Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983/Penjelasan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
-iNu- (bicara | kontrib)
k + header
Hidayatsrf (bicara | kontrib)
k clean up using AWB
 
Baris 59:
==== Ayat (1) ====
 
Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi maupun badan.
 
'''Huruf a'''
Baris 105:
'''Huruf c'''
 
Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri.
 
Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Baris 165:
- penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha;
 
- penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain.
 
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu.
Baris 321:
Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya, maka dividen yang diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
 
Contoh : PT. X pabrik tekstil. PT. Y pabrik minuman. PT. X memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor dari PT. Y. Antara PT. X dan PT. Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.
 
Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y merupakan Obyek Pajak.
Baris 363:
'''Huruf b'''
 
Bila induk perusahaan atau badan lain di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa, melakukan kegiatan yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetapnya di Indonesia, maka penghasilan dari kegiatan tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan, agar supaya penghasilan kegiatan-kegiatan tertentu yang pada hakekatnya termasuk kegiatan bentuk usaha tetap, dapat dikenakan pajak kepada bentuk usaha tetap tersebut untuk mencegah adanya alasan, bahwa kegiatan-kegiatan tertentu tidak termasuk kegiatan-kegiatan bentuk usaha tetap, padahal Pajak Penghasilan atas kegiatan-kegiatan itu seharusnya menjadi tanggung jawab bentuk usaha tetap itu.
 
==== Ayat (2) ====
Baris 421:
Apabila Wajib Pajak kawin, maka jumlah itu ditambah dengan Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, maka penghasilan tidak kena pajak untuk isteri Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) sedangkan untuk menghitung pajak atas penghasilan suami diberikan pengurangan sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal demikian, ketika pemberi kerja menghitung penghasilan kena pajak untuk memotong pajak dari penghasilan isteri, telah dikurangkan sejumlah Rp.960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), tetapi tidak lagi diberikan tambahan pengurangan sebesar Rp.480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha, besarnya penghasilan tidak kena pajak ditambah dengan Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).
 
Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 960.000,- (sembilan ratus enam enam puluh ribu rupiah) tersebut diatas tidak diberikan lagi dalam hal isteri juga menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah diberikan potongan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Tambahan pengurangan sebesar Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) diberikan kepada isteri, apabila isteri menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan, sedangkan suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan apapun. Dalam hal demikian, tambahan pengurangan untuk tanggungan keluarga diberikan kepada isteri tersebut.
 
Dengan pengurangan yang demikian kepada pemberi kerja diberikan kemudahan dalam melaksanakan pemotongan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawannya, sebab pemberi kerja tidak dibebani kewajiban terlalu banyak untuk meneliti lebih jauh tentang isteri bekerja atau tidak, penghasilan isteri telah kena pajak atau tidak, dan sebagainya.
Baris 467:
Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan.
 
Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final.
 
Hal yang demikian juga berlaku dalam hal suami dan/atau isteri tidak nyata-nyata dipotong pajak oleh pemberi kerja, sebab jumlah penghasilannya berada di bawah penghasilan tidak kena pajak.
 
Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang, yang perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian surat Pemberitahuan Tahunan, hanya didasarkan atas besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan saja.
 
Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan melakukan pengurangan sebesar Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, di samping jumlah sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.
Baris 499:
'''Huruf a'''
 
Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya, karena dividen adalah bagian dari penghasilan badan tersebut yang dimaksudkan untuk dikenakan pajak oleh undang-undang ini, sehingga apabila dividen diperkenankan untuk dikurangkan, maka akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak dari badan yang memberikan.
 
Atas dividen yang dibagikan oleh badan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 23 atau Pasal 26.
Baris 505:
'''Huruf b'''
 
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada umumnya dimaksudkan untuk perluasan perusahaan dan untuk menjamin kelangsungan perusahaan.
 
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan sedemikian, tidak dapat dibebankan sebagai pengurangan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hubungan ini perlu diadakan pembedaan antara cadangan dengan penyisihan.
 
Penyisihan dimaksudkan untuk beban atau kewajiban yang sudah pasti ada, akan tetapi jumlahnya belum diketahui secara tepat, misalnya penyisihan untuk Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), tambahan pajak dan lain-lain.
Baris 565:
harga pasar Rp.20.000.000,- Rp. 20.000.000,-
 
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan. Nilai perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan Pasal 11 ayat (7) huruf b.
 
Sedangkan selisih antara harga pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak.
Baris 583:
'''Huruf c'''
 
Contoh : Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya adalah harga perolehan bagi pewaris dalam hal harta tersebut tidak boleh disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu apabila harta warisan tersebut dijual, keuntungan penjualan itu dikenakan pajak.
 
