Sarinah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
format |
format |
||
Baris 79:
Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?
Kemerdekaan
Seorang kawan saya, – guru sekolah di Bengkulu – , mempunyai seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan ”modern”, tetapi isterinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung.
Baris 131:
Demikianlah. Saya berpendapat, bahwa soal perempuan seluruhnya (juga dalam masyarakat Islam) masih harus dipecahkan. Masih satu ”soal”. Atau, jikalau, memakai perkataan Encik Ratna Sari: masih satu ”dilemma”, masih satu ”soal yang pelik”. Sekali lagi, soal perempuan seluruhnya, – dan bukan hanya misalnya soal tabir atau lain-lain soal yang kecil saja! Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan seluruhnya di dalam masyarakat, – itulah yang harus mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan dan pecahkan, agar supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa kita susun sesempurna-sempurnanya.
Jadi: baik buat fihak yang meneropong soal perempuan dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka, soal ini haruslah masih dipandang sebagai satu soal yang masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan, difikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh kaum laki-
”Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”?
Baris 236:
Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat ”kelaki-lakian” kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta alat-alat ”keperempuanan” kepada perempuan: Buat laki-laki: memberi dzat anak; buat perempuan: menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-kehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat.
Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-perbedaan itu HANYALAH karena dan untuk tujuan kodrat alam, yakni HANYA-LAH karena dan untuk tujuan perlaki-isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan, kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini adalah perbedaan psikhis pula antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang mempelajari jiwa perempuan dalam-dalam, mengatakan, bahwa perempuan itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat
Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S. mengalami, bahwa seringkali murid lelaki ”payah” berlomba kepandaian dengan teman-teman perempuan dan malahan pula sering-sering ”terpukul” oleh teman-teman perempuan itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang perempuan umumnya tak kalah dengan murid-murid saya yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 mengunjungi Indonesia, dan kemudian menjadi maha guru di sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula, menerangkan, bahwa studen-studennya yang perempuan tak kalah dengan studen-studen laki-laki ”Mereka selamanya boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha sukar”. Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki dan perempuan oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum perempuan nyata lebih unggul daripada kaum laki-laki.
Baris 271:
Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, – terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanya, seraya berkata-kita, kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani menghadapi bahaya- bahaya yang besar. ”Apakah yang perempuan perbuat?” Orang laki-laki mengagul-agulkan kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya berkata: ”Bahaya apakah yang perempuan hadapi?” Orang lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di zaman purbakala, tatkala hukum masyarakat belum seperti sekarang ini, ialah di dalam zaman ”hukum per-ibuan” alias matriatchat, – yang di dalam Bab III dan. IV akan saya terangkan panjang lebar -, kaum perempuan-lah yang mengemudi masyarakat, kaum perempuanlah yang kuasa, kaum perempuanlah yang mengepalai peperangan, kaum perempuanlah memanggul senjata, kaum perempuanlah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah benar peperangan lebih berbahaya daripada melahirkan anak? Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban daripada melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat menerangkan, bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di muka kita?
Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di zaman sekarang, tidak sedikit jumlah perempuan yang jatuh di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya) antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran sudah mulai subur, jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan anak adalah 321.791 orang, – yakni rata-rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri
Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum perempuan. Ia mentertawakan perempuan yang hamil, ia meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun. ”Bagi dia, bagi laki-laki”;- begitulah Edward Carpenter, seorang pembela perempuan di negeri Inggeris, berkata – ”bagi laki-laki maka persetubuhan itu adalah satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia kemudian pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. Tetapi buat perempuan fi’il ini adalah satu hal yang paling mulia dan paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia dan maha penting. Bagi perempuan, fi’il ini adalah satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi, – satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa-ibu di dalam kalbu seorang perempuan, tidak seorangpun yang ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya, atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih. Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi itu bisa lahir dengan selamat, semua adalah hal-hal yang orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-rabakan. Kemudian, kemudian daripada itu, pengorbanan yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan kemudian lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-laki dan anak perempuan itu masuk ke dunia ramai dan memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, perempuan tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari fihak kaum laki-laki”.
Baris 277:
Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini ”Bouwsters der Menschheid” yang semuanya tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!
Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat kaum perempuan itu menjadi dinamakan ”kum lemah”, ”kaum bodo”, ”kaum singkat pikiran”, ”kum nerimo”, dan
Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum perempuan. Dulu kaum perempuan tidak lemah-lemah badan seperti sekarang ini; dulu kaum perempuan sigap-sigap badan perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.
Baris 287:
Dan tentang bangsa Manymema di Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini ”makhluk-makhluk yang sigap, yang perempuan-perempuannya sangat kenes dan sama kuatnya memikul beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya”. Menurut Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka ada satu suku bangsa Indian yang perempuan-perempuannya lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula di bagian Papua Timur adalah menurut Schellong suku-suku, yang perempuannya lebih kuat daripada putera-putera Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul perempuan, seringkali mendapat balasan pukulan kontan-kontanan dengan rente dari perempuan itu, sehingga ”kapok” ia buat selama-lamanya. (Karena perempuannya lebih kuat). Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan jitu, bahwa: ”Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan besarnya badan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan-perbedaan tulang dan urat-urat, adalah jauh lebih kecil pada bangsa-bangsa yang biadab daripada pada bangsa-bangsa yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum perempuan itu adalah buat sebagian besar satu sifat, yang ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di zaman kekuasaan kaum laki-laki”. Begitu juga pendapat August Bebel: ”Pada umumnya, maka di zaman purbakala, perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki dan kaum perempuan itu adalah jauh lebih kecil daripada dalam masyarakat kita sekarang ini. Pada hampir semua bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak perempuan adalah jauh lebih kecil daripada pada bangsa-bangsa yang sudah beradab”.
Maka oleh karena itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, jika orang mengatakan, bahwa perempuan itu pada kodratnya di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di masyarakat, menduduki jabatan-jabatan masyarakat, menjadi kampiun-kampiun masyarakat, sedang sudah dibahagikan oleh alam pula kepada perempuan untuk menanak nasi saja di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan membawa alasan bahwa ”sepanjang ingatan kita” perempuan selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam masyarakat. Sebab perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan perkataan, bahwa misalnya perempuan qua kodrat alam selalu rambutnya panjang, karena sepanjang ingatan kita, kita belum pernah melihat perempuan yang tidak berambut panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan perempuan-perempuan Indonesia yang tidak mendekam di rumah, tetapi bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, – menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, karena dorongan ”struggle for life”, kaum perempuan lebih merdeka, lebih tidak terikat di rumah daripada di kalangannya kaum-kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung perempuannya itu seperti mengurung ternak di dalam kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk
Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!
Baris 307:
Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan sejarah laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.
Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman Matriarchat (peribuan), kedudukan perempuan adalah '''
Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita dus lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka di zaman peribuan adalah kaum laki-laki kaum yang tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka matriarchat adalah membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan tak perduli fihak mana yang tertindas.
Baris 313:
Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.
Saya bukan pencinta matriarchat, saya adalah pencinta patriarchat, bukan oleh karena saya seorang laki-laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, karena hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah, – di mana perempuan diperisterikan oleh satu orang laki-laki saja, dan tidak lebih -, orang dapat mengatakan dengan pasti: siapa ibunya, siapa bapaknya, – siapa yang mengandungnya, tetapi juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan itu. Tetapi di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan keturunan itu menurut garis '''
Saya pencinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patri-archat yang sebenarnya ”parental”. Saya yakin, bahwa agama-agama adalah dimaksudkan sebagai ”pengatur” patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud agama, – tetapi apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di masyarakat Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama didurhakai. Perempuan sesudah kawin, hampir hilang haknya sama sekali, dan perempuan menjadi pula barang dagangan persundalan. Dan lihatlah di masyarakat Islam. Maksud agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum perempuan dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum perempuan yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada ubahny daripada kedudukan seorang budak. Pendapat-pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran. Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam sistim patriarchat itu, firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat buat menundukkan kaum perempuan di bawah lutut laki-laki, dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan!
Baris 331:
Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita mengambil manusia-manusia ”yang betul-betul manusia” dari zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain daripada manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. Mereka belum mempunyai perkakas, mereka belum kenal besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, tetapi juga ... akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka adalah hidup secara ”nomade”, yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang tak perlu mempunyai ”rumah”. Hutan dan gua, itulah rumah mereka.
Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum mempunyai masyarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang dinamakan horde (
Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis, ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain.
Baris 377:
Dialah kini menjadi penjaga dan pemelihara milik. Dulu di zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau beratus-ratus ekor!
Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri sajalah, – bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam hukum peribuan -, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak, perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari kemudian anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang buat hari kemudian anak dia sendiri. Maka oleh karena itu, kini ia tentukan, bahwa perempuan-perempuannya! -, tidak
Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu. Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki membentuk satu ” gezin ”, membentuk somah, yang di situlah ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan, diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan kemudian lagi, bapa lebih mementingkan anak daripada isteri, dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga.
Baris 395:
Marilah di sini saya ceriterakan satu hal yang lucu.
Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan ”couvade”? Couvade adalah satu adat-kebiasaan yang sampai sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita Baskia bersalin, maka terjadilah ”sandiwara” berikut: Segera sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang ”menolong” dia, dan ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! Segala sesuatu berlaku seolah-olah
Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja. Tetapi ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan! Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar di mana-mana!
Baris 437:
Ya, benar-benar malang nasib perempuan itu! Sejak datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesempitan. Orang Yunani menamakan dia ”Oikurema”, yang berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah berganti-ganti, tetapi di dalam nasib perempuan tiada perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang mengerti ilmu masyarakat tidak mengherankan! Sebab, meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti, maka belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang memerdekakan perempuan itu dari ikatan rumah tangga. Belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang ”mengusir” dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-tahun yang beribu-ribu bilangannya, tetapi masih tetap perempuan paling mujur menjadi produsen buat somah, produsen buat ... keluarga, – belumlah ia terhela keluar menjadi produsen masyarakat pula. Itulah sebabnya, maka, semua kejadian-kejadian masyarakat terjadi tidak dengan bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam pergolakan masyarakat, dan oleh karena itu, maka kedudukannyapun tetap ”kedudukan rumah tangga” saja.
Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam! Sampai timbulnya zaman
Tetapi kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, karena revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat murah, sehingga banyak perempuan menjadi merdeka dari pekerjaan di rumah itu, – tetapi mesin-mesin yang dipakai di paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak tenaga laki-laki. Tenaga
Ke dalam struggle for life di dalam paberik, keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi masyarakat, keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam tahun 1909 di negeri. Belanda adalah 28% dari semua perempuan bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini adalah 18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.
Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala kebiasaan anggapan, bahwa sudah
Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada 4.250.000 kaum buruh perempuan, di dalam tahun 1895 lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah ini telah menjadi 9.500.000 orang!
Memang sebelum di Eropa ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di situ ada undang-undang per-buruhan, maka kaum perempuan dan anak-anak itulah yang
Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak pertengahan abad ke
Juga di negeri-negeri Islam proses masyarakat ini menghela, menarik, mendorong perempuan itu ke dalam gelanggang pergolakan masyarakat, menaikkan derajat perempuan itu menurut tinggi bagiannya di dalam proses produksi masyarakat. Sebab di dalam hal ini tiadalah perbedaan antara kekuatan tenaga proses masyarakat di Timur dan di Barat.
Baris 455:
Yang berbeda hanyalah temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.
Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum perempuan Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi
Ia mengerjakan pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik dan
Orang
Man works from rise to set of sun
Baris 471:
Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam
Sebab, meskipun dia sudah bekerja di masyarakat, yaitu bekerja sebagai produsen masyarakat di dalam paberik atau di perusahaan lain, – tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya. Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan kecintaan kepada anak, adalah memang
” ''' Diepopdenbodemvandezielvaniedere vrouw, leeftdewensnaarliefdeen moederschap ”.'''
Artinya: ” ''' Di dalam jiwa tiap–tiap wanita yang sedalam–dalamnya, bersemayam keinginan kepada Cinta dan Keibuan ”.'''
Maka oleh karena itu, bagi perempuan kelas rendahan yang dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah, kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.
Baris 483:
Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula, tetapi merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-19 itu adalah ”abadnya sundal”. Tiap-tiap kota besar di zaman ini adalah ”satu rumah sundal yang amat besar!”.
Bagaimana keadaan kaum perempuan fihak
Juga di sini perempuan masih saja tersia-sia. Mesin berputar di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus dibuat oleh perempuan di kalangan kaum atasan pula. Mesin itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga mereka, tetapi toh tidak membuat peri-kehidupan mereka menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum rendahan saja, tetapi juga di kalangan amtenar dan kaum pertengahan dulu perempuan harus memintal dan menenun sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri, meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan daripada pekerjaan perempuan-perempuan di kelas bawahan. Pelayan-pelayan adalah di kalangan kaum atasan itu buat mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup kaum perempuan atasan itu dari dulu mula satu ”kehidupan rumah tangga” belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam. Tulisan ”dia saleh dan menenun”, tulisan batu kubur yang berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-kubur kaum perempuan kelas atasan. Hari yang satu, sama saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh ”ridder-ridder” lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk. Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam pada itu juga, mereka diperlakukan oleh ”ridder-ridder” itu sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan pekerjaan masyarakat, tak penuh fikiran dan ingatan.
Di dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum perempuan benar-benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh ”ridder-ridder” itu sebagai blasterannya
Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.
Mereka semakin ”nganggur”. Mau masuk paberik menjadi kuli seperti perempuan bawahan, tak mungkin baginya, – mereka musti ”jaga nama”, dan upah satu dua picis itupun mereka tak perlukan sama sekali – mau masuk kantor-kantor atau sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran mereka tak mau, bekerja di kantor atau di masyarakat sebagai kaum buruh halusan masih
Dan ada akibat lain pula daripada keadaan di kalangan kaum atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat ”gadis sukar laku”, dan ”laki-laki kawin tua”. Perempuan-perempuan atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada ”menyimpan” beberapa ”biji” dari mereka itu: adik, atau saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama sekali hidupnya.
Benar di zaman dulu-pun begitu. Tetapi sekarang puteri-puteri ini tidak
Ya, alangkah celakanya nasib ”puteri-puteri” dan ”nyonya-nyonya” itu! Mereka menjadi satu peristiwa masyarakat! Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip perkataanya, menulis-kan satu petikan dari kitab: ”Het Vrouwenvraagstuk”, yang menggambarkan hidup puteri-puteri di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang berpakaian bagus -, duduk di muka jendela masing-masing, semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna yang ada di dalam tangannya:
Baris 503:
Siapakah yang lebih celaka, si perempuan rendahan yang ”senewen” karena terlalu banyak kerja, atau ”boneka-boneka” ini? ”Nyonya, dan perempuan rendahan yang bekerja seperti kuda beban di rumah tangga, dan sundal – itulah tiga type perem-puan yang keluar dari proses masyarakat yang dahulu, muncul ke dalam masyarakat yang sekarang, dan sukar bagi kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap perempuan di dalam hatinya”, begitulah Edward Carpenter tadi itu berkata.
Tetapi lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum perempuan itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan pergerakan
Tetapi masyarakat kapitalistis sekarang inipun
Maka oleh karena itu, masih banyak sekali gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang tidak mendapat suami, – kendati ketangkasan, kendati kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang paling menarik, yang paling ber-”sex-
Jadi: juga di kalangan perempuan atasan, dunia belum menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu.
Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa perempuan sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak negeri Eropa perempuan malahan sudah mendapat hak-hak
Sebab di dalam masyarakat kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua kewajiban ini adalah terlalu membebani kepadanya, terlalu berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi ”senewen” dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja di dalam masyarakat tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu adalah bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah gambarnya retak yang membelah jiwa-raga perempuan kaum bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu sama lain.
Bagaimanakah retak perempuan kaum atasan? Juga di sini ia kini telah banyak menjabat pekerjaan masyarakat. Juga di sini ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun ia, selain memikirkan kerja di masyarakat itu,
Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-isteri manakala kehidupan itu
Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-kesusahan yang diderita oleh kaum perempuan. Sudah barang tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih daripada satu ”peninjauan” saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam itu, perlu satu buku tebal yang spesial!
Maka sekarang kita, di dalam perjalanan ”dari gua ke kota” itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman berkem-bangnya sistim matriarchat. Tetapi di bagian yang lain-lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori baru, di zaman histori paling baru, – di semua bagian-bagian sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka, makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya ”Die Frau und der Sozialismus” berkata, bahwa perem-puan adalah ’makhluk yang paling dulu diperbudak”. Tetapi di lain tempat, di dalam majalah ”Neue Zeit”, ia pernah berkata pula, bahwa perempuan itu adalah ”makhluk jang diperbudak
Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu, maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? Ataukah sudah memang ”kodrat” perempuan, hidup di bawah telapak laki-laki?
Baris 535:
Sebab, tidakkah di dalam sistim peribuan itu perempuan berkedudukan mulia? Saya selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja!
Buangkan fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh karena kita harus mencari keselamatan masyarakat seumumnya, dan tidak keselamatan perempuan saja; kedua oleh karena matriarchat itu adalah hasil perbandingan-perbandingan masyarakat yang
Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen, bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti kedudukan perempuan tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa kemuliaan bagi perempuan, tetapi ada juga yang tidak membawa kemuliaan bagi perempuan. Sebab, apakah hukum peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam kromo saja kawin satu sama lain, sehingga hantam kromo pula turunannya bercampuran darah. Ia adalah reaksi kepada kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-perempuan hantam kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki perempuan tak mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari
Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat, menjadi sistim
Maka oleh karena itu, tak dapat matriarchat itu datang kembali, kalau kedudukan perempuan sebagai produsen masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim produksi masyarakat, yang kaum perempuan saja menjadi pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang cita-cita yang setinggi langit, tetapi jangan mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali. Pembaca boleh mengharapkan susunan masyarakat yang lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, tetapi janganlah pembaca mengharapkan jarum masyarakat diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu adalah harapan yang mustahil, harapan yang kosong. Masyarakat tak dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, – tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan masyarakat, sudahlah termasuk ke dalam alamnya ”kemarin”. Pertanian kini bukan alam orang perempuan saja, dan fase pertanian itupun sebagai fase kemasyarakatan sudah terbenam di dalam kabutnya ”zaman dahulu”. Kini fase masyarakat adalah fase kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam industrialisme ini perempuan saja yang memegang kendali produksi! Perempuan dan laki-laki, laki-laki dan perempuan, kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. Maka oleh karena itu, juga di dalam masyarakat sekarang ini matriarchat tak dapat datang kembali.
Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ, perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ, ''hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu'' masih ditegakkan di situ, tetapi matriarchat sudah lama lenyap, sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, – dan di luar Indonesia pada beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania, di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum peribuan di Minangkabau itu adalah
Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman yang kemudian: di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada tertulis: ”Maka oleh karena itu, orang laki-laki akan meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging”. Benar kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya Mattheus 19,5 dan Markus 10,
Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I, diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan tahun sebelum zaman Nabi
Di mana sekarang masih ada hukum peribuan, – di Minangkabau atau di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, – di mana sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih daripada sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka daripada sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan itu, dia adalah mau menghidupkan kembali atau memelihara sebuah bangkai. Dia adalah menuju arah yang bertentangan 180 derajat dengan arah tujuan evolusi masyarakat; dia adalah reaksioner; dia adalah sosial reaksioner.
Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarchat lah caranya kita musti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistim yang basis-nya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Yang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi yang sekarang ada, itulah yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran
Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-sekali.
Lagi pula:
Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada perempuan! Sebaliknya, manakala ia
Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, karena ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab, Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa yang primitif adalah berhukum peribuan. Friederich Engels pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase masyarakat yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, – di semua tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu. Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. ”
Sebab, pada waktu itu keluarga belum bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu
Kemudian daripada kawin gerombolan ini, datanglah kawin pasangan, di mana perempuan menjadi isterinya
Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu ”perpindahan” antara kawin gerombolan ke kawin pasangan itu, adalah satu zaman yang membolehkan atau mengharuskan seseorang perempuan sebelum ia mempunyai suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja. Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan ”heaerisme”, ”persundalan”, yang sebenarnya berlainan sekali dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu perempuan dianggap sebagai ”ibu sekalian manusia”, yang mengasih hidup kepada semua orang. Tetapi kini ia akan memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti ”dapat kerugian” lebih dulu, atau ”bayar kerugian” lebih dulu! Ia lantas dibolehkan menjalankan ”persundalan” pada waktu gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki saja.
Baris 579:
Di Malabar, di uluan India Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini.
Dan mungkin juga hak ”malam. pertama” yang dulu diberikan kepada raja-raja di Indonesia dan di Eropa, – di beberapa negeri Eropa sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak ”jus primae noctis” itu -, pada asalnya haruslah dianggap sebagai ”belian” kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah karena perempuan menjadi isteri
Ya, perempuan ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini suatu anggapan tinggi kepada perempuan itu? Tetapi tidakkah pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak baik kita pakai? Maka oleh karena itu, meskipun ada kalanya hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya mengasih kedudukan yang mulia kepada perempuan, meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang masih ada restan-restan matriarchat itu di mana perempuan seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu dapat tegak terus di masyarakat sekarang, dan
Hukum peribuan
Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu orang perempuan bersuami banyak (poliandri) juga disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan, mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan.
Eisler mengatakan, bahwa poliandri itu ”bukan satu perkembangan yang umum” (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan dia ”perkecualian”, serta, ”hasil-hasil yang mewah daripada sejarah”. Dan Bebel berkata, bahwa ”belum diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu”. Tetapi ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri
Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama, boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam. Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya kadang-kadang saya heran melihat ”uletnya” hukum peribuan itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang perempuan, sesudah nikah, masih tetap saja menjadi ”haknya” rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, ”gampung” anak-anak itu adalah -”gampung” ibunya! Adat hukum peribuan inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan ”ambil anak” atau ”cambur sumbai” di tanah Lampung. Di situ si suami memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan menjadi ”anaknya” mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia ”ikut” kepada isterinya, ia menyerahkan anak-anaknya kepada isteri-nya, ia hanyalah bertindak sebagai ”jantan” bagi isterinya, anak-anaknya menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja, (jadi tiada anak laki-laki), maka selalu perkawinan ”cambur-sumbai” ini yang dipilih. Dengan begitu si anak perempuan itu meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau dengan perkataan adat; buat ”tunggu jurai”, buat “menegakkan jurai”. Malahan di daerah Semendo anak perempuan yang tertua
Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang berupa ”hetaerisme” (lihat di muka) antara ”gadis-gadis” dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan, kalau seorang ”gadis” sebelum ia mempunyai suami sudah mempunyai anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa hatinya kalau perempuan yang ia kawin itu sudah mempunyai anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) masih ada adat, yang seorang suami
Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif, hukum sesuatu rakyat yang
Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan, adalah hukum perbapaan itu satu
Marx menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu ”perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang besar”. Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan pertuanannya fihak yang lain!
Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang amat jitu: ”Ia berazaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa itu”. Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang perempuan, yang akan membantah bahwa
Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini timbul, sesudah masyarakat mengenal ”milik”, yakni mengenal ”
Tetapi jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia adalah akibat dari satu
”Tamara memakai tudung perang, dan telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju kain atlas”.
Baris 615:
Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut Kaspia memekik-mekik karena sakit. Ombak-ombak Laut itu diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh Sang Raja Puteri kepadanya.”
Demikianlah Raja Puteri Tamara.
Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain mempunyai ”Tamara” yang lain-lain pula. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia itu: Tamara Kaukasia sebenarnya adalah satu figur yang bukan sama sekali ”dangeng”!
Ia adalah satu figur yang juga oleh
Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih dapat melihat berjalannya ”revolusi-masyarakat” yang maha hebat ini.
Baris 625:
Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu tenang sebagai misalnya perjuangan antara ”kaum-adat” dan ”kaum agama” di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau sekarang ini. Kesopanan modern itu ”menghaluskan”, ”menyopankan” sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman tua, keadaan-keadaan adalah lain, dan manusia-manusiapun adalah lain. Orang zaman sekarang adalah orang ”beradab”, orang ”sopan”, – tetapi dulu? Dulu segala hal lebih ”mentah”, lebih ”hantam-kromo”. Dulu orang merantai dengan rantai besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih dengan golok terang-terangan. Karena itu maka perjuangan antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau sekarang ini.
Ya, dulu orang lebih ”mentah”. Patriarchat pun lebih ”mentah”. Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada
Ia tadinya cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang lain, apalagi disentuh orang lain. Perempuan yang suka disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.
Edward Carpenter berkata: ”
Ya, – ”milik”! Karena itupun, tidak , kalau ”milik” itu (dulu lebih ”mentah-mentahan” daripada sekarang) bukan saja disimpan dan disembunyikan, tetapi juga
Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel dan Lea itu, adalah
Dan masih ada lagi satu hal penting dalam ceritera Yakub.
Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan jalan
Orang Yunani di zaman dulu menyebutkan wanita-wanitanya ”alphesiboiai”, yang artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan dengan sapi! Ya, perempuan satu benda perdagangan, yang, kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh, boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi dahulu, menurut keterangan Engels adalah satu kebiasaan, bahwa perempuan itu, beserta semua famili, sebelum suaminya mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya, ia memang benda belaka, milik ia punya suami! Kalau ia dibunuh oleh suaminya itu, maka '''itu pun hak''' suaminya. (Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri Belanda menurut keterangan Murner perempuan masih ”disuguhkan” kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan sepotong kuih. ”Het is in Nederland het gebruik, wanneer de man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof toevertrouwt”. Atau mungkinkah ini sisa ”ibu umum” daripada hukum peribuan?
Dan kalau laki-laki tidak mempunyai cukup syarat untuk membeli perempuan itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman ”mentah-mentahan”. Kalau tidak dapat '''dibeli''' perempuan itu, maka tiada keberatan moral sama sekali, jika perempuan itu dicuri, dirampok mentah-mentahan.
''' Kawin rampas,''' itulah menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita ”Perampokan perawan Saba”, dan kita malah sering sekali melihat cerita wayang di mana perempuan dicuri dan dibawa lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21, diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis Silo.
”Kawin beli” dan ”kawin rampas”, …
Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa kitapun, terutama sekali di ”tanah seberang”, nyata perempuan masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih kuat sekali adat pembayaran ”uang belis” sampai ratusan rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeripun ”uang antaran” kadang-kadang sampai ribuan rupiah! Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu banyak ”gadis tua” yang sampai tinggi umur belum mempunjai suami: orang lelaki ter-halang kepada perkawinan, oleh karena uang
Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa, mengadakan ”perjalanan perkawinan” sesudah nikah! Pada asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain daripada adat kebiasaan
Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah yang perempuan itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri Tapanuli, yang di situ masih ada adat ”marlojong” atau ”dilojongkon” (dilarikan) atau adat ”tangko babiat” (seperti macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut keterangan Eisler, maka pencurian perempuan inilah yang menjadi asalnya adat ”pembalasan darah” di zaman dulu, yakni asalnya adat
Tahukah tuan asalnya adat ”tukar cincin” pada bangsa Eropa? Adat ini adalah berasal dari adat merampas perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat laun ”rantai” ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang suami, maka pengantin perempuan di Roma mendapat cincin
Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap ”benda” itu masih saja melekat pada perempuan. Ia masih tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat kebiasaan
Di India orang perempuan yang tidak dapat hamil, dioperkan kepada saudara suaminya,
Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat 5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang perempuan yang tak mempunyai anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan ini adalah satu
Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu, sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah (telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di dalam ideologinya sesuatu rakjat!
Baris 663 ⟶ 664:
Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini berhubungan dengan anggapan bahwa perempuan itu ”benda”: pertama hal persundalan, kedua hal ”perempuan makhluk dosa”.
Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum peribuan, tatkala perempuan dianggap ibu umum, tapi persundalan yang benar-benar persundalan:
Tetapi kini ia menjadi amal
Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-sundal yang tidak memegang ”surat” saja, yakni sundal-sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!
Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan sekadar akibat ”kebejatan moral” saja, bukan sekedar satu akibat dari nafsu birahi perempuan-perempuan liar, tetapi ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak
Ia adalah satu ”buatan masyarakat” (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiripun satu buatan masyarakat. ”Ia adalah suatu buatan masyarakat seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya kebebasan seksuil, – untuk kepentingan kaum lelaki”. Ia tak dapat lenyap, kalau susunan masyarakat yang salah itu tidak lenyap dan anggapan salah terhadap perempuan itu tidak dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-kemanusiaan ”sebagai satu bayangan”, sampai ke alamnya ”peradaban” sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan membangunkan satu ”buatan masyarakat” yang lain lagi, yang juga tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia membangunkan Figurnya
Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumahtangga, isteripun yang ditinggalkan di rumah itu menerima percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak setia, perempuan tidak setia pula.
Baris 679 ⟶ 680:
Persundalan adalah satu buatan masyarakat, tetapi pendurhakaan suamipun adalah satu buatan masyarakat. Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, diperangi dengan wet dan penjara, ia tidak dapat ditindas dan dihilangkan.
Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-tama dan terutama sekali diadakan untuk ”memastikan turunan”, toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga ”siapa bapa” masih tetap satu soal ”
''' Inilah hasil yang paling baru dari tiga ribu tahun persuami–isterian satu! ...'''
Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi itu: perempuan sebagai ”makhluk dosa”. Inipun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka. Patriarchat dengan jalan parit-paritnya ”agama” telah merendahkan kedudukan perempuan, antara lain dengan mengatakan, bahwa perempuan itu bikinan syaitan. Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan, bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda, sebagaimana bagi setengah kaum agama, '''kemiskinan''' adalah satu ideal dan satu pedoman hidup -, maka terhadap kepada perempuanpun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!), mereka berkata: jauhilah dan bencilah perempuan itu, karena ia adalah menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh sekali pertentangan ini: Kaum ”dunia” mencari kemuliaan Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan di dalam rumah tangganya laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam kandang, kaum ”agama” mencari kemuliaan dan kenikmatan dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap angan-angan kepada perempuan! Faham benci dan mensyaitan-kan perempuan di kalangan agama ini dinamakan '''asketisme''' dan '''selibat (ascetisme''' dan '''celibaat).'''
Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memulia-kan cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun nafsu kepada '''kepuasan syahwat.''' Selibat memuliakan cara hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan perempuan, perempuan tidak dengan lelaki. Asketisme dan selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang keenambelas, semuanya dimasukinya. Perempuan dianggap sebagai '''asal segala dosa.''' Perempuanlah yang dulu menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan perempuanlah yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki) adalah satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dan 12 ada tertulis: ”Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat”. Menurut fihak ini, pengebirian adalah satu perbuatan ulia, tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci perempuan satu tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: ”Perkawinan adalah tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan syahwat”, dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, bahwa memang sering pendeta-pendeta yang karena merasa dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti Origenes itu. Tertullianus berkata: ”Perempuan, engkau akan selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan, bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke dalam lumpur kebinasaan. Perempuan, engkaulah pintu gerbang neraka jahanam!”.
Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan keras yang mengharamkan perempuan itu. Di dalam Sufi Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di kalangan kaum agama adalah sama-sama satu buatan masyarakat sebagai persundalan adalah satu buatan masyarakat. Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan selibat, adalah sama-sama akibat daripada anggapan bahwa perempuan adalah milik dan benda; milik dan benda yang boleh dijual-belikan, atau – yang harus dijauhi, agar dapat mencapai kenikmatan akhirat.
Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti aliran asketisme dan selibat itu
Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agamapun ada perempuan-perempuan yang dimuliakan, bahkan disembah!, tetapi yang di situ perempuan sebagai makhluk
Marilah sekarang kita palingkan muka ke Indonesia.
Di manakah di Indonesia masih ada patriarchat? Pertanyaan yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya: di manakah di Indonesia masih ada patriarchat liar? Sebab kita bangsa Indonesia hampir semua hidup di dalam sistim patri-archat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat, maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa agama Islam dan agama Keristen sebenarnya adalah
Saya di muka telah menceritakan hal adat ”marlojong”.
Tanah Batak memang masih tampak sekali ”klassik” ditentang kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga, levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat) masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang ”mangoli”, yakni uang membeli. Orang yang tidak mempunyai cukup uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia harus ”sumondo”. Dengan dibelinya perempuan. itu, pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi
Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan Batak di bawah ini:
Baris 735:
Tidak ada penggantinya.
Nyatalah dari syair ini, bahwa perempuan-perempuan itu sendiri seperti senang kepada levirat. Tetapi tidakkah benar pula kalau saya katakan, bahwa
Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa levirat adalah berdasar kepada pengertian ”benda”, berdasar kepada pengertian ”milik”. Ia berdasar kepada pengertian mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama ”lako man”, yang maknanya: penyedia makan. Ia ”mendatangkan makan”, ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah berkata-: ”Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt; een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen”. Artinya: ”Sebenarnya, perempuan-lah yang memberi makan kepada laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya buat seterusnya”.
Adakah lain-lain tempat lagi di Indonesia dengan ”patriarchat liar” yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang ”jeunamee” sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal yang berikut: ”Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah membayar lagi ”jeunamee” sepeserpun jua. Di daerah Gayo dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang. Di sana orang perempuan yang telah kawin (dan telah dibayar ”harganya”) disebutkan orang: ”anggo” (Gayo) atau ”alongi” (Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna
Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan: ”Perempuan (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-Iaki, tidak mempunyai hak apa-apa lagi sama sekali. Segala apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun, menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak perempuannya kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan sampai di bahagian pertama abad ke 19, si bapa itu menjual anak-anaknya sebagai budak belian” .
Baris 761:
Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-syarat kesuburan masyarakat.
Ia adalah tiang besarnya somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial ”dari hukum peribuan ke hukum perbapaan” adalah satu revolusi yang progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen tidak menentang patriarchat yang demikian ini, tetapi malahan
Tetapi patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi stelsel penindasan perempuan. Ia menjadi stelsel yang merampas segala hak-hak perempuan, dan memindahkan hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang amat menyedihkan.
Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau ke-dudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada perempuan. Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan bermaksud
Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu adalah berlaku dua macam kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada waktu itu menjajah negeri Yahudi.
Baris 777:
Demikianlah keadaan perempuan di negerinya Nabi Isa.
Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi Tuhan
Ah, perempuan hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki!
Dan di dunia Islam? Di dunia Islampun begitu. Sebelum Nabi Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara yang mendirikan bulu.
Baris 791:
Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang lebih ”jitu” daripada di negeri Jepang. Umumnya orang-orang yang melihat keadaan perempuan di negeri Jepang, – apa lagi yang melihatnya secara pelancongan turis saja -, sangat tertarik oleh ”kekulturan” perempuan di sana. Dan memang juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang semuanya ter-tarik oleh ”kekulturan” mereka itu. Lafcadio Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon, Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya memuji kehalusan dan kekulturan perempuan Jepang. Semua mereka itu umumnya menyebutkan perempuan Jepang ”dewi-dewi kebaikan”, ”puteri-puteri kehalusan”, – bahasa Belanda: engelen, bahasa Inggeris: angels. Tetapi mereka pun mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan perempuan-perempuan Jepang itu menjadi dewi-dewi kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan, bahwa hidup perempuan Jepang adalah satu ”kesedihan” (tragedi), satu ”korbanan”, dan bukan sekali-kali satu ”puisi”, satu syair. Salah seorang pemimpin Indonesia yang dulu ikut dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia melihat bahwa orang perempuan Jepang tidak mau duduk di kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam daripada kebaktian ini, kalau ia mengetahui dasar sosial daripada kebaktian ini, – niscaya ia tidak akan kagum, tetapi terharu!
Sungguh, amat mengharukan nasib perempuan Nippon itu. Di muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang lalu, sebelum zaman feodal, ia adalah sangat merdeka. Dulu ia memimpin masyarakat, menjadi pemuka ilmu pengetahuan. Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali ia
Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat, pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah ”joroya” atau ”machiya”, tetapi ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja, bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri Nippon itu menamakan perempuan Nippon satu ”werkdier”, satu ”kuda beban yang tiada berhentinya bekerja”. Van Kol pula yang menulis: ”Perempuan (Nippon) tidak masuk hitungan. Hanya si ”bapa” yang ada; ia (si bapa) adalah pusat segala hal; ia me-wakili dan meneruskan keturunan. Perempuan dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri, tidakpun sebagai orang yang dipercaya”. Seorang penulis lain menyebutkan dia ”satu milik buat dipakai, satu benda yang musti selalu ada”.
Kewajiban hidupnya yang terbesar, ”devoir pourla vie”nya, ialah
Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu ialah bahwa bayi perempuan yang baru lahir, harus diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan perempuan rendah seperti tanah”.
Baris 827:
Tetapi janganlah seorang perempuan yang sudah bersuami syah, berzina dengan laki-laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia malahan dijatuhi hukuman mati karena perzinahan itu. Ia hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; suami adalah yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya.
Patriarchat bukan patriarchat, kalau perempuan hanya milik
Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.
Baris 847:
Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan.
Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala perempuan-perempuan yang tidak mau dikurung dan ditindas oleh kaum laki-laki, sama menjadi
Sungguh, di negeri ”matahari terbit” itu, belum terbit mata-hari bagi kaum perempuan! Tetapi ia tidak boleh mengaduh; ia tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah-tangganya. Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, tersenyum, tersenyum saja. Tetapi berapa rintihan sukma, berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman itu? Adalah satu peribahasa Nippon yang berbunji: ”Orang laki-laki tertawa dengan hatinya; orang perempuan tertawa dengan mulutnya saja”.
Baris 857:
Van Kol menulis tentang perempuan Nippon itu: ”Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya”. ”Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”. Peribahasa Jepang berbunyi: ”Di dalam tiga dunia perempuan tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia yang sudah silam, dunia yang akan datang”. Satu lagi: ”Tiga hukum ketaatan harus diindahkan oleh perempuan; waktu ia kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada anaknya”. Andre Bellessort menulis: ”Di Nippon, tidak ada barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, daripada wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan hati suaminya. Hidupnyapun adalah karena kemurahan hati Yang Dipertuan itu”. Griffis berkata: ”Barangkali tidak ada yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan meniadakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri” .
Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang terang sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam: alamnya laki-laki yang menindas, dan alamnya perempuan yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-kesenangan, angan-angan, cita-cita, – semuanya berlainan, semuanya mempunyai corak sendiri. Laki-laki yang turun-temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas, bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati, – laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi ”manusia lain” daripada perempuan yang turun-temurun berabad-abad selalu tunduk dan tertindas itu. Perempuan menjadi seperti makhluk-makhluk sutera, seperti ”bidadari”, seperti dewi-dewi kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh dengan ”grace et douceur”, tetapi laki-laki Jepang adalah angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa Jepang di antara ”penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn berkata bahwa wanita Jepang itu ”begitu berbeda segala-galanya daripada laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali”. Di dalam bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan Lafcadio, dengan perkataan: ”Hampir semua orang asing memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan perempuan kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. Perempuan-perempuan kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, maka perempuan-perempuan kita harus dianggap sebagai bidadari-bidadari”. Van Kol pun demikian pendapatnya: ”Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana perem-puan begitu
Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi ”kesan” kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi ”kesan” pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan jasmani itu, – yang tidak untuk ”keperluan turunan” -, telah saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan perbedaan yang karena kodrat alam, bukan perbedaan yang dari zaman purbakala telah ada, tetapi ialah perbedaan-perbedaan yang karena milieu, perbedaan-perbedaan yang karena kebiasaan hidup, – perbedaan-perbedaan yang karena menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam masyarakat manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang
Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini? Anggapan tentang apa yang disebut ”pencaharian hidup menurut kodrat”, ”tujuan menurut kodrat”, ”bakat menurut kodrat” dan lain sebagainya itu, yang hendak
Tetapi, pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia, (tetapi pemerintah Sovyet bekerja keras untuk mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab
Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh karena Jepang adalah negeri
Perempuan akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di Nippon saja, tetapi juga di tempat-tempat yang keadaan wanita-nya kini lebih mesum lagi daripada di Nippon itu: di beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika, di beberapa daerah tanah air kita sendiri. Perempuan di Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat dunia. Tetapi di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit. Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko di negeri Sakura, tetapi ia tentu mengakui pula bahwa nasib Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih terkungkung daripada justru di beberapa daerah yang namanya daerah ”Islam”.
Baris 883:
Jawab atas pertanyaan itu adalah mudah dan singkat: oleh karena di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan ”perempuan, bersatulah”! Di dunia Baratlah berkembangnya contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan: ”Hai wanita Asia, sedar dan melawanlah!”.
Tatkala perempuan di dunia Barat sudah sedar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di dunia Timur masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga. Tidak diketahui, tidak dikira-kirakan, oleh perempuan di dunia Timur itu, bahwa
Tetapi, boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur itu yang pergerakan wanitanya, – kecuali beberapa individu -, telah
Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, – tingkatan
Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat itu?
Baris 894:
Sesudah peninjauan ”selayang terbang” itu, – saya maksudkan: sesudah peninjauan ”dari udara”, yang memberikan ”ikhtisar umum” -, maka pembaca akan saya ajak turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil, ke buminya detail. Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai sekarang.
''' Sebenarnya,''' belum boleh dikatakan ada ”pergerakan wanita” di Barat sebelum pecahnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan belas.
Baru '''di dalam''' Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar ”pergerakan wanita”. Baru '''di dalam''' Revolusi itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggauta masyarakat, sebagai warga Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse dan sebagai warga negara wanita.
''' Sebelum''' Revolusi-Revolusi itu, belum adalah gerakan itu. Hanya di kalangan kaum perempuan '''bangsawan''' dan '''hartawan''' adalah semacam ”kerajinan”, semacam ”kegiatan”, yang saya namakan ” '''tingkatan kesatu ”''' daripada pergerakan wanita. Sebenarnya perkataan '''pergerakan''' wanita buat tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab ”kerajinan” atau ”kegiatan” itu sama sekali bukan pergerakan, – apalagi gerakan! ”Kerajinan” dan ”kegiatan” itu hanyalah satu ”onder-onsje” (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... – satu ”kelangenan” (J.) Bukan satu ”aksi”, bukan satu perlawanan tersusun”, bukan satu ”gelombang kesedaran”. Ia hanyalah satu ”kesukaan”, satu ”pengisi waktu nganggur”. Ia terutama sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur.
Ada gunanya ”kegiatan” semacam itu saya namakan satu '''tingkat kesatu''' daripada '''pergerakan''' wanita!
Sebab di Indonesia sini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang disebutkan orang ”pergerakan wanita Indonesia”, sebenarnya tidak lebih daripada kegiatan semacam ”onder-onsje” atau ”kelangenan” pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, yang sama sekali jauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!
Baris 907 ⟶ 905:
Apakah kegiatan ”tingkatan kesatu” di benua Barat itu?
Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-perserikatan, – club-club -, yang anggotanya rata-rata dari kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta usaha-nya ialah memperhatikan
Suami tetap diakuinya sebagai Yang Dipertuan, Yang Maha Kuasa, usaha mereka ialah – justru menyempurnakan diri mereka
Begitulah, dengan singkat, gambarnya ”tingkatan kesatu”. Tepat dan jitu sekali perkataan Henriette Roland Holst, bahwa usaha dan ikhtiar wanita dalam tingkatan ini pada hakekatnya ialah ”
Mudah difahamkan, bahwa ”tingkatan keperempuanan” itu hanya dapat manarik perhatian kaum wanita
Apakah pada hakekatnya sebab-sebab timbulnya tingkatan ini? Sebagaimana telah saya uraikan di fasal-fasal yang terdahulu, maka pada hakekatnya
Selama masyarakat itu masih masyarakat kuno, masyarakat yang proses produksinya belum secara baru, maka belum terasa oleh mereka akan ketiadaan hak-hak dalam masyarakat itu. Tetapi sesudah industrialisme berkembang biak, sesudah proses produksi bercorak lain, keadaan menjadi lain. Terasalah oleh mereka, bahwa untuk memperbaiki nasib mereka,
Baik kaum perempuan proletar, maupun kaum perempuan kelas pertengahan dan kelas atasan, merasa bahwa harus diadakan aksi membanteras ketiadaan hak itu. Dan walaupun pada hakekatnya ketidaksenangan di golongan-golongan perempuan atasan dan bawahan ini berlainan sifat yang satu dari yang lain, – lihatlah perbedaan akibat industrialisme kepada kaum perempuan atasan dan kepada kaum perempuan bawahan, di Bab III -, maka di atas lapangan ketiadaan hak itu mereka menemui satu sama lain. Terutama sekali kaum perempuan pertengahan dan atasan, yang sudah tentu lebih cerdas daripada perempuan bawahan, siang-siang telah mulai dengan aksi semacam itu.
Sebelum silamnya abad kedelapan belas, mereka sudah mulai bergerak. Yang paling dahulu ialah kaum perempuan Amerika. Di bawah pimpinan
Aksi perempuan Amerika ini berpengaruh besar atas ideologi kaum perempuan di Eropah. Terutama sekali di Perancis dan Inggeris sambutan hangat sekali. Di dalam Revolusi Perancis yang besar itu, yang meledaknya memang sesudah Revolusi Amerika, mulai bergeraklah perempuan Perancis menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki.
''' Madame Roland''' (pemimpin kaum perempuan atasan), ''' Olympede Gouges,''' ''' Rose Lacombe,''' ''' Theroigne de Mericourt,''' (pemimpin-pemimpin kaum perempuan bawahan), membakar hati pengikut-pengikutnya. Dengan gagah-berani, tidak takut maut, mereka menuntut persamaan hak itu. Dengan gagah berani mereka organisatoris mendirikan '''perserikatan–perserikatan wanita,''' barangkali organisasi-organisasi wanita yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan! -, yang anggotanya bukan berjumlah puluhan atau ratusan orang, tetapi ribuan orang! Boleh dikatakan merekalah yang mula-mula benar-benar mengorganisir '''aksi perlawanan wanita,''' mengorganisir '''gerakan perlawanan wanita,''' yang tidak lagi meminta-minta. Korban yang mereka berikan susah dicari taranya di dalam sejarah wanita. Ratusan dari mereka memberikan darahnya dan memberikan jiwanya. Pemimpin mereka yang ulung, Olympe de Gouges, singa betina Revolusi Perancis, bersama dengan mereka dipenggal batang-lehernya oleh fihak laki-laki, di bawah guilyotin. Pengorbanan-pengorbanan mereka itu membuktikan elan revolusioner yang maha-hebat di pihak wanita, tetapi pengorbanan-pengorbanan itu membuktikan pula, bahwa pada waktu itu fihak laki-laki mati-matian pula '''tidak mau''' memberikan persamaan hak kepada kaum wanita, – mati-matian '''tidak mau''' melepaskan kedudukan laki-laki '''di atas''' kaum wanita.
Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Emerson bahwa ”tiada korban yang tersia-sia”, maka pengorbanan-pengorbanan kaum wanita Perancis itu pun tidak tersia-sia. Pengorbanan mereka itu malah pantas tercatat dengan aksara emas bukan saja di dalam kitab sejarah perjoangan wanita, tetapi juga di dalam kitab sejarah evolusi kemanusiaan. Bukan hilang percuma pengorbanan-pengorbanan itu, terbuang hilang dalam kabutnya sejarah, tetapi api semangatnya mencetus ke dalam kalbu ideologinya perempuan-perempuan di negeri lain. Malah belum pula Revolusi Perancis itu berakhir, sudahlah pekik perjoangan Madame Roland dan Olympe de Gouges itu disambut oleh ''' Mary Wollstonecraft''' di negeri Inggeris, yang dalam tahun 1792 menerbitkan bukunya yang bernam ”Vindication of the Rights of Woman” (”Pembelaan hak-hak kaum wanita”). Dengan Mary Wollstonecraft mulailah kaum perempuan Inggeris memasuki gelanggang perjoangan menuntut hak-hak wanita.
Dan faham-faham yang disebarkan oleh pemimpin-pemimpin wanita yang saya sebut namanya itu, – dibantu oleh sokongan beberapa orang pemimpin laki-laki seperti misalnya ''' Condorcet''' di Perancis -, faham-faham mereka itu menjadi tetap tuntutan seluruh pergerakan perempuan ”tingkatan kedua” di pelbagai negara, sampai kepada silamnya abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Umumnya tingkatan kedua ini terkenal dengan nama pergerakan '''feminisme.''' Persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan wanita '''atasan''' dan '''pertengahan,''' maka pergerakan feminisme itu terutama sekali adalah satu pergerakan ”kasta pertengahan” pula, – satu pergerakan burjuis, dan bukan satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat-jelata.
Sebab, sekalipun perempuan-perempuan rakyat jelata '''juga''' tidak senang bahwa banyak hak-hak dimonopoli oleh kaum laki-laki, dan '''juga''' berpendapat bahwa hak-hak itu harus direbut dan dituntut, maka toh ”isi” tuntutan mereka itu ada '''lain''' daripada tuntutan perempuan atasan atau pertengahan.
Apa sebab kaum wanita atasan dan pertengahan menuntut hak memasuki segala macam pekerjaan? Sebabnya harus dicari dalam akibat industrialisme. Industrialisme melahirkan produksi barang-barang dagangan. Barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari, yang dulu harus dibuat oleh wanita sendiri di rumah, sekarang dapat dibeli di toko-toko dengan murah, dan kwalitasnyapun lebih baik. Oleh karena itu, maka pekerjaan di rumah-tangga menjadi makin kurang. Apa yang harus dikerjakan oleh wanita atasan dan pertengahan sekarang untuk mengisi waktu? Bekerja di kantor tak boleh, di lapangan politik tak boleh, di lapangan kemasyarakatan lain pun tak boleh. Adat tidak membolehkannya, dan fihak laki-lakipun memang tidak mau mendapat persaingan wanita. Oleh karena itulah, maka pokok-tuntutan wanita atasan dan pertengahan ialah: hak bekerja! Hak memasuki segala pekerjaan, yang akan membawa mereka keluar dari kurungan rumah, di mana mereka merasa diri hampir beku karena menganggur.
Baris 937 ⟶ 934:
Hampir beku karena ”verveling”! Rasanya mereka akan puas, kalau mereka dibolehkan ikut masuk ke dalam masyarakat, dibolehkan ikut mengerjakan ”pekerjaan masyarakat”, – di luar dari suasana kebekuan itu, ”Pekerjaan rumah-tangga” yang tinggal sedikit-sedikit itu, toh dapat mereka suruh kerjakan oleh pegawai dan pembantu, oleh si bujang dan si genduk. Mereka cukup uang untuk menggaji pelayan-pelayan itu.
Tetapi bagaimana dengan perempuan dari kalangan rakyat-jelata? Hak bekerja sebenarnya
Maka inilah menjadi sebab, yang kaum perempuan bawahan itu akhirnya tidak puas dengan tuntutan-tuntutan feminisme
Ya, benar, juga mereka, kaum perempuan bawahan, hendak merebut persamaan hak dengan laki-laki, juga mereka hendak merebut hak memilih dan dipilih buat parlemen atau dewan-dewan lain, juga mereka hendak merebut hak memasuki semua macam pekerjaan di masyarakat yang sekarang masih banyak dimonopoli oleh laki-laki itu. Tidakkah, menurut perkataan salah seorang pemimpin mereka yang amat besar,
Yang sebenarnya perlu bukanlah
”Geef de vrouw het kiesrecht, schaf alle wettelijke bepalingen af die haar bij den man achterstellen en in haar vrijheid belemmeren, open voor haar den toegang tot alle, beroepen en bedrijven, maak haar opleiding en opvoeding gelijk aan die van den man, zoodat zij zooveel mogelijk gelijke kansen heeft, – zult gij daarmee het lot van de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de ongezonde, slecht betaalde huisindustrie waarin andere millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult gij het raadsel oplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, dat alles zult ge niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan den burgelijke maatschappijvorm, aan het kapitalistisch stelsel van voortbrenging. Maar: zelfs voor de groote meerderheid van de vrouwen uit de burgelijke klassen, voor hen namelijk die huwen en kinderen krijgen, kan de burgerlijke vrouwenbeweging de bevrijding niet brengen, niet de oplossing van het moeilijke vraagstuk in hun leven”.
Baris 951 ⟶ 948:
”Berilah kepada wanita hak memilih dan dipilih, hapuskan semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya menjadi sederajat dengan pendidikan laki-laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita, upahan yang berjuta-juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri di rumah yang tidak sehat dan rendah upah itu yang di dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasianya hantu persundalan? Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang borjuis, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar daripada wanita-wanita golongan atasan dan pertengahan, kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan wanita borjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, tidak dapat mendatangkan pemecahan soal hidup mereka yang paling sulit”.
Maka dengan keyakinan yang semacam ini, berkembanglah
Maka justru berhubung dengan tujuan tingkat yang ketiga ini, sebenarnya tidak boleh dikatakan ada spesial pergerakan
Aksi wanita feminis berjalan
Aksi wanita sosialis berjalan
Maka dengan tercapainya ”tingkat ketiga” ini, tercapailah juga tingkat yang tertinggi daripada pergerakan Sarinah mengejar nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi ini sampai sekarang masih terus menggeletar, masih terus menggelombang, – tak akan lenyap, sebelum tercapai masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang di dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse.
Baris 964 ⟶ 961:
Dari zaman sebelum Revolusi Amerika dan Perancis sampai ke zaman sekarang adalah tiga tingkatan pergerakan wanita.
''' Tingkat kesatu:''' Pergerakan menyempurnakan ”keperempuanan”, yang lapangan usahanya ialah misalnya memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dsb.
''' Tingkat kedua:''' Pergerakan Feminisme yang ujudnya ialah memperjoangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting ialah hak untuk melaku-kan pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang pemimpin feminis Belanda Nyonya Betsy Bakker Nort mengatakan:
”De vrouwenbeweging is het best te karakteriseren als het stuwen der vrouwen om als volwaardig mens te worden beschouwd en behandeld. En haar einddoel: volkomen gelijk-stelling in wetten en zeden van beide seksen”.
Artinya: ”Pergerakan wanita itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu desakan wanita untuk dipandang dan diperlalukan sebagai manusia penuh. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan samasekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-hukum negara dan adat-istiadat”. Pergerakan feminis itu sering juga dinamakan pergerakan
''' Tingkat ketiga:''' Pergerakan ''' Sosialisme,''' dalam mana wanita dan laki-laki bersama-sama berjoang bahu-membahu, untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, dalam mana wanita dan laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka.
Nah, sekarang pembaca telah mendapat ikhtisar terang daripada tingkat-tingkat itu. Marilah kita sekarang mempelajari tingkat-tingkat itu dengan cara agak lebih mendalam.
Baris 979 ⟶ 973:
Tetapi tingkat yang pertama, – tingkat ”menyempurnakan keperempuanan”, yang di dalam pidato-pidato kadang-kadang saya namakan tingkat ”main puteri-puterian” -, tidak akan saya uraikan lebih lanjut, oleh karena kurang penting. Dan ... di Indonesia sini kita sudah sering melihat contoh-contoh tingkatan ini. Siapa belum?
Marilah saya jelaskan tingkat yang kedua. Sebagai saya terangkan tadi, buaian tingkat ini ialah di Amerika, yang pada waktu itu sedang di dalam perjoangan menyusun kemerdekaan-nya. Tiap-tiap perjoangan kemerdekaan mengalami pergolakan ideologi. Wanita Amerika ikut-serta di dalam pergolakan ideologi itu. Saya telah katakan bahwa
Tetapi Mercy bukan hanya seorang pemimpin kemerdekaan nasional saja. Ia adalah pula seorang pemimpin sosial. Seorang pemimpin sekse. Dengan kawan sefahamnya Abigail Smith Adams, – yang suaminya menjadi Presiden Amerika yang kedua -, ia mengkampiuni perjoangan persamaan hak antara sekse laki-laki dan sekse wanita. Mereka berdualah yang mula-mula sekali di dalam sejarah menuntut persamaan hak itu. Di dalam tahun 1776, lebih dari 170 tahun yang lalu, pada waktu Kongres seluruh Amerika (Continental Congress) menyusun Undang-undang Dasar Negara Amerika, maka Abigail Smith Adams menulis surat kepada suaminya, yang berbunyi: ”Kalau Undang-undang Dasar baru itu tidak memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami kaum wanita telah memutuskan akan memberontak kepadanya, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-hukum yang tidak mengasih kepada kami hak-suara dan hak perwakilan guna membela kepentingan-kepentingan kami”. Dan bukan saja ia menuntut hak suara dan hak perwakilan bagi kaum wanita, – ia juga menuntut terbukanya pintu gerbang semua sekolah bagi kaum wanita. ”Satu Negara, yang mau menjelmakan pahlawan-pahlawan ahli-ahli negara dan ahli-ahli faIsafah, haruslah mempunyai ibu-ibu yang cerdas di tempat-tempat yang terkemuka”, demikianlah bunyi pembelaannya.
Baris 987 ⟶ 981:
Dan sebagai di muka tadi telah saya katakan, – mereka juga berjasa di benua lain. Kumandangnya aksi mereka menggaung melintasi samudera Atlantika, percikan api semangat mereka mencetus di dalam jiwa wanita-wanita Perancis, dan kemudian juga di dalam jiwa wanita-wanita Inggeris. .
