari yang penghabisan itu amatlah lamanya, tiada berkeputusan
pada perasaannya; matahari itu pun seolah-olah tiada jemu memanasi
bumi yang bercintakan malam. Tetapi meskipun ia lambat-lambat turun
ke sebelah barat, sebagai raja berjalan lakunya, hari yang membosankan
hati Aminu'ddin itu hampirlah bertukar dengan malam. Kuli-kuli
yang beratus-ratus yang bekerja di kebun tembakau yang lebar itu pun,
telah berhenti, masingmasing pulang ke pondoknya, sehingga kebun
yang luas itu sebagai bertabur dengan kepala manusia, karena pohon
tembakau pada waktu itu telah tinggi, sehingga badan mereka itu
kelindungan, hanya kepala sajalah yang terulur ke atas, sebagai
terapung di atas laut rupanya.
Hari pun malamlah; kebun yang luas itu sudah mulai sunyi. Bunyi
gamelan yang dipalu pekerja-pekerja dari Jawa itu pun telah diam,
karena mereka harus pergi tidur, akan mengumpulkan kekuatan untuk
pekerjaan esok harinya yang amat berat itu. Seorang pun tak ada yang
jaga lagi, selain daripada bulan tujuh hari yang memenuhi dataran yang
luas itu dengan sinarnya yang cantik. Bintang-bintang di langit pun
amatlah banyaknya, berjuta-juta sebagai pasir di laut. Adalah dia itu
turut juga membantu raja malam itu menghiasi alam yang lebar ini,
dengan cahayanya yang seperti perak itu.
Sayang, seorang pun tiada yang menyenangkan dirinya dengan cara
melihat kebagusan malam yang indah itu, karena semuanya gedung
tuan-tuan kebun dan pondok teratak pekerja telah gelap, tiada kelihatan
lagi cahaya pelitanya. Tetapi dalam rumah kerani, yang di sisi gedung
tuan besar kebun itu, masih nampak cahaya api, meskipun sudah lepas
pukul sepuluh malam. Yang masih jaga itu, tak lain ialah Aminu'ddin
yang sedang mengenang-ngenangkan kedatangan buah hatinya. la tiada
tidur bukan disebabkan pekerjaannya banyak, hanya matanya tak
mengantuk karena dimabuk kegirangan hatinya. Esok sorenya di situlah
waktunya ia akan melihat adindanya itu. Pedih dan sedih perceraian
yang dahulu itu, akan berobat dengan kegirangan hati nanti melihat
muka Mariamin yang bersih dan sabar itu.
Kenang-kenangan yang serupa itulah yang memenuhi kalbunya,
sehingga ia gelisah.
Ia pun meninggalkan kamarnya yang panas itu, lalu pergi duduk ke
atas bangku yang di hadapan rumahnya, di bawah sebatang pokok nyiur
yang rimbun daunnya. Angan-angannya makin panjang, karena merasai
sedapnya hawa malam itu. Angin gunung pun berembuslah sepoi-sepoi
basa dan kebun tembakau itu berombak-ombak rupanya ditiup oleh
angin itu dan berwarna ilam-ilam, karena cahaya raja malam antara
terang dan gelap.
Aminu'ddin duduk bersandar pada bangku, seraya menghadap ke
sebelah barat ke Bukit Barisan yang membujur Pulau Sumatera. Dari
sanalah akan datang yang dinanti-nantinya itu; dengan teropong wasiat,
memandanglah ia ke bukit yang bertalitali itu akan melihat dan
mengira-ngira, di manakah adihdanya itu tidur pada malam itu. Adakah
juga ia gelisah, karena sukacitanya akan bertemu dengan kakandanya?