Contoh yang sama berlaku juga untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak.
Baris 623:
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara : rata-rata : ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- 1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00 2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 200 s.a Rp10,50=Rp2.100,00 3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 300 s a Rp10,75=Rp 3.225,00 4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 200 s a Rp10,75=Rp2.150,00 5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------
 
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama :
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- No Didapat Dipakai Sisa/persediaan ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- -------- 1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
 
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 100 s.a Rp 9,00=Rp 900,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
Baris 661:
==== Ayat (3) ====
 
Ayat ini membagi harta menjadi 4 (empat) golongan. Masing-masing golongan harta dapat terdiri dari bermacam jenis harta dengan masa manfaat yang hampir sama.
 
Agar Wajib Pajak mudah mengikuti perkembangan harta, baik berupa pengurangan ataupun penambahan, maka harus dibuat catatan atau daftar harta untuk setiap golongan harta, yang berisi antara lain tahun perolehan/pembelian, harga perolehan, golongan harta, dan tarif penyusutan sehingga sewaktu-waktu dapat diketahui jumlah penyusutan yang telah dilakukan terhadap masing-masing harta tersebut. Hal ini penting bagi Wajib Pajak, terutama bila terjadi penarikan karena sebab yang luar biasa, lihat penjelasan ayat (7).
 
Bagi golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya harus dibuat perkiraan sendiri secara terpisah untuk masing-masing bangunan dan harta tak gerak lainnya.
Baris 673:
==== Ayat (5) ====
 
Untuk golongan bukan bangunan, yaitu Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 jumlah awal dari golongan itu adalah harga sisa buku tahun sebelumnya yang tetap terbuka untuk penambahan harta baru dan pengurangan dengan penerimaan netto harta yang dijual, lalu diterapkan tarif penyusutan. Bila dalam tahun berjalan terjadi tambahan pengeluaran untuk memperoleh harta perusahaan yang menurut undang-undang ini dapat disusutkan, maka jumlah awal ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh harta baru tersebut.
 
Bila salah satu jenis harta tidak dipakai lagi dan dijual (karena sebab biasa), maka penerimaan netto dari penjualan tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.
Baris 737:
Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan hutan dapat dikurangkan sebagai amortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
 
Artinya adalah bahwa persentase amortisasi dari biaya tersebut setiap tahun pajak harus sama dengan persentase penambangan atau penebangan setiap tahunnya dari taksiran jumlah seluruh produksinya.
 
Sebagai contoh dalam hal konsesi pertambangan yang ditaksir mempunyai deposit 100.000 ton, dan dalam satu tahun diproduksi sebanyak 10.000 ton.
Baris 759:
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus diberitahukan pada waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
 
Penyebutan tahun pajak : Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim penyebutan tahun pajak tersebut adalah tahun takwim itu.
 
Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan mempergunakan tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
Baris 789:
Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
 
Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
 
Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya, yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.
Baris 813:
Stelsel kas : biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00 (saat dibayar tunai) 1985 = Rp. 0,00
 
Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan perorangan yang kecil atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama.
 
Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, Jasa dan biaya operasi lainnya.
Baris 831:
==== Ayat (2) ====
 
Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan sistem dan prinsip pembukuan yang harus dilakukan secara taat asas (konsistent).
 
=== Pasal 14 ===
Baris 859:
- tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.
 
Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggung jawabkan kesederhanaan, keterbukaan dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
 
Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Baris 1.023:
Hubungan Istimewa dianggap ada bila dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama.
 
Yang dimaksud dengan pemilikan atau penguasaan ini adalah bila yang memiliki perusahaan-perusahaan tersebut memegang saham mayoritas yang dapat mempengaruhi jalannya perusahaan.
 
Hubungan istimewa juga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Baris 1.039:
==== Ayat (4) ====
 
Dalam hal terdapat beberapa pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, maka tarif terendah 15% (lima belas persen) hanya dapat diberlakukan satu kali saja.
 
Dalam hal salah satu pihak menderita kerugian, kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan terhadap penghasilan pihak lainnya, akan tetapi berlaku kompensasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
Baris 1.089:
==== Ayat (3) ====
 
Sesuai dengan sifat Pajak Penghasilan sebagai pajak perorangan dan bukan pajak kebendaan, artinya keluarga Wajib Pajak yang menjadi tanggungan penuh turut menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, maka kebenaran Surat Pernyataan Wajib Pajak mengenai susunan keluarganya mutlak perlu.
 
Sebagai alat pembanding dapat juga dipergunakan Kartu Keluarga Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Baris 1.187:
Contoh :
 
a. Seorang konsultan Indonesia A bekerja selama setahun di Philipina dan memperoleh imbalan (fee) dari jasa yang dilakukan di sana sebesar x.
 
Pajak yang dikenakan di Philipina atas fee tersebut misalnya 50% x X. Maka jumlah sebesar 50% x X tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas A.
Baris 1.344:
'''Huruf b'''
 
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunya undang-undang ini, misalnya
 
- fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
Baris 1.362:
=== Pasal 35 ===
 
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
 
Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengenai :