Babad Panjalu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: perubahan_terbaru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k ←Suntingan 140.213.17.57 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Hidayatsrf
Tag: Pengembalian
 
Baris 256:
suga laras mulya
 
== Silsilah Panjalu ==
[16/1 11.55] Safna AP 2: KEMERDEKAAN SAMPAI TERPIMPIN
 
=== Batara Tesnajati ===
 
Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
AWAL KEMERDEKAAN (1945-1949)
1. Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil.
Ketidak setabilan ini di sebebkan oleh factor-faktor berikut .
A. Faktor intern (dari dalam), antara lain :
1. Adanya persaingan antar partai politik yang berbeda ideologi untuk menjadi partai yang paling berpengaruh di indonesia.
2. Adanya gangguan-gangguan keamanan dalam negeri.
3. Bangsa Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang cocok sehingga terjadi perubahansistem pemerintahan.
B. Factor ekstern (dari luar), antara lain :
1. Kedatangan Sekutu (Inggris) yang di boncengi NICA (Belanda) yang ingin kembali menjajah Indonesia,menimbulkan pertempuran di berbagai daerah.
2. Jepang masih mempertahankan status quo di wilayah Indonesia sampai Sekutu datang sehingga sering terjadi peperangan antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang.
 
=== Batara Layah ===
2. Pembentukan Lembaga-Lembaga Kelengkapan Negara
Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.
a. Pembentukan Lembaga Kementrian (Departemen)
Dalam UUD 1945 telah dicantumkan bahwa pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh presiden dan dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Presiden memiliki hak prerogatif di dalam mengangkat dan memberhentikan para menterinya. Departemen-departemen yang dibentuk beserta menteri-menteri yang diangkat adalah sebagai berikut :
 
=== Batara Karimun Putih ===
Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
 
=== Prabu Sanghyang Rangga Gumilang ===
· Departemen Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah,
· Departemen Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo,
· Departemen Keuangan : Mr. A.A Maramis,
· Departemen Kehakiman : Prof. Mr. Dr. Soepomo,
· Departemen Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adisurjo,
· Departemen Keamanan Rakyat : Supriyadi,
· Departemen Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmodjo,
· Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantara,
· Departemen Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin,
· Departemen Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri,
· Departemen Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso,
· · Departemen Perhubungan (a.i) : Abikusno Tjokrosujoso
 
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta sebagai Raja Panjalu, sejak saat itu periode kebataraan di Panjalu berakhir. Ia membangun kaprabon di Dayeuhluhur, Maparah dan menikahi seorang puteri dari Galuh bernama Ratu Permanadewi, dari pernikahannya itu sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Rangga Lembu Sampulur I. Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.
 
=== Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I ===
Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.
 
=== Prabu Sanghyang Cakradewa ===
b. Pembentukan Komite Nasional Indonesia dan Daerah
Dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945, wakil presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan No.X yang isinya memberikan kekuasaan dan wewenang legislatif kepada KNIP untuk ikut serta untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelum MPR terbentuk dalam pemilihan umum.
 
Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu: 1) Sanghyang Lembu Sampulur II, 2) '''Sanghyang Borosngora''', 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Sanghyang Anggarunting, 5) Ratu Mamprang Kancana, dan 6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda). Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu.
 
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi Patih dan Senapati Kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 Hasil yang dicapai adalah sebagai berikut :
1) KNI (Komite Nasional Indonesia) berfungsi sebagai dewan perwakilan rakyat sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu).
2) PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal negara Republik Indonesia, tetapi dibatalkan.
3) BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-tiap daerah.
 
Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tatto) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
 
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan '''''Anggon-anggon Kapanjaluan''''' (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu'' mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya''. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari ''"Ilmu Sajati"'' yaitu ilmu yang benar, ilmu yang suci, ilmu yang lurus, ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ''ilmu sajati'' atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ''ilmu sajati'', maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
pada tanggal 03 November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik sebagai berikut :
1) Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik,karna partai politik itu dapat membuka jalan buat semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum di laksankannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
 
Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekah dalam sekejap mata.
Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik, seperti :
- Majelis Syuro Muslimin Indonesian (Masyumi), dipimpin oleh Dr.Soekiman Wirdjosandjodjo.
- Partai Komunis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf.
- Partai Buruh Indonesia , dipimpin oleh Njono.
- Partai Rakyat jelata , dipimpin oleh Sutan Dewanis .
- Partai Kristen Indonesia , dipimpin oleh Ds. Probowinoto.
- Partai Sosialis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin.
- Partai Rakyat Sosialis, dipimpin oleh Sutan Syahrir.
- Partai Katolik Indonesia, dipimpin oleh I.J. Kasimo.
- Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dipimpin oleh J.B.Assa.
- Partai Nasional Indonesia , dipimpin oleh Sidik Djodjosukarto
 
Di Mekah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi ''Ilmu Sajati'' yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.
c. Pembentukan Alat Kelengkapan
[16/1 12.30] Safna AP 2: c. Pembentukan Alat Kelengkapan Keamanan Negara
Panitia kecil itu mengusulkan sebagai berikut :
1) Rencana pembelaan negara dan Badan Penyelidik Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang mengandung unsur politik perang, tidak dapat di terima.
2) Tentara PETA pembela tanah air di Jawa dan Bali Laskar Rakyat di Sumatera dibubarkan Karena merupakan organisasi buatan Jepang yang kedudukannya di dalam dunia Internasional tidak memiliki ketentuan dan kekuatan hukum.
Alat Kelengkapan Keamanan Negara
1. TKR (Tentara Keamannan Rakyat). Yang di pimpin oleh Supriyadi (5 Oktober 1945).
2. TKR ( Tentara Keamanan Rakyat) (1 januari 1946)
3. TKR ( Tentara Keselamatan Rakyat) (26 januari 1946)
4. TNI (Tentara Nasional Indonesia) (7 Juni 1947 )
 
Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir.
·
 
Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di pasir itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum alat tulis itu tak bergeming barang sedikitpun. Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.
d. Pembentukan Provinsi di Seluruh Wiayah Indonesia
Pada awalnya wilayah Indonesia dibagi 8 provinsi dan mengangkat Gubernur sebagai kepala daerah. Gubernur-gubenrur yang diangkat antara lain :
 
Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekah untuk menimba ''Ilmu Sajati'' kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah ''Dien Al Islam''. Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ''ilmu sajati'' dengan sempurna.
 
Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawanya dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.
Provinsi Sumatra, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara), Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi, Provinsi Kalimantan
 
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu karena merasa berbeda dengan ajaran yang dibawa oleh adiknya, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
 
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.
 
=== Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II ===
e. Pembentukan Lembaga Pemerintahan di Daerah
Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka [[Gunung Tampomas]] (Sumedang).
Ø Lembaga Pemerintah Daerah ; Dipimpin oleh kepala daerah dan tugasnya menjalankan pemerintahan atas daerah yang dikuasainya.
Ø Lembaga Komite Nasional Daerah (KNI-D); Tuasnya membantu gubernur menjalankan tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPR melalui pemilihan umum.
Ø Lembaga Teknis Daerah; lembaga ini disubut dengan Dinas, dan terdiri atas Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan dan sebagainya.
Ø Dinas Daerah; lembaga ini merupakan unsure pelaksana dari pemerintah daerah yang menyeenggarakan urusan-urusan rumah tangga daerah itu sendiri.
Ø Wakil Kepala Daerah; merupakan pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari.
Ø Sekaertariat Daerah; Tugasnya membatu Kepala Daerah di dalam menyelenggarakan pemerintahan atas daerah yang di perintahnya.
 
=== Prabu Sanghyang Borosngora ===
3.Politik Luar Negri
Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara adat Nyangku. Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu: 1) Rahyang Kuning dan 2) '''Rahyang Kancana.''' Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung ([[Kabupaten Sukabumi|Sukabumi]]), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian mencetuskan politik BEBAS AKTIF. Bebas yang berarti bahwa Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.
 
