Azab dan Sengsara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Kenrick95 (bicara | kontrib)
Baris 25:
* [[/Bab 7]] : Dalam Rumah Bambu Mariamin
 
* [[/Bab 8]] : Di Tanah Asing
== DI TANAH ASING ==
Bukit-bukit yang berbaris-baris di Pulau Samosir itu sebagai tertutup
dengan beledu nampaknya dari jauh; langit yang tak berawan itu adalah
seperti payung ubur-ubur, yang diperbuat daripada sutera hijau,
masing-masing melihat bayang-bayangnya ke muka air Danau Toba
yang jernih itu, seolah-olah dua orang bidadari yang berdiri di muka
kaca besar, akan mempersaksikan parasnya yang elok. Bunga-bunga
yang berkembangan di pantai Laut Tawar<nowiki>*)</nowiki>, serta cahaya embun yang
berhamburan pada daun rumput-rumput, adalah pada mata kita sebagai
halaman yang permai, penuh dengan intan permata. Pemandangan yang
permai itu ditambahi suara alam yang merdu, sehingga telinga kita pun
merasai kenikmatan dunia ini.
Pada segenap padang rumput yang terletak di lereng-lereng bukitbukit
berkeliling danau itu, kelihatan hewan beratus-ratus banyaknya.
Padang- itu ingar oleh suara kerbau yang menguak, lembu yang
mengeluh, dan kuda Batak yang termasyhur itu pun tiada kurang
bilangannya, karena di sinilah tempatnya, dan dari negeri itulah orang
menjual binatang-binatang itu pada segala penjuru Tapanuli, seperti ke
Medan, pun juga sampai ke Jawa. Siapakah yang tak suka melihat
jalannya kuda Batak yang kencang itu, siapakah yang tak ingin
menungganginya, karena meskipun ia berpacu atau mendua, pandailah
ia menjaga, supaya tuannya yang mendudukinya itu diam dan tiada
terlonjak-lonjak.
Tengoklah perahu yang di atas muka air itu! Haluannya terhadap ke
utara, dan ia baru meninggalkan Balige, ibu negeri daerah Toba. Angin
sedang berembus dari belakang, sehingga perahu itu berlayar dengan
lajunya; layar pun terkembang semua, sebagai sayap burung yang
sedang melayang di udara. Kalau dihampiri perahu itu tentu
kedengaranlah suara orang menumpang yang bercakap-cakap dengan
riangnya; ada yang tertawa gelakgelak, ada yang bernyanyi, ada pula
yang bersiul. Siapakah yang tiada bergirang hati melihat pemandangan
yang seindah itu?
Tetapi di antara orang banyak itu ada juga seorang perempuan yang
duduk bermuram durja. Meskipun ia mencoba-coba menghilangkan
dukacitanya, tak juga dapat olehnya. Kadang-kadang ia memaksa
dirinya akan tertawa menyertai orang yang terbahakbahak sekelilingnya
itu, akan tetapi ia tertawa itu sekedar akan menyama-nyamai orang itu
saja.
<nowiki>*)</nowiki> Danau Toba dinamai orang juga Laut Tawar,
artinya laut yang airnya tawar.
Siapakah perempuan muda itu? Tak lain ialah Mariamin, dan perahu
itulah yang membawa mereka dengan kawannya seperjalanan ke Tiga-
Ras. Dari situ berjalan darat ke Pematangsiantar, dan kemudian terus ke
Medan. Pada waktu itu adalah susah berlayar dari Balige ke Tiga-Ras,
karena kapal api kecil belum ada.
Sudah tiga hari lamanya Mariamin bersama-sama dengan suaminya,
tetapi sampai waktu itu belum dapat olehnya hati suaminya itu, sedang
tabiatnya pun belum diketahuinya. Akan mengambil hati orang,
haruslah lebih dahulu kita kenal adat dan tabiatnya. Makin lama mereka
itu bersama-sama, sebenarnya, makin dekat mereka itu ke Medan,
tujuan perjalanan mereka itu,, makin besar waswas yang timbul dalam
hatinya. Oleh sebab itu' sudah tentu ia tiada beriang hati, setelah
mereka itu sampai di Medan.