Tetapi suatu pun tak ada yang nampak oleh Aminu'ddin, lain
daripada bukit yang berbaris-baris itu. Di ruangan kalbunya terbayangbayang
wajah Mariamin yang cantik itu: Mukanya bundar sebagai
bulan empat belas ... rambutnya hitam serta berkilat-kilat ... sanggulnya
besar dan bulat, tergantung di atas tengkuk yang putih bersih itu ... di
atas leher yang jenjang itu kelihatanlah pipi yang halus yang
memberahikan hati, lebih-lebih kalau senyum yang bersimpul di sudut
mulut anak dara itu keluar, sehingga pipi yang manis itu berliang di
kanan dan di kiri .... Dilihatnya pula bentuk bahu adindanya yang halus
itu ... dada yang penuh itu, ditutupi oleh baju kebaya ... pinggang yang
ramping ... paha yang tambun serta dengan lunaknya, keduanya dipalut
sarung batikar Lasam ... dilihatnya pula betis yang bulat serta dengan
halusnya itu, berjejak di atas tumit yang seperti telur burung ....
Ya, semua bagian-bagian itu tergambar dalam hati Aminu'ddin,
mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.
Karena nyatanya ia melihat gambar adindanya itu, ia pun mendekap
udara yang di hadapannya, pada sangkanya tubuh adindanyalah yang
dipeluknya itu, akan tetapi suatu pun tiada. "O, aku bermimpi," pikir
Aminu'ddin; belum sekarang, besoklah baru aku melihat muka
Mariamin, di situlah aku mendengar suaranya yang merdu itu. "Ah,
sungguh amat lama malam ini, seolah-olah tak berkesudahan rasanya."
Sementara itu bulan dan bintang-bintang telah melewati baris yang
membentang di langit, dari utara sampai ke selatan, yakni yang menjadi
watas timur dan barat. Malam pun telah jauh, suatu pun tak ada yang
kedengaran, hanya suara jengkerik dan makhlul yang•kecil-kecil di
tengah padang yang luas itu. Angin yang lemahlembut itu pun telah
berhenti, sehingga daun tembakau yang leba, itu tiada bergerak lagi.
Aminu'ddin tinggal juga di luar, tiadalah ia dapat tidur. Perjalanan
bintang yang lambat-lambat itu ditentangnya dan kalau ada sebuah
bintang yang lenyap ke batik Gunung Sibualbuali, ia pun menyangkakan,
makin dekatlah kedatangan matahari itu ... makin dekatlah
waktunya ia melihat adindanya. "Kalau ia sakit dan kalau ia ... tentu
adindaku terlambat datang, " pikir Aminu'ddin.
Hati Aminu'ddin gundah gulana dan darah di dadanya berdebardebar,
karena perasaan hatinya yang demikian itu membuat jantungnya
lebih kencang bergerak dan darahnya mengalir dengan cepat dalam
seluruh urat-urat badannya.
Dalam hal yang demikian itu merasalah Aminu'ddin dirinya amat
letih, sedang keringatnya pun mengalir di punggungnya. la pun
tertidurlah dengan amat nyenyaknya. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi
melihat Mariamin hanyut di sungai, yakni sungai yang dahulu itu juga
tempat ia dapat kecelakaan. Akan tetapi terjadinya itu waktu siang hari
dan air pun tiada berapa derasnya. Mariamin meraung dan berteriak
meminta pertolongan.kepada Aminu'ddin, akan tetapi ia diam saja.
Anak gadis itu hanyut serantau, dua rantau ... suaranya pun makin
sayup-sayup ... yang akhirnya lenyap dari mata Aminu'ddin. Dan ... ia
pun melompatlah hendak mengejar adiknya itu.
Aminu'ddin terperanjat daripada tidurnya dengan heran, karena
setelah ia bangun, tahulah ia bahwa ia telah berdiri di atas tanah. la
menggosok-gosok matanya dan mengingat apa yang kejadian atas
dirinya. Tiada berapa lama, ia pun sadarlah akan dirinya dan barulah ia
tahu, penglihatannya itu tiada benar, hanya mimpi jua adanya.
"Apatah gerangan maknanya mimpiku yang ajaib ini? Adakah patut
di akal, aku membiarkan Mariamin dihanyutkan air? Mustahil! Tak
mungkin! Ialah yang lebih berharga bagiku di atas bumi ini. Tetapi
sungguh ajaib mimpiku ini." Demikianlah Aminu'ddin berpikir-pikir
sambil ia duduk di atas bangku yang di muka tempat tidurnya.
