Sitti Nurbaya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 864:
saudaranya itu.
"Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah
perempuan itu.
Baris 885:
"Astaga! Dari mana akan hamba peroleh sekaliannya itu?"
kata sutan Mahmud.
"Bukankah sudah kukatakan; kalau tak cakap engkau
mengadakan permintaan orang itu, janganlah dibicarakan juga
Baris 912:
tinggi) harus dari sutera pula, diberi bertekat benang Makau
sekaliannya harus diadakan. Belanja alat yang tujuh hari tujuh
malam, dengan biaya perarakan dan gajah mena
sedikit."
Tatkala itu datanglah putri Rukiah membawa suatu
hidangan, yang berisi semangkuk kopi dengan kue-kue, ke
hadapan Sutan Mahmud, lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian
masuklah ia ke dalam biliknya. Rupanya ia mengerti, bahwa
orang tuanya itu sedang memperbincangkan hal yang tak
Baris 1.483 ⟶ 1.480:
pada waktu itu, karena sejauh tepi langit dari tepi kolam itu,
sejauh itu pulalah kelak pikiran dan kenang-kenangan
mereka.
itu, pada waktu terang bulan, adalah sebagai dengan sengaja
diperbuatnya.
Baris 1.498 ⟶ 1.495:
terlalu lama kita berhenti di taman ini, pastilah takkan dapat
lagi kita
"Bukan demikian," jawab Arifin, tatkala mendengar
Baris 1.663 ⟶ 1.658:
Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg
(gunung kera
jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka yang mendaki
gunung itu. Apabila dipanggil dan diberi pisang, datanglah
Baris 1.688 ⟶ 1.683:
mengunjungi kuburan sanak saudaranya, yang telah
meninggalkan dunia, untuk mendoakan arwahnya.
Walaupun gunung ini pada hakikatnya tempat sedih dan
Baris 1.826 ⟶ 1.819:
"Tentu tak dapat," jawab Samsu. "Memang bagi seorang
pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai
bertemu buah si mala kamo
dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?"
Baris 1.834 ⟶ 1.827:
"Jadi kau rupanya lebih sayang kepada ayahmu, daripada
kepada ibumu," sahut Nurbaya.
"Bukan begitu, Nur," jawab Bakhtiar, "kalau perkara
sayang, tentu aku lebih sayang kepada ibuku daripada kepada
Baris 2.832 ⟶ 2.825:
mencapai pangkat yang tinggi. Ayah kita, apa kepandaiannya?
Menulis pun hampir tak dapat. Tetapi mengapakah dapat juga
ia menjabat pangkat Tuanku Bendahara
Penghulu-Penghulu yang ada di Padang ini, yang pandai
bahasa Belanda? Tak ada seorang pun. Bukankah sekaliannya
Baris 2.847 ⟶ 2.840:
"Mengapa engkau berkata demikian?" tanya putri Rubiah.
"Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan
menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah.
Baris 3.008 ⟶ 3.001:
beristri seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah
pikirannya telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali
telah termakan perbuatan orang
dirinya dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya
menggelenggelengkan kepalanya.
Baris 3.014 ⟶ 3.007:
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah
pula, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci
Baris 4.767 ⟶ 4.758:
ditumpangkannya pada tukang pedati, yang berangkat malam
itu juga ke sini. Rupanya pedati itu lama berhenti di Lubuk
Bagalung dan di sanalah kedapatan oleh yang kuning leher
Oleh sebab tukang pedati itu mengatakan ia menerima
Baris 4.797 ⟶ 4.788:
pergi ke Hulu Limau Manis, menolong si Patah, sebagai telah
Engku katakan. Tetapi tatkala sampai ke Bukit Putus, dapat
kabar dari seorang murid di sana, ada ilmu baru, datang dari Jawa,
dengan kapal yang masuk hari itu. Ilmu itu banyak harganya.
Baris 5.139 ⟶ 5.127:
Demikian bunyinya:
Jakarta, 10 Agustus 1896
<poem>
Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.
Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serang-menyerang,
Ombak memecah di atas karang.
Awan berarak berganti-ganti,
Cepat melayang tiada berhenti,
Menuju selatan tempat yang pasti,
Sampai ke gunung lalu berhenti.
Udara tenang hari pun terang,
Sunyi senyap bukan sebarang,
Murai berkicau di kayu arang,
Merayu hati dagang seorang.
Guntur menderu mendayu-dayu,
Pungguk merindu di atas kayu,
Hati yang riang menjadi sayu,
Pikiran melayang ke tanah Melayu.
Angin bertiup bertalu-talu,
Kalbu yang rawan bertambah pilu,
Hati dan jantung berasa ngilu,
Bagai diiris dengan sembilu.
Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenangkenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.
Jika dipikir diingat-ingat,
Arwah melayang terbang semangat,
Tubuh gemetar terlalu sangat,
Kepala yang sejuk berasa angat.
Betapa tidak jadi begini,
Ayam berkokok di sana-sini,
Disangka jiwa permata seni,
Datang menjelang kakanda ini.
Disangka adik datang melayang,
Mengobat kakanda mabuk kepayang,
Hati yang sedih berasa riang,
Kalbu yang tetap rasa tergoyang.
Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.
Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit hebat tidak berlawan,
Sebagai kayu penuh cendawan.
Silalah adik, silalah gusti,
Sila mengobat luka di hati,
Jika lambat adik obati,
Tentulah abang fana dan mati.
Tatkala sadar hilang ketawa,
Dagang seorang di tanah Jawa,
Rasakan hancur badan dan nyawa,
Nasib rupanya berbuat kecewa.
Di sana teringat badan seorang,
Jauh di rantau di tanah seberang,
Sedih hati bukan sebarang,
Sebagai manik putus pengarang.
Tunduk menangis tercita-cita,
Jatuh mencucur air mata,
Lemah segala sendi anggota,
Rindukan adik emas juita.
Teringat adik emas sekati,
Kanda mengeluh tidak berhenti,
Rindu menyesak ke hulu hati,
Rasa mencabut nyawa yang sakti.
Terkenang kepada masa dahulu,
Tiga bulan yang telah lalu,
Bergurau senda dapat selalu,
Dengan adikku yang banyak malu.
Sekarang kakanda seorang diri,
Jauh kampung halaman negeri,
Duduk bercinta sehari-hari,
Kerja lain tidak dipikiri.
Tetapi apa hendak dikata,
Sudah takdir Tuhan semesta,
Sebilang waktu duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita.
Setelah jauh sudahlah malam,
Kakanda tertidur di atas tilam,
Bermimpi adik permata nilam,
Datang melipur gundah di dalam.
Datangnya itu seorang diri,
Tidur berbaring di sebelah kiri,
Kakanda memeluk intan baiduri,
Dicium pipi kanan dan kiri.
Tiada berapa lama antara,
Dilihat badan sebatang kara,
Abang terbangun dengan segera,
Hati yang rindu bertambah lara.
Guling kiranya berbuat olah,
Lalu mengucap astagfirullah,
Begitulah takdir kehendak Allah,
Badan yang sakit bertambah lelah.
Memang apa hendak dibilang,
Sudahlah nasib untung yang malang,
Petang dan pagi berhati walang,
Menanggung rindu beremuk tulang.
Walaupun sudah nasib begitu,
Tiada kanda berhati mutu,
Gerak takdir Tuhan yang satu,
Duduk bercinta sebilang waktu.
Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang.
Ayam berkokok bersahut-sahutan,
Di sebelah barat, timur, selatan,
Hatiku rindu bukan buatan,
Kepada adikku permata intan.
Di situ terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak segala rupa,
Handai dan tolan kaya dan papa,
Timbul di kalbu tiada lupa.
Begitulah nasib di rantau orang,
Susah ditanggung badan seorang,
Sakit bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak duri di karang.
Setelah siang sudahlah hari,
Berjalan kakanda kian kemari,
Tak tahu apa akan dicari,
Bertemu tidak kehendak diri.
Diambil kertas ditulis surat,
Ganti tubuh badan yang larat,
Kesan nasib untung melarat,
Kepada adikku di Sumatra Barat.
Dawat dan kalam dipilih jari,
Dikarang surat di dinihari,
Ganti kakanda datang sendiri,
Ke pangkuan adik wajah berseri.
Wahai adikku indra bangsawan,
Salam kakanda dagang yang rawan,
Sepucuk surat jadi haluan,
Ke atas ribaan emas tempawan.
Mendapatkan adik paduka suri,
Cantik manis intan baiduri,
Di padang konon namanya negeri,
Duduk berdiam di rumah sendiri.
Jika kakanda peri dan mambang,
Tentulah segera melayang terbang,
Menyeberang lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik kekasih abang.
Menyerahkan diri kepada adinda,
Tulus dan ikhlas di dalam dada,
Harapan kakanda jangan tiada,
Mati di pangkuan bangsawan muda.
Adikku Nurbaya permata delima,
Dengan berahi sudahlah lama,
Hasrat di hati hendak bersama,
Dengan adikku mahkota lima.
Hendak bersama rasanya cita,
Dengan adikku emas juita,
Jika ditolong sang dewata,
Di dadalah jadi tajuk mahkota.
Tajuk mahkota jadilah tuan,
Putih kuning sangat cumbuan,
Menjadikan abang rindu dan rawan,
Laksana orang mabuk cendawan.
Karena menurut cinta di hati,
Asyik berahi punya pekerti,
Sungguhpun hidup rasakan mati,
Baru sekarang kanda mengerti.
Dendam berahi sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu rahasia hati,
Kakanda bercinta rasakan mati,
Tidak mengindahkan raksasa sakti.
Siang dan malam duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita,
Tiada hilang di hati beta,
Adik selalu di dalam cipta.
Jiwaku manis Nurbaya Sitti,
Putih kuning emas sekati,
Tempat melipur gundah di hati,
Ingin berdua sampaikan mati,
Tidaklah belas dewa kencana,
Memandang kanda dagang yang hina,
Makan tak kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik muda teruna.
Rindukan adik paras yang gombang,
Siang dan malam berhati bimbang,
Cinta di hati selalu mengembang,
Laksana perahu diayun gelombang.
Setiap hari berdukacita,
Terkenang adinda emas juita, Sakit tak dapat lagi dikata,
Sebagai bisul tidak bermata. Tiada dapat kakanda katakan,
Asyik berahi tak terperikan, Adik seorang kakanda idamkan,
Tiada putus kakanda rindukan. Rusaklah hati kanda seorang,
Rindukan paras intan di karang, Sebarang kerja rasa terlarang. Pekerjaan lain tidak dipikiri,
Karena rindu sehari-hari Tiada lain keinginan diri,
Hendak bersama intan baiduri. Ayuhai adik Sitti Nurani,
Teruslah baca suratku ini, Ilmu mengarang sudahlah fani,
Disambung syair surat begini. </poem>
Tatkala Nurbaya membaca syair ini,
matanya, karena untungnya pun sedemikian pula.
Baris 5.371 ⟶ 5.429:
bermula. Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap
sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa
Belanda "ontgroening"
Adat ini memang ada baiknya, karena maksudnya dengan
Baris 7.109 ⟶ 7.166:
"Apabila aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula,
"lebih berhati-hatilah engkau menjaga diri, pandai-pandai
memeliharakan badan; berkata di bawah-bawah
hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya,
bahasa itulah yang menunjukkan bangsa, istimewa pula,
Baris 7.435 ⟶ 7.492:
berguna, kata orang kita. Kesusahan yang menimpa, karena
kesalahan itu, harus ditanggung. Kaki terdorong, ini
padahannya, mulut terlanjur, emas padahannya
Oleh sebab itu, haruslah perlahan-lahan dan berhati-hati
bekerja: biar lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar. Bila
Baris 10.979 ⟶ 11.036:
akan diusir sebagai anjing. Jika lekas diceraikan, sudahlah,
tetapi acip kali, digantung tak bertali; tiada dan tiada pula
dipulang-pulangi
"Sungguhpun demikian, penanggungan itu belumlah
seberapa, jika dibandingkan dengan penanggungan
Baris 12.496 ⟶ 12.553:
"Menembak, ke padang pembedekan," jawab Letnan Mas.
"Siapa yang beroleh ros
"Ada beberapa orang: Vander Ha, de Kuip, Lewikawang,
Baris 12.552 ⟶ 12.608:
salah sangkaku. Lihatlah olehmu bidadari yang duduk di kelas
satu itu. Alangkah manis pemandangan matanya. Lihat!
Ditentangnya aku. Matilah gua
Ketika itu, berbunyilah lonceng tiga, dan tiada berapa saat
Baris 12.575 ⟶ 12.631:
"Aku beristri?" tanya Van Sta dengan tersenyum, sambil
menunjuk dadanya. "Ha ha, ha! Yang akan menjadi istriku itu,
belum ddahirkan lagi."
Baris 13.326 ⟶ 13.381:
tiaptiap permupakatan itu!
Pada suatu hari berkumpullah di kantor Residen Bukit
Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu
Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan
Baris 13.333 ⟶ 13.388:
berkata dalam bahasa Melayu Minangkabau, "Tuan-Tuan dan
Tuanku-Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami
nyatakan perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kami ucapkan
selamat datang kepada Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku yang
telah menurut permintaan kami, datang berkumpul kemari,
Baris 13.447 ⟶ 13.497:
pun dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter.
Dalam sekolah Raja
saja yang dapat menuntut ilmu guru, tetapi orang Tapanuli,
Aceh, Palembang- Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak
dan Sambas pun, boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang
diadakan di negeri lain-lain itu, tak dapat tiada mendatangkan
kebaikan juga kepada kita di s ini.
Baris 13.535 ⟶ 13.583:
senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima,
lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan
ini, ialah aturan yang mengenai pura
sebab itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon
kepada Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan
dengan selamat."
Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai
kampung, tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang
|