"Mustahil aku selamat di tangannya. Inilah rupanya sebabnya aku
selama ini berhati syak melihat dia. Tetapi tak mengerti aku, ya, tak
kusangka-sangka, ia ada dalam hal yang demikian itu," kata Mariamin
dalam hatinya. Waktu itu suaminya pun sudah pergi kerja; ia sendirilah
yang tinggal di rumah. Semua pekerjaannya telah habis: makanan
tengah hari telah sedia, rumah dan pekarangan pun telah bersih
disapunya. la duduk sekarang menantikan suaminya pulang dari kerja.
Pada ketika itu ia mengenangngenangkan perjalanan kehidupannya
sejak dari kecil, sebagaimana kebiasaan perempuan yang baru kawin.
Apabila ia memikirkan kan hal suaminya itu, berdebarlah hatinya sebab
ketakutan.
"Patutlah ia pucat dan kurus," kata Mariamin pula dalam hatinya.
"Seharusnyalah saya menjaga diriku supaya jangan menjangkit
penyakitnya itu kepadaku. Kalau aku beroleh dia, sudah tentu badanku
binasa." Ia gemetar, karena takutnya memikirkan penyakit yang serupa
itu. "Akan tetapi kalau ia memaksaku, apakah jawabku? Karena
kewajibanlah bagi perempuan menyerahkan dirinya, bila suaminya
meminta yang demikian. Itu tak boleh ditolak, karena atas itu ada hak
suami kepada perempuan. Kalau aku tak memenuhi hasratnya, tentu
aku dimarahinya, lamakelamaan dibencinya. Kesudahannya percederaanlah
yang timbul antara kami. Apakah jadinya pengakuanku,
tatkala aku dengan ibuku bersama-sama di kuburan ayahku itu?
Kalau diturut keinginan suamiku itu, tentu binasalah badanku.
Sebab itu baiklah aku menjaga diriku, itulah yang terutama aku
lakukan. Mula-mula aku akan berlaku halus kepadanya, kubujuk dan
kusuruhkan dia rajin berobat. Kalau dia sudah sembuh, barulah ia
menguasai tubuhku. Sebelum itu belum boleh." Demikianlah keputusan
pikiran Mariamin perempuan yang berhati keras itu.
Pada malam itu datanglah apa yang disangka-sangka perempuan itu.
Akan tetapi ia menjawab dengan muka yang jernih serta suara yang
lemah-lembut, "Sabarlah Kakanda, apakah gunanya berdua sama-sama
susah di belakang hari. Kalau kakanda sudah baik masakan itu tak
kuturut. Oleh sebab itu haruslah dahulu kakanda kuat-kuat berobat."
Si laki meminta berulang-ulang, dengan bujuk, dengan perkataan
keras, tetapi perempuan itu menyahut, bahwa tak mungkin ia dapat
memenuhi kehendak itu. Meskipun bahasanya lemah-lembut, akan
tetapi Kasibun merasa juga bahwa istrinya itu tak dapat dibujuk atau
dipaksa. Oleh sebab itu diamlah ia. Oleh karena perantaraan mereka
berlaki-istri sudah kurang baik, karena si laki itu pun kecil hatinya dan
malu akan dirinya sendiri.
Dari kejadian itu dapat dimaklumi, apa sebab Mariamin menolak
kehendak suaminya. Memang Kasibun mengandung penyakit yang berbahaya,
yang mudah menular kepada istrinya. Maklumlah kehidupan
orang di negeri yang besar-besar itu. Kuranglah orang mengindahkan
hukum syarak dan larangan kitab. Godaan pun amat banyaknya. Karena
itu banyaklah orang yang kurang hati-hati akan memeliharakan dirinya,
lebih-lebih orang-orang muda. Mereka itu terlampau asyik akan
permainan dunia, amat suka menyenang-nyenangkan diri, melakukan
kepelesiran, ... akan tetapi tiadalah dipikirkannya terlebih dahulu, mana
yang salah, mana yang dilarang kitab. Sekaliannya itu tak diindahkannya,
asal hati dan nafsunya puas, ia sudah mengerjakannya, sehingga
lama-kelamaan ia menjadi budak nafsunya, bukanlah ia lagi yang memerintahkan
dirinya. Orang yang serupa itu tentu akan binasa di
belakang hari. Kasibun, suami Mariamin yang suci itu, masuk golongan
orang yang serupa itu.
Akan tetapi apa boleh buat; siapakah orang mengetahui dia itu?
Sipirok bukan kota besar, di Sipirok tak adalah orang yang berkeliaran
pada waktu malam hari.
