Dari Sabang Sampai Merauke!: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 128:
Yang penting, yang terutama, ialah melaksanakan dasar-dasar yang tertulis dan tak tertulis itu ke dalam praktek, ke dalam usaha, ke dalam amal, ke dalam fi'il pembangunan, sehingga benar-benar terasa oleh rakyat bahwa cita-cita kita bukan hanya cita-cita yang melayang di awang-awang, tetapi benar-benar cita-cita yang dapat direalisir.
 
Dan untuk mengalihkan cita-cita kita itu dari awang-awang yang tinggi ke dunia yang zahir, perlulah usaha, amal, keringat, yang diperas dengan sepenuh-penuh jiwa. Tidak cukup kita membanggakan tuah di masa yang lalu; tidak cukup kita menyebut-nyebut jasa dalam fase penggempuran kolonialisme dan pemerintahan asing. Masyarakat tidak diam, masyarakat itu senantiasa berobah, dan karena itu, masyarakat itu menghendakilah jasa-jasa yang baru. Membanggakan jasa yang dulu dengan tidak menginsyafi tuntutan masa yang datang, adalah permulaan menjadi beku. Jasa yang lalu, memang berbuah; dan memang ia dihormati menurut masanya. Tetapi rakyat mengharap dan menghendaki dari semua pemimpin-pemimpinnya, dari semua pujangga-pujangganya, dari semua pemuda-pemudinya dan semua alat-alat serta pemangku-pemangku Negaranya perbuatan-perbuatan yang baru, yang dapat merobah kesukaran hidup mereka menjadi kebahagiaan hidup yang penuh dengan kesejahteraan. '''Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya si tiga-warna. Selama masih ada ratap-tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai!'''
 
Tetapi saya tandaskan di sini, bahwa masyarakat yang sejahtera itu tidak dapat terlaksana, hanya dengan tuntutan-tuntutan saja. Masyarakat yang sejahtera itu harus kita bina, harus kita susun, harus kita bangun, harus kita adakan, harus kita jelmakan. Harus kita jelmakan dengan membanting kita punya tulang, dan mengucurkan kita punya keringat! Ya, kita, kita semua, kita, – ya pemimpin, ya yang dipimpin, ya pegawai, ya marhaen, ya buruh, ya petani, ya yang terpelajar, ya yang awam! Apakah yang dinamakan masyarakat yang "berkeadilan sosial"? Sudahkah sesuatu masyarakat tentu berkeadilan sosial, kalau tidak ada kapitalisme di dalamnya dan ada "sama-rasa-sama-rata" di dalamnya? Tatkala kita masih hidup primitif dalam rimba-rimba dan gua-gua, tatkala pada waktu itu tidak ada kapitalisme di kalangan kita dan adasama-rasa sama-rata di antara kita, – sudahkah pada waktu itu kita hidup dalam masyarakat "keadilan sosial?" Tatkala kita tak mengenal lain kendaraan melainkan kaki kita sendiri, tak mengenal lain penerangan di waktu malam melainkan api-unggun di dalam rimba, tak mengenal lain pakaian penutup aurat melainkan sehelai kulit kayu, tak mengenal lain makanan melainkan akar-akar dan ikan, – sudahkah kita pada waktu itu "berkeadilan sosial", padahal tidak ada kapitalisme, padahal ada sama-rasa-samarata? Tidak! Masyarakat keadilan sosial, kecuali berdasar atas pembahagian bekal-bekal-hidup dan alat-alat-hidup secara adil, adalah berdasarkan pula atas adanya bekal-bekal-hidup dan alat-alat-hidup itu sebanyak-banyaknya. Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga meminta adanya produksi yang secukupnya. Apa yang harus didistribusi, kalau tidak ada produksi yang cukup? Masyarakat keadilan sosial meminta adanya pertanian yang luas dan tinggi mutu; ia meminta adanya paberik-paberik yang berefisient tinggi; ia meminta adanya perhubungan dan perlalulintasan yang mencapai tingkat perfeksi; ia meminta adanya rakyat yang tidak buta huruf; ia meminta adanya teknik dan elektrisitet; ia meminta adanya keamanan dan ketenteraman; ia meminta adanya semangat gotong-royong yang menghikmati seluruh khalayak. Dan semuanya ini tak akan jatuh kant-en-klaar dari awang-awang, tetapi harus diadakan, harus dibuat, harus diwujudkan, harus dijelmakan, tidak oleh satu dua orang, tetapi oleh kita semua, oleh seluruh masyarakat sendiri. Karena itu, maka membangun! Membangun! Membangun! Menjadilah panggilan-masa di waktu sekarang. Saya harap semua pemimpin-pemimpin sedar dalam hal ini, terutama sekali pemimpin-pemimpin yang bercita-citakan masyarakat keadilan sosial. Sungguh, manakala kita di masa yang lalu telah banyak mengucurkan keringat, maka lebih banyak keringat lagi harus kita kucurkan di masa datang. Marilah kita tidak terlalu banyak meminta kepada Ibu. Marilah kita banyak memberi, memberi, memberi, dan sekali lagi memberi kepada Ibu Pertiwi!
Baris 174:
Dan kepada saudara-saudara kaum buruhpun saya minta supaya ingat bahwa kita ini masih harus menyelesaikan perjoangan-perjoangan yang besar. Di waktu yang akhir-akhir ini, falsafah-pertentangan kadang-kadang menobros pagarnya Persatuan Bangsa. Padahal syarat-mutlak untuk berhasilnya Revolusi Nasional ialah Persatuan Nasional yang mutlak pula. Bibit api perjoangan-kelas memang obyektif selalu ada di sepanjang masa dan di manapun jua, tetapi di dalam Revolusi Nasional janganlah bibit api itu dikobar-kobarkan sehingga menjadi kobaran pertentangan-pertentangan yang riil menghanguskan pertahanan kita. Baik sekali buruh dan tani berorganisasi, berserikat, berkumpul, beraksi untuk mencari perbaikan nasib dan meninggikan kesedaran kelas, tetapi janganlah kesedaran kelas itu dalam Revolusi Nasional diruncing-runcingkan dan dipertajam-tajamkan menjadi perjoangan kelas yang merugikan potensi Bangsa dan potensi Negara. Tidakkah Negara kita ini, – Negara yang sedang dirundung seribu satu bahaya! – di waktu yang akhir-akhir ini kadang-kadang terlalu dijadikan sasaran dan bulan-bulanan bagi tuntutan-tuntutan yang bermacam-macam. Saudara-saudara kaum buruh, Ibu Pertiwi mengharap yang kita masih banyak memberi! Ibu Pertiwi mengharap yang kita mengerti, bahwa kita tak ada hak zonder kewajiban, dan bahwa penuntutan hak hanyalah benar jika kewajibanpun kita tunaikan. Hak dan kewajiban adalah dua muka dari satu hal, – yang satu tak dapat benar zonder yang lain, yang lain tak dapat benar zonder yang satu. Marilah kita sedar akan hal ini, dan marilah kita juga membangun, membina, menjelmakan segala syarat-syarat untuk kebahagiaan hidup kita dan hidup anak-cucu kita. Di dalam masa pertempuran, maka saudara-saudaramu banyak yang mem-berikan darahnya, – wahai, di masa sekarang, berikanlah sebanyak keringat yang ada di saudara punya badan. Bangsa yang tak segan menumpahkan darahnya di masa pertempuran, takkan segan mengucurkan keringatnya di masa pembangunan!
 