Bintang Timur yang menandakan hari akan siang telah ke luar dari
sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah merah kekuningan
rupanya, makin lama makin nyata dan jernih, langit pun sebagai
disepuh dengan mas juita rupanya dan fajar pun telah menyingsinglah.
Meskipun si penerangi alam ini belum ke luar daripada peraduannya,
akan tetapi cahayanya yang elok itu telah kelihatan. Ke sana-sini
pada segenap lingkungan alam terpancarlah sinarnya yang amat permai
itu, ke luar daripada suatu benda yang bundar, sebagai anak panah yang
melayang daripada busurnya.
Semuanya itu dipandang Aminu'ddin dengan kegirangan hatinya,
karena saat kedatangan matahari itu tiada ternilai harganya pada
Aminu'ddin, sebab bukan sajalah ia membawa panas dan sinar ke bumi
ini, tetapi sekali ini adalah ia seakan-akan membaw.a benda yang lebih
mahal daripada intan dan zamrud, yaitu Mariamin jiwa utamanya itu.
Sebentar lagi ... dilihatnyalah muka adindanya itu, muka yang
sebenarnya, bukan bayangan saja lagi ... ya, sekejap mata lagi ....
Akan tetapi suara Mariamin yang berteriak-teriak dengan sayupsayup
meminta tolong itu masih kedengaran olehnya, tiada berkeputusan.
Semuanya itu tak lain dari angan-angan Aminu'ddin saja.
Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminu'ddin ke stasiun
Pulau Berayan, karena itulah perhentian kereta api yang lebih dekat
pada perkebunan tempat ia bekerja. Sesampai ia di Medan, ia pun
menyewa sado akan pergi ke rumah kaumnya memberitahukan,
kedatangan ayahnya itu. Segala orang yang melihat Aminu'ddin, tiadalah
dipedulikannya. Kuda Batak yang me-' narik sado itu pun berlarilah
dengan kencangnya dan tangkas, sehingga rupanya sebagai burung
terbang. Roda sado itu pun seperti kebiasaan sado di kota Medan,
berlingkar karet, sehingga suaranya tiada kedengaran waktu berputar di
atas jalan-jalan kota yang permai itu, hanyalah suara kuku kuda yang
berlari-lari itu saja yang kedengaran, seolah-olah suara balam yang
mengepakngepakkan sayapnya. Sais yang berpakaian putih itu pun
sudah tentu menambahi eloknya sado itu di mata, membunyikan
cambuknya yang berbunga, apabila sampai di jalan yang ramai suara
lonceng pun kedengaranlah, kalau mereka itu melalui jalan yang berbelok.
"Berhenti, Bang," ujar Aminu'ddin, setelah mereka itu sampai di
Sungai Rengas. Sais itu menarik tali les dan sekejap itu pun kuda Batak
yang mengerti itu menahan kekuatan menarik kereta itu ...; dua tiga
langkah ... ia pun berdirilah di tepi jalan.
"Tunggu, Bang," kata Aminu'ddin, seraya ia turun. Tiada berapa
lama, datanglah ia kembali dengan kaumnya itu, kedua laki-istri.
Mereka itu hendak turut juga mengelu-elukan kedatangan Baginda
Diatas. Dengan memakai dua sado, berkeretalah mereka itu ke stasiun.
Di tengah jalan, orang lalu memperhatikan orang muda itu. "Siapakah
gerangan anak muda itu?" Tanya masing-masing yang bersua dengan
mereka. Pertanyaan itu dapat diketahui Aminu'ddin pada air muka
orang itu. Ya, benar ia seperti orang baru, tetapi bukan disebabkan
pakaiannya lebih buruk daripada yang biasa, tetapi sekali ini lebih
bagus.
