Pengarang:Aldian Aripin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
-iNu- (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 37:
==Oh Nostalgia==
Penerbit Sastera Leo Medan, 1968 cetakan kedua 1998.
*[[Pada Waktunya Semua Adalah Puisi]]
 
*[[Balada Penyair dan Gadisnya]]
 
*[[Gerimis Bulan Penuh]]
 
*[[Kepada Orang Terlunta]]
===PADA WAKTUNYA SEMUA ADALAH PUISI===
*[[Kalau Mati]]
 
*[[Mimpi]]
Pada waktunya semua adalah puisi
*[[Sebuah Kamar]]
 
*[[Pada Suatu Siang]]
Hujan yang renyai menghambat langkah
*[[Bulan Pada Suatu Senja]]
 
*[[Perempuan]]
Dan hatipun gelisah. Pada suatu senja
*[[Midah]]
 
*[[Marilah Sayang]]
Dalam bulan Juni. Kutulis sajak ini
*[[Dendam]]
 
*[[Batu Kenangan]]
 
<!--
 
Pada waktunya apapun puisi. Tak perlu kau ragu
 
Tentang ilham yang tak mau datang. Kendati
 
Berjam kau nanti dalam kantuk yang panjang
 
Pada waktunya apapun puisi. Apapun puisi
 
 
 
Kerja yang terbengkalai, menjengkelkan hati
 
Tak usah kau sesali. Karena percayalah
 
Pada waktunya apapun puisi. Apapun puisi.
 
1967
 
 
 
 
===BALADA PENYAIR DAN GADISNYA===
 
Bila pagi membuka
 
matahari memancar cerah
 
kala itu si gadis tercinta
 
melangkah ke luar rumah
 
 
 
Di jalan ini juga
 
ia pergi sendiri
 
di jalan ini juga
 
ia pulang sendiri
 
 
 
Seorang penyair muda
 
yang kesepian hati
 
rindu selalu mendera
 
ke mana ia pergi
 
 
 
Kalau si gadis lalu di jalan
 
si penyair lari ke jendela
 
gelegak ludah ia telan
 
ai gadis betapa jelita
 
 
 
Ia peram dalam hati
 
rindu yang amat mesra
 
pada gadis seorang ini
 
ia terus mendamba
 
 
 
Berjalan waktu berjalan
 
lamban pagi dan senja
 
kenangan demi kenangan
 
si gadis teringat saja
 
 
 
Karena damba dan kesepian
 
si penyair menjaring berita
 
tentang gadis kecintaan
 
siapa nama di mana rumahnya
 
 
 
Ia pun menulis surat:
 
kusampaikan padamu sayang
 
damba yang padat
 
mesra sekali sayang
 
 
 
Berharian ia menunggu
 
balasan dari si gadis
 
gemetar dan kaku
 
ia buka surat si gadis
 
 
 
Ah penyair yang kesepian
 
salam kembali padamu
 
dariku apa yang harapkan
 
maka kau begitu rindu?
 
 
 
Dasar apa, karena apa
 
aku sendiri tidak tahu
 
tapi begitu saja
 
aku cinta padamu
 
 
 
Gadis jelita, jangan bantah
 
siapa juga cinta padamu
 
supaya aku tak gelisah
 
biarkan daku mencintaimu
 
 
 
Ah lelaki -
 
cintamu bagai ombak
 
sedang menghempas ke tepi
 
perempuan bagaikan tambak
 
 
 
Pernah kudengar cerita
 
tentang cinta tentang birahi
 
menmpuh jalan terbuka
 
keduanya bahagia keduanya mati
 
 
 
Aku tidak mau
 
cintaku mengabur
 
aku tidak mau
 
cintaku terkubur
 
 
 
Tapi penyairlah dia
 
yang takkan mati-mati
 
dan terkutuklah dia
 
siapa yang tak mengerti
 
 
 
Gadis, aku percaya
 
kau akan mengerti
 
gadis, aku percaya
 
penyair takkan mati-mati
 
 
 
Aku mengerti apa yang kudengar
 
tapi sabar, ya tunggu dulu
 
aku lihat matamu berbinar
 
aku percaya aku tak ragu
 
 
 
Akan terdampar ke malam mana
 
o malam yang makin sayu
 
damba penyair akan gadisnya
 
erat berpadu dalam sajakku
 
 
 
Bila pagi membuka pula
 
ia nantikan senyum si gadis
 
bila malam mengunci segala
 
terbayang wajah yang manis
 
 
 
Dan penyairlah dia
 
yang takkan mati-mati
 
dan terkutuklah dia
 
siapa yang tak mengerti.
 
1959.
 
 
 
===GERIMIS BULAN PENUH===
 
I.
 
Langit bening bulan kuning
 
Jernih air mata udarapun bening
 
 
Kulontar langkah di atas jalan berbengkah-bengkah
 
Sekedar pelipur lara, terlalu kalu di rumah
 
 
Seperti tak bertujuan, aku bersiul tak kupikiri
 
Apakah ada yang mendengar: karena lemah sekali
 
 
Dan lagunyapun tak dapat-dapat menyesuaikan diri
 
 
 
II.
 
Jalan yang kulalui terlalulah panjang
 
Karena itu aku surut ke belakang
 
Malampun dingin
 
Dada kudakap dengan tangan bersilang
 
 
Adakah orang tahu, bahwa di jalan ini
 
Ada seorang yang berputar-putar
 
Lalu menuju jalan kembali
 
Membawa pulang rusuhnya sendiri
 
 
 
III.
 
(Kubuka pintu akupun masuk)
 
 
Terdengarlah ia
 
Aba tidur terompet jauh menjerit
 
Di malam-malam begini, hanyalah ia
 
Melerai hati dan damai
 
 
IV.
 