Kesudahannya Mariamin anak yang bersih itu menjadi kurbannya,
karena ia tiada sempat, sebenarnya tak mendapat paksa akan
memeriksa itu. Mereka itu pun kawin dengan tiada kenalmengenal.
Pada waktu itu amatlah ramai kota Medan, lebih daripada yang
biasa. Jalan-jalan besar penuh dengan kereta yang hilir mudik, sehingga
amatlah susahnya bagi orang yang berjalan kaki melalui jalan itu, debu
pun bangkit ke udara, karena air yang disiramkan itu kering dengan
sebentar itu juga. Keramaian yang serupa itu terjadi dua kali sebulan,
yaitu tanggal satu dan tanggal enam belas hari bulan. Di situlah
waktunya orang-orang bekerja di kebun datang ke Medan, beribu-ribu
banyaknya, Belanda, Cina dan Bumiputra.
"Siapakah orang muda yang datang itu? Jalannya dan lenggangnya
masih kuingat-ingat," tanya Mariamin dalam hatinya. Ia amat heran,
karena tiadalah biasa ia dikunjungi jamu, lebih-lebih laki-laki, karena
seorang pun tak ada kenalannya dalam kota Medan yang besar itu.
Orang itu makin dekat, dan nyatalah pada Mariamin, dia itu datang
menuju rumahnya. Akan tetapi rupa muka orang itu belum terang
dilihatnya; jalannya sudah dikenalnya benar-benar. Berulang-ulang ia
bertanya kepada dirinya, siapa gerangan orang itu. Dia itu mesti
dikenalnya, akan tetapi pada waktu itu belum terang dalam hatinya.
"Astaga!" mengucap Mariamin dengan muka pucat. "Aminu'ddinlah
rupanya orang itu," katanya terburu-buru, serta dadanya berdebardebar.
Sebelum orang itu melihat dia, ia pun berlarilah masuk ke dalam. Ia
duduk di atas sebuah kursi di kamar muka, akan menahan hatinya yang
berdebar-debar itu. Tiada berapa lama ia pun berpikir, "Boleh jadi
orang itu orang lain, manusia banyak yang serupa dari jauh. Aku bodoh
sekali, tiada kuperiksa benar-benar."
Adapun orang itu tiadalah lain memang Aminu'ddin. Waktu itu
tanggal enam belas yakni waktu istirahat bagi orang kebun. Ia sudah
mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah sebabnya ia datang
ke Medan, dengan maksud hendak bersua dengan Mariamin, sahabatnya
yang tak dilupakannya itu.
Sedang Mariamin berpikir-pikir demikian, maka ia pun berdirilah
hendak melihat dari pintu itu ke luar. Inginlah ia hendak mengetahui
yang sebenarnya. Lagi pula ia berlari ke dalam- itu bukan disebabkan
jaiznya, hanya hendak meneduhkan ombak gelora yang hebat dalam
dadanya jua.
Akan tetapi baru ia hampir ke pintu, maka kedengaranlah olehnya
suara orang itu bertanya, "Inikah rumah kerani Kasibun, adakah ia di
rumah?"
"Ya, itulah dia. Orangnya tentu ada di dalam, karena pintunya
terbuka," jawab seorang anak yang ditanyai Aminu'ddin.
Mariamin makin pucat, karena suara orang itu telah dikenalnya,
sehingga tak tahulah ia apa yang akan diperbuatnya.
Sementara itu masuklah Aminu'ddin ke dalam dengan langkah
perlahan-lahan. Baru ia naik dan berdiri di pintu, mukanya pun pucat
menentang Mariamin. Persuaan itu amat menyedihkan hati.
"Mariamin," kata Aminu'ddin, bibirnya gemetar, dan suaranya
putus-putus, seraya memberikan tangannya.
Mariamin menerima tangan Aminu'ddin. Ia berdiri itu termangumangu.
Amatlah belas dan sedih perasaan hatinya, sehingga ia tak
dapat mengeluarkan sepatah kata jua pun akan mengajak Aminu'ddin
duduk. Kakinya gemetar, peluhnya mengalir pada muka yang makin
pucat itu, sehingga pipi yang halus itu putih sebagai kapas. Maka
lemahlah segala tulang anggotanya dan pikirannya seakan-akan hilang.
"Aminu'ddin!" katanya sambil ia jatuh terbalik. Suaranya hampir
tiada kedengaran.