Sudahkah, sebelum itu, wanita Perancis memikir-mikirkan tentang perbaikan nasib kaumnya? Sudah sedikit-sedikit. Tetapi baru sesudah mendapat cetusan api semangat dari Amerika itulah – wanita Perancis menyala-nyala dan berkobar-kobar jiwanya. Orang-orang wanita, yang tadinya hanya pasif saja di dalam proses ideologi Revolusi Perancis, lantas menjadi tenaga-tenaga aktif yang ikut mendidihkan kancah perjoangan manusia merebut hak-hak manusia yang lebih adil. Di dalam tahun 1786 telah didirikan semacam sekolah menengah parukelir (Lyceum) oleh Markies de Condorcet dan Montosquieu, dan Lyceum ini segera menjadi pusat kecerdasan puteri-puteri hartawan Perancis yang pertama. Dengan ini sebenarnya telah diakui bahwa wanita juga mempunyai hak atas kecerdasan dan kemajuan. Tetapi hak-hak
Dan monopoli ini akhirnya digempur! Pada waktu Revolusi mendirikan Majelis Perwakilan Rakyat, – Majelis Nasional -, yang anggotanya hanya terdiri dari orang laki-laki saja, – pada waktu itu kaum wanita segeralah mengadakan aksi dengan menyebarkan surat-surat sebaran, brosur-brosur, surat-surat tuntutan supaya wanita juga diberi hak untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan itu. .
Baris 993 ⟶ 987:
Tetapi janganpun hak-hak politik yang demikian jauhnya! Hak memasuki sekolah-sekolah umum sajapun tak diberikan oleh fihak laki-laki kepada wanita! Tuntutan-tuntutan wanita yang dengan kata berapi-api dimuatkan dalam surat-surat-sebaran, brosur-brosur dan surat-surat tuntutan itu, ditolak mentah-mentahan oleh Majelis Nasional 1791. Terutama sekali Talleyrand menentangnya mati-matian. Apa yang ia kata? Kaum pemuda laki-laki harus dididik menjadi warga negara yang sanggup memikul segala hak dan beban warga negara, harus digembleng. menjadi tiang-tiang negara dan tiang-tiang masyarakat yang teguh dan kuat, – tetapi wanita ”oleh alam” telah diperuntukkan untuk duduk di rumah-tangga, di tengah anak-anak. Tiap-tiap pelanggaran atas ”hukum alam” ini nanti menjadi sumber kerusakan, tiap-tiap perkosaan kepada hukum alam ini nanti niscaya mendatangkan bencana. Oleh karena itu, maka gadis-gadis jangan dididik sama dengan pemuda-pemuda, jangan diizinkan mereka memasuki sekolah-sekolah umum kalau sudah berumur delapan tahun! Maka sesuai dengan anjuran Talleyrand itu Majelis Nasional mengambil putusan, bahwa anak-anak perempuan hanya diizinkan memasuki sekolah-sekolah umum kalau mereka belum berumur delapan tahun!
Undang-undang Dasar dari tahun 1793 ada ”maju” sedikit: gadis-gadis boleh memasuki sekolah-sekolah umum sampai umur ... 12 tahun! Tetapi di luar itu, belum ada hak sedikitpun yang diberikan kepada wanita. Tidak hak sosial, tidak hak eknomis, tidak hak politik. Dan sebenarnya pemimpin-pemimpin wanita dari kalangan hartawan dan atasan pada waktu itu pun tidak teramat giat memperjoangkannya. Sebab mereka, kaum perempuaan hartawan dan atasan itu, sudah merasa puas bahwa mereka diperbolehkan bergaul dengan kaum laki-laki di dalam salon-salon, di dalam club-club, di sekolah menengah Lyceum, dan boleh menghadiri rapat-rapatnya kaum Encyclopaedis. Tetapi bagaimana keadaan di kalangan wanita rakyat jelata? Mereka sudah barang tentu tidak boleh memasuki salon-salon yang mulia itu, tidak boleh memasuki club-club yang mentereng, atau Lyceum yang mahal ongkosnya, atau rapat Encyclopaedis yang bertinggi ilmu. Tetapi sebaliknyapun, nafsu ingin maju belum kuat menyala-nyala di dalam dada mereka. Kemiskinan, kemudlaratan, kepapaan, – semua itu mula-mulanya seperti menumpulkan sama sekali himmah mereka, membuntukan fikiran mereka, membekukan semangat mereka. Badan jasmani yang seperti terhantam remuk oleh penderitaan, mengakibatkan apati, – rasa tak perduli apa-apa -, di dalam jiwa. Lily Braun, pemimpin wanita yang terkenal itu, menggambarkan nasib perempuan jelata Perancis pada waktu itu dengan angka-angka yang mendirikan bulu-roma. Dua puluh tahun sebelum Revolusi Petancis meledak, – demikianlah angka-angkanya dalam kitab-nya tentang ”Soal Wanita” -, di Perancis adalah 50.000 orang pengemis; sepuluh tahun kemudian, jumlah ini menaik menjadi 1.500.000 orang. Di satu kota saja, yaitu di kota Lyon, kota pusat industri sutera, di dalam tahun 1787 adalah 30.000 orang yang hidupnya dengan jalan minta-minta. Kota Paris yang pada waktu itu berpenduduk 680.000 jiwa, mempunjai 116.000 orang pengemis, yaitu hampir seperlima dari jumlah semua penduduknya. Heran-kah kita, kalau
St. Antoine dan Temple! Sarang kemiskinan, – dan sarang perzinahan! Tetapi justru dari St. Antoine dan Temple inilah kelak datangnya perajurit-perajurit perjoangan wanita. Justru di St. Antoine dan Temple inilah menurut perkataan Lily Braun tempatnya sumber ”tenaga-tenaga pendorong yang paling hebat dari alam, yaitu kelaparan dan kecintaan”. ”Cinta kepada anak-anak turunan yang dengan tiada berdosa harus mewarisi kesengsaraan mereka, – itulah mendorong mereka ke dalam kancah perjoangan”. Ya, mendorong mereka, – mendorong
Mereka sendiri harus menolong mereka sendiri! Adakah harapan mendapat pertolongan dari pemimpin-pemimpin wanita borjuasi? ”Kaum proletar harus membela sendiri kepentingan proletar. Suatu tentara menjelmakan sendiri pemimpinnya, dan tidak sebaliknya”, demikianlah Lily Braun dengan jitu berkata. Maka kaum wanita jelata di Paris itu, yang tadinya begitu buntu dan tumpul fikirannya, yang tadinya seperti buta tiada tahu jalan, yang tadinya hanya tahu menderita serta menggerutu saja di tempat-tempat yang gelap, yang tidak diperdulikan sama sekali oleh wanita-wanita hartawan, – wanita jelata di Paris ini akhirnya menggemparkan orang, karena Pada tanggal 6 Oktober 1789 berkumpullah 8000 orang wanita jelata di muka Gedung Kota di Paris menuntut diberi roti untuk mengisi perutnya yang lapar. Roti! Roti!
Dan tatkala tuntutan minta roti ini ditolak, pergilah mereka berarak-arak ke Versailles, – ke istana Raja. Minta roti di sana! Roti! Gegap gempitalah arak-arakan ini! Siapakah itu, orang perempuan cantik, muda remaja, yang berkuda mengepalai arak-arakan ini? Dia adalah
Di sana, tampillah
Alangkah bingungnya Raja pada saat itu! Belum pula ”kerewelan wanita” ini habis, sudahlah ia didesak oleh Ketua Majelis Nasional untuk menandatangani naskah yang lebih hebat. Rasa hati kecilnya memberontak, keangkuhan tradisinya marah dan benci, kemuliaan mahkotanya merasa terancam, sebab menandatangani naskah itu berarti menandatangani vonis mati kepada hak raja yang tak terbatas. Menandatangani naskah itu berarti membunuh kerajaan mutlak. Tetapi ... di luar istana berdiri ribuan rakyat jelata, dengan wanita 8000 orang tadi di bagian yang muka, ... menunggu, meskipun hujan sedang turun dengan hebatnya, ..: menunggu, telah berjam-jam lamanya, .... menunggu, ... dengan muka yang seram. Kejengkelan dan dendam hati terbaca di mata mereka itu! Apa yang Raja hendak perbuat kini?
Baris 1.009 ⟶ 1.004:
”Hak-hak Manusia” ia syahkan. Hak Raja yang tidak berbatas ia lepaskan, boleh masuk ke lobang kubur. Sungguh satu detik yang maha bersejarah di dalam proses anggapan-anggapan manusia! Jean Jaures, yang telah saya sitir di muka tadi, mengatakan tentang kejadian ini:
”Demikianlah, maka karena desakan kaum
Tetapi, apakah yang mereka perdapat dengan kemenangan ini buat
Tetapi kendatipun demikian, 6 Oktober tetap mengandung arti maha penting bagi kaum wanita sendiri. Tidakkah pada hari itu kaum wanita Perancis telah bangkit, telah berani memekik-kan suaranya sendiri, telah mengambil nasib dalam tangannya sendiri, telah mampu memaksakan kehendaknya, telah berhasil memaksa kepada dunia ramai supaya tidak meremehkan lagi kepadanya? Sejak hari 6 Oktober itu mereka menjelma menjadi ”tenaga-tenaga pendorong bagi propaganda revolusioner” sebagai Jaures mengatakannya. Sejak hari itu mereka
Perserikatan-perserikatan inilah gelanggang-perjoangannya Srikandi-Srikandi Revolusi Perancis, yang nama-namanya akan tetap tertulis dengan aksara emas di dalam kitab sejarah. Kita jumpai di dalam kitab sejarah itu, nama
Dialah yang mengumpulkan banyak pemimpin-pemimpin laki-laki di dalam salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru, yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi Revolusi.
Dan kita jumpai di dalam kitab sejarah itu satu nama yang lain, – satu bintang yang amat gilang-gemilang, yaitu nama
Kekecewaan Olympe de Gouges atas ”Hak-hak Manusia” yang semata-mata hanya hak-hak orang laki-laki saja itu, bukan kepalang! Segera sesudah ”Keterangan Hak-hak Manusia” itu diumumkan dan disambut dengan kegembiraan gegap-gempita di seluruh Perancis, maka ia mengeluarkan satu manifes, yang ia beri nama ”Keterangan Hak-haknya
Demikianlah Olympe de Gouges. Perhatikan: kalimat-kalimat ini diucapkan lebih dari satu setengah abad yang lalu! Kita menjadi kagum, kalau kita kenangkan waktu itu, dan kenangkan pula bahwa Olympe bukan satu ”jiwa” yang tinggi-intelek seperti Madame Roland. Kalimat-kalimat manifes yang berapi-api itu, kadang-kadang lebih terang dan lebih jitu daripada ucapan-ucapan kaum feminis di kemudian hari dan boleh dijadikan pedoman yang gilang-gemilang bagi aksi-aksi wanita yang mengejar persamaan hak dengan fihak laki-laki sepanjang masa. Dan memang akibat manifes itu menggempar-kan pula! Dunia ideologi yang ”menurut adat kebiasaan”, menjadilah ribut oleh karenanya. Kebencian kaum laki-laki kolot memuncak, fitnahan dan tuduhan yang bukan-bukan dilemparkan kepada kepala Olympe. Ya, kaum laki-laki merasa terancam benteng monopolinya. Mereka mengerjakan pertahanannya dengan segala macam cara. Tetapi kaum wanita pun bangkit. Manifes Olympe itu membukakan mata banyak wanita, mengobarkan semangatnya untuk berjoang, membangkitkan keberanian di dalam dada-dada yang tadinya sesak dengan rasa takut. Pidato-pidato, brosur-brosur, surat-surat sebaran yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin wanita, berterbangan di angkasa, – semuanya membenarkan Olympe, semuanya memperkuat tuntut-an Olympe. Sehingga majalah-majalah modepun tak mau ketinggalan! Majalah mode ”Journal des Femmes” berobah sifat menjadi majalah perjoangan, dengan nama baru ”L’Observateur Feminin”. Majelis Nasional dihujani dengan surat-surat permo-honan, usul-usul, protes-protes. ”Tuan-tuan sudah menghapuskan hak kelebihan kaum bangsawan, hapuskanlah juga sekarang hak kelebihan kaum laki-laki!” Demikianlah bunyi kalimat dalam salah satu surat protes itu. Malah dalam satu surat protes lain dikatakan: ”Rakyat kini telah diberi hak-haknya” bangsa Neger telah dimerdekakan, kenapa kaum perempuan tidak di-merdekakan pula ?”
Dunia wanita di Perancis, terutama di Paris, pada waktu itu sungguh sedang bergelora. Olympe de Gouges mengerti, bahwa inilah saat yang baik buat mempersatukan wanita-wanita itu dalam
Olympe de Gouges adalah seorang Republikein. Tidak ada keragu-raguan tentang hal ini sedikitpun juga. Ia anti raja, ia anti monarchi.
Baris 1.033 ⟶ 1.028:
Olympe de Gouges. Alangkah hebatnya perempuan ini!
Bagaimanakah pendapat sejarah tentang dia? Kaum yang tidak setuju kepada emansipasi wanita, mengatakan bahwa ia adalah seorang perempuan lacur, seorang sundal, seorang wanita yang karena gendamnya asmara, telah meninggalkan halamannya kesopanan. ”Karena ia sendiri merdeka bergaul dengan orang-orang laki-laki, maka ia mau menyamaratakan perempuan dengan laki-laki”, demikianlah salah satu pendapat kaum itu. Ah, barangkali benar juga, bahwa ia tidak selamanya ”suci”. Barangkali benar juga, bahwa ia memang sering tenggelam di dalam air putarnya asmara. Tetapi, ya Tuhan, siapa dapat membantah; bahwa ia adalah kampiun hebat daripada hak-hak wanita? Jasanya yang mahabesar dan gilang-gemilang ialah,
Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams barangkali lebih dahulu mengeluarkan ide, tetapi Olympe de Gouges adalah yang pertama-tama
Ia telah mati. Dengan muka tersenyum ia telah menjalani hukuman mati itu. Tetapi di dalam tahun 1793 itu, tidak matilah pergerakan yang ia telah bangunkan dan bangkitkan. Di bawah pimpinan
Maka oleh karena itu, segeralah diusulkan oleh ”Komisi Keamanan Umum” kepada Majelis Nasional supaya semua perserikatan-perserikatan wanita, tidak perduli partai apapun, dan tidak perduli nama apapun, dilarang dan dibubarkan saja. Buat apa wanita dibiarkan saja berserikat, berkumpul, berpidato, beraksi, dengan nyata-nyata, menentang kepada ”kodrat alam” dan nyata-nyata mendurhakai Revolusi? Anggota Komisi Keamanan Umum yang bernama
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amar guna menjelaskan usul Komisi Keamanan Umum untuk melarang dan membubarkan. perserikatan-perserikatan wanita itu. Tidak tersia-sia usahanya! Pada tanggal 30 Oktober 1793 Majelis Nasional mengambil putusan sesuai dengan apa yang diusulkan: kaum wanita dilarang berserikat, perserikatan-perserikatan wanita harus dibubarkan!
Segera sesudah putusan ini diumumkan, kaum wanita bangkit untuk memprotesnya. Satu gerombolan utusan mereka masuk ke dalam gedung Balai Kota Paris, untuk menuntut batalnya putusan itu bagi kota Paris. Tetapi maksud mereka sama sekali gagal: Mereka tidak pula diizinkan berbicara! Sebaliknya mereka malah diserang dengan sengit oleh Pokrol Jenderal
Alam, lagi-lagi alam! Alam memperuntukkan wanita bagi rumah-tangga, alam memperuntukkan laki-laki bagi pekerjaan berat seperti pertanian, perburuan, peperangan! Apakah alam barangkali lupa, bahwa di zaman purbakala justru
Sudah barang tentu fihak wanita masih terus melanjutkan protesnya. Dengan ulet mereka masih terus mencari jalan untuk mendengung-dengungkan suaranya. Surat-surat sebaran, pamflet -pamflet masih terus beterbangan ke kanan-kiri. Majelis Nasional makin menjadi keras, makin reaksioner, makin anti-wanita. Kini Majelis Nasional pun mengambil putusan melarang wanita hadir dalam rapat-rapat umum
Dengan ini, pada zahirnya, menanglah reaksi di atas wanita Perancis. Tetapi tidak demikian pada batinnya: ”Man totet den Geist nicht”, – ”Batin tak dapat dibunuh”, demikianlah salah satu ucapan Freiligrath. Sebagai faham, sebagai ”isme”, sebagai ”ide”, teruslah tuntutan emansipasi wanita itu hidup. Organisasi dapat dihancurkan, gerak organisasi itu dapat dimatikan, tetapi semangat organisasi itu berjalan terus. Di kemudian hari ia akan menjelma lagi, akan meledak lagi, dalam pergerakan wanita yang lebih modern. Malah sedari mula lahirnya, semangat itu telah dapat menangkap hatinya beberapa orang cendekiawan laki-laki, sebagai mitsalnya
Tulisan ini menjadi termasyhur. Bukan di Perancis saja ia dibaca orang, tetapi di Inggeris pun banyak orang memperhati-kannya. Pada waktu itu di Inggeris adalah seorang orang perempuan yang tinggi pengetahuannya dan keras kemauannya, yang juga amat merasakan ketidakadilan perbudakan wanita. Namanya ialah
Bukan main kitab ini menggoncangkan fikiran umum. Dengan sekaligus nama penulisnya menjadi terkenal di mana-mana. Bukan saja di negeri Inggeris. Di luar negeri pun orang membaca kitab itu dengan penuh minat. Malah orang menerbitkan salinannya dalam bahasa Perancis dan bahasa Jerman. Di mana-mana ia disambut oleh kaum wanita sebagai obor penunjuk jalan.
En toh, ia sebenarnya kurang radikal, jika dibandingkan dengan Condorcet atau Olympe de Gouges. Sebab, benar ia menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, menuntut persamaan hak-hak kewarga negaraan, menyatakan bahwa pada azasnya antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada perbedaan, – tetapi ia masih mengemukakan
Nyata berlainan dengan Condorcet! Sebab Condorcet menuntut supaya wanita segera diberi hak-hak warga negara; ia tidak mau menerima bahwa kebodohan dipakai sebagai alasan untuk tidak memberikan hak-hak warga negara kepada wanita, karena laki-lakipun tidak diperiksa lebih dahulu kecerdasannya sebelum menerima hak-hak itu. Condorcet tidak mengemukakan syarat-syarat; ia berdiri di atas pendirian yang prinsipiil.
Baris 1.063 ⟶ 1.058:
Maka oleh karena itu, ia menuntut supaya wanita itu ekonomis dimerdekakan dari kaum laki-laki. Janganlah wanita itu digantungkan kepada kaum laki-laki dalam urusan nafkah hidupnya.