=== Prabu Rahyang Kuning ===
DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
 
1. Pada masa demokrasi liberal kondisi politik bangsa Indonesia menggalami ketidakstabilan ( kekacauan ).
Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.
A. Ketidakstabilan politik ini disebabkan karena :
 
a. Parlemen ( DPR ) tidak mampu menjalankan tugasnya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang terjadi hanyalah pertarungan antar partai politik untuk mendapatkan kekuasaan ( berkuasa memimpin pemerintahan /Kabinet ).
Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, [[Kertamandala, Panjalu, Ciamis|Desa Kertamandala]], [[Panjalu, Ciamis|Kecamatan Panjalu]].
b. Sering terjadi pergantian kabinet. Dalam kurun waktu kurang lebih 9 tahunan telah terjadi 7 kali pergantian kabinet ( pemerintahan ), ini berarti umur kabinet rata – rata 15 bulan. Akibatnya kehidupan politik menjadi tidak stabil.
Prabu Rahyang Kancana
c. Konstituante sebagai badan yang dipilih oleh rakyat dengan tugas membentuk UUD yang baru ternyata juga mengalami kegagalan. Hal ini desebabkan karena dalam badan tersebut hanya diisi dengan perdebatan antar partai politik dengan ideologi yang berbeda – beda ( agama, nasionalis dan komunis ) masing – masing partai ingin menonjolkan paham / ideologi partainya sendiri - sendiri.
 
B. Usaha untuk mengatasi ketidakstabilan politik dalam tubuh Dewan Konstituante tersebut pada bulan Pebruari 1957 Presiden Soekarno mengajukan sebuah gagasan politik (Konsepsi Presiden) yang berisi :
=== Prabu Rahyang Kancana ===
· Sistim demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan menawarkan perubahan ke arah sistim demokrasi terpimpi
 
[16/1 12.31] Safna AP 2: 3.Partai Politik
Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.
1. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan.
 
2. partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi.
Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:
3. partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya.
 
4. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.
1) Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko, dan
5. golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi.
 
6. semua partai politik wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
2) Rahyang Ageung atau Hariang Ageung.
7. Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno.
 
8. Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI.
Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
 
Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
=== Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko ===
1) Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
Rahyang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.
2) Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
 
3) Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu.
4) Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia
 
5) Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai
=== Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana ===
6) Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan
Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu.
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
 
=== Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya ===
Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.
 
Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu.
 
=== Prabu Rahyang Kunang Natabaya ===
 
Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.
 
Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :
 
1) Raden Arya Sumalah,
 
2)''' Raden Arya Sacanata''', dan
 
3) Raden Arya Dipanata.
 
Pada masa kekuasaan Prabu Hariang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati ([[1586]]-[[1601]]) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu.
 
Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
 
=== Raden Arya Sumalah ===
 
Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:
 
1) Ratu Latibrangsari dan
 
2) Raden Arya Wirabaya.
 
Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu.
 
=== Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan ===
 
Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.
 
Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.
 
Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:
 
1) Raden Jiwakrama (Cianjur),
 
2) Raden Ngabehi Suramanggala,
 
3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),
 
4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),
 
5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),
 
6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),
 
7) '''Raden Arya Wiradipa''' (Maparah, Panjalu),
 
8) Nyi Raden Lenggang,
 
9) Nyi Raden Tilar Kancana,
 
10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),
 
11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan
 
12) Raden Ngabehi Dipanata.
 
Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan [[Kabupaten Panjalu]] dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 ''Ajeg''; salah satunya adalah [[Ajeg Wirabaya]] yang meliputi wilayah Ciamis Utara meliputi Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.
 
Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan [[Pangeran Arya Salingsingan]] (dalam Bahasa Sunda kata "salingsingan" berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).
 
Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
 
=== Raden Arya Wirabaya ===
Sewaktu Sunan Amangkurat I berkuasa ([[1645-1677]]) pada sekitar tahun [[1656-1657]] wilayah ''Mancanagara Kilen'' (Mataram Barat) dibagi menjadi dua belas ''Ajeg'' (daerah setingkat kabupaten) serta menghapuskan jabatan Wedana Bupati Priangan, keduabelas Ajeg itu adalah: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang, Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), '''Wirabaya''' (Ciamis Utara termasuk Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih, Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap) dan Banjar (Ciamis Timur).
 