"Mengapakah Mariamin ...?" kata Aminu'ddin, seraya menangkap
tubuh perempuan itu. Akan tetapi yang ditanya itu tak mendengar dan
melihat suatu apalagi, karena ia telah pingsan.
Hati siapakah yang takkan remuk redam, siapakah yang dapat
menahan persuaan yang sesedih itu? Mungkin ada yang kuat imannya,
tetapi Mariamin tidak. Bagi dia yang melarat itu, sedikit saja duri yang
menyentuh hatinya adalah sebagai membelah dadanya, apalagi
kedatangan Aminu'ddin yang tak disangkasangkanya itu.
Aminu'ddin menyandarkan Mariamin ke atas kursi yang panjang,
dan anak itu disuruhnya mengambil air dingin ke dapur.
Perlahan-lahan ia membasahi muka yang pucat itu. Sapu tangannya
yang dibasahinya diletakkannya pada ubun-ubun yang pingsan itu.
Sedang ia memandang air muka yang pucat itu, teringatlah ia kepada
cita-citanya yang sudah-sudah. Mimpinya itu pun diingatnya dan suara
Mariamin yang hanyut itu didengarnya. "Aminu'ddin! Sampai hatilah
kamu membiarkan aku dihanyutkan banjir keazaban!" bunyi suara yang
didengarnya berulangulang dalam telinganya. la pun tiadalah dapat
menahani air matanya, lalu ia menangis dengan tiada bersuara.
Mariamin pun sadarlah akan dirinya. Matanya itrr dibukanya perlahanlahan.
Maka sesudah ia melihat air mata Arninu'ddin yang bercucuran
itu, ia pun menangislah tersedu-sedu.
"Diamlah Riam, janganlah menangis lagi, sudahlah untung kita
demikian," kata Aminu'ddin seraya mengeringkan air matanya.
"Ya, apa boleh buat," sahut Mariamin, "tetapi kedatanganmu itulah,
Aminu'ddin, yang menyentuh luka hatiku yang dalam itu. Bagi
angkang tiada seberapa, tetapi bagi saya tak dapatlah diduga dalamnya
luka yang kutanggungkan ini."
Sejurus lamanya kedua mereka itu duduk berhadap-hadapan dan
seorang pun tak ada yang berkata, masing-masing termenung, karena
terkenang akan pergaulan mereka yang sudah bertahun-tahun dahulu.
Maka amatlah sunyinya dalam rumah itu, suatu pun tak ada yang
kedengaran, hanya suara kereta dan kaki kuda, yang lalu-lalang di jalan
besar kota Medan yang indah itu.
Kemudian Mariamin berkata, "Aminu'ddin, tentangan yang sudahsudah,
biarlah tinggal begitu, jangan kita pikir-pikirkan lagi."
"Maafkanlah kesalahanku itu," kata Aminu'ddin.
"Semuanya itu sudah lama kulupakan," sahut Mariamin.
"Ya, kesalahanku ini, karena saya datang seolah-olah menyakitkan
hatimu pula."
"O, itu tak mengapa, karena saya tahu yang engkau datang mengunjungiku,
sebab ramahmu dan tali perkauman kita. Seharusnyalah
saya mengucap terima kasih akan kebaikan budimu itu. Maaf
Aminu'ddin, saya hendak pergi sebentar ke dapur hendak mengambil
air panas. Dan saya harap Aminu'ddin sudi makan tengah hari di sini."
"Terima kasih, Riam, sebab dengan kereta pukul 12 saya mesti
balik."
"Kalau demikian air panas sajalah!"
"Baik," kata Aminu'ddin.
Mariamin pun pergilah ke dapur. Maka ia pun membawa kopi tiga
cangkir serta kue-kue sedikit, lalu diletakkannya ke hadapan
Aminu'ddin. Dengan muka yang ramah ia pun mengajak minum
bersama-sama. Sedang minum, Aminu'ddin berkata, "Di manakah tuan
kerani?"
"Belum pulang dari kantornya," sahut Mariamin. "Sudah berapa
lama Mariamin di sini?" "Belum genap sebulan."
"Tentu Mariamin ada bersenang hati di tangannya, bukan?"
Mariamin mengeluh, seraya menjawab, "Apakah gunanya Aminu'ddin
bertanyakan hal itu?"