”
Iapun wanita pertama, – barangkali manusia pertama -, yang
Sebagai saya katakan tadi, bukan main kitab Mary Wollstonecraft itu menggoncangkan fikiran umum. la dibicara-kan orang di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di negeri-negeri lain. la segera dijadikan bulan-bulanan serangan kaum laki-laki yang tidak setuju kepadanya. la, sebagai Olympe de Gouges, dinamakan sundal, dinamakan perempuan yang telah meleset dari rilnya, digambarkan dalam karikatur sebagai orang-banci yang jelek yang tidak tentu laki-laki tidak tentu perempuan. Padahal ia adalah seorang perempuan yang manis, dan halus budi, seorang perempuan yang dalam arti yang sebaik-baiknya adalah seorang Wanita yang Utama. Tetapi memang sudah kebiasaan sejarah juga, bahwa sesuatu orang yang mengeluarkan faham baru, dicerca, diejek, dimaki, ditertawakan, dihina, mungkin dihukum. Mary Wollstonecraft tidak sampai mendapat nasib disiksa atau dihukum, tetapi aksi yang menentang kepadanya dengan cara yang curang dan tidak adil, toh hebat pula. Kendatipun begitu, faham-faham modern yang ia ajarkan itu, tak urung makin lama makin banyak pengikutnya juga. Justru di negeri Inggerislah kelak tempatnya pergerakan emansipasi wanita yang paling hebat. Justru di negeri Inggeris itu nanti lahirnya pergerakan wanita, yang kita kenali dengan nama pergerakan feminisme. Justru di negeri Inggeris berkobarnya aksi wanita ”
Di Jermaniapun faham menuntut persamaan hak bagi wanita itu tumbuh. Hampir berbarengan dengan terbitnya kitab Mary Wollstonecraft di Inggeris, terbitlah di Jermania kitab tulisan Theodor von Hippel ”Ueber die biirgerliche Verbesserung der Weiber”, – yang artinya:
Baris 1.077 ⟶ 1.072:
”Sekarang waktunya sudah tiba, untuk mengangkat wanita menjadi rakyat”. Sebagai Mary Wollstonecraft, ia minta pendidikan bersama bagi pemuda dan pemudi, menuntut wanita diberi hak memasuki semua jabatan, mengemukakan hak yang sama bagi semua orang laki-laki dan perempuan untuk dididik menjadi warga negara yang sebaik-baiknya.
Ia malahan menganjurkan supaya pemuda dan pemudi di bawah umur 12 tahun diberi pakaian yang sama, agar supaya kesehatan gadis-gadis dapat bertambah. (Pakaian gadis-gadis di waktu itu amat tidak baik buat kesehatan). Ia membantah anggapan, bahwa wanita itu ”dari kodrat alam” lebih lemah daripada laki-laki, kalah kekuatan badan dengan laki-laki. Tidakkah keuletan wanita pada waktu bersalin itu justru satu bukti daripada
Demikianlah von Hippel. Dengan Condorcet dan Wollstonecraft ia adalah penaruh alas-alas teori bagi pergerakan wanita tingkat kedua. Dengan mereka itu ia bersamaan tuntutan, bersamaan tujuan yang dekat, yaitu hilangnya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dasar faIsafahnya adalah agak berbeda. Condorcet menuntut persamaan hak atas nama
Condorcet, Wollstonecraft, von Hippel mengemukakan ide. Tetapi Olympe de Gouges memperjoangkan ide, ”meng-organisir” ide, ”mengaksikan” ide. Nama empat pembela wanita ini, di samping namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams, akan tetap tersimpan di dalam kalbu ingatan wanita-wanita yang sedar di seluruh dunia, ratusan tahun.
Bagaimanakah kisah kelanjutan perjoangan idee persamaan hak ini? Sesudah periode Otis Warren, Smith Adams, Condorcet, Wollstonecraft dan von Hippel, berdirilah kita di muka pintu gerbang abad kesembilan belas. Abad kesembilan belas ini sebenarnya
Ya, apa yang harus ”diteorikan” lagi? Sudah terang dan jelas semua pokok-pokok dasar perjoangan, Hanya
Apa sebabnya kesunyian ini? Sebabnya ialah, bahwa perbandingan-perbandingan sosial ekonomis di dalam masyarakat, sebagai yang saya uraikan di dalam bab III, memang belum membuat masak semua syarat-syarat untuk bergeloranya pergerakan emansipasi itu. Ide, teori, faham, pokok pikiran emansipasi itu telah lahir lebih dahulu, tetapi perjoangan untuk menjelmakan idee, teori, faham, serta pokok fikiran itu masih menunggu panggilan. perbandingan-perbandingan sosial ekonomis yang akan menggerakkan perjoangan itu. Idee memang selalu mendahului pergerakan. Misalnya ide atau faham sosialisme pun telah lahir dan di teorikan dalam kitab-kitab di zamannya Fourier, Proudhon, Marx dan Engels, tetapi pergerakan sosialisme barulah berkobar betul-betul sesudah kapitalisme modern memekar dan menghebat pada akhir abad kesembilan belas. Ide dan faham fascisme telah menelur dalam kitab-kitab Machiavelli dan Nietzsche, tetapi pergerakan fasisme barulah mengamuk betul-betul sesudah kapitalisme itu ”im Niedergang” dan memerlukan pembelaan yang tak kenal kasihan. Maka demikian juga halnya dengan pergerakan emansipasi wanita. Badan nyonya-nyonya Otis Warren dan Smith Adams telah lama menjadi debu, Olympe de Gouges dan Condorcet telah lama pulang kerakhmatullah, Wollstonecraft – dan von Hippel telah lama masuk ke alam barzah, – barulah, pada permulaan bagian kedua daripada abad kesembilan belas, pergerakan emansipasi subur dan menggelora.
Baris 1.095 ⟶ 1.090:
Tetapi fihak wanita tidak putus asa. Mereka beraksi terus. Demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat besar, surat-surat khabar, pamflet-pamflet diadakan. Opini publik terus dikocok. Akhirnya perhatian khalayak itu mulai ada yang condong juga kepada tuntutan wanita. Pemimpin-pemimpin wanita Inggeris di waktu itu memang tangkas-tangkas. Mereka umumnya gagah berani, pandai benar berpidato, cakap menyusun organisasi. Tetapi reaksi kaum laki-lakipun bukan kepalang. Sebagai tembok yang amat tinggi, reaksi laki-laki itu masih menghalang-halangi berhasilnya aksi wanita.
Sampai silamnya abad kesembilan belas aksinya kaum feminis Inggeris itu tetap sia-sia, atau lebih tegas: hasilnya belum sepadan dengan energie yang telah dikeluarkan. Benar sebagian dari tuntutannya, yaitu ”hak untuk melakukan sesuatu pekerjaan di masyarakat”, telah diluluskan, benar mereka telah diizinkan masuk bekerja di beberapa cabang pekerjaan, benar mereka telah dibolehkan mengunjungi sekolah tinggi, tetapi tuntutannya yang terpenting – hak perwakilan – belumlah terkabul. Padahal hak perwakilan ini amat penting sekali untuk mendapat persamaan hak di semua lapangan, ekonomis, yuridis, sosial! Karena itu, aksi kaum feminis itupun tidak menjadi kendor, sebaliknya malah menghebat, mengeras, menyengit. Tidak ada satu negeri di Eropah, sesudah Revolusi Perancis, yang aksi feminis begitu sengit seperti di Inggeris. Mereka tak berhenti-henti mengadakan demonstrasi-demonstrasi umum yang gegap-gempita, melawan perintah-perintah polisi, sehingga diseret di muka hakim, dilemparkan ke dalam penjara. Di dalam penjara itupun mereka beraksi terus dengan mengadakan pemogokan makan. Pemogokan-pemogokan makan ini meng-goncangkan opini publik di seluruh dunia, menggetarkan perasaan-perasaan pro dan kontra sehebat-hebatnya. Terutama sekali partai feminis yang bernama ”Women’s social and political Union” – lebih terkenal lagi dengan nama partai
Dengarkanlah cerita Dr. Aletta Jacobs (seorang feminis Belanda) tatkala menceriterakan pergerakan feminis suffragette itu: ”Pada hari Sabtu 9 Pebruari 1907 diadakan satu arak-arakan besar, tetapi tenang, oleh beribu-ribu wanita dari segala lapisan masyarakat. Wanita-wanita dari lapisan yang berdekatan dengan keluarga raja, dari lapisan yang berdekatan dengan pemerintah, – wanita-wanita yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan sosial -, wanita-wanita ini berjalan bersama-sama dengan wanita-wanita yang seumur hidupnya bekerja berat serta menderita kemiskinan. Tenang dan tenteram, dengan tidak merusak keamanan, wanita-wanita ini berjalan melalui jalan-jalan London yang berlumpur, dengan memikul tulisan-tulisan yang menunjukkan kepada pemerintah, bahwa wanita-wanita dari tingkatan masyarakat yang paling tinggi sampai tingkatan masyarakat yang paling rendah semuanya menuntut adanya hak perwakilan ... Sesudah arak-arakan ini berakhir, maka pada hari Rebo 13 Pebruari 1907 diadakan pula arak-arakan oleh ”Women’s social and political Union” yang lebih terkenal dengan nama suffragettes. Di bawah pimpinan Nyonya Despard yang tua tetapi angker itu, 800 wanita menuju kegedung parlemen, untuk menyerahkan kepada pemerintah satu resolusi yang menuntut hak perwakilan wanita. Di dalam perkelahian yang terjadi karena arak-arakan ini, banyak sekali perempuan yang luka. Dan 57 perempuan ditangkap oleh polisi. Itu malam, banyak sekali surat-surat khabar besar keluar hingga tiga kali, dengan nomor-nomor ekstra. Dari hal itu dapat kita kenangkan, betapa hebatnya kejadian itu”.
Baris 1.105 ⟶ 1.100:
Sylvia Pankhurst pernah mengadakan pemogokan duduk, – sitdown-staking -, di tangga gedung parlemen untuk memaksa anggota-anggota parlemen itu supaya meluluskan tuntutan hak pemilihan wanita, berhari-hari lamanya, dengan tidak makan, tidak minum, tidak mengindahkan polisi yang hendak mengusir kepadanya, dengan tekad lebih baik mati daripada takluk dalam perjoangan.
Tetapi fihak laki-lakipun berkeras kepala! Mereka di Inggeris seperti berhati batu. Padahal di Australia pergerakan feminisme sudah lebih dulu mendapat kemenangan: di sana sejak permulaan abad kedua puluh telah diadakan hak-perwakilan wanita yang terbatas, – terbatas kepada wanita-wanita atasan saja. Dan pada tanggal 12 Nopember 1910 parlemen Australia merasa perlu menerima baik satu pernyataan, bahwa hak perwakilan wanita itu tidak merugikan kepada parlemen dan balai-balai kota, tetapi sebaliknya memanfaatkan! Kaum wanita ternyata rajin, – lebih rajin daripada kaum laki-laki! Sebab, di Australia jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum wanita,
Tetapi parlemen Inggeris belum juga mau menurut. Lebih dulu harus datang perang-dunia 1914 – 1918 yang mengadakan perobahan besar dalam kedudukan wanita sebagai produsen masyarakat. Apakah perobahan ini? Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan milyunan kaum laki-laki terpaksa memanggul bedil dibarisan tentara, dan tempat-tempat di dalam paberik dan di cabang pekerjaan lain-lain yang ditinggalkan oleh mereka itu, harus segera diisi, jangan lama-lama lowong, agar supaya produksi buat garis muka dan garis belakang bertambah besar.
Maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh tenaga laki-laki itu, kini diserahkan kepada tenaga wanita. Menyopir mobil, menjalankan tram, mengurus
Dan segeralah pemerintah juga menjadi “lunak hati”.
Baris 1.123 ⟶ 1.118:
Tetapi kemenangan sudah mulai tercapai, dan kegembiraan bukan kepalang. Pada. tanggal 9 Desember 1918 kaum wanita mengadakan rapat raksasa digedung Queen’s Hall yang amat luas itu, rapat pemilihan mereka yang pertama. Kecuali gembong-gembong wanita, maka juga berpidato disitu ... Lloyd George! Lloyd George, yang dulu menentang hak pemilihan bagi wanita, – dan yang dulu rumahnya hampir-hampir saja terbakar habis oleh apinya Emmeline Pankhurst! Dengan disambut tampik sorak serta tepuk tangan gegap gempita dari kalangan hadlirat yang beribu-ribu itu, ia menyatakan kegembiraan hatinya bahwa kaum wanita kini telah mendapat hak perwakilan, serta pula menyampaikan kekagumannya atas jasa wanita di dalam masa peperangan. ”Jika tiada bantuan wanita, kita tidak mungkin menang di dalam peperangan ini.” Kalimat ini diucapkannya dengan penuh keyakinan.
Demikianlah keadaan di negeri Inggeris. Bagaimana keadaan di negeri-negeri lain? Telah saya ceriterakan, bahwa pergerakan wanita tingkatan kedua itu dalam bahagian kedua dari abad kesembilan belas terutama di Inggeris dan di Amerika berkobar lagi. Di negara New York di dalam tahun 1849 adalah satu kejadian yang luar biasa: seorang wanita yang bernama
Kepicikan sikap kaum laki-laki yang demikian itu sudah barang tentu amat menyakitkan hatinya wanita Amerika. Perempuan harus tetap bodoh, dianggap tak pantas masuk masyarakat, dianggap tak pantas mengunjungi sekolah-sekolah tinggi? Padahal belum hilang sama sekali terhapus namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams!
Dan tatkala Amerika
Pro atau anti kerja bebas? Uncle Tom’s Cabin disalin dalam berpuluh bahasa, faham-faham yang terkandung di dalamnya mengharukan orang di tiap-tiap pelosok di Amerika dan di Eropa. Dan itu pada waktu dunia belum mengenal banyak surat khabar, belum mengenal gambar hidup, belum mengenal radio! Nyata penulisnya bukan seorang biasa.
Baris 1.137 ⟶ 1.132:
Dan walaupun pada mula-mulanya tidak ada hubungan antara aksi-aksi wanita itu di pelbagai negeri, – tiap-tiap negeri mempunyai aksi wanita sendiri-sendiri -, maka akhirnya tumbuhlah rasa perlu kepada hubungan internasional. Bukan saja hubungan internasional yang berupa pekerjaan bersama inter-nasional, tetapi lambat-laun dirasakanlah pula perlunya ada perserikatan internasional. Di dalam tahun 1888 di Amerika didirikan satu ”Dewan Wanita Nasional”. Negeri-negeri lain segera menyusul. Di dalam tahun 1893 Dewan-dewan wanita nasional telah dapat digabungkan menjadi satu ”Dewan Wanita Internasional” dengan mempunyai 50 cabang yang tersebar di beberapa negara.
Sering sekali orang namakan Dewan Wanita Intrnasional ini
Alliance ini di dalam tahun 1904 mengadakan Kongresnya yang pertama di kota Berlin.
Baris 1.143 ⟶ 1.138:
Utusan-utusan dari Amerika, New-Zealand, Swedia, Norwegia, Denmark, Belanda, Jermania, Inggeris, Austria; Swis, datang mengunjunginya. Satu keterangan azas diterima baik oleh Kongres itu, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, dan oleh karenanya harus mendapat hak yang sama pula. Hak bekerja!
Dan terutama sekali hak pemilihan! Tetapi soal ketidakadilan
Sesudahnya kongres ini, Alliance itu berkembang-biak. Jumlah cabang-cabangnya senantiasa bertambah. Perancis, Belgia, Rusia, Serbia, Portugis, Italia, Kanada, Amerika Selatan, Tiongkok, – juga di negeri-negeri ini tumbuh cabang-cabang Alliance itu. Majalahnya yang bernama ”Jus Suffragii” dibaca oleh anggota-anggotanya dari Amerika sampai ke Asia. Alliance menjadi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan. Pergerakan wanita Inggeris yang saya gambarkan di muka tadi, mendapat sokongan keras dari Alliance itu.
Baris 1.149 ⟶ 1.144:
Tetapi ... hak pemilihan yang dituntut oleh Alliance itu, -. hak pemilihan yang bagaimanakah? Hak pemilihan umumkah? Yaitu yang memberi hak pemilihan kepada tiap-tiap orang perempuan dewasa, dengan tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin, antara terpelajar dan tidak terpelajar, antara bangsa-wan dan rakyat jelata? Ataukah hak pemilihan terbatas, yang diberikan hanya kepada wanita-wanita yang memenuhi syarat-syarat minimum tentang kekayaan, kecerdasan, keturunan?
Sudah di dalam Kongresnya di Berlin, Alliance
Memang nyata gerakan feminis adalah
Nyata dan terang, bahwa Alliance adalah perserikatan burgerlijk, perserikatannya wanita atasan, dengan tuntutan-tuntutan yang tuntutannya wanita atasan, dengan mengejar hak pemilihan yang hak pemilihan wanita atasan. Semua fikirannya, keinginan-keinginannya, faham-fahamnya, ideologi-ideologinya adalah burgerlijk, buah-hasil daripada masyarakat burgerlijk. Menurut ideologi mereka, masyarakat hanya mempunyai satu cacat saja, yaitu bahwa kaum laki-laki (tentu saja kaum laki-laki
Tetapi tertinjau dari sudut burgerlijk, memang besar hasil Alliance ini. Pada waktu ia mengadakan Kongres di dalam tahun 1926, maka dari 43 negeri yang menjadi anggauta, sudah 26 negeri yang mempunyai hak pemilihan wanita. (Terbatas!)
Tertinjau dari sudut umum, sering sekali Alliance itu kecuali burgerlijk, ternyata pula reaksioner. Sebab sering sekali ternyata bahwa pemerintah-pemerintah memberikan hak pemilihan terbatas itu, – dus kepada wanita atasan! –
Bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu dus nyata tidak memuaskan, malahan kadang-kadang nyata-nyata satu bahaya. Bagi wanita rakyat jelata feminisme itu tidak memberi ”pemecahan soal” malahan sering menjadi lawan dalam perjoangannya untuk ”memecahkan soal”. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi. Mereka mencari kemerdekaan sosial. Dan di dalam usaha mereka untuk mencapai kemerdekaan sosial ini, sering sekali kaum feminis tidak berdiri di samping mereka, melainkan berhadap-hadapan dengan mereka, menentang mereka, melawan mereka. Karena itu maka wanita rakyat jelata lantas emoh kepada pergerakan feminis. Mereka mengadakan pergerakan sendiri.
Pergerakan sendiri inilah
Sebagai di muka telah berulang-ulang saya katakan, perbedaan antara tingkatan kedua dan ketiga ialah: tingkat kedua sekedar hanya mencari persamaan hak saja dengan kaum laki-laki, dan perjoangannya adalah melawan kaum laki-laki. Susunan masyarakat, perbandingan-perbandingan sosial di dalam masyarakat, cara produksi dan pembahagian produksi, tidak dipersoalkan. Keadilan sosial tidak dikejar. Sebaliknya, tingkat ketiga hendak membongkar sama sekali susunan pergaulan hidup yang sekarang, hendak mengadakan satu pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial, dan aksi tingkat ketiga ialah bersama-sama dengan laki-laki, bahu membahu dengan laki-laki. Tingkat kedua adalah pergerakan kaum wanita atasan yang karena tumbuhnya industrialisme kapitalis kekurangan pekerjaan dan lantas menuntut diberi pekerjaan, tingkat ketiga adalah pergerakannya kaum wanita jelata yang karena tunlbuhnya industrialisme kapitalis terlalu ditindas oleh pekerjaan dan lantas menuntut permanusiaannya pekerjaan. Marilah kita perhatikan uraian Lily Braun, wanita sosialis yang kenamaan itu:
”Eerst toen de veelvuldige arbeid der huisvrouw in toenemende mate door het handwerk en de industrie over-genomen werd, en de vrouw, voorzoover zij als lid der
Artinya ialah sebagai yang saya uraikan tadi: penghargaan kerja daripada kaum wanita atasan yang kurang kerja, dan daripada kaum wanita proletar yang diperbudak oleh kerja, adalah berlainan satu sama lain.