Sebagai dimaklumi orang di Medan amat berahi akan potongan
pakaian yang bagus, lebih-lebih di antara laki-lakinya, sedang pada
perempuannya kurang. Di negeri lain perempuanlah yang berkeinginan
benar akan pakaian yang indah-indah, sedang lakilakinya kurang.
Aminu'ddin memakai-makai lebih daripada sehari-hari itu bukanlah
karena hendak melagak; ia memakai baju dan celana sutera Cina ...
kopiah beledu sutera yang lembayung ... sepatu yang berkilat-kilat ...
hanya dengan maksud, supaya ia lebih pantas di mata adindanya itu.
Barangkali pakaiannya yang elok itu dapat menghilangkan mukanya
yang dimakan panas dan angin itu, karena ia bekerja selalu kena panas
dan angin.
Akan tetapi Aminu'ddin menyesal juga, sebab pikirnya, "Pakaianku
bagus dan Mariamin tentu tidak, karena ia baru datang dari perjalanan
yang sejauh itu. Tentu kuranglah baiknya perbuatanku ini. la tiada pula
mempunyai kebaya sutera atau sarung Yogya, sebab ibu kami miskin.
Akan tetapi tak mengapa; pakaian apakah nanti yang tiada akan dapat
kubeli untuk dia, kalau nyawa masih di kandung badan?"
Sedang berpikir-pikir demikian, maka sampailah mereka ke stasiun.
Aminu'ddin membayar sewa sado itu, dan kedua laki istri pun pergilah
duduk ke kamar tempat menunggu kereta api, karena ada setengah jam
lagi baru kereta api dari Tebingtinggi datang.
Setengah jam lagi ... datanglah ia, tapi apakah yang tertulis di papan
yang tergantung dekat jendela tempat membeli karcis itu?
"Kereta api dari Tebingtinggi terlambat dua puluh menit," demikianlah
bunyi tulisan itu dibaca.
Aminu'ddin dengan bersungut-sungut, sebab jam sepuluh itu, yaitu
saat yang nikmat yang akan diterima Aminu'ddin.
"Sabar! Tak mengapa itu, sekian lama sudah dinanti dengan tenang,
apalagi waktu yang dua puluh menit. Waktu yang bertahun-tahun
sekejap mata saja, karena jiwaku telah kembali ke tubuhku," kata
Aminu'ddin dalam hatinya.
Dalam kamar dan ruang stasiun itu telah penuh orang, ada yang
hendak pergi ke perjalanan, ada pula yang menunggu kedatangan kaum
kerabatnya. Di sana-sini pekerja-pekerja dan pegawai kereta api sibuk
dan ramai menjalankan kewajibannya.
Kereta seretan hilir-mudik mengantarkan barang-barang yang
hendak dimuat, amat ribut suaranya, sedang orang yang banyak itu pun
berkumpul di ruang stasiun, akan menantikan kereta yang datang itu;
sebentar-sebentar mereka itu meninjau ke barat, melihat kalau-kalau
asap kereta itu telah nampak.
Bunyi kereta api itu pun kedengaranlah, makin dekat makin kerat.
Asap yang berkepul-kepul beterbanganlah ke kanan dan ke kiri ... dan
kesudahannya kereta itu pun memasuki stasiun itu dengan suara yang
menderu-deru, sehingga tanah itu gemetar karena hebatnya.
"Allah," mengucap Aminu'ddin, "datanglah Mariamin?"
Sabarlah ... hanya sekejap lagi.
Hati Aminu'ddin berdebar-debar, dadanya gemuruh ... tiada berapa
lama antaranya kelihatan bapaknya sudah turun dari kereta, tetapi
Mariamin belum; tentu sebentar lagi ....
Sebagai kijang yang luka kena tembak, Aminu'ddin pun berlarilah
mendapatkan ayahnya itu. Akan tetapi saat yang nikmat itu bergantilah
dengan ketika yang belum pernah dirasa anak muda itu.
Ayahnya itu membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi bukanlah
Mariamin yang diharap-harapnya itu ....
Bagaimana pertemuan anak muda itu tak dilukiskan di sini.