"Saya ingin akan mengetahuinya. Bukankah orang yang bersahabat
itu harus mengetahui halnya masing-masing? Kalau engkau senang
tentu saya pun bersukacita."
"Hidupku takkan lepas dari sengsara," kata Mariamin. "Mengapa
engkau berkata demikian? Tiadakah sayang kerani itu akan dikau?"
tanya Aminu'ddin.
"Wallahu alam."
"Jangan demikian, Riam. Haruslah kita pandai mengambil hati
orang dan memasukkan diri kita."
"Ah, lebih dari itu kuperbuat," sahut Mariamin dengan suara yang
sedih. Air matanya jatuh, waktu ia mengeluarkan perkataan itu.
Aminu'ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan
percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah
sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamin amat
sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia.
Itu benar. Kasih tak ada dalam hatinya, sebaliknya kebencian yang
tumbuh, karena Mariamin tak suka menurut kehendaknya, meskipun ia
yang salah.
Pukul setengah dua belas pulanglah Aminu'ddin meninggalkan
rumah itu, meninggalkan Mariamin. Matanya basah oleh air mata,
sebab sedihnya mengenangkan perceraian mereka itu, perceraian yang
akhir sekali di atas bumi ini, karena sejak itu tak pernah lagi mereka itu
bertentangan muka.
Kita kembali kepada hidup kedua laki-istri, Kasibun dan Mariamin,
sebagai yang sudah dikatakan, kuranglah baiknya percampuran kedua
orang itu. Yang laki selalu menaruh cemburu dalam hatinya, dan
kadang-kadang ia berpikir, "Barangkali disebabkan ia bagus dan muda,
aku lebih tua dan buruk, itulah sebabnya ia tak tertarik hatinya
kepadaku, dan selalu menolak kehendakku." Maka timbullah dalam
hatinya rupa-rupa pikiran yang busuk-busuk tentang Mariamin; ya,
pikiran yang tak patut-patut. Maklumlah, siapa yang jahat itu tentu
memikirkan orang lain jahat pula sebagai dia. Perkataan dan
kelakuannya pun sudah jauh berkurang kepada Mariamin, lebih-lebih
setelah ia mendengar, bahwa Aminu'ddin datang ke rumahnya, tatkala
ia ada di kantor. Sejak itu amatlah ia membenci Mariamin.
"Perempuan yang tak boleh dipercayai," katanya kepada Mariamin
kalau hatinya panas.
"Apakah sebabnya saya menerima perkataan yang serupa itu?"
sahut Mariamin. Tiadalah dapat ditahaninya, kalau orang menaruh syak
akan dia.
"Orang lain kauterima. Suamimu tak kauindahkan," kata suaminya
itu.
"Tiadalah pernah langkahku salah. Dia itu kaum dan senegeri
dengan saya; salahkah, kalau ia mengunjungi saya? Tuan tak kuindahkan,
pabilakah itu?" jawab Mariamin.
"Selamanya tiadakah engkau tahu, bahwa aku lakimu? Engkau
kubeli<nowiki>*)</nowiki>, karena itu harus menurut kehendakku!"
"Sebenarnyalah yang demikian itu. Saya menolak kehendak tuan,
bukan dengan maksud yang salah, hanya menghindarkan celaka."
Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian di antara mereka
itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang bengis itu tak segan
menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang
dipukulnya, disiksanya ....
Penanggungan Mariamin itu tiadalah ditambah-tambahi. Bahkan
ada yang lebih dari itu, banyak lagi yang keji dan ngeri, yang tak patut
diceritakan.
Meskipun begitu baik juga diceritakan kebengisan yang dilakukan
Kasibun itu pada suatu malam atas diri Mariamin yang malang itu,
<nowiki>*)</nowiki> Engkau kubeli. Perkataan itu menghinakan
perempuan. Si laki yang membayar boli,
merasa dirinya berkuasa mengatakan, "Engkau
kubeli!" bila ia marah kepada bininya.
supaya dapat digambarkan siksaan yang ditanggung seorang
perempuan daripada suaminya.
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, ke luar
dari kamar tiada boleh, pintu sudah dikuncinya. Di atas lantai batu
kamar itu tak ada tikar, sepotong pun tiada. Hendak tidur di atasnya, itu
pun tak mungkin, karena lantai itu dirusnya dengan air. Kalau ia
menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun pun menyepak atau
menempelengnya serta dengan perkataan, "Tutup mulutmu, saya mau
tidur!" Kalau matanya berat dan ia malas bangkit dari tempat tidur,
tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apanya yang kena
tak dipedulikannya.