Malahan beratnya pekerjaan yang membebani kaum wanita jelata itu menjadi sebab, bahwa masuknya kesedaran dan semangat perjoangan di kalangan mereka, agak terlambat. Beratnya nasib sehari-hari, yang sama sekali tidak mengasih kesempatan kepadanya untuk memikirkan lain hal, melainkan kerja, kerja, dan sekali lagi kerja, – kerja di paberik atau perusahaan, kerja di rumah tangga, kerja sebagai produsen masyarakat dan kerja sebagai produsen rumah tangga, – sebagai yang telah saya uraikan di muka, membuat fikiran mereka menjadi seperti tumpul dan buntu. Mereka tak ada waktu lagi untuk berfikir! Kaum proletar
Henriette Roland Holst menggambarkan terlambatnya kesadaran wanita jelata itu sebagai berikut:
Baris 1.195 ⟶ 1.190:
Ia menghendaki ”penyaringan”; ia menghendaki seleksi. Sedangkan perempuan dianggap kurang cerdas, kurang sedar, kurang ulet, kurang mampu berfikir secara prinsipiil, kurang tenang, mudah terpengaruh oleh sentimen, mudah mendatangkan kekacauan dan keributan!
Tetapi akhirnya, lama-kelamaan datang pula perobahan dalam kekolotan kaum laki-laki ini. Terutama sekali kalangan serikat-sekerja kaum laki-laki itu mulai mengerti, bahwa
Dan wanitapun segera sedar. Kesedaran inilah yang membuat dunia manusia pada silamnya abad kesembilanbelas mengalamkan satu pergerakan laki perempuan yang hebat, sebagai yang belum dialamkannya dalam seluruh sejarahnya yang terdahulu. Kesedaran inilah yang membawa ”soal-wanita” itu ke atas satu tingkat yang lebih tinggi, satu tingkat yang mengenai soal masyarakat seumumnya, yang tidak hanya memfikirkan dan memperjoangkan kedudukan
Di dalam salah satu kongresnya, yaitu di Gotha 1896, maka pergerakan sosialis itu menerima baik resolusi yang mengenai nasib wanita, sebagai berikut:
”Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, – hanya saja lebih hebat dari dia -, dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjoangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjoangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjoangan
Demikianlah bunyi resolusi Kongres di Gotha 1896. Itu tidak berarti, bahwa kongres-kongres sosialis yang terdahulu tidak membicarakan soal wanita. Tidak. Malah di dalam Kong-res di Eisenach; di dalam tahun 1869, soal itu dibicarakan pula. Tetapi kejernihan faham, kejernihan analise, pada kongres-kongres yang terdahulu itu behun terdapat. Boleh dikatakan kejernihan itu barulah tumbuh sesudah terbit kitab
Tetapi pergerakan sosialis di bawah tanah adalah demikian hebatnya, sehingga kitab Bebel yang tebal itu selama ada Undang-undang Sosialis mengalami cetakan ... 8 kali? Dan berkat aksi di bawah tanah yang semakin menghebat itu, yang membuat Undang-undang Sosialis menjadi secarik kertas saja, maka akhirnya di dalam tahun 1890 wet itu ditarik kembali. Baru sesudah itu, pergerakan kaum proletar di Jermania dapat beraksi lagi terang-terangan, berserikat, bersidang, berkonferensi, berkongres. Di dalam Kongresnya di Gotha tadi itulah diambil resolusi tentang soal wanita yang definitif.
Alangkah pentingnya kitab August Bebel itu! Di dalam tahun 1902 ia telah mengalami cetakan yang ke 25 di Jermania, di dalam tahun 1906 cetakan yang ke 40! Saya tidak mengetahui cetakan yang keberapa ia capai sampai saat Hitler bersimaha-rajalela di Jermania. Hitler sudah tentu memasukkan kitab Bebel itu di dalam indeksnya. Bukan saja semua kitab sosialis harus dilarang, dibakar, dibasmi, tetapi Hitler menentang keras cita-cita pengangkatan derajat wanita. Wanita gila yang menghendaki emansipasi, apa lagi menghendaki masyarakat sosialis! Wanita harus tinggal di rumah tangga! Wanita hanya baik buat ”
Di luar Jermania kitab Bebel itu sangat asyik dibaca orang. Ia disalin dalam lebih daripada sepuluh bahasa. Sebab kecuali mengupas soal wanita dengan cara yang mengagumkan, Bebel adalah salah seorang pemimpin kaum buruh internasional yang amat besar. Ia adalah salah seorang jenderal perjoangan proletar, jenderal yang ulung, sederajat setingkat dengan Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, dan pemimpin lain-lain. Suaranya diperhatikan orang di rapat-rapat raksasa, di konferensi-konferensi partai, di Reichtstag, di kongres-kongres internasional. Bagi wanita sosialis ia adalah maha guru, maha pendekar. Ia adalah salah seorang pemimpin kaum buruh yang pertama-tama membuktikan perlunya kaum wanita diajak ikut serta dalam pergerakan, dan itu pada waktu pemimpin-pemimpin laki-laki umumnya masih belum mufakat dengan faham itu. Ialah yang pertama-tama membawa soal wanita itu ke lapangan ilmu pengetahuan, serta menghubungkan soal wanita itu kepada soal
Dengan bukti-bukti yang ia ambil dari sejarah evolusi kemanusiaan yang telah ribuan tahun, dan angka-angka statistik yang terang, ditunjukkan olehnya, bahwa corak segala anggapan-anggapan dan perlakuan-perlakuan terhadap wanita, sepanjang masa adalah akibat daripada kedudukan wanita dalam proses produksi. Penting kedudukan wanita dalam proses produksi, – tinggilah penghargaan orang kepadanya; tidak penting keduduk-an wanita dalam proses produksi, – rendahlah penghargaan orang kepadanya. ”Soal wanita” bertalian erat dengan ”soal sosial”; wanita tak mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka.
Baris 1.215 ⟶ 1.210:
Dan wanita hanyalah ekonomis merdeka, di dalam pergaulan hidup yang sosialistis.
Sesudah Undang-undang sosialis dihapuskan, dalam tahun 1890, pergerakan wanita jelata di Jermania berjalan pesat. En toh sebenarnya belum semua rintangan terangkat! Sebab kendatipun undang-undang sosialis telah hapus, masih banyaklah negara-negara di Jermania yang masih melarang orang perempuan campur tangan dalam politik. Larangan-larangan ini harus digempur lebih dahulu. Di dalam tahun 1891 di tiap-tiap kota di Jermania didirikan oleh kaum wanita ”komisi-komisi penyedar”, – komisi-komisi agitasi -, yang pekerjaannya ialah menyemangatkan kaum wanita untuk berjoang. Di dalam tahun itu juga diterbitkan majalah ”Die Arbeiterin” di bawah pimpinan
Sangat giatlah komisi-komisi penyedar itu, dan hebat pula propaganda di dalam ”Die Gleichheit”. Tetapi hebat pula reaksi dari fihak pemerintah. Sebab fihak pemerintah itu mengerti, bahwa kini pergerakan kaum buruh itu, dengan ikut sertanya kaum wanita, benar-benar berpusat dalam
Terutama sekali tuntutan hak pemilihan
Juga semua tuntutan-tuntutan wanita yang lain-lain, sepertinya tuntuan bekerja 8 jam sehari dengan mendapat perei pada hari Sabtu petang dan hari Minggu, tuntutan pengurangan jam bekerja pada waktu hamil dan beberapa hari perei pada waktu bersalin, tuntutan jaminan bagi wanita yang mengandung dan lain-lain sebagainya lagi, – tuntutan-tuntutan itu tak mungkin dikemukakan dengan leluasa, selama hak-hak politik belum leluasa pula. Maka oleh karena itulah pergerakan wanita tingkat ketiga ini sangat giat pula menuntut
Alangkah bagusnya kesedaran politik mereka pada waktu itu! Sendiri mereka belum mendapat hak pemilihan, sendiri mereka belum boleh ikut memilih anggota-anggota parlemen, tetapi mereka selalu ikut membantu menghebatkan tiap-tiap kampanye pemilihan dari kawan-kawannya yang laki-laki. Dalam tiap-tiap rapat pemilihan mereka ikut berpidato, dalam tiap-tiap sidang mereka menganjurkan kepada hadlirin dengan semangat yang menyala-nyala, supaya rakyat jelata jangan memilih kandidat-kandidat lain melainkan kandidat-kandidat sosialis. Sebab mereka mengerti, kandidat-kandidat sosialis itu akan membela cita-cita mereka pula; tambahnya jumlah anggota sosialis di dalam parlemen akan menyegerakan terkabulnya tuntutan-tuntutan politik wanita pula. Pemimpin-pemimpin wanita sosialis sebagai
Maka hasilnya kampanye-kampanye itu, selalu amat memuaskan. Jumlah anggota sosialis dalam parlemen selalu naik, selalu bertambah. Crescendo! Jumlah anggota sosialis dalam tahun 1903, bertambah dalam kampanye pemilihan tahun 1907. Jumlah anggota sosialis 1907, bertambah dalam kampanye 1912. Di dalam tahun 1912 itu, 110 kursi parlemen dapat direbut oleh wakil-wakil kaum proletar! Dan itu semua berkat
Sebaliknya, kaum laki-lakipun membantu keras kepada tuntutan-tuntutan wanita. Di dalam Kongres Sosialis Inter-nasional di Amsterdam tahun 1904, diterima dengan hampir suara bulat satu resolusi yang berbunyi:
”Bij den strijd, welke het proletariaat voor de verovering van het algemeen, gelijk, geheim en direct kiesrecht in staat en gemeente voert, moeten de socialistische partijen het
Artinya: ”Di dalam perjoangan kaum proletar buat merebut hak pemilihan yang umum sama rata, rahasia dan langsung, dalam negara dan haminte, maka partai-partai sosialis harus menyetujui hak pemilihan bagi wanita dalam badan-badan pembuat Undang-undang, harus memegang teguh secara prinsipiil kepadanya di dalam propaganda yang dijalankan, dan harus menuntutnya dengan sekuat-kuat tenaga”.
Baris 1.237 ⟶ 1.232:
Dua pergerakan itu adalah dua anggota dari satu badan, dua suara dari satu nyanyian, dua gelombang dari satu samodra. Satu keyakinan, satu faham, satu ideologi, satu bezieling menduduki jiwa mereka, membakar jiwa mereka. Misalnya aksi untuk menuntut hak perwakilan wanita di dalam permulaan tahun 1906 adalah satu aksi hebat yang dikerjakan oleh laki-laki-perempuan dalam satu simfoni yang sesempurna-sempurnanya. Seluruh pers sosialis tiap-tiap hari, tiap-tiap nomor, memuat artikel-artikel yang bersemangat menuntut hak perwakilan wanita itu, di dalam tiap-tiap rapat sosialis berpidatolah dengan cara yang berapi-api baik pemimpin-pemimpin laki-laki maupun pemimpin-pemimpin wanita, menuntut hak wanita itu. Louise Zietz mengatakan tentang aksi ini, bahwa ”beliau pernah sebelum itu di Jermania ada satu perjoangan bersama yang dengan demikian giatnya dan dengan demikian bersemangatnya menuntut hak-hak politik bagi kaum wanita”. Ratusan rapat biasa diadakan, puluhan demonstrasi-demonstrasi raksasa diselenggarakan. August Bebel, kampiun wanita yang ulung itu, mendengung-dengungkan suaranya di Reichstag. Tetapi kaum reaksi dalam rijksdag itu semuanya menentang. Usul-usul Bebel jatuh, tak memperoleh suara yang terbanyak. Tetapi tidak jatuhlah akibatnya agitasi umum yang menuntut hak perwakilan wanita itu. Di dalam bulan Desember 1906 Reichstag tua bubar, tetapi di dalam aksi pemilihan dalam bulan Januari 1907 buat Reichstag baru, kaum laki-laki rakyat jelata serta wanitanya telah bersiap lagi, bercancut taliwanda lagi, dan berhasil merebut tambahan jumlah kursi yang tidak sedikit!
Kepesatan kesedaran wanita yang saya gambarkan di muka ini, mengenai
Malah dengan pasti dapat dikatakan, bahwa kehebatan aksi proletar di Jermania dalam tahun 1906 dan 1907 sebagai saya gambarkan tadi itu, adalah buat sebagian
Sejak 1905 itu di semua negeri Eropa terjadi bertambahnya semangat wanita. Apakah yang lebih logis, lebih ”semestinya”, daripada
Clara Zetkin; -”ibu cesar” daripada pergerakan proletar sedunia -, mengambil inisiatifnya. Olehnya didirikan ”Kongres Wanita Internasional”. Mula-mula di Stuttgart 1907; kemudian di Kopenhagen 1910. Utusan-utusan wanita dari Jermania, dari Inggeris, dari Austria, dari Perancis, dari Belgia, dari Swis, dari Halla, dari Swedia, dari Norwegia, dari Finlandia, dari Bohemia, dari Estlandia dan dari Belanda datang berkumpul di Stuttgart itu. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan pidato-pidato yang hebat dan teoretis prinsipiil, yang menjadi sendinya resolusi yang berikut:
Baris 1.247 ⟶ 1.242:
”Kongres menyambut dengan kegembiraan yang besar konferensi wanita internasional yang pertama, dan menyatakan setuju dengan pendapatnya tentang hak pemilihan bagi wanita. Partai-partai sosialis dari semua negeri wajib berjoang dengan giat untuk adanya hak pemilihan bagi wanita itu ... Kongres mengakui, bahwa ia tidak dapat menentukan satu waktu yang pasti bagi sesuatu negeri, buat mengadakan gerakan hak pemilihan itu. Tetapi ia menyatakan, bahwa jika gerakan yang demikian itu diadakan di sesuatu negeri, maka gerakan itu harus mutlak dijalankan di atas dasar perjoangan sosialistis, artinya – buat menuntut hak pemilihim umum bagi laki-laki dan perempuan”.
Dengan ini, maka datanglah periode baru bagi pergerakan wanita tingkat ketiga. Kini ia bukan lagi pergerakan wanita di beberapa negeri yang organisatoris terpisah satu sama lain, kini ia telah menjadi satu organisasi internasional, yang dipimpin dari satu pusat. Clara Zetkin duduk dalam pusat itu, dan ”Die Gleichheit” menjadi terompet internasional. Clara Zetkin pula yang di dalam Kongres Wanita Internasional ke 2, di Kopenhagen 1910, menganjurkan adanya
Sudah saya sebutkan buat Jermania saja nama-nama
Di bawah pimpinan mereka ini, kesedaran kaum wanita jelata menjadilah kesedaran yang begitu prinsipiil, begitu radikal, sehingga dari fihak pemimpin laki-laki sosialis sendiri (yang reformistis) kadang-kadang terdengar suara yang khawatir kalau-kalau radikalisme wanita itu nanti merugikan kepada keselamatan partai. Demikian suara Scheidemann di Jermania, demikian suara Plechanov di Rusia, demikian suara Troelstra di negeri Belanda. Tetapi pemimpin-pemimpin laki-laki ini lupa, bahwa wanita itu, yang di dalam perjoangannya tidak mengenal tuntutan-tuntutan kecil reformistis yang mengenai hal-hal sehari-hari sepertinya urusan pajak atau urusan rumah sakit buruh, tetapi hanya mengenal urusan besar, yakni hendak merobah
Bagaimana juga, tidak dapat dimungkiri, bahwa misalnya hasil besar yang dicapai dalam kampanye pemilihan tahun 1912 yang dapat merebut 110 kursi Reichstag itu, buat sebagian yang tidak kecil ialah karena bantuannya kaum
Ya, kemenangan-kemenangan memang kadang-kadang membuat semangat menjadi ”puas” dan lantas
Penyakit kemelempeman menjangkit kepadanya, kuman-kuman kelemahan batin masuk dalam tubuhnya dengan berangsur-angsur.
Pada permulaan tahun 1914, Rosa Luxemburg dengan ketajaman otaknya yang luar biasa itu telah meramalkan, bahwa tidak lama lagi niscaya akan pecah peperangan dunia yang maha dahsyat, dan bahwa partai buruh Jermania, karena telah terjangkit penyakit kelemahan batin, kemelempeman, reformisme, oportunisme, posibilisme, dsb. niscaya akan pecah berantakan dalam peperangan itu. Alangkah tepatnya ramalan Rosa Luxemburg, pemimpin wanita itu! Sebagai angin prahara yang mengamuk, sebagai taufan badai yang maha dahsyat, benar-benar datanglah peperangan dunia itu dalam bulan Agustus 1914, dan benar-benar juga terpecah-belah berantakan-lah partai sosialis Jermania, sebagai satu partai yang tak tahan uji! Sebagian besar dari anggota-anggotanya mengkhianati ideologi-nya yang sediakala, dan mengamini saja ucapan-ucapan fihak reaksioner yang menyetujui dan menyokong peperangan itu. Hanya satu bagian kecil saja tetap berpendirian prinsipiil dengan tidak mau membenarkan dan tidak mau memberi bantuan kepada peperangan imperialistis itu. Bagian yang tersebut belakangan ini memisahkan diri dari partai; mereka ada yang mendirikan partai baru yang bernama U.S.P.D., dan ada yang masuk dalam barisan satu partai baru yang lain pula, yang bernama
Dan kaum wanita? Alangkah sulitnya kedudukan pergerakan wanita dalam taufan prahara peperangan itu! Keadaan bahaya, keadaan dalam masa perang, dengan sekaligus menghentikan kegiatan terbuka daripada aksi hak pemilihan, dan perhubungan internasional yang dipeliharanya sejak tahun 1907 itu boleh dikatakan menjadi terputus sama sekali. Meskipun Clara Zetkin dengan keberanian yang amat besar bekerja bagaimana juga kerasnya, supaya dengan jalan majalah ”Die Gleichheit” perhubungan internasional tetap terpelihara sedapat mungkin, maka kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sering sekali tak dapat dikalahkan. Hanya semangat dan keyakinan – hanya hati – dapat tetap terpelihara di dalam lingkungan yang dapat dicapai oleh Die Gleichheit itu. Kaum laki-laki Jermania sebagian besar menjadi mabuk peperangan, kaum sosialis Jermania pun sebagian besar menyetujui anggaran belanya peperangan, tetapi kaum wanita jelata, dengan Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg sebagai pemuka-pemukanya, tetap setia kepada pendirian prinsipiil yang semula-mula; peperangan ini adalah kapitalisme, kapitalisme adalah peperangan. Khianat kepada sosialisme, siapa yang menyetujui peperangan ini!
Baris 1.265 ⟶ 1.260:
Dan bukan saja mereka tidak menyetujui peperangan 1914 -1918 yang imperialistis itu. Dengan macam-macam jalan, mereka juga menyelundupi keadaan dalam masa perang itu, menjalankan aksi rahasia menentang peperangan, menentang kemabukan yang mengorbankan persaudaraan proletar interna-sional kepada kepentingan kaum kapitalis dan imperialis. Dan di dalam aksi menentang peperangan dan kemabukan peperangan itu, maka tak lupa pula tetap menyalakan obor tuntutan hak pemilihan! Die Gleichheit terus-menerus mereka terbitkan, terus-menerus mereka kirimkan ke segala pelosok di mana dapat. Tetapi alangkah besarnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, alangkah sempitnya kemungkinan-kemungkinan yang masih terbuka! Sensur amat keras, perkhabaran-perkhabaran dari koresponden-korespondennya banyak sekali yang ditahan, nomor-nomor yang telah siap tercetak kadang-kadang dibeslah oleh militer sebelum dapat disiarkan. Dan sebagai puncak dari semua kesulitan wanita ini, pada permulaan tahun 1917 Clara Zetkin dilepas sebagai redaktrise Die Gleichheit. Sebab, Die Gleichheit adalah miliknya S.P.D. Dan S.P.D. adalah pro peperangan; dan Clara Zetkin sudah keluar dari S.P.D. dan anti peperangan; dus tak layak dia tetap mengemudikan Die Gleichheit!
