Sang Burung Bulbul dan Bunga Mawar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Serenity (bicara | kontrib)
+ data
Serenity (bicara | kontrib)
+gb
Baris 21:
" Mengapa ia menangis?" tanya Kadal Hijau kecil yang berlari cepat dengan buntut mencuat keatas dan lekas-lekas melewati pelajar tersebut.
 
" Iya, kenapa ya ia menangis?" tanya si Kupu-Kupu yang mengibas-ibaskan sayapnya dibawah sinar mentari.
 
" Iya, kenapa ya kira-kira?" Bisik Bunga Aster pada tetangganya dengan nada yang lembut dan perlahan.
 
" Ia menangis karena menginginkan mawar merah," jawab Sang Burung Bulbul.
 
" Mawar merah?" sahut mereka bersama; " aduh, betapa menggelikannya!" dan si Kadal Kecil yang mempunyai pembawaan sinis pun tertawa terbahak-bahak.
 
Namun Sang Burung Bulbul mengerti rahasia duka Si Pelajar muda, ia pun duduk diam di atas dahan Pohon Ek dan berpikir tentang misteri Cinta.
Baris 81:
Burung Bulbulpun bernyanyi untuk Pohon Ek dan suaranya bergetar sedih layaknya gelembung-gelembung air yang mendidih dari dalam panci perak. Ketika ia telah selesai bernyanyi Sang Pelajar muda bangun, menarik buku catatan kecil dan sebatang pensil keluar dari sakunya.
 
" Ia mempunyai sebentuk kreasi" kata Sang Pelajar muda pada dirinya, seraya berjalan keluar melintasi kebun-- "yang menjadi bagian dari dirinya; tapi apakah burung itu memiliki perasaan? Kukira tidak. Bahkan pada kenyataannya, ia seperti seniman-seniman kebanyakan yang mengutamakan gaya; tanpa ketulusan. Burung itu tidak akan mengorbankan dirinya untuk mahluk lainnya. Yang ia pentingkan hanya musik, dan semua orang tahu bahwa seni itu egois. Meski demikian, harus diakui bahwa ia memiliki nada-nada yang indah ketika bernyanyi. Sayang sekali bahwa nada-nada tersebut tidak memiliki arti, dan tidak berguna." Sang Pelajar pun masuk kedalam kamarnya, berbaring diatas ranjang lipatnya yang kecil, dan mulai berpikir tentang cintanya; lalu setelah beberapa waktu, iapun tertidur.
 
Dan ketika cahaya bulan mulai berpendar di langit Sang Burung Bulbul terbang menghampiri Pohon Mawar dan menekankan dadanya pada duri pohon. Semalam suntuk ia menyanyi dan menghujamkan dadanya pada duri, bulan yang serupa kristal dingin pun mulai merunduk dan mendengarkan. Semalam suntuk ia bernyanyi dan duri pohonpun mulai menusuk dalam dan lebih dalam lagi menembus dadanya sehingga darah nadi kehidupannya mulai mengalir surut menjauhinya.
Baris 105:
Dan bunga mawar yang indah itu memerah, semerah mawar dari langit timur. Merah darah melekat di helai bunganya, dan merah delima warna jantung bunganya.
 
Namun suara Burung Bulbul menjadi semakin lemah, dan sayap-sayap kecilnya mulai berkepak-kepak, dan selaput matanya mulai menutup. Lemah dan semakin lemah bunyi lagunya, dan ia merasa sesuatu mencekiknyamencekik dan menyumbat kerongkongannya.
 
Lalu ia menyanyikan semburat lagu terakhirnya. Sang rembulan yang putih mendengarnya dan ia diam di langit, melupakan matahari yang harus terbit. Sang Bunga Mawar mendengarnya, dan bunga pun menggigil, bergetar penuh kenikmatan, dan membuka helai-helai kelopak bunganya pada dinginnya dini hari. Nyanyian Sang Burung Bulbul dibawa gema kedalam relung-relung gua yang pekat diatas bukit, dan membangunkan gembala-gembala dari mimpi mereka. Nyanyian Sang Burung Bulbul melayang melalui alang-alang ditempi sungai, dan mereka membawa pesannya jauh ke laut.
 
[[Berkas:Mawar merah1.jpg|thumb|left|Mawar merah]] " Lihat, lihatlah!" seru Sang Pohon, " bunga mawarnya telah mekar dengan sempurna"; tetapi Sang Burung Bulbul tidak menjawab, karena ia telah terbaring mati diantara rerumputan yang tumbuh tinggi, dengan duri tertancap di jantungnya.
 
Pada siang hari saat Sang Pelajar membuka jendelanya dan melihat keluar. " Oh, betapa beruntungnya saya!" serunya; " sekuntum bunga mawar merah! Seumur hidup aku tak pernah melihat mawar seindah ini. Bunga mawar ini begitu cantik, aku yakin ia memiliki nama latin yang panjang."; dan ia And at noon the Student opened his window and looked out. Ia pun merunduk dan memetik bunga mawar tersebut.
Baris 127:
"Tidak tahu terimakasih!" seru putri sang profesor." Dengarkan ya, menurutku prilakumu itu tidak pantas; lagipula, kau pikir kau itu siapa? Hanya seorang Pelajar. Lihatlah, apakah kau memiliki sabuk perak disepatumu seperti yang dikenakan keponakan Anggota Dewan Kota? Kukira tidak." dan ia berdiri meninggalkan kursinya lalu masuk ke dalam rumah.
 
" Ah betapa konyolnya Cinta itu " kata Sang Pelajar saat ia melangkah pergi," Cinta itu tidak sepraktis logika, karena ia tidak bisa membuktikan apapun, dan Cinta itu selalu berkata hal-hal yang tidak akan terjadi, dan membuat orang percaya akan hal-hal yang tidak benar. Pada kenyataannya, Cinta itu sangat tidak praktis, padahal semua orang tahu, dijaman sekarang kepraktisan itu adalah segalanya. Aku akan kembali pada Filsafat dan mempelajari Metafisika."
"Ah betapa konyolnya Cinta itu," kata Sang Pelajar saat ia melangkah pergi.
"Cinta itu tidak sepraktis logika, karena ia tidak bisa membuktikan apapun, dan Cinta itu selalu berkata hal-hal yang tidak akan terjadi, dan membuat orang percaya akan hal-hal yang tidak benar. Pada kenyataannya, Cinta itu sangat tidak praktis, padahal semua orang tahu, dijaman sekarang kepraktisan itu adalah segalanya. Aku akan kembali pada Filsafat dan mempelajari Metafisika."
 
Maka ia kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah buku besar penuh debu dari lemari bukunya dan mulai membaca...