Di manakah itu, hatiku bertanya
 
Entahpun di mana, tapi pastilah ia
 
Di asrama polisi atau tentera
 
 
(Terdengar lonceng sepuluh kali
 
Di beberapa tempat sahutannya berdapat-dapat)
 
 
V.
 
Ia yang menjerit mati
 
Jadilah tenang damai seperti tadi
 
 
Sobeklah malam tiada cacat
 
Apapun yang terjadi di pagi, tak akan kuingat
 
 
 
VI.
 
Aku lupa kenapa pisau ini terletak di atas meja
 
Tercerai pula dari sarungnya
 
(Seolah akan dipergunakan)
 
 
Kupikir seorang ibu biasa memakainya di dapur
 
Seorang anak akan mempermainkannya lalu lukalah ia
 
Seorang putus asa akan membenamkannya
 
Ke dasar jantungnya
 
 
Alangkah banyaknya kegunaan sebuah benda
 
Buat apa ia oleh penemunya
 
Seperti pisau ini
 
 
Kutentang ketajaman matanya
 
Dengan kelembutan mataku
 
 
 
 
VII.
 
(Angin malam mengantar gerimis)
 
Janganlah mengetuk-ngetuk juga
 
Tolakkan saja
 
Masih tersedia tempat bagimu
 
 
Janganlah menjenguk-jenguk juga
 
Kalaupun begini duniaku
 
Tapi disini ada sebilah belati!
 
 
VIII.
 
(Di jauhan angin menderu)
 
 
Janganlah mengembara-ngembara juga
 
Memanglah memperhangat pelukan pengantin baru
 
 
 
Tapi betapa menggigil yang tidur tidak berbaju
 
 
 
IX.
 
Janganlah mengetuk-ngetuk juga
 
Menjenguk ke dalam asingnya duniaku
 
Kalaulah karena belati ini
 
Biarlah ia kusarungkan kembali
 
 
X.
 
Betapa tarikan dunia
 
Olehnya kuhampiri jendela
 
 
Dari jendela malam kutinjau
 
Semoga lengah hati yang risau
 
 
Gerimis membasah daun menengadah
 
Berlinang diatasnya bulan purnama
 
 
 
XI.
 
Ada orang jalan sendirian
 
Di malam-malam sangsai, di hujan-hujan renyai
 
 
Membenam dendam di kalbu kelabu
 
Walau di wajah tulus setuju
 
 
(Terhadap soal yang tak tersesalkan selalu
 
Karena ada yang sudah mendahulu)
 
 
Bulan yang duka. Ia duka. Akupun duka
 
Dan duka memang berserba
 
 
Betapapun pusang, betapa nyaman
 
Ia jalan sendirian
 
 
 
XII.
 
Ke balai aku telungkup, seluruh lamunan kututup
 
Dan dari jiwa yang kutekan pecah teriakan:
 
Ya Rasul, ya Tuhan!
 
 
 
XIII.
 
Keluah kesah terbawa diri yang tebah
 
Bagai angin malam di luar masih gelisah
 
Dan ini jiwa dari tubuh yang resah
 
Kalut kemelut tak menemu arah
 
 
 
XIV.
 
Tiada lagi terdengar langkah
 
Tinggal jejak di tanah basah.
 
 
1958
 
 
 
===KEPADA ORANG TERLUNTA===
 
 
Menjalar kau sayang, matamu nanar
 
Berputar-putar kau sayang, di lingkar lapar
 
O dimana akan bersua rindu setia
 
Baginya yang terlunta dalam kota
 
 
 
Debu-debu berterbangan ramah menyongsongnya
 
Ketika malam terang, bulan benderang
 
Ketika malam kelam, ditempeli bintang
 
Ketika hujan lebat, malam disobek kilat
 
Berkejaran angin membawa berita
 
Tentang sebuah kota yang sengsara
 
 
 
Menangkup pada bumi kulepas salam yang mesra
 
Selamat jalan bagimu orang yang terlunta!
 
 
1959
 
 
 
===KALAU MATI===
 
 
Kalau mati cuma bagai tidur saja sayang
 
Aku yakin besok pagi aku bangun kembali
 
Dan sajak yang kutulis malamnya dapat kubaca;
 
Tapi aku tahu betul bahwa mati itu lain sekali
 
Karena bila aku mati malam ini, maka
 
Fajar merekah besok taklah sama aku menyaksikan
 
Pun orang membaca sajakku, tak lagi kudengar.
 
 
1958
 
 
 
===MIMPI===
 
 
Kunantikan kau begini setiap malam
 
karena inilah kurasa waktu yang amat tenteram
 
Ketika anak-anak dan orang tua telah masuk tidur
 
Ketika urat tegang seharian mulai mengendur
 
 
 
Inilah waktu. Cumbu aku sayang teramat mesra
 
Satu kecupan bila tiba sudahlah aku terlena
 
Sudah itu bolehlah kau padaku melepas salam
 
Dan pergilah, sebelum teriknya siang datang mencekam.
 
 
1958
 
 
 
===SEBUAH KAMAR===
 
 
Dalam kamar ini
 
mulanya kami berdua
 
(aku dan istriku)
 
lalu lahirlah anak-anak
 
datang beruntun
 
 
 
Kamar ini
 
siang dan malam
 
kami benahi
 
dengan mimpi
 
dengan hati.
 
 
1967
 
 
 
 
===PADA SUATU SIANG===
 
Baris 1.042 ⟶ 452:
 
1963
-->
 
== Elipsis ==
Penerbit Sastera Leo Medan, 1977. Cetakan kedua 1996 dengan penambahan beberapa puisi.