Dan sekarang, segenap bangsaku, bangkitlah terus, berjoanglah terus dalam Negara Kesatuan yang telah berdiri lagi sekarang ini. Berjoanglah terus, dan bekerjalah lebih giat, sebab segala-gala memang masih harus kita kerjakan. Jangan ada seorangpun di antara saudara-saudara yang mengira, bahwa dengan berdirinya-kembali Negara Kesatuan ini hari, segala hal telah menjadi beres ini hari pula. Jangan ada seorangpun mengira, bahwa dengan adanya Negara Kesatuan itu, kemakmuran rakyat sekunyung-kunyung terjadi, laksana cendawan di satu malam. Negara Kesatuan bukanlah kunci-wasiat-pat-pat-gulipat untuk membuka peti-wasiat kemakmuran rakyat. Negara Kesatuan hanyalah syarat-syarat! – untuk memudahkan persatuan tenaga. Hanya dengan penyerahan tenaga yang bersatu-padu itulah, pengerahan tenaga habis-habisan, pengerahan tenaga mati-matian, yang diperguna-kan secara rasionil untuk pembangun produksi, beserta dengan kegembiraan bekerja yang segembira-gembiranya, maka dapatlah kita merintis jalan yang menuju kemakmuran rakyat. '''Karena itu sekali lagi, berjoanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.'''
 
Berjuanglah terus dalam Persatuan Nasional yang sebulat-bulatnya! Benar kita dalam tahun yang lalu itu mengalami kesulitan-kesulitan; benar kita dalam tahun yang lalu itu mengalami kesedihan-kesedihan seperti meninggalnya Wolter Monginsidi dan Panglima Besar Sudirman yang moga-moga Tuhan memberkati arwah-arwahnya; benar kita dalam tahun yang lalu itu kadang-kadang terlalu berpanas-panasan hati satu sama lain; tetapi dari seluruh pertumbuhan seperti yang saya lukiskan di atas tadi nyatalah dengan senyata-nyatanya, bahwa kita akan benar-benar bersatu kembali, karena kita kuat. Dan sebaliknya, kita Insya Allah akan tetap kuat, karena kita telah menunjukkan dapat bersatu. "Dharma eva hato hanti", – bersatu karena kuat, kuat karena bersatu, – itulah kalimat yang saya tidak bosan-bosan mengulanginya selama Revolusi kita ini. Sebab, memang itulah rahasianya kemenangan, itulah Wahyu Cakraningratnya sesuatu bangsa yang ingin menjadi besar dan ingin menjadi jaya. Maka itu bersatulah! Dan, benar kita dalam tahun yang lalu ini kadang-kadang mendapat tamparan-tamparan dan hantaman-hantaman yang pedih, tetapi janganlah hal itu mendatangkan rasa putus-asa, sebaliknya haruslah malahan menjadi cambuk untuk menggigitkan gigi, – untuk berjalan terus, berikhtiar terus, berjoang terus. Sebab, tiap-tiap cacing dapat mengatakan bahwa manis adalah manis, tetapi sejarah hanyalah mencobakan hantaman-hantamannya kepada makhluk-makhluk yang kuat dan bangsa-bangsa yang kuat. Biar hantaman-hantaman itu datangnya bertalu-talu, anggaplah itu sebagai tempaan-tempaan dan gemblengan sejarah saja, – apa yang tidak menghancurleburkan kita menjadi pudar samasekali, itulah membuat kita makin kuat, makin keras, makin menggumpal, makin membaja. Demikianlah besarnya hati bangsa yang ingin menjadi kuat, demikianlah besarnya hati bangsa yang berani berjoang dan mengerti bahwa dalam tiap-tiap perjoangan adalah menghantam dan dihantam, – demikianlah besarnya hati satu "fighting nation" yang mengerti bahwa baginya tidak akan lekas datang "journey's end".