Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983/Penjelasan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IvanLanin (bicara | kontrib)
IvanLanin (bicara | kontrib)
Baris 542:
 
=== Pasal 10 ===
 
==== Ayat (1) ====
 
Dalam hal pembelian biasa, maka dasar penilaian adalah harga perolehan.
 
Dalam hal tukar menukar atau dalam hal dibeli dari Wajib Pajak lain yang mempunyai hubungan istimewa, maka dipakai nilai perolehan yaitu harga yang harus dibayar berdasarkan harga pasar yang wajar.
 
Contoh dari pertukaran adalah :
 
PT. A PT. B ----------- -------------- harta X harta Y
 
harga sisa buku Rp.10.000.000,- Rp.12.000.000,- harga pasar Rp.20.000.000,- Rp. 20.000.000,-
 
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan. Nilai perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan Pasal 11 ayat (7) huruf b.
 
Sedangkan selisih antara harga pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak.
 
Bagi PT. A terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp.10.000.000,- = Rp. 10.000.000,- sedangkan bagi PT. B terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp. 12.000.000,- = Rp. 8.000.000,-.
 
Pengecualian dari ketentuan tentang penerapan harga perolehan atau nilai perolehan tersebut adalah dalam hal-hal :
 
'''Huruf a'''
 
Terdapat pertukaran saham dari suatu badan dengan harta orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, maka dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya adalah sama dengan nilai harta yang dialihkan (perubahan bentuk dari perseorangan menjadi badan tidak mengakibatkan terhutangnya pajak, dan apabila saham-saham tersebut dialihkan dengan memperoleh laba, maka laba ini baru dikenakan pajak);
 
'''Huruf b'''
 
Bagi badan atau perseroan yang menerima harta sebagai pertukaran atas saham- sahamnya, dasar penilaian harta adalah nilai harta atau harga sisa buku harta yang dipertukarkan;
 
'''Huruf c'''
 
Contoh : Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya adalah harga perolehan bagi pewaris dalam hal harta tersebut tidak boleh disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu apabila harta warisan tersebut dijual, keuntungan penjualan itu dikenakan pajak.
 
Contoh yang sama berlaku juga untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak.
 
==== Ayat (2) ====
 
Dalam hal ada tambahan, perbaikan, dan pengeluaran lain yang secara wajar telah dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas dari harta yang bersangkutan, maka harga perolehan harus disesuaikan dengan pengeluaran tersebut.
 
Tambahan dapat berarti pengeluaran untuk memperoleh suatu aktiva tambahan, dan dapat pula seperti dimaksudkan dalam ayat ini, yaitu pengeluaran untuk menambah kapasitas dari suatu aktiva tertentu.
 
Yang dimaksudkan dengan penyesuaian atas harga perolehan suatu harta adalah :
 
- pengurangan nilai karena penyusutan;
 
- penambahan nilai karena adanya tambahan pengeluaran untuk tambahan, perbaikan atau perubahan untuk meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan.
 
Misalnya suatu harta mempunyai jumlah awal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam tahun berjalan telah dilakukan tambahan atau perbaikan sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), maka jumlah awal tahun berikutnya adalah Rp. 100.000.000,- ditambah Rp. 25.000.000,- dikurangi penyusutan.
 
Pembebanan pengeluaran sehubungan dengan perkiraan harta pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu :
 
a. pengeluaran yang dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya pemeliharaan dan reparasi yang biasanya dilakukan secara berkala, yang dilakukan untuk memelihara manfaat teknis dari harta yang bersangkutan;
 
b. pengeluaran yang dilakukan, yang tidak dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya rehabilitasi, biaya reparasi besar, yang biasanya dilakukan untuk meningkatkan kembali kapasitas atau menambah kapasitas harta yang bersangkutan.
 
Pengeluaran yang termasuk kelompok b, yang masa manfaatnya tidak hanya dinikmati pada tahun pengeluaran itu saja, melainkan untuk beberapa jangka waktu tertentu, maka wajar apabila pengeluaran tersebut dibebankan kepada perkiraan harta (dikapitalisasi) dan selanjutnya dilakukan penyusutan sesuai masa manfaat dari harta yang bersangkutan.
 
==== Ayat (3) ====
 
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu :
 
a. barang jadi; b. barang dalam proses produksi; c. bahan baku dan bahan pelengkap.
 
Ketentuan dalam ayat ini mengatur, bahwa penilaian persediaan barang hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Sedangkan penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata ataupun dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (dengan menggunakan metode first in first out atau disingkat FIFO).
 
Contoh :
 
1) persediaan awal 100 satuan @ Rp. 9,00 2) pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 12,00 3) pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 11,25 4) penjualan/dipakai 100 satuan 5) penjualan/dipakai 100 satuan persediaan akhir 100 satuan
 
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara : rata-rata : ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- 1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 200 s.a Rp10,50=Rp2.100,00 3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 300 s a Rp10,75=Rp 3.225,00 4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 200 s a Rp10,75=Rp2.150,00 5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------
 
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama :
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- No Didapat Dipakai Sisa/persediaan ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- 1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
 
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 100 s.a Rp 9,00=Rp 900,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
 
3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
 
4. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
 
5. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------
 
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.
 
=== Pasal 11 ===