Paginya itu ia pergi bekerja, sesen pun tak ditinggalkannya uang
kepada Mariamin. Meskipun api tak menyala di dapur tiada peduli ia,
untuk makannya takkan kurang, rumah makan banyak di Medan.
Kesudahannya Mariaminlah yang kelaparan. la sudah berapa kali diusir
oleh suaminya, akan tetapi ke manakah ia akan pergi? Seorang tak ada
kaumnya yang dikenalnya di Medan. Kepada ibunya di Sipirok telah
dua kali ia mengirim surat, akan tetapi siapakah orang yang akan
datang mengambil dia? Sebaliknya ia menyusahkan hati ibunya lagi.
Bagaimanakah perasaan ibu itu, bila ia menerima kabar kesengsaraan
anaknya?
Kalau Mariamin perempuan yang dilahirkan di kota besar, atau
yang biasa diam di negeri yang ramai ... barangkali ia sudah nekat<nowiki>*)</nowiki>.
Karena bagi dia, seorang perempuan yang muda dan cantik lagi
bersih, Mariamin memang cantik, bersih ... ya, sampai waktu itu
dirinya masih suci, tiadalah susah mencari kehidupan dalam kota yang
ramai sebagai Medan, asal ia jangan memandang kehormatannya.
Bukankah beratus, ya beribu-ribu perempuan yang berkeliaran pada
waktu malam? Kebanyakan itu disebabkan nekatnya, hatinya panas, ia
putus asa, karena perbuatan suaminya.
Kesudahannya mereka itu tak mau lagi kawin, mereka itu telah
menerima kesengsaraan yang cukup daripada laki-laki. Dan akan
pengisi perut, ia menjual kehormatannya.
Mariamin mengetahui itu sekalian, akan tetapi tak sampai hatinya
melakukan yang demikian, meskipun godaan yang terlalu itu selalu
dirasanya, dan sangat melarat.
Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai,
keluarlah Mariamin dari rumahnya. Ia berlari ke jalan besar, lalu naik
kereta yang ada di situ.
"Ke kantor polisi, Bang," katanya. Sais itu pun membunyikan
cambuknya dan kereta yang bagus itu pun berlarilah dengan ken-
<nowiki>*)</nowiki> Lari
cangnya. Mariamin menutup mukanya yang bengkak-bengkak. Dengan
sapu tangannya ia mengeringkan darah yang mengalir dari luka yang
pada keningnya. Amat sakit yang ditahannya, tetapi sedikit pun tak
mau dia mengerang, air matanya pun tak ke luar.
Di hadapan kantor polisi itu berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu
berjalan ke dalam, sedikit pun tak segan atau takut perempuan yang
muda itu. Polisi yang berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu,
akan tetapi hatinya belas melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari
pakaian Mariamin tahulah dia bahwa Mariamin orang Batak<nowiki>*)</nowiki>, seorang
bangsanya. Polisi itu membawanya ke hadapan mentri polisi. Mariamin
pun menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu. Perkara diperiksa,
si laki yang ganas itu dipanggil. Selama perkara belum putus, Mariamin
pun disuruh tinggal di rumah penghulu, karena seorang pun tak ada
kenalannya.
Akan tetapi apakah hukuman yang diterima laki-laki yang bengis
itu? Tiada lain daripada ia didenda dua puluh lima rupiah, dan
perkawinan mereka itu diputuskan. Kesudahannya Mariamin terpaksa
pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa
malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil
yang di pinggir Sungai Sipirok itu.
Demikian perempuan yang malang itu menjadi kurban adat yang
sudah kuno itu. Kalau sekiranya persahabatan kedua anak muda itu,
persahabatan dari waktu anak-anak sehingga besar, bertambah rapat
kalau sekiranya jiwa manusia yang kedua itu dipadu menjadi satu,
sudah tentu bertambah dua orang manusia'di atas bumi ini yang hidup
beruntung serta bersenang hati.
<nowiki>*)</nowiki> Orang "Batak", penduduk Tapanuli, dikatakan
orang di Deli orang "Mandailing" akan
membedakan daripada orang "Batak Karo".
 
* [[/Bab 9]] : Penutup Kalam