Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983/Penjelasan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IvanLanin (bicara | kontrib)
IvanLanin (bicara | kontrib)
Baris 742:
 
=== Pasal 12 ===
 
==== Ayat (1) ====
 
Pada dasarnya tahun pajak adalah tahun takwim (tahun kalender). Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim, yaitu tahun buku yang meliputi periode selama 12 (dua belas) bulan. Apabila pembukuan Wajib Pajak meliputi periode yang kurang atau lebih dari 12 (dua belas) bulan, maka penghitungan pajak didasarkan atas tahun takwim yang bersangkutan, dengan memperhatikan bulan-bulan takwim dari tahun tersebut.
 
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus diberitahukan pada waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
 
Penyebutan tahun pajak : Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim penyebutan tahun pajak tersebut adalah tahun takwim itu.
 
Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan mempergunakan tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
 
Contoh : a. Tahun pajak sama dengan tahun takwim : Pembukuan 1 Januari s/d 31 Desember 1985. Tahun pajak ialah tahun 1985.
 
b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim :
 
1) Pembukuan 1 Juli 1985 s/d 30 Juni 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai enam bulan pertama dari tahun pajak.
 
2) Pembukuan 1 April 1985 s/d 31 Maret 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
 
3) Pembukuan 1 Oktober 1985 s/d 30 September 1986.
 
Tahun pajak ialah tahun 1986, karena tahun 1986 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
 
==== Ayat (2) ====
 
Pemakaian tahun pajak, baik berdasarkan tahun takwim atau tahun buku harus taat asas (konsisten). Hal ini terutama untuk mencegah kemungkinan adanya penggeseran laba atau rugi, apabila Wajib Pajak diberi kebebasan untuk setiap saat berganti tahun pajaknya.
 
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak ingin mengadakan perubahan tahun pajak, maka kepadanya diwajibkan untuk terlebih dahulu meminta persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
 
=== Pasal 13 ===
 
==== Ayat (1) ====
 
Setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia. Pembukuan tersebut harus terdapat dan diselenggarakan di Indonesia, sebab pembukuan itu adalah dasar untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yang dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga harus dapat diperiksa di Indonesia, untuk mengetahui bahwa pembukuan itu telah dilakukan dengan benar, sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dari pembukuan harus dapat diketahui laba netto dari usaha atau penghasilan netto.
 
Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
 
Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
 
Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya, yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.
 
Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
 
Contoh :
 
a. Penghasilan :
 
1) Penjualan Jumlah penyerahan = Rp. 10.500,00 Terdiri dari : - penyerahan yang telah diterima pembayarannya = Rp. 10.000,00 - penyerahan yang belum diterima pembayarannya = Rp. 500,00 Stelsel Akrual : penghasilan (penjualan) = Rp. 10.500,00 Stelsel Kas : Penghasilan (penjualan) = Rp. 10.000,00 Yang Rp. 500,00 ditetapkan sebagai penghasilan pada periode berikutnya apabila telah diterima tunai.
 
2) Penghasilan berupa bunga Pinjaman selama 6 bulan (1 September 1984 s/d 28 Februari 1985). Jumlah pinjaman Rp. 10.000,00 dengan bunga sebesar 12% per tahun dan dibayar pada akhir masa pinjaman.
 
Penghitungan bunga : 1-9-1984 s/d 31-12-1984 = 4 bulan = Rp. 400,00 1-1-1985 s/d 2-2-1985 = 2 bulan = Rp. 200,00 Stelsel Akrual : Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 400,00 1985 = Rp. 200,00 Stelsel Kas : Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 0,00 (belum diterima tunai) 1985 = Rp. 600,00 (saat diterima tunai)
 
b. Biaya (dalam hal ini diberi contoh sewa) Sewa mobil selama 4 bulan (1 Oktober 1984 s/d 31 Januari 1985). Harga sewa sebesar Rp. 4.000,00 dibayar pada awal masa sewa.
 
Penghitungan sewa : 1-10-1984 s/d 31-12-1984 = 3 bulan = Rp. 3.000,00 1-1-1985 s/d 31-1-1985 = 1 bulan = Rp. 1.000,00
 
Stelsel akrual : biaya sewa tahun 1984 = Rp. 3.000,00 1985 = Rp. 1.000,00
 
Stelsel kas : biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00 (saat dibayar tunai) 1985 = Rp. 0,00
 
Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan perorangan yang kecil atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama.
 
Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, Jasa dan biaya operasi lainnya.
 
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
 
Oleh karena itu untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, dalam memakai stelsel kas harus diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :
 
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun bukan.
 
Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan pula seluruh pembelian dan persediaannya.
 
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
 
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsistent).
 
==== Ayat (2) ====
 
Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan sistem dan prinsip pembukuan yang harus dilakukan secara taat asas (konsistent).
 
=== Pasal 14 ===
 
==== Ayat (1) ====
 
dan ayat (2) Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan. Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan lengkap meliputi para Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp.60.000.000,- setahun.
 
Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan.
 
Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto.
 
Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal :
 
- tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan. - pembukuan Wajib Pajak yang ternyata diselenggarakan tidak benar.
 
Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yang cermat sehingga :
 
- sederhana,
 
- terperinci menurut kelompok jenis usaha,
 
- dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat,
 
- dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp.60.000.000,-,
 
- tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.
 
Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggung jawabkan kesederhanaan, keterbukaan dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
 
Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
Pegangan yang ditetapkan Menteri Keuangan itu harus memuat :
 
a. kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya :
 
- peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel, dan lain-lain),
 
- penghasilan bruto (jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain),
 
- penghasilan netto (jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);
 
b. pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan;
 
c. cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan.
 
==== Ayat (3) ====
 
Cukup jelas.
 
==== Ayat (4) ====
 
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk memilih menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan.
 
Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7).
 
Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya.
 
Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya.
 
==== Ayat (5) ====
 
Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya.
 
==== Ayat (6) ====
 
Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :
 
a. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang;
 
b. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;
 
c. tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.
 
Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
 
==== Ayat (7) ====
 
Pajak Penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
 
=== Pasal 15 ===