Tetapi Clara Zetkin tidak lantas memangku tangan. Permulaan tahun 1917 ia kehilangan Die Gleichheit, Juni 1917 ia telah muncul lagi di dalam ”lembaran wanita” daripada surat-khabar Leipziger Volkszeitung. Di sini ia meneruskan propa-gandanya buat sosialisme dan hak perwakilan wanita. Dan di sini pun ia tetap setia kepada azas, tetap prinsipiil, tetap radikal. Di sini ia tetap melawan faham-faham yang menyimpang, faham-faham yang ”nyeleweng”, seperti misalnya faham Dr. Quark dari S.P.D., yang menganjurkan supaya wanita jelata dalam aksinya mengejar hak perwakilan bekerja bersama-sama dengan kaum feminis. Bagaimana dapat bekerja bersama-sama dengan kaum feminis, demikianlah Clara Zetkin, kalau
Ya, alangkah telah melempemnya partai sosialis Jermania diwaktu itu! Sehingga pun pada waktu pemerintah Kaisar telah ambruk dalam bulan Nopember 1918, pada waktu Wilhelm telah lari ke negeri Belanda, pada waktu ”Revolusi Weimar” telah berhasil, dan pemerintahan telah jatuh ke dalam tangannya sosialis-sosialis tua, dibantu dengan tenaga beberapa pemimpin borjuis, – sehingga pun pada waktu sosialis-sosialis ini telah memegang tampuk pimpinan pemerintahan, mereka masih saja ragu-ragu mengizinkan adanya hak perwakilan wanita yang leluasa. Momok radikalisme wanita, momok keprinsipiilan wanita yang ditakuti oleh Scheidemann itu, rupanya ditakuti pula oleh sebagian besar daripada sosialis-sosialis tua yang kini duduk di kursi pemerintahan.
Tetapi kawan-kawan yang setia kepada pendirian semula, tidak tinggal diam. Mereka mendesak kepada pemerintah supaya mereka dibawa serta di dalam pemerintah itu. Akhirnya kaum tua itu tak tahan lagi menentangnya. Beberapa pemimpin U.S.P.D. dimasukkan dalam kementerian. Dan dengan ini, hak perwakilan umum bagi wanita –
Kemenangan
Dan di dalam limabelas tahun, antara tercapainya hak pemilihan dan berkuasanya Hitler itu, di dalam limabelas tahun persamaan hak
Masih saja penderitaan menjalar. Masih saja kemiskinan bersemayam di rumah-rumah tangga. Masih saja persundalan bercabul. Masih saja pengang-guran merajalela. Masih saja jalan-jalan penuh dengan pengemis wanita. Masih saja wanita yang pulang dari kerja di paberik dan telah seperti remuk badan itu, di rumah terpaksa lagi membanting-tulang buat suami dan anak. Masih saja ia tak dapat dengan bahagia menjalankan dharma Cinta dan dharma Keibuan. Masih saja jiwanya menderita ”scheur”, menderita ”retak”...
Baris 1.283 ⟶ 1.278:
Alangkah benarnya perkataan Henriette Roland Holst yang telah saya sitir di muka tadi, tetapi yang akan saya sitir di sini sekali lagi, agar lebih dicamkan lagi dengan sungguh-sungguh oleh para pembaca:
” ''' Geefdevrouwhetkiesrecht,''' '''schafalle''' '''wetteljkebepalingenafdiehaarbijdenman''' '''achterstelleneninhaarvrijheidbelemmeren,''' '''openvoorhaardetoegangtotalleberoepenen''' '''bedrijven,''' '''maakhaaropleidingenopvoeding''' '''gelijkaandievandenman,''' '''zodatzijzoveel''' '''mogelijkgelijkekansenheeft,''' '''zultgijdaarmedehetlotvandemillioenenarbeidstersin''' '''loondienstverbeteren,''' '''zultgijdezeopheffen''' '''uitdeproletarischeellende,''' '''zultgijde''' '''ongezonde,''' '''sleehtbetaaldehuisindustrie''' '''waarinanderemillioenenzwoegenensloven,''' '''uitdewereldhelpen,''' '''zultgijhet''' '''raadseloplossenvandesfinxderprostitutie ? Neen,''' '''datalleszultgijniet!''' '''Aldit vrouwelijdenzitvastaandeburgerlijke''' '''maatschappijvorm,''' '''aanhetkapitalistisch''' '''stelselvanvoort –brenging ”.'''
Salinannyapun saya berikan lagi:
” Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan semua aturan–aturan yang membelakangkan mereka dari laki–laki dan merintang–rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya jadi sederajat dengan pendidikan laki–laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita upahan yang berjuta–juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri – di rumah yang tidak sehat dan rendah–upah itu yang di dalamny aberkeluh–kesah pula miliun–miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasia hantu persundalan ?
Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu!
Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang burgerlijk, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis!”
Demikianlah memang, yang juga selalu diajarkan dan diperingatkan oleh Clara Zetkin, oleh Rosa Luxemburg dan pemimpin-pemimpin wanita sosialis lain, kepada semua wanita yang menghendaki perbaikan keadaan.
Di dalam perjoangan yang lebih besar inilah Rosa Luxemburg menemui ajalnya. Bersama dengan kawannya Karl Liebknecht, pada tanggal 15 Januari 1919, ia dibunub oleh musuh. Pada saat itu ia berusia 49 tahun, sedang kuat-kuatnya dan sedang tangkas-tangkasnya. Ia mati sebagai satu Srikandi kaum wanita, tetapi juga sebagai pahlawan ulung daripada segenap pergerakan sosialis, – sebagai singa betina Revolusi Sosial, yang raungnya terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain. la adalah Olympe de Gouges-nya abad keduapuluh, – teoretis malah lebih besar dari singa-betina Revolusi Perancis itu. Banyak pemimpin-pemimpin laki-laki sosialis memandang dia sebagai gurunya. Henriette Roland Holst menulis satu kitab yang menceritakan tarikh hidupnya, sebagai satu tanda hormat kepadanya. ”Ware Rosa Luxemburg in India geboren, haar volk zou haar een mahatmaya, een grote ziel, genoemd hebben”. – ”Umpama Rosa Luxemburg dilahirkan di India, niscayalah rakyatnya menamakan dia seorang mahat-maya, seorang yang berjiwa besar”. Di dalam gambaran satu kalimat ini saja, tampaklah kebesarannya Rosa Luxemburg itu. la bukan saja seorang pendekar yang amat dinamis, bukan saja seorang Srikandi yang tak kenal takut, iapun seorang teoretikus yang amat ulung. Teori-teorinya, – terutama sekali ”spontani-teits-theorie” dan ”verstikkings-theorie” -, menggemparkan seluruh dunia teori sosialisme. Bukan orang lain, melainkan Lenin sendiri, meladeni teori Luxemburg itu, karena dianggap-nya tidak benar. (Di dalam dunia sosialisme sering ada perbantahan yang demikian itu, tanda hasrat akan ilmu pengetahuan). Tetapi lebih-lebih lagi, Rosa Luxemburg adalah seorang manusia sosial dalam arti yang sebaik-baiknya, seorang manusia yang selalu memikirkan sesama manusia yang lain, dan selalu sedia menderita buat sesama manusia yang lain. Seorang wanita yang berhati besar, yang di dalamnya ada tempat buat cinta kepada seluruh kemanusiaan. Kaum buruh seluruh dunia dan kaum wanita seluruh dunia, pantas menghormat asmanya pemuka wanita ini, yang jatuh di padang kehormatan.
Baris 1.299 ⟶ 1.294:
Nama Clara Zetkin pun pantas kita hormati setinggi-tingginya.
Bukan hanya buat berkata-kata, kalau orang
Di dalam pidato pembukaannya, lbu Revolusi ini menghantamkan serangannya kepada kaum Nazi. Atas anjuran kawan-kawannya, ia melolos-kan diri dari Jermania ke Rusia, agar tidak menjadi mangsa kezaliman Hitler. Akhirnya, ia dipanggil pulang kerakhmatullah, dalam usia yang amat tinggi.
Baris 1.305 ⟶ 1.300:
Demikianlah pergerakan wanita tingkat ketiga di Jermania.
Bagaimana di negeri-negeri lain? Saya kira tidak begitu perlu saya ceriterakan pergerakan tingkat ketiga di negeri-negeri lain itu satu-persatu. Yang perlu bagi pembaca hanyalah mengetahui
Siapa yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pergerakan wanita tingkat ketiga di negeri-negeri lain, haraplah mentelaahnya sendiri dalam perpustakaan sosialisme yang bergudang-gudang. Terutama bagi Rusia Baru saya minta perhatian istimewa, oleh karena kedudukan Rusia dalam soal-perempuan memang satu kedudukan yang istimewa. Rusia, yang belum lama yang lalu wanitanya masih bodoh, miliunan tak dapat membaca dan menulis, miliunan hidup dalam tahyul yang mendirikan bulu, yang puluhan miliun rakyat wanitanya yang berbangsa Asia dulu belum pernah mendapat sinar kemodernan sedikitpun juga, belum pernah mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat ternak dan tingkat benda, belum pernah merasakan diri terlepas dari ekses-ekses patriarchat. Rusia itu telah berhasil memetik buah yang amat banyak di lapangan memperbaiki kedudukan wanita. Fasal 122 daripada undang-undang dasar Sovjet Rusia memberi hak-hak sepenuhnya kepada wanita. Bagaimanakah cara sepak terjang Rusia untuk mengangkat wanita-wanitanya itu? Sempitnya halaman risalah ini tidak memungkinkan saya menceriterakan tentang hal itu panjang lebar, tetapi biarlah pembaca membaca misalnya dua kitab
Sungguh sayang saya tak dapat menceriterakan lebih panjang lebar tentang usaha di Rusia itu. Tetapi ”teori” pergerakan wanita tingkat ketiga, – di Jermania lah terutama asal mula tem-patnya. Teori itulah yang saya berikan kepada pembaca. Rusia adalah terutama sekali tempat usaha. Usaha di sana memang hebat, dan ... betapa mengharukan hati kita kadang-kadang! Siapakah tidak pernah mendengar tentang penderitaan Maria Spiridonova, atau penderitaan Vera Figner? Dan usaha-usaha di negeri-negeri lainpun saya tak dapat ceritakan kepada pembaca. Nasehat saya kepada pembaca cuma satu: bacalah, carilah buku-buku, bacalah sebanyak-banyak mungkin, untuk menambah pengetahuan!
Sekarang, marilah saya bubuhkan beberapa ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin wanita, untuk menjadi sekedar bunga-rampai dalam kitab ini. Dengarkanlah kritikan pedas yang keluar dari mulut
”Menggelikan hanyalah mereka, yang dengan mulutnya mengatakan begini, dengan perbuatannya berbuat begitu.
Menggelikan hanyalah mereka, yang membela sosialisme dengan banyak kata-kata dalam rapat-rapat, tetapi yang menentangnya di dalam peri-kehidupan sehari-hari, oleh karena mereka menjauhkan begitu banyak tenaga-tenaga yang baik dari propaganda. Menggelikan hanyalah mereka, yang berjoang dalam barisan-barisan kaum sosialis, tetapi yang karena oportunisme yang salah, melupakan keyakinannya terhadap kepada kaum wanita. Menggelikan, ya lebih jahat dari menggelikan, adalah mereka, yang meskipun mereka tadinya datang menggabungkan diri dengan kita untuk menentang penindasan, toh di dalam batinnya sendiri belum meniadakan nafsu untuk menindas kaum wanita.”
''' Anna Kulishoff,''' pemuka wanita Italia yang lain, cantik dan tangkas, terkenal dalam kongres-kongres internasional, tajam fikiran dan setia kepada keyakinan, di dalam satu tulisan menganjurkan kepada kaum wanita supaya percaya kepada diri sendiri:
”Janganlah mendengarkan omongan orang, yang mengatakan bahwa Tuan tidak cakap dan tidak bersedia buat perjoangan politik.
Baris 1.327 ⟶ 1.321:
Karena tulisan ini, Anna Kulishoff mendapat hukuman dua tahun penjara! Ia dianggap berbahaya buat keamanan negara ...
Di bawah ini saya cantumkan ucapan
”Satu kebahagiaan yang besar, satu kesenangan yang meresap ke dalam jiwa, ialah mengabdi kepada rakyat, yang demikian lamanya, bertahun-tahun seperti tiada hingga, tersiksa di bawah telapak perbudakan.
Pujian Tuan saya terima dengan segala rasa kekecilan diri, dan saya bawakannya kepada azas-azas yang kita abdii, azas-azas perjoangan buat kaum pekerja dan buat persaudaraan
Dan perhatikanlah ucapan pahlawan wanita Rusia yang lain, yang juga termasuk golongan Manusia Besar:
”Kamu mau apa, kawan-kawanku wanita? Apakah kamu mau memandang pekerjaan revolusi sosial ini sebagai pekerjaan kaum laki-laki saja? Kamu toh juga satu bagian dari kelas buruh, yang membungkuk di bawah penindasan? Kamu, kaum wanita, toh justru yang paling menderita karena kemiskinan dan kemelaratan yang didatangkan oleh penghisapan kapitalistis itu? Dan kamu toh tidak menyangka, bahwa kemiskinanmu dan kemelaratanmu itu pekerjaan suami-suamimu? Tidak, baik kamu, maupun suami-suamimu, adalah korban daripada sistim yang merajalela di sini telah berpuluh-puluh tahun. Sistim itulah harus kamu tentang, sistim itulah harus kamu perangi bersama-sama dengan suami-suamimu, kalau kamu ingin merdeka, benar-benar merdeka
Satu tangkai bunga-rampai lagi dari
”Kita telah berjoang berpuIuh-puluh tahun, untuk memerdekakan peri-kemanusiaan daripada siksaan terbesar yang pernah mengazab dia, – yaitu daripada kapitalisme dengan segala macam cara-cara penghisapannya. Perjoangan ini selalu tumbuh, dan terus akan tumbuh, sampai tercapai cita-cita kita. Di dalam perjoangan ini, kita bersama-sama mengalami kesenangan dan kesedihan, tetapi tidak ada kesenangan yang begitu besar sebagai yang kita alamkan beberapa tahun yang terakhir ini: kesenangan melihat makin banyak wanita ikut serta dalam barisan kaum proletar yang berjoang. Ikut-sertanya wanita dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan masyarakat dapat mencapai tujuan masyarakatnya, selama tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita kepada wanita buruh adalah singkat dan jelas: Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjoangan-mu itu dengan ulet, bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati”.
Baris 1.343 ⟶ 1.337:
Dan akhirnya, satu tangkai lagi:
Maukah pembaca satu contoh keberanian wanita, satu contoh keuletan pendirian, yang tak mau goyang meski di bawah ancaman hukuman berat? Bacalah ucapan
”Saya tak pernah menentang hak milik perseorangan, saya malahan berani mengatakan bahwa saya membela hak milik perseorangan itu, manakala saya mengatakan bahwa tiap-tiap manusia berhak penuh atas tenaga kerjanya dan atas hasil-hasil tenaga kerjanya itu. Maka sekarang saya bertanya: sayakah yang merusak hak milik perseorangan, ataukah si majikan paberik, yang membayar kepada kaum buruh hanya sepertiga dari harga kerjanya dan mengambil keuntungan dari yang duapertiga lagi dengan tak membayar apa-apa? Bukanlah si spekulan yang merusak hak milik perseorangan, yang bermain dagang dibeurs dan menjerumuskan ribuan keluarga ke dalam kecelakaan, memperkaya diri sendiri atas kerugian mereka itu dengan tiada mengeluarkan keringat setetespun juga? Kami memandang hak kaum buruh atas hasil tenaga kerjanya lebih tinggi daripada hak apapun juga ...
Baris 1.353 ⟶ 1.347:
Sekian saja sajian bunga-bunga rampai! Tetapi saya tidak mau menutup bab ini, sebelum membuat sedikit pemandangan lagi yang mengenai tingkat kedua dan tingkat ketiga daripada pergerakan wanita.
Manakala saya di muka tadi sering-sering mencela pergerakan wanita tingkat kedua, maka itu tidak berarti bahwa saya tidak mengakui beberapa sifat yang baik daripadanya. Kalau saya tinjau pergerakan feminisme itu
Nyonya
”Het was de laatste stap van de heerschappij der bourgeoisie, die men verlangde. De vrouwen van die klasse moesten ook het kiesrecht verkrijgen.”
''' Artinya:''' ”Tuntutan itu adalah langkah terakhir untuk memperkuat kekuasaan bursoasi. Wanita-wanita dari kelas itu harus mendapat hak pemilihan pula”.
Dan Nyonya Henriette Roland Holst yang brilliant itu berkata:
Baris 1.365 ⟶ 1.358:
”In werkelijkheid echter is haar beweging een klassen-beweging, wat zij wil is voornamelijk de opheffing der wetten, het doorbreken der tradities en de verandering der zeden, die de vrouwen der bezittende en heersende klassen nog juridisch, sociaal, economisch en politisch, bij de mannen van deze klassen achterstellen. Zij wil haar deel veroveren aan de voorrechten – materieele zowel als ideele voorrechten – van de mannen der bourgeoisie, wil met hen samen de wereld bezitten en de wereld beheerschen. Zij wil al het genot en de pracht van die wereld, de stoffelijke en geestelijke goederen, mede genieten.
Zij wil, in het kort, dat aan de heerschappij en de uitbuiting die tot nu toe door de mannen der heerschende klassen gevoerd en bedreven werden, ook de vrouwen dier klassen zullen
''' Artinya:''' ”Pada hakekatnya, pergerakan mereka itu adalah pergerakan kelas; yang mereka tuju ialah terutama sekali hapusnya hukum-hukum, pecahnya kebiasaan-kebiasaan dan robahnya adat-adat, yang di atas lapangan yuridis, sosial, ekonomis dan politis masih membelakangkan wanita-wanita kelas atasan daripada kaum laki-laki kelas itu. Mereka mau merebut bahagian mereka dalam hak-hak lebih kaum laki-laki bursoasi, – hak-hak lebih jasmani maupun rohani. Mereka mau ikut mengecap semua kenikmatan dan keindahan dunia itu, mau ikut mengecap semua kekayaan-kekayaan jasmani dan rohani dalam dunia itu. Pendek kata, mereka berkehendak, supaya kaum wanita kelas atasan itu '''ikutserta''' dalam kekuasaan dan penghisapan yang sampai sekarang dilakukan oleh kaum laki-lakinya”.
Di dalam kitab riwayat hidupnya, Mr.P.J.Troelstra (pemimpin sosialis Belanda yang terkenal) menceriterakan tentang hal pengalamannya dengan pergerakan kaum feminis. Pada waktu kaum buruh Belanda menuntut hak pemilihan umum buat semua laki-laki dan perempuan, maka dari fihak kaum feminis '''dijumpai rintangan!'''
Di dalam Congres voor Vrouwenkiesrecht 29 Agustus 1898, nyonya Versluys-Poelman berkata: ”Eerst het kiesrecht voor de vrouw, en dan pas algemeen kiesrecht”, – yang artinya: ”lebih dulu hak pemilihan bagi wanita, baru kemudian hak pemilihan umum”. Troelstra mengejek, bahwa yang dimaksudkan dengan ”hak pemilihan buat wanita” itu sebenarnya tak lain tak bukan ialah ” '''dameskiesrecht ”''' semata-mata! Seruan nyonya Versluijs-Poelman itu dinamakannya satu seruan yang keluar dari hati kecil kaum feminis sebagai bagian dari bursoasi. Seruan itu ialah keluar dari ”het streven der vrouw uit de bourgeoisie om zich de rechten en voorrechten harer klasse te veroveren”, artinya: keluar dari ”ikhtiarnya wanita borjuasi untuk ikut memiliki hak-hak dan hak-hak lebih daripada kelasnya”.