Pada waktu itulah Arya Wirabaya diangkat oleh Sunan Amangkurat I menjadi Kepala Ajeg Wirabaya sekaligus menggantikan Pangeran Arya Sacanata yang tidak lagi menjabat Bupati karena Kabupaten Panjalu telah dihapuskan dan dimasukkan kedalam Ajeg Wirabaya.
 
Arya Wirabaya mempunyai seorang putera yang bernama Raden Wirapraja, setelah wafat jasad Arya Wirabaya dimakamkan di Cilamping, Panjalu, Ciamis.
 
=== Raden Tumenggung Wirapraja ===
 
Raden Wirapraja menggantikan ayahnya menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Wirapraja. Pada masa pemerintahannya kediaman bupati dipindahkan dari Dayeuh Nagasari ke Dayeuh Panjalu.
 
Tumenggung Wirapraja setelah mangkat dimakamkan di Kebon Alas Warudoyong, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis.
 
=== Raden Tumenggung Cakranagara I ===
 
Salah seorang putera Arya Sacanata yang bernama Arya Wiradipa memperisteri Nyi Mas Siti Zulaikha puteri Tandamui dari Cirebon, ia bersama kerabat dan para kawulabaladnya dari keraton Talaga mendirikan pemukiman yang sekarang menjadi Desa Maparah, Panjalu. Dari pernikahannya itu Arya Wiradipa mempunyai empat orang anak, yaitu:
 
1) Raden Ardinata,
 
2) Raden Cakradijaya,
 
3) '''Raden Prajasasana''', dan
 
4) Nyi Raden Ratna Gapura.
 
Raden Prajasasana yang setelah dewasa dikenal juga dengan nama Raden Suragostika mengabdi sebagai pamong praja kepada Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) yang menjabat sebagai ''Opzigter'' (Pemangku Wilayah) VOC untuk Wilayah Priangan dan karena kinerjanya yang baik, Raden Suragostika kemudian diangkat Pangeran Arya Cirebon menjadi Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Tumenggung Wirapraja.
 
Tumenggung Cakranagara I memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu Latibrangsari (kakak Arya Wirabaya) sebagai garwa padmi (permaisuri) dan menurunkan tiga orang putera, yaitu:
 
1) Raden Cakranagara II,
 
2) Raden Suradipraja, dan
 
3) Raden Martadijaya.
 
Sementara dari garwa ampil (isteri selir) Tumenggung Cakranagara I juga mempunyai empat orang puteri, yaitu:
 
1) Nyi Raden Panatamantri,
 
2) Nyi Raden Widaresmi.
 
3) Nyi Raden Karibaningsih, dan
 
4) Nyi Raden Ratnaningsih.
 
Tumenggung Cakranagara I setelah wafat dimakamkan di Cinagara, Desa Simpar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
 
=== Raden Tumenggung Cakranagara II ===
 
Raden Cakranagara II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara II, sedangkan adiknya yang bernama Raden Suradipraja diangkat menjadi Patih Panjalu dengan gelar Raden Demang Suradipraja.
 
Tumenggung Cakranagara II mempunyai enam belas orang anak dari ''garwa padmi'' dan isteri selirnya, keenambelas putera-puterinya itu adalah:
 
1) Nyi Raden Wijayapura,
 
2) Nyi Raden Natakapraja,
 
3) Nyi Raden Sacadinata,
 
4) Raden Cakradipraja,
 
5) Raden Ngabehi Angreh,
 
6) '''Raden Dalem Cakranagara III''',
 
7) Nyi Raden Puraresmi,
 
8) Nyi Raden Adiratna,
 
9) Nyi Raden Rengganingrum,
 
10) Nyi Raden Janingrum,
 
11) Nyi Raden Widayaresmi,
 
12) Nyi Raden Murdaningsih,
 
13) Raden Demang Kertanata,
 
14) Raden Demang Argawijaya,
 
15) Nyi Raden Adipura, dan
 
16) Nyi Raden Siti Sarana.
 
Tumenggung Cakranagara II setelah wafat dimakamkan di Puspaligar, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.
 
