Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IvanLanin (bicara | kontrib)
k baru, belum dirapikan
 
IvanLanin (bicara | kontrib)
k fmt
Baris 29:
Mengingat :
 
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
Baris 43:
Menetapkan :
 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
 
== Pasal I ==
 
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai berikut :
 
Baris 60:
 
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
 
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
 
3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
 
4. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
 
5. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
 
6. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga)
bulan takwim.
 
7. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
 
8. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
 
9. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
 
10. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau
harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
11. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
 
12. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
 
13. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau
bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
 
14. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
 
15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
 
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
 
17. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
 
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
 
19. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda.
 
20. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
 
21. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi
dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
 
22. Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
 
23. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja.
 
24. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan
atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
 
25. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap
Tahun Pajak berakhir.
 
27. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
penulisan dan penghitungannya.
 
28. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
 
29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan
Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak
benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
 
30. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan
pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
 
31. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
 
32. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu."
 
Baris 200:
PEMBAYARAN PAJAK"
 
3. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2
berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 2
 
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
 
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
 
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan :
a. tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam
ayat (1) dan ayat (2);
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu.
 
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2).
 
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
 
4. Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a),
serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), sehingga keseluruhan
Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 3
 
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan.
 
(1a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah
yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil sendiri
Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
 
(3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir
Masa Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun
Pajak.
 
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b
untuk paling lama 6 (enam) bulan.
 
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat
Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak
dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
 
(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran.
 
(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus
dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
 
(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 4
 
(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.
 
(2) Dalam hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh
pengurus atau direksi.
 
(3) Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak,
harus dilampiri surat kuasa khusus.
 
(4) Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib
melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
 
(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
 
6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut :
 
"Pasal 6
 
(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu,
sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti penerimaan.
 
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara tercatat atau
dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap dianggap
sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."
 
7. Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (2), sehingga
keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 7
 
(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan.
 
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
 
8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu
ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 8
 
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
 
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat
penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena
pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
 
(3) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak
akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar
2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
 
(4) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri
tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang
mengakibatkan :
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
Baris 366:
d. jumlah modal menjadi lebih besar.
 
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
 
6) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima Keputusan Keberatan
atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau
Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut."
 
9. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a),
sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 9
 
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lambat
15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
 
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.
 
(2a) Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat
(2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
 
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
 
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
 
Baris 414:
"Pasal 10
 
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui
Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
Baris 425:
"Pasal 11
 
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak
tersebut.
 
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C.
 
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu)
bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan.
 
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
 
12. Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat
(3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 12
 
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
 
(2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
 
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya."
 
Baris 469:
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
Faktur Pajak;
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat
atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya
Faktur Pajak.
 
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan surat ketetapan pajak.
 
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
 
(4) Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."
 
14. Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi
sebagai berikut :
 
"Pasal 15
 
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
 
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
 
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
tindakan pemeriksaan.
 
(4) Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
 
15. Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat
(3) sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 16
 
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
 
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan
diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan.
 
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah lewat, Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan tersebut
dianggap diterima."
 
Baris 544:
"Pasal 17B
 
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat
permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
 
(2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam
waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
 
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu
 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar."
 
17. Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 17C, yang berbunyi sebagai
berikut :
 
"Pasal 17C
 
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan paling lambat 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.
 
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
 
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
 
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pembayaran pajak."
 
Baris 592:
"Pasal 18
 
(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak.
 
Baris 603:
"Pasal 19
 
(1) Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar
berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding,
pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan
tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
 
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan.
 
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan
pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung
dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran
tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan."
 
20. Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (1) dan ayat
(3), sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 20
 
(1) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa.
 
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan dalam hal :
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya,
atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
 
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
 
21. Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21
berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 21
 
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung
Pajak.
 
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok
pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
 
(3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap :
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
 
(4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara
resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
 
(5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 (dua)
tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat
Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut
ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran."
 
Baris 687:
"Pasal 22
 
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang
bersangkutan.
 
Baris 695:
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (5) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)."
 
23. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 23
berbunyi sebagai berikut :
 
Baris 708:
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap :
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan
Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat
Tagihan Pajak;
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak
Baris 723:
"Pasal 24
 
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan."
 
25. Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi
sebagai berikut :
 
Baris 736:
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
 
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
 
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
 
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
 
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi
tanda bukti penerimaan surat keberatan.
 
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.
 
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak."
 
26. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan
Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 27
 
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
 
(2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
 
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima,
dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
 
(4) dihapus.
 
(5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
 
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) diatur
dengan undang-undang."
 
27. Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat
(3), sehingga keseluruhan Pasal 27A berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 27A
 
(1) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
 
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Keputusan Pengurangan
atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
 
(3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan pemberian imbalan bunga diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
Baris 810:
"Pasal 28
 
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
 
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
 
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
 
(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
 
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
 
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
 
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang.
 
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
 
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak
dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
 
(10) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan
 
(11) Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan bagi Wajib Pajak badan.
 
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
 
29. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai
berikut :
 
"Pasal 29
 
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
(2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa
dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib
Pajak yang diperiksa.
 
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
 
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan
yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban
untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
 
Baris 889:
Tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
31. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1
(satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut :
 
Baris 897:
undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk
melakukan pemberesan;
c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
 
(2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan
dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar
tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
 
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
 
(3a) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."
 
Baris 925:
 
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas
pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar."
 
33. Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a),
sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut :
 
"Pasal 34
 
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan.
b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana
 
dimaksud dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari
atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
 
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
 
(5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut."
 
Baris 968:
 
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
 
(2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
 
35. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 36A, yang berbunyi sebagai
berikut :
 
"Pasal 36A
 
Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang
perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang bersangkutan dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
 
Baris 990:
"Pasal 37
 
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan,
diatur dengan Peraturan Pemerintah."
 
Baris 999:
Setiap orang yang karena kealpaannya :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
 
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar."
 
Baris 1.012:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
 
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
 
(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
 
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak."
 
Baris 1.045:
"Pasal 41
 
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).
 
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
 
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar."
 
Baris 1.061:
"Pasal 41A
 
Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang
diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau
bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
 
Baris 1.070:
"Pasal 41B
 
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
 
Baris 1.078:
"Pasal 44
 
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
 
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.
 
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku."
 
43. Di antara Pasal 47 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 47A, yang berbunyi sebagai
berikut :
 
"Pasal 47A
 
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994."
 
== Pasal II ==
 
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan".
 
Baris 1.131:
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
Baris 1.165:
I. UMUM
 
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya
tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban
perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
 
Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya
berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang pajak yang
bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.
 
2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994,
disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga menuntut perlunya
penyempurnaan sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan
Pemerintah. Selain itu harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin
mampu dan bersih, tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan
dalam Undang-undang ini.
 
3. Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini tercermin
dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem
dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia
karena kedudukan Undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-
undangan perpajakan yang lain.
 
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
a. bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan
kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak
sendiri.
Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan;
c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga
melaluisistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi,
terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib
Pajak.
 
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya
pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur
jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan
administrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan
dengan harapan dalam upaya peningkatan pelayanan masyarakat tersebut wewenang
Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat
bawahannya.
 
Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam
melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat
dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan
baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
 
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka
arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan
pokok sebagai berikut :
a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
b. menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata
di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di
daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau terlambat
perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendaya-
gunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan penerimaan pajak
dalam jangka panjang;
c. menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil
olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
d. menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan
potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
e. menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan
teknologi;
f. menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
g. menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
h. menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan bersih,
peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan
kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan
pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta
peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
 
Baris 1.270:
Ayat (1)
 
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self assessment" wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
 
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita
kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
 
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib
Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain
daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok
Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Ayat (2)
 
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
 
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya
tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan
usaha dilakukan.
 
Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha
dilakukan.
 
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga
berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta
untuk pengawasan administrasi perpajakan.
 
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha
Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan.
 