Tiadalah dapat menuliskan sedih dan pilu, kesal dan kecewa yang
diderita hati anak muda remaja itu. Sungguh terlampau berat akan
melukiskan hal itu.
Dengan lekas-lekas mereka itu, yang datang dan yang menanti,
berkereta ke rumah famili Aminu'ddin. Semua hal itu sebagai mimpi
bagi dia, tiadalah ia sadar benar akan dirinya.
Lepas makan tengah hari, Baganda Diatas pun bercakaplah
menceritakan kedatangannya dan hal ihwal yang menyedihkan hati
Aminu'ddin itu. Kesudahannya ia berkata, "Benar perbuatan kami ini
tiada sebagai permintaan anaknda, tetapi janganlah anakku lupakan,
keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami
orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang
tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak, dan
ibumu serta sekalian kaumkaum kita anakku akan menurut permintaan
kami itu, yakni anaknda terimalah menantu ayahanda yang kubawa
ini!"
Meskipun Aminu'ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi
pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu
semua. Bukanlah disebabkan ia tiada setia kepada Mariamin, akan
tetapi apakah dayanya melawan orang yang sebanyak itu? Lagi pula hal
itu sudah terlanjur sekali, tak dapat diundurkan lagi. Apatah kata
bapaknya nanti, bila anak gadis yang dijemput ayahnya itu dikembalikan
kepada orang tuanya? Itu belum pernah kejadian dan bukan adat!
Malu orang tuanya, malu Aminu'ddin juga, sedang menurut kitab
anak itu tiada boleh durhaka kepada orang tuanya.
Sebenar-benarnya Aminu'ddin setia juga kepada adindanya itu, akan
tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amatlah berat
lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu.
Pendek kisah, Mariamin yang malang itu hanyut juga, makin lama
makin jauh, sehingga lenyap dari mata, sedang suaranya minta tolong
itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk.
Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu.
Siapa yang salah? Dalam hal ini nyatalah adat dan kepercayaan
kepada takhyul itu yang mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu.
Dunia ini tempat panas dan hujan, duka dan suka berganti ganti di
atasnya.
Kesudahannya cinta yang malang itu ada jugalah ekornya.
Sedang Aminu'ddin duduk dalam kamarnya, sebenarnya dalam
kamar kaumnya, tempat ia menumpang sementara itu yaitu sesudah
nikah dilakukan, ia pun berpikir dalam hatinya, "Pada waktu inilah
harus aku berkirim surat kepada Mariamin, memberitahukan hal ini dan
minta ampun kepadanya. Haramlah bagiku akan mengaku orang lain
istriku, sebelum perkataan meminta maaf ke luar dari mulutku; akan
jawabnya tak mungkin dapat ditunggu. Bila aku menulis surat kepada
Mariamin, sudahlah cukup sebagai meminta ampun. Surat yang akan
dibaca Mariamin itu, itulah ganti mukaku berhadapan dengan anak dara
itu."
Maka ia pun mengambil sehelai kertas, lalu menulis surat.
"Anggiku Mariamin yang amat kucinta !
Sebelum kakanda menceritakan sebabnya kakanda berkirim
surat ini, lebih dahulu kakanda meminta doa kepada Allah,
supaya la memberi adinda kekuatan akan menahan kabar yang
akan kuberitakan ini kepada adinda.
Riam, berat yang kupikul, ngeri perasaanku sampai pada
waktu menulis surat ini. ... Hatiku remuk-redam.
Engkau pun tentu demikian. Sebab itu kumpulkanlah
tenagamu, pikullah bebanmu dengan hati yang sabar sebagai aku.
Anggi Riam, kasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah,
engkau tak kulupakan dari dahulu sampai sekarang, ya, sehingga
matiku. A ku pun percaya, adinda kasih juga akan diri kakanda,
sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan keampunan itu
harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang
terbuang-buang di rantau ini.
Sekarang sampailah tulisanku ini kepada kabar yang
meremukkan hatimu. Ayah kita sudah datang ke Medan membawa
anak yang lain, dan kawan sehidupku.
Riam tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah.