=== Raden Tumenggung Cakranagara III ===
 
Raden Cakranagara III sebagai putera tertua dari'' garwa padmi'' (permaisuri) menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Panjalu dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara III.
 
Tahun 1810 wilayah Kawali yang dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810) digabungkan kedalam wilayah Kabupaten Panjalu dibawah Raden Tumenggung Cakranagara III yang sama-sama berada dalam wilayah administratif Cirebon. Wilayah Kawali ini kemudian dikepalai oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819) yang menginduk ke Kabupaten Panjalu.
 
Pada tahun [[1819]] ketika Pemerintah [[Hindia-Belanda]] dibawah pimpinan Gubernur Jenderal [[G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen]] ([[1816-1836]]) dikeluarkanlah kebijakan untuk '''menggabungkan Kabupaten Panjalu, Kawali, Cihaur dan Distrik Rancah kedalam Kabupaten Galuh'''. Berdasarkan hal itu maka Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu dan sejak itu Panjalu menjadi kademangan (daerah setingkat wedana) di bawah Kabupaten Galuh.
 
Pada tahun itu Bupati Galuh Wiradikusumah digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (1819-1839), sedangkan di Panjalu pada saat yang bersamaan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Sumawijaya diangkat menjadi Demang (Wedana) Panjalu dengan gelar '''Raden Demang Sumawijaya''', sementara itu putera ketujuh Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden Cakradikusumah diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar '''Raden Arya Cakradikusumah'''.
 
Tumenggung Cakranagara III mempunyai dua belas orang putera-puteri, yaitu:
# '''Raden Sumawijaya''' (Demang Panjalu),
# Raden Prajasasana Kyai Sakti (Nusa Larang, Panjalu),
# Raden Aldakanata,
# Raden Wiradipa,
# Nyi Raden Wijayaningrum,
# Raden Jibjakusumah,
# Raden Cakradikusumah (Wedana Kawali),
# Raden Cakradipraja,
# Raden Baka,
# Nyi Raden Kuraesin,
# Raden Raksadipraja (Kuwu Ciomas, Panjalu), dan
# Raden Prajadinata (Kuwu Maparah, Panjalu).
 
'''Tumenggung Cakranagara III wafat pada tahun 1853 dan dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu berdekatan dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.'''
 
=== Raden Demang Sumawijaya ===
 
Raden Sumawijaya pada tahun 1819 diangkat menjadi Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Sumawijaya. Adiknya yang bernama Raden Cakradikusumah pada waktu yang berdekatan juga diangkat menjadi Wedana Kawali dengan gelar Raden Arya Cakradikusumah. Demang Sumawijaya mempunyai tiga orang anak, yaitu: 1) '''Raden Aldakusumah''', 2) Nyi Raden Asitaningsih, dan 3) Nyi Raden Sumaningsih.
 
'''Demang Sumawijaya setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu'''.
 
=== Raden Demang Aldakusumah ===
 
Raden Aldakusumah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Demang Panjalu dengan gelar Raden Demang Aldakusumah, ia menikahi Nyi Raden Wiyata (Reumalega, Panjalu) dan mempunyai empat orang anak, yaitu: 1)''' Raden Kertadipraja''' (Reumalega, Panjalu), 2) Nyi Raden Wijayaningsih, 3) Nyi Raden Kasrengga (Reumalega, Panjalu), dan 4) Nyi Raden Sukarsa Karamasasmita (Reumalega, Panjalu).
 
Semantara itu adik sepupunya yang bernama Raden Argakusumah (putera Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah) diangkat menjadi Bupati Dermayu (sekarang [[Indramayu]]) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara IV. '''Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) setelah wafatnya dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu'''.
 
Putera tertua Demang Aldakusumah yang bernama '''Raden Kertadipraja''' tidak lagi menjadi Demang Panjalu karena Panjalu kemudian menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Galuh di bawah kawedanaan Panumbangan, sementara ia sendiri tidak bersedia diangkat menjadi Kuwu (Kepala Desa ) Panjalu. Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis.
 
== Referensi ==