Ayat (3)
 
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat
Jenderal Pajak selain yang ditentukan dalam ayat (1) dan ayat (2),
sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
 
Selain itu bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di
beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai
toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
 
Ayat (4)
 
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan
usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau
Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
 
Ayat (5)
 
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Permohonan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
 
Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan
tersebut, tata cara pemberian dan pencabutan Nomor Pokok Wajib
Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
Baris 1.378:
Ayat (1)
 
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-
jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
- penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
- harta dan kewajiban;
- pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau
badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak, yang ditentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang :
- pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak
lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
- bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.
 
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi
formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap
sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang mengakibatkan
pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan Perpajakan.
 
Baris 1.423:
Ayat (2)
 
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir
Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau
oleh Wajib Pajak.
 
Ayat (3)
 
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
 
Bagi Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, diperkenankan untuk melaporkan beberapa Masa Pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan Masa.
 
Ayat (4)
 
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak
dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan
atau neraca perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam ayat (3) huruf b karena luasnya
kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan
keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan
memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh
perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan
paling lama 6 (enam) bulan.
 
Ayat (5)
 
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan atau perpanjangan
waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak
yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan Surat
Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib
Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
 
Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan
tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan
penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran
surat permohonan penundaan kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
 
Ayat (5a)
 
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan
batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan, maka terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan
diberikan Surat Teguran.
 
Ayat (6)
 
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
Pajak antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, maka dalam rangka
keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasian-
nya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
 
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya
memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan
Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.
 
Untuk Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
 
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-
kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak
Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak.
 
Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan dokumen
yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang
perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang
berkenaan dengan impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak.
 
Ayat (7)
 
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah
satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat
Pemberitahuan. Dengan demikian apabila Surat Pemberitahuan
disampaikan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan
yang diharuskan, maka Surat Pemberitahuan tersebut dianggap tidak
disampaikan.
 
Ayat (8)
 
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi
atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan
Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak namun karena kepentingan tertentu
diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
 
Baris 1.550:
Ayat (5)
 
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat
hal-hal mengenai antara lain penelitian kelengkapan, pemberian
tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar,
Kurang Bayar dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut
pengelolaannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
 
Baris 1.566:
Ayat (2)
 
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perlu cara
lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos secara tercatat.
Oleh karena itu, cara lain perlu diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
 
Ayat (3)
 
Tanda bukti dan tanggal pengiriman penyampaian Surat
Pemberitahuan melalui Kantor Pos merupakan bukti penerimaan,
sepanjang Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap yaitu
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), ayat (1a), dan ayat (6).
 
Baris 1.587:
Ayat (1)
 
Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga
disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang dalam batas waktu yang
ditentukan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan
sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan.
 
Baris 1.598:
 
Menteri Keuangan berwenang menetapkan Wajib Pajak tertentu untuk
tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), misalnya Wajib Pajak Non Efektif dan Wajib
Pajak orang pribadi yang penghasilan netonya di bawah jumlah
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
 
Baris 1.609:
Ayat (1)
 
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan
pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan mulai melakukan
tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil,
atau kuasa, atau pegawai, atau diterima oleh anggota keluarga yang
telah dewasa dari Wajib Pajak.
 
Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang
cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat
Pemberitahuannya apabila terdapat kesalahan, di lain pihak masih
tersedia cukup waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan
pelayanan dan melakukan pengawasan terhadap pembetulan yang
dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui.
 
Ayat (2)
 
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan
sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang
dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari
jumlah semula.
 
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan.
 
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,
dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan sampai dengan tanggal pembayaran karena adanya
pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut.
 
Ayat (3)
 
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah
dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan
kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua)
kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak
akan dilakukan penyidikan.
 
Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya
penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka
kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan.
 
Ayat (4)
 
Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang
telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat
berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan
Masa untuk tahun-tahun atau masa-masa sebelumnya.
 
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar;
atau
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil;
atau
c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
Baris 1.684:
Ayat (6)
 
Terhadap Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajak yang
diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan
banding, masih terbuka kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun berikutnya walaupun telah melewati jangka waktu
2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan
Surat Pemberitahuan tersebut.
 
Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut :
 
a. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang
menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar
Rp 100.000.000,00.
 
Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan
pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan
surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp. 50.000.000,00.
 
