Pada Sebuah Pantai: Interlude: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dobby F (bicara | kontrib)
←Mengosongkan halaman
Tag: perubahan_terbaru
Dobby F (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: perubahan_terbaru VisualEditor
 
Baris 1:
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
 
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
 
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
 
menyahutku.
 
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
 
hijau (mungkin kelabu).
 
Angin amis. Dan
 
di laut susut itu, aku tahu,
 
tak ada lagi jejakmu.
 
Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
 
sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
 
semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
 
meskipun pada pasir gelap.
 
Bukankah matahari telah bersalin dan
 
melahirkan kenyataan yang agak lain?
 
Dan sebuah jadwal lain?
 
Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang
 
setia, seperti sebuah gambar keluarga
 
(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?
 
Tidak aneh.
 
Tidak ada janji
 
pada pantai
 
yang kini tawar
 
tanpa ombak
 
(atau cinta yang bengal).
 
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
 
berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
 
dosa, tapi ada yang percuma saja.”
 
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
 
sentimentil. Dan itulah soalnya.
 
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu
 
mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan
 
ketika kini tinggal panas & pasir yang
 
bersetubuh.
 
Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
 
di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
 
kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam
 
affair singkat), dan kita menelan ludah sembari
 
berkata: “Wah, apa daya.”
 
Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk
 
menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
 
Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
 
dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!
 
Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
 
memberi tanda DILARANG NANGIS.
 
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
 
padaku.
 
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
 
mungkin pula tak kekal.
 
Kita memang bersandar pada mungkin.
 
Kita bersandar pada angin
 
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
 
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
 
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga
 
pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
 
pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya.
 
''1973''