Akan tetapi sudah jauh terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi.
Dengan nama Allah kakanda bersumpah, bahwa kakanda tak
bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah yang kakanda
katakan: Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang
Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan
penanggungan kita yang sedih ini. Allah yang kasih akan
hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini berkesudahan
yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda.
Dan sekarang kita lupakanlah sekalian angan-angan dan janji
kita yang dahulu itu. Ya, apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut
ke taut kedukaan.
Kalau adinda ada semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih
dan cinta yang bertahun-tahun itu kita biarkan hidup dalam kalbu
kita berdua.
Anggi Riam, buah hatiku, percayalah bahwa kakanda takkan
melupakan adinda, selama ada hayat di kandung badan, Orang
lain, istriku yang sekarang pun, tiadalah dapat kukasihi dengan
sepenuh-penuh hatiku, karena ruangan kalbuku telah penuh
olehmu.
Akan penutup suratku ini, kakanda memberi pengakuan kepada
adinda, yakni pengakuan yang ke luar dari fuad zakiyat, bahwa
surat ini kusurat dengan perkataan yang terbit dari piala
keikhlasan hatiku. Dan sebagai permintaan yang penghabisan,
tetapi ini tak kuharapkan, kakanda ingin sekali menerima surat
balasan daripada adinda, yakni surat keampunan, supaya ombak
waswas yang berpalu-paluan di atas karang wasangka hati
kakanda itu, agak teduh sedikit rasanya.
Selamat ..., selamatlah engkau Riam. Tuhan memberkati
jiwamu !
Salam takzim daripada kakanda yang gundah gulana,
AMINU'DDIN
Sambil ia menghapus air matanya yang jatuh menitik ke atas surat
itu, ia memasukkan surat itu ke dalam sampulnya, lalu dibawanya
malam itu juga ke kotak pos. Istrinya yang baru itu heran melihat
perbuatan suaminya itu, lebih-lebih melihatnya yang balut itu, ajaib
benar kepada dia, sebagai teka-teki yang tak dapat diterka.
Sebulan lamanya Baginda Diatas di Deli mengunjungi kaumkaumnya.
Maka ia pun kembalilah dengan membawa pesanan yang
wajib dilakukan. Karena kalau tiada demikian, tak suka Aminu'ddin
menurut perkataan itu. Lagi pula menurut adat, seharusnyalah ia
berbuat demikian.
Apakah pesan yang dibawa bapaknya itu?
Yaitu setelah sampai di Sipirok, ia dan istrinya harus membawa nasi
bungkus ke rumah ibu Mariamin<nowiki>*)</nowiki> meminta maaf, sebab Aminu'ddin
telah berjanji dengan Mariamin akan kawin. Akan penutup perbuatan
yang salah itu, haruslah mereka itu memberikan seekor lembu dan
kerbau kepada ibu Mariamin.
Hal itu diminta keras oleh Aminu'ddin kepada ayahnya, bukan
supaya menurut adat saja, tetapi maksud menolong adindanya yang
miskin itu, lebih berat padanya daripada adat.
Suatu tanda, bahwa Aminu'ddin bertabiat yang mulia terhadap
kepada sahabatnya yang malang itu.
Jadi nyatalah, bahwa ia tiada dusta, waktu menulis, "Saya mengaku,
takkan berkurang kasihku akan dikau, Riam."
<nowiki>*)</nowiki> M enurut adat orang Batak, orang yang meminta ampun
akan kesalahannya, harus membawa nasi ke rumah
orang tempat ia meminta ampun itu, supaya langkahnya
berat. Nasi itu biasa dibungkusdengan daun pisang;
sebab itu nasi itu bernama nasi bungkus.
Ya, benar; akan tetapi acap kali kejadian di dunia ini bahwa huruf
yang terukir di hati manusia itu amat mudah lenyap, apabila tukang
ukir yang lain datang.
== DALAM RUMAH BAMBU MARIAMIN ==
"Kak Riam! Ini surat, yang diberikan seorang tukang pos," kata seorang