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan
keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. Pada tanggal 10
November 2006 diterbitkan Keputusan Keberatan yang
menetapkan rugi fiskal PT. A tahun 2002 menjadi
Rp. 110.000.000,00.
 
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang
menyatakan :
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2002 Rp100.000.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
---------------------
============
 
Tanggal 21 November 2006 Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan
menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi :
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
Baris 1.731:
---------------------
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000,00
---------------------
============
 
b. PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang
menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar
Rp. 150.000.000,00.
 
Atas Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan,
dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat ketetapan
pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp100.000.000,00.
 
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan
keberatan pada tanggal 16 Maret 2006.
 
Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan yang menolak keberatan Wajib Pajak.
 
Terhadap Keputusan Keberatan tersebut Wajib Pajak
mengajukan banding pada tanggal 22 Desember 2006. Pada
tanggal 18 Mei 2007 diterbitkan Putusan Banding yang
menambah rugi Wajib Pajak menjadi Rp. 160.000.000,00.
 
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang
menyatakan :
Penghasilan Neto sebesar Rp250.000.000,00
Kompensasi kerugian menurut
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2002 Rp150.000.000,00
--------------------- (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
---------------------
============
 
Tanggal 21 Juli 2007 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan
menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi :
Penghasilan Neto sebesar Rp250.000.000,00
Baris 1.771:
--------------------- (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000,00
---------------------
============
 
Angka 9
Baris 1.779:
Ayat (1)
 
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir. Keterlambatan dalam
pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenakannya sanksi
administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
 
Ayat (2)
 
Apabila pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak
yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus
dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga
setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan itu disampaikan.
 
Misalnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus
disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak
yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat
tanggal 25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
 
Ayat (2a)
 
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran
atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga
tersebut diberikan contoh sebagai berikut :
- Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun 2002
sejumlah Rp. 10.000.000,00 sebulan
- Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2002 dibayar tanggal 18 Juni
2002 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2002
- Tanggal 15 Juli 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
- Sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu)
bulan = 1 x 2% x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 200.000,00
 
Baris 1.820:
Ayat (4)
 
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh
tempo pembayaran telah ditentukan.
 
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama
12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-
benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Baris 1.837:
Ayat (1)
 
Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran
pajak dari Wajib Pajak. Semua penyetoran pajak-pajak negara,
harus disetorkan ke kas negara melalui tempat-tempat pembayaran
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti Kantor Pos dan atau
bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
Dengan usaha memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah
dijangkau oleh Wajib Pajak, dimaksudkan untuk mempermudah
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus menghindarkan
adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran pajak.
 
Ayat (2)
 
Dengan adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran
pajak, dan pelaporannya yang diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan demikian juga mengenai tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat mempermudah
pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
 
Baris 1.863:
Ayat (1)
 
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih
lebih (jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut
tidak mempunyai utang pajak.
 
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi
semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya,
kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu
dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih,
baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak.
 
Ayat (2)
 
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan
menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh
Direktur Jenderal Pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan :
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan
pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, dihitung
sejak tanggal penerbitan;
 
sampai dengan saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak
diterbitkan.
 
Ayat (3)
 
Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak
dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini
menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu seperti tersebut
dalam ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan
imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan
sampai dengan saat dilakukan pembayaran, yaitu saat Surat Perintah
Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
 
Baris 1.918:
Ayat (1)
 
Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang
dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentingan administrasi
perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah :
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh
pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang
dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak
lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
 
Jumlah pajak terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa
pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara
melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau
bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
Berdasarkan Undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua
Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan
suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.
 
Ayat (2)
 
Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah
menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara
benar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan,
kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun surat
keputusan dari administrasi perpajakan.
 
Ayat (3)
 
Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau
berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak
benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Baris 1.975:
Ayat (2)
 
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan
hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal
penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
 
Ayat (3)
 
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas
Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena :
- penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak
kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah
hitung;
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar.
 
Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai
berikut :
 
1. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002
yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2003 setelah
dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang
menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar
Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan
tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 13
Juni 2003 dengan penghitungan sebagai berikut :
- Kekurangan bayar Pajak
Penghasilan = Rp 1.000.000,00
- Bunga
= 3 x 2% x Rp. 1.000.000,00 = Rp 60.000,00
------------------ (+)
Baris 2.008:
===========
 
2. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar :
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar
Rp. 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15
Bulan Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar
Rp 40.000.000,00.
 
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September
2002 dengan penghitungan sebagai berikut :
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Pasal 25 bulan Juni 2002 = Rp 60.000.000,00
- Bunga
= 3 x 2% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00
-------------------- (+)
Baris 2.028:
Ayat (4)
 
Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah
melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan
kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu selain
harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan
memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Di samping itu
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha
Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan
pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya
dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap
Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak
melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau
membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan sanksi
yang sama.
 
Baris 2.054:
Ayat (1)
 
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau
telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya
sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak
Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya
pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak.
 
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi
atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan
ketetapan pajak. Dengan perkataan lain Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum
didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang
dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka
setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat
telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan
hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula
belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula
belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru yang diketahui
kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
 
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung
besarnya jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak belum
diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Sedangkan
yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap adalah
data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan
untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang :
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan
keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar
dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
 
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan
tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan
cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang
semula belum terungkap, misalnya :
 
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan
tertulis adanya biaya iklan Rp. 10.000.000,00 sedangkan
sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp. 5.000.000,00
biaya iklan di media masa dan Rp. 5.000.000,00 sisanya
adalah sumbangan atau hadiah.
 
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak
melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan
atau hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak dapat
dihitung secara benar, maka data mengenai pengeluaran
berupa sumbangan atau hadiah tersebut adalah tergolong
data yang semula belum terungkap.
 
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan
disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan
tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan
perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti
kebenaran pengelompokan dimaksud.
 
Dalam pengelompokan tersebut sesungguhnya terdapat
kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3
namun dikelompokkan ke dalam kelompok 2.
 
Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak
dilakukan koreksi atas kesalahan pengelompokan harta
tersebut, dan sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar. Apabila kemudian diketahui
adanya kesalahan, maka data pengelompokan harta tersebut
adalah data yang semula belum terungkap.
 
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah
barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian
tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan
Faktur Pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan
untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usahanya dan sebagian yang lain tidak mempunyai
hubungan langsung. Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan
sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
 
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak
tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang tersebut
dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak Masukan tersebut, dan sebagai akibatnya
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data
atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut
merupakan data yang semula belum terungkap.
 
Ayat (2)
 
Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap yang
belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka atas
pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang
dibayar.
 
Baris 2.184:
Ayat (4)
 
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun
jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana ditentukan dalam ayat (1)
dilampaui.
 
Baris 2.199:
Ayat (1)
 
Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan dalam
rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam
suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat
kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan
antara fiskus dengan Wajib Pajak.
 
Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus atau
berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau
kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena
kesalahan atau kekeliruan adalah :
- surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat
Ketetapan Pajak Nihil;
- Surat Tagihan Pajak;
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
- Surat Keputusan Keberatan;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan
Pajak yang tidak benar.
 
Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam ayat ini terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari :
 
a. Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat
berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor
surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak,
dan tanggal jatuh tempo;
 
b. Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari
penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan
atau pembagian suatu bilangan;
 
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan
dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan
sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan.
 
Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah atau
mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan
dan kekeliruannya.
 
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau
kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-
 
undangan perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan tersebut,
Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada
Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
 
Ayat (2)
 
Guna memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan
pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam
batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima.
 
Ayat (3)
 
Dalam hal batas waktu 12 (dua belas) bulan terlewati dan Direktur
Jenderal Pajak belum memberikan keputusannya, permohonan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan untuk hal-hal yang dimohonkannya.
 
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai
dengan permohonan Wajib Pajak. Atas hal-hal yang dianggap
dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan pembetulan.
 
Baris 2.277:
Ayat (1)
 
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17C harus diterbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap,
dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
 
Untuk kegiatan tertentu yaitu ekspor dan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jangka waktu tersebut dapat dipersingkat dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara
mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat
tersendiri.
 
Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Nihil.
 
Ayat (2)
 
Dengan batas waktu tersebut dalam ayat (1) dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak
atau Pengusaha Kena Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut
dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu
keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain
itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib
administrasi perpajakan.
 
Ayat (3)
 
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, maka kepada Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan,
bagian dari bulan dihitung satu bulan.
 
Baris 2.321:
Ayat (1)
 
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan
penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat :
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai;
 
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat
Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat
disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan
atau dengan surat tersendiri.
 
Baris 2.337:
 
Yang dimaksud dengan kriteria tertentu antara lain :
1. Kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi penyampaian Surat
Pemberitahuan, tidak mempunyai tunggakan pajak;
2. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapat wajar tanpa pengecualian;
3. Penghitungan jumlah peredaran usaha dan pajaknya mudah
diketahui karena berkaitan dengan aturan Pemerintah lainnya,
seperti peredaran usaha dan Pajak Pertambahan Nilai atas
produsen rokok diketahui dari pelaksanaan cukai.
 
Baris 2.352:
Ayat (4)
 
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah melakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian
pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Surat ketetapan
pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak
Nihil.
 
Ayat (5)
 
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.
 
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut
diberikan contoh sebagai berikut :
 
1) Pajak Penghasilan
 
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp. 80.000.000,00.
 
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Pajak Penghasilan yang terutang
sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu :
Baris 2.388:
- Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00
 
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai
berikut :
 
Baris 2.411:
----------------------
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 60.000.000,00
---------------------
============
 
2) Pajak Pertambahan Nilai
 
- Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh
pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00.
 
Baris 2.423:
b. Kredit pajak, yaitu :
- Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
- Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut :
- Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
Baris 2.439:
---------------------
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 20.000.000,00
---------------------
============
 
Angka 18
Baris 2.447:
Ayat (1)
 
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan penagihan pajak.
 
Baris 2.464:
Ayat (1)
 
Ayat ini mengatur pengenaan bunga penagihan atas jumlah yang
masih harus dibayar menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan
jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang
tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau
terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut
diberikan contoh sebagai berikut :
 
1. Atas jumlah pajak yang kurang dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan.
Pajak terutang atau ditagih (dianggap tidak ada jumlah pajak
yang dikreditkan) Rp100.000,00. Surat ketetapan pajak
diterbitkan tanggal 10 Oktober 2002. Harus dilunasi paling
lambat tanggal 9 November 2002, tetapi baru dibayar
sejumlah Rp 60.000,00 pada tanggal 1 November 2002.
Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran terakhir
(9 November 2002) sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib
Pajak.
 
Pada tanggal 18 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan
Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dengan penghitungan
sebagai berikut :
 
Baris 2.492:
-----------------
Kurang dibayar Rp 40.000,00
Bunga dihitung satu bulan =
1 x 2% x Rp 40.000,00 = Rp 800,00
=======
Baris 2.499:
2. Atas jumlah pajak yang terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar penuh tetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal
20 November 2002. Tanggal 25 November 2002 diterbitkan
Surat Tagihan Pajak.
 
Bunga terutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu
bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp 2.000,00.
---------------
Baris 2.509:
3. Atas jumlah pajak yang kurang dan terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 20 November
2002.
 
Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
 
Bunga terutang dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00
= Rp 2.000,00.
---------------
Baris 2.532:
Ayat (1)
 
Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak atau kurang dibayar
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai
dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak
memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilakukan
dengan Surat Paksa. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut
dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
 
Ayat (2)
 
Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah
tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
 
Baris 2.557:
Ayat (1)
 
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang
milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
 
Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada
kreditur lain.
 
Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada
Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain
atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka
umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.
 
Baris 2.591:
Ayat (1)
 
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi
kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
 
Ayat (2)
 
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh) tahun
apabila :
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan
menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang
tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu
daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Paksa tersebut.
 
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan
cara :
 
- Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran dan
penundaan pembayaran utang pajak sebelum
tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti
itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran
utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
 
- Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan
keberatan. Dalam hal seperti itu daluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan
Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.
 
- Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian
utang pajaknya. Dalam hal seperti itu daluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran
sebagian utang pajak tersebut.
 
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan
terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti
itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan
ketetapan pajak tersebut.
 
Baris 2.653:
Pasal 24
 
Menteri Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan
besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi antara lain
karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta
warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya,
Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak
untuk melakukan penagihan telah daluwarsa. Melalui cara ini akan dapat
diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat
ditagih atau dicairkan.
 
Baris 2.668:
Ayat (1)
 
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak,
dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya,
maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak.
 
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari
ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-
undang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau
pemungutan pajak.
 
Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu keberatan
harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak,
misalnya :
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996
keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat
keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan
dua buah surat keberatan.
 
Baris 2.692:
Ayat (3)
 
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak
mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat
keberatan beserta alasannya.
 
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak
dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan
Wajib Pajak (force mayeur), maka tenggang waktu selama 3 (tiga)
 
bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh
Direktur Jenderal Pajak.
 
Baris 2.711:
Ayat (5)
 
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai tanda terima
surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai
surat keberatan. Dengan demikian batas waktu penyelesaian
keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
 
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat
keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya, maka batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat berikutnya
yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
 
Ayat (6)
 
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan
yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar
pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah
ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk
memenuhi permintaan tersebut di atas.
 
Ayat (7)
 
Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran
pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan
tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan
lelang.
 
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak
dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan
kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat
dicegah terganggunya penerimaan negara.
 
Baris 2.776:
Ayat (1)
 
Imbalan bunga hanya diberikan berkenaan dengan Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding yang menyangkut Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan.
 
Ayat (2)
 
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat
Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4)
dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
 
Pengurangan atau penghapusan dimaksud merupakan akibat dari
adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan tersebut, yang menerima sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
 
Baris 2.822:
Ayat (5)
 
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
pembukuan misalnya dalam penerapan :
a. Stelsel pengakuan penghasilan;
Baris 2.831:
d. Metode penyusutan dan amortisasi
 
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan
biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya
diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan
itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.
 
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode
lainnya yang dipakai di bidang usaha tertentu seperti Build Operate
and Transfer (BOT), Real Estate, dan lain-lain.
 
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
 
Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan,
bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu,
serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah
dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
 
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi
atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat
diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan
pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya.
 
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu
besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan
mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu
untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak
yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari
penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).
 
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan
dapat juga dinamakan stelsel campuran.
 
Ayat (6)
 
Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat
asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya
dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya
(metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, metode
penilaian persediaan dan sebagainya. Namun demikian, perubahan
metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan
metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan
menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta
akibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
 
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari
kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode
pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
 
Contoh :
 
Wajib Pajak dalam tahun 2002 menggunakan metode penyusutan
garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 2003 Wajib Pajak
bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining
balance method.
 
Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta persetujuan
terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum
dimulainya tahun buku 2003 dengan menyebutkan alasan-alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
perubahan tersebut.
 
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya
jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu
perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Pajak.
 
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender)
kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim.
 
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim, maka penyebutan Tahun Pajak yang
bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6
(enam) enam bulan pertama atau lebih.
 
Contoh :
a. Pembukuan 1 Juli 2002 sampai dengan 30 Juni 2003, tahun
pajaknya adalah tahun 2002.
b. Pembukuan 1 Oktober 2002 sampai dengan 30 September
2003, tahun pajaknya adalah tahun 2003.
 
Ayat (7)
 
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 26.
Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan
tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
 
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak
lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga
jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai
ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
 
Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan
perpajakan menentukan lain.
 
Baris 2.962:
Ayat (9)
 
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka
yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan
pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan.
 
Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan
objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
 
Baris 2.979:
Ayat (11)
 
Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil
pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia,
dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau
pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.
 
Baris 3.000:
Ayat (1)
 
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang
melakukan pemeriksaan untuk :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
 
pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di
tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun
berjalan.
 
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk
terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak
atau pemotong pajak.
 
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan
kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat
Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan
kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau
 
kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan :
a. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan
dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan
Pemeriksaan Lengkap;
b. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan
kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup
pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan,
yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana.
 
Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk tujuan
lain diantaranya :
- menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
- mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
- memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
 
Ayat (2)
 
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas
identitasnya, oleh karena itu harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas
pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan
kepada Wajib Pajak.
 
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang
cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam
menjalankan tugasnya petugas pemeriksa harus bekerja dengan
jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif
serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
 
Pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada
bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Ayat (3)
 
Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan dan
meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen dan
keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan dengan
perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.
 
Bilamana buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang
diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk
menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa
diperbolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan yang menurut
dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.
 
Ayat (4)
 
Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan sehingga
pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain
yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini
menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
 
Baris 3.096:
Ayat (1)
 
Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap
badan, badan dalam pembubaran, warisan yang belum dibagi, dan
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang
menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka tidak dapat atau
tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
 
Ayat (2)
 
Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur dalam
Undang-undang ini bertanggungjawab secara pribadi atau secara
renteng atas pembayaran pajak yang terutang.
 
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak
apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan
bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan
tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau
secara renteng.
 
Ayat (3)
 
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak
untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan
sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
 
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil
serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
 
Baris 3.133:
Ayat (4)
 
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam rangka
menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya
dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun
akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan
dalam ayat ini berlaku pula bagi Komisaris dan pemegang saham
mayoritas atau pengendali.
 
Baris 3.147:
Pasal 33
 
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima
jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau
konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng
atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau
pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat
menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada
penjual atau pemberi jasa.
 
Baris 3.164:
Ayat (1)
 
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan
tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan
Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang
dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang
bersifat rahasia;
d. dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
 
Ayat (2)
 
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu
pelaksanaan undang-undang perpajakan, adalah sama dengan
petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
 
Ayat (2a)
 
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau
instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di
bidang keuangan negara. Dalam pengertian keterangan yang dapat
diberitahukan, antara lain identitas Wajib Pajak dan informasi yang
bersifat umum tentang perpajakan.
 
Ayat (3)
 
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan,
penuntutan atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan
instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
 
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama
pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan
keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang
Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam
hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
 
Ayat (4)
 
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri Keuangan
memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
 
Ayat (5)
 
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan,
bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya
mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau
peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas
pada tersangka yang bersangkutan.
 
Baris 3.229:
Ayat (1)
 
Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang
dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak
dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak
memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
 
Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan
berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan
Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak
pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal
(memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun
persyaratan material terpenuhi.
 
Baris 3.252:
Pasal 36A
 
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
meningkatkan kemampuan petugas pajak maka terhadap petugas pajak yang
menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang
perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian negara, dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Baris 3.263:
 
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-
ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah
apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan
ekonomi keuangan.
 
Baris 3.273:
Pasal 38
 
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak,
sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi
administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan,
dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan
tindak pidana.
 
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Kealpaan yang dimaksud dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak
hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya, sehingga perbuatan
tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
 
Baris 3.294:
Ayat (1)
 
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang berat mengingat
pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
 
Ayat (2)
 
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang
perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan,
dikenakan pidana lebih berat, ialah dilipatkan 2 (dua) dari ancaman
pidana yang diatur dalam ayat (1).
 
Ayat (3)
 
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian
Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan atau
kompensasi pajak yang tidak benar, sangat merugikan negara. Oleh
karena itu percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan
delik tersendiri.
 
Baris 3.323:
Ayat (1)
 
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan
diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam
memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka
pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perlu adanya sanksi
pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
 
Pengungkapan kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan karena
kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan,
sehingga kewajiban untuk merahasiakan, keterangan atau bukti-bukti
yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh undang-undang
perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut dihukum dengan
hukuman yang setimpal.
 
Ayat (2)
 
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih berat
dibanding dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena
kealpaan, agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk
tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
 
Ayat (3)
 
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah
menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib
Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
 
Baris 3.356:
Pasal 41A
 
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang
melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.
 
Baris 3.364:
Pasal 41B
 
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan misalnya menghalangi
Penyidik melakukan penggeledahan, menyembunyikan bahan bukti dan
sebagainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, dikenakan sanksi pidana.
 
Baris 3.375:
Ayat (1)
 
Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri tertentu
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
 
Baris 3.394:
Pasal 47A
 
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai
hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak
2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.