Maka oleh karena gerakan wanita tingkat kedua dan tingkat ketiga itu datangnya dari dua alam, tumbuhnya dari dua jiwa, sumbernya dari dua kepentingan yang bertentangan satu sama lain, maka fihak tingkat ketiga selalu secara prinsipiil menolak bekerja bersama-sama dengan fihak feminis. Benar '''ada''' beberapa persamaan, benar '''ada''' beberapa titik persentuhan antara kedua aliran itu, tetapi perbedaan-perbedaannya adalah begitu besar, sehingga dua pergerakan ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah ataupun sebagai dua gelombang yang sesuai jalannya.
Di dalam Konferensi Wanita Internasional di Stuttgart 1907, yang sudah saya ceriterakan di muka tadi, ditetapkan penolakan bekerja bersama-sama dengan wanita atasan itu dalam kalimat resolusi yang berikut:
Baris 1.387 ⟶ 1.379:
Oleh karena itu, kewajiban pemimpin wanita tingkat ketiga ialah pertama-tama menyedarkan massa, membukakan mata massa jangan mau dijadikan kuda, – dan kedua: di mana mungkin dan di mana dapat, mempengaruhi pemimpin-pemimpin feminis itu supaya tuntutan-tuntutannya tidak terlalu bertentangan dengan kepentingan massa.
Hal ini
Satu contoh: Dulu Serikat Wanita Liberal di Inggeris sangat ”anti” kepada tiap-tiap usaha kaum buruh wanita supaya diadakan, hukum-hukum yang melindungi buruh wanita.
Sebab memang demikianlah prinsip liberalisme: anti bahwa negara ikut-ikut campur dalam urusan produksi. Tetapi lama-kelamaan Serikat Wanita Liberal itu akhirnya toh menyetujui pula kepada diadakannya wet-wet yang melindungi buruh wanita. Apa sebab? Sebabnya ialah oleh karena mereka lama-kelamaan kena pengaruh pemimpin- pemimpin tingkat ketiga. Terutama sekali
Tetapi inipun tidak boleh berarti, bahwa boleh diharapkan pergerakan feminis itu akan ”mlungsungi” sama sekali menjadi pergerakan tingkat ketiga. Sama sekali tidak! Sebab dasar kemasyarakatan pergerakan feminis itu ialah
Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan wanita sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai:
Sesuai dengan tuntutan emansipasi, maka wanita atasan sekarang sengaja keluar dari kurungan pingitan, keluar bersekolah, belajar sesuatu ”
”Tiap-tiap gadis menunggu datangnya hidup berlaki-isteri sebagai satu hal yang akan mengisi dan memenuhi hidupnya sama sekali. Pekerjaannya (di dalam masyarakat) itu buat dia bukan pekerjaan buat seumur hidup, tetapi sekedar satu tingkatan peralihan saja kepada pekerjaan yang sebenarnya, yaitu hidup berlaki-isteri”.
Demikianlah gambaran jiwa, yang saya baca di dalam tulisan salah seorang pemimpin wanita feminis. Sekali lagi, – buat apa belajar sesuatu pekerjaan, kalau pekerjaan itu kelak toh harus dilepaskan lagi karena keharusan hidup berlaki-isteri? Mana yang harus diberatkan: pekerjaankah, atau cinta dan jadi ibukah? Inilah ujian jiwa yang sulit. Dan jikalau dua-duanya diambil, seperti halnya dengan kaum wanita bawahan, yang
Dan jikalau wanita atasan itu memilih hidup bersuami-isteri daripada meneruskan pekerjaannya; jikalau ia dengan rasa masygul mengikuti panggilan kodrat alam dan meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di lapangan pekerjaan lain, maka fihak feminis memberi hiburan kepadanya yang berbunyi: ”Jangan masygul, jangan kecewa, sebab pengetahuan yang engkau dapat di sekolah dulu itu toh berfaedah juga buat kau pakai dalam rumah tangga”. lni namanya ”lari dari kenyataan”! Sebab, jikalau benar maksud bersekolah itu hanya buat berfaedah di rumah tangga saja, maka lebih baik jangan gadis-gadis disekolahkan mengetik, jangan disekolahkan dagang, atau insinyur atau adpokat, atau kimia atau kesusasteraan, tetapi masukkanlah mereka semua ke sekolah-sekolah rumah tangga, – huishoudscholen, yang vak-vaknya semata-mata buat kesempurnaan rumah tangga dan keibuan! Jikalau tujuan hidup wanita
”Weest niet bang, maakt U niet ongerust! Wanneer de vrouw gaat voelen, dat haar kinderen lijden onder haar dubbel werk, dan komt zeterug ... Als ze moet kiezen, dan kiest ze het kind”.
''' Artinya:''' ”Jangan takut, jangan kuatir! Kalau wanita merasa, bahwa anak-anaknya menderita karena pekerjaannya yang dobel itu, ia akan kembali ... Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih”.
Isinya ucapan ini '''benar.''' ”Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih”. Memang demikianlah jiwa wanita. Memang demikianlah '''harusnya''' jiwa wanita. Wanita yang tidak mengutamakan anak, tidak pantas bernama wanita. Itu bukan soal lagi. Tetapi yang menjadi soal ialah: '''apasebab''' ada retak, dan bagaimana '''menghilangkan''' retak itu? Dengan memakai perkataan-perkataan Nyonya Itallie van Embden sendiri, maka soalnya ialah: apa sebab ”anak-anaknya '''menderita''' karena pekerjaannya yang dobel itu”? Tidakkah mungkin diperdapat satu susunan masyarakat, yang anak-anak '''tidak''' menderita, walaupun ibunya mengerjakan pekerjaan dobel?
Ucapan Nyonya Itallie van Embden, seperti ucapan pemimpin feminis lain yang saya sitir di atas tadi, lagi-lagi satu perbu-atan ”lari dari kenyataan”, lagi-lagi satu ”vlucht uit de werkelijkheid”. Lagi-lagi orang terpaksa bertanya: buat apa mengotot minta hak untuk bekerja, kalau pekerjaan itu nanti toh akan dilepaskan lagi? Tidak! pokok pangkal dari semua ”vlucht” itu ialah, '''bahwa feminisme memang tidak mampu memecahkan soal! Tidak mampu memecahkan soal bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan (pencaharian) dan keibuan!'''
Tidak bersuami dan tidak beranak, – bertentangan dengan panggilan kenikmatan alam.
Tetapi bersuami beranak
Inilah pertentangan itu!
Maka oleh karena itu, di kalangan feminis sendiri lantas timbul satu golongan yang tidak puas dengan feminisme itu. Golongan inilah yang menyebutkan dirinya kaum
Tetapi koreksi mereka itu ... '''makin''' salah!
''' Makin''' menandakan kelemahan pendiriannya! Hanyalah barangkali ... lebih jujur!
Sebab, bagaimana pendirian neo-feminisme? Di dalam satu kitab tulisan D.L.Daalder ”Feminisme en Nieuwfeminisme” diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup wanita ialah (bagaimanapun juga)
”Menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak”!
Baris 1.435 ⟶ 1.425:
Karena jalannya buntu, lantas mau menjalankan ”koreksi”.
Tetapi koreksi itu bukan
Mundur kembali ke ”suami dan anak
Alangkah bedanya pergerakan wanita tingkat ketiga!
Pergerakan wanita tingkat ketiga dengan tegas menyatakan, bahwa koreksi satu-satunya yang benar ialah:
Ya, isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni yang satu dengan yang lain, – mengangkat pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itu ketingkatan yang lebih tinggi, di mana dua hal itu tidak mengantitese, tetapi justru mensintese satu sama lain. Wanita harus mengerti, bahwa mereka, jikalau mereka mengorbankan salah satu dari dua hal itu, – memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat, atau memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan -, sebenarnya menerima kekalahan di dalam perjoangan. Memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan yang telah diperjoangkan beratus-ratus tahun; memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan alam. Karena itu, satu-satunya jalan yang benar ialah jalan yang bukan saja menuju kepada hilangnya pertentangan antara dua hal itu, tetapi malahan kepada sintese dua hal itu, – jalan yang menuju ke tempat di mana dua hal itu
Usaha yang dapat mendatangkan sintese antara pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itulah
Kemenangan, oleh karena tidak ada satu langkah yang mundur. Tidak mundur di atas lapangan tuntutan kemasyarakatan, tidak mundur di atas lapangan tututan alam. Malahan di atas kedua-dua lapangan satu kemajuan. Di atas lapangan kemasyarakatan satu kemajuan, oleh karena pekerjaan di masyarakat menjadi satu kegembiraan; di atas lapangan cinta dan keibuan satu kemajuan, oleh karena wanita dapat cukup waktu untuk menjalankan cinta dan keibuan, itu – dan dapat menjalankannya dalam suasana kebahagiaan pula.
Pembaca masih ingat, apa yang menyebabkan retak dalam jiwa wanita yang mengerjakan pekerjaan masyarakat. Pertama ialah oleh karena di dalam sistim kapitalisme pekerjaan masyarakat itu laksana meremukkan jasmani dan rohani; duabelas jam, tigabelas, empatbelas jam tiap-tiap hari kadang-kadang wanita harus bekerja di dalam paberik atau perusahaan, dan itupun dalam keadaan pekerjaan yang amat berat dan tidak sehat. Kedua, – kalau wanita, di dalam keadaan jasmani dan rohani yang telah amat letih itu, sore-sore atau malam-malam pulang di rumah, maka ia harus bekerja lagi amat berat di rumah tangga, mengerjakan seribusatu pekerjaan rumah tangga tetek-bengek yang tidak ringan, yang diwajibkan kepadanya oleh cinta dan keibuan. Memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menjelumat baju, memelihara anak, menyediakan sarapan buat besok pagi dan lain sebagainya, masih harus ia kerjakan, sehingga kebahagiaan cinta dan keibuan menjadi amat terganggu oleh karenanya. Sebagai yang saya katakan di muka, maka wanita di dalam sistim kapitalisme itu amat berkeluh-kesah memikul beban yang dobel, – bebannya kerja berat sebagai produsen masyarakat, dan bebannya kerja berat sebagai produsen rumah tangga. Yang satu tidak membahagiakan yang lain, yang satu malah memelaratkan kepada yang lain. Tetapi
Apa, apa yang menyukarkan Sarinah untuk masuk secara
Artinya: ''' Sebagian besar daripada pekerjaan–pekerjaan rumah–tangga itu, kita angkatkan dari lingkungan keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya Kolektivitas!'''
Mungkinkah ini?
Bahkan hal ini sekarang sedang berjalan berangsur-angsur! Berkat jalannya evolusi masyarakat, maka pengoperan sebagian kewajiban-kewajiban rumah tangga kepada masyarakat itu bukan lagi satu cita-cita kosong, bukan lagi satu utopi, tetapi mulai menjadi satu kejadian, satu realitas. Lihatlah!: Di zaman dulu, semua pekerjaan untuk keperluan rumah tangga dilakukan di dalam rumah tangga, dan menjadi tanggungannya Sarinah sendiri sama sekali. Tetapi di zaman sekarang sudah banyak berangsur-angsur pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan partikelir
Tidak lagi ia harus berkeluh-kesah di rumah sampai jauh-jauh malam. Tidak lagi badannya masih terasa letih dan payah, kalau ia besok paginya bangun dari tempat tidurnya. Dan kebahagiaan ini mencapai puncaknya yang tertinggi di dalam
Tidak lagi ia harus mencuci pakaian suaminya dan anaknya dan pakaiannya sendiri, – tadi pagi ia telah serahkan pakaian kotor itu kepada pesuruh binatu kolektif. Tidak lagi ia harus memasak makanan, – kecuali yang ia inginkan sebagai traktasi sendiri yang istimewa -, sebab makanan telah dikirim oleh dapur umum, malah menurut pilih-annya sendiri dari daftar-mingguan. Tidak lagi ia harus menyediakan sarapan buat suaminya, anaknya dan dirinya sendiri besok pagi; sebab sarapan itupun urusan dapur umum, dan tempat pekerjaan atau sekolah ada pula yang mempunyai bufet kolektif.
Baris 1.471 ⟶ 1.462:
Utopi? Impian kosong? Idealisme yang lupa daratan? Semuanya itu tidak! Sebab, sebagai di muka tadi telah saya katakan, masyarakat memang telah berangsur-angsur bergerak ke situ, tendenz evolusi masyarakat nyata telah menuju ke situ. Di Rusia misalnya, yang walaupun keadaan di sana masih belum sempurna, sudah banyak tercapai hasil di lapangan sintese itu. Sampai kepada pemiliharaan anak bayi pada waktu ibunya mengerjakan pekerjaan masyarakat, di sana diurus secara kolektif di dalam ”creches”. Siapa ingin mengetahui lebih jelas hasil-hasil yang tercapai di sana itu, bacalah perpustakaan yang mengenainya.
Saya tahu, ada orang-orang yang menamakan sintese antara pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu satu utopi. Dan saya tahu
Yang menjadi sebabnya curiga itu ialah
Di dalam somah itu individualisme masih mendapat semacam hiburan, mendapat semacam tempat pelepaskan lelah, mendapat semacam kesempatan menarik nafas. Di dalam somah itu individualisme merasa dirinya tidak terganggu, merasa dirinya selamat. Sebab di luar somah itu, di masyarakat sekarang ini, hanya kepahitan dan kesukaran saja yang dijumpainya, di luar somah itu taufan praharanya perjoangan mencari sesuap nasi memenuhi angkasa. Di luar keprimpenannya somah itu manusia diuber-uber oleh hantu struggle for life, dicambuk, dilabrak, digiring, diseret oleh hantu ketidak-adilan sosial, dengan tiada maaf dan tiada ampun, tiada tempoh beristirahat dan tiada kesempatan menarik nafas. Maka somah menjadi semacam gumuk pengungsian, semacam bukit tempat berlindung, buat berlindungkan diri dari hamuknya banjir keharusan yang berhukum ”bekerja mati-matian, atau lapar”, – semacam tempat maya untuk melupakan pahitnya perjoangan hidup. Maka somah makin menjadi tempat bersarangnya individualisme, satu ”tempat keramat” yang tak boleh dimasuki oleh apa saja yang mengurangi kepribadian individualisme itu, sebagai mitsalnya faham-faham ”kemasyarakatan”, faham-faham ”kolektivisme”, faham-faham ”pengoperan fungsi-fungsinya somah kepada umum”.
Tetapi di dalam satu Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, di mana manusia
Di dalam Dunia yang demikian itu, maka batas antara somah dan masyarakat akan makin menjadi tipis, bahkan akan makin menjadi indah, laksana batas antara warna-warnanya pelangi hujan yang bersambung satu dengan yang lain dan menyusun satu harmoni yang gilang-gemilang.
Baris 1.485 ⟶ 1.476:
Artinya: ”Jikalau dunia telah menjadi satu sarang orang-orang yang bersahabat, maka batas-batas antara somah dan masyarakat, yang sekarang tajam dan keras itu, akan mengkabut menjadi kabut yang bercahaya”.
Apa gerangan yang akan tertinggal bagi somah kelak, kalau batas itu telah menjadi ”laksana batas warna-warnanya pelangi-hujan”, – telah hampir hilang menjadi ”kabut yang bercahaya”? Ah, janganlah orang nanti mengatakan lagi ini satu utopi! Kalau batas itu telah mengkabut, maka somah lantas benar-benar satu tempat cinta dan keibuan, di mana tiada gangguan 1001 pekerjaan tetek-bengek beraneka-warna membungkukkan tulang-belakang Sarinah sampai jauh-jauh malam, tetapi satu tempat di mana laki-laki, perempuan, dan anak-anak hidup bersama seperti burung di dalam sarangnya. Di situ hanya pekerjaan-pekerjaan persomahan yang istimewa saja dikerjakan, dengan kemerdekaan kemauan dan kegembiraan. Di situ laki-laki dan perempuan memenuhi kodratnya, melimpahi turunannya dengan pemeliharaan dan kasih sayang yang tiada gangguan, menjaga dan membesarkan turunan itu laksana burung menjaga anaknya. Di situ tidak ada lagi perempuan yang ”senewen” karena tubuh dan jiwanya patah lelah tertimpa beban hidup sehari-hari, tidak ada Sarinah yang seperti gila menderita penyakit ”retak”. Dan sebagaimana tidak ada burung yang melepaskan anaknya sebelum berbulu, maka sungguh fitnah semata-mata perkataan orang, bahwa di dalam dunia baru itu anak
Dan kalau pada waktu malam sang ibu perlu pula pergi ke rapat atau ke kursus atau ke gedung kumidi, maka pintu creches itupun terbuka pula untuk mengoper anak bayinya beberapa jam.
Baris 1.491 ⟶ 1.482:
Demikianlah misalnya, bantuan masyarakat kepada pekerjaan Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu menjadi keramat sekeramat-keramatnya!
Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang sekarang! Mereka ”mengeramatkan” somah, mereka katanya melindungi somah, mereka menolak percampuran tangan dari masyarakat ke dalam urusan somah, tetapi justru sistim masyarakat yang mereka bela itu memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru sistim masyarakat yang mereka ikuti itu mengisi somah dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru sistim masyarakat kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari, mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan kemudian melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-pekerjaan rumah- tangga yang bermacam-macam ragam sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan
Sarangnya Orang, sarang Manusia! Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia, berkat
Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan menjelmakan keadaan ini satu ”sarang orang-orang yang bersahabat”, satu ”nest van genoten”.
Baris 1.513 ⟶ 1.504:
Sekarang kita telah merdeka. Kita telah mempunyai Negara.
Kita telah mempunyai Republik. Bagaimanakah aktivitas wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah
Buat segenap wanita Indonesia itulah saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka ikut serta dalam perjoang-an, – supaya mereka mempunyai
”Hai wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!”, maka saya berkata:
Baris 1.527 ⟶ 1.518:
Sejak 17 Agustus 1945 kita mempunyai Negara, tetapi sejak itu pula kita malahan makin membanting tulang, makin ”demam”, makin seperti ”keranjingan syaitan”! Arus perjoangan tidak berhenti-henti, arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik kita dan terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, kita ini?
Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan intelek bangsa, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala tidak lama kemudian daripada itu beliau merobah Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka dadanyapun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki
Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan cinta tanah air. Tetapi
Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali semuanya mengejar Indonesia Merdeka. Tetapi jikalau kita selidiki satu-persatu partai-partai itu, – sejak dari Budi Utomo, sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam, sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis Indonesia, sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, sampai ke Partai Nasional Indonesia dan partai lain-lain – timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam
Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh karena jawabannya itu mengandung pengajaran buat perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur dan tegas haruslah berbunyi:
Oleh karena apa? Oleh karena partai-partai itu semuanya satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo hendak meng-ikhtiarkan Indonesia Merdeka, – dapatkah ia berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak banyak itu, dan hampir semuanya bekerja kepada jabatan-jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba
Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa ”seribu dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra menjadi partai yang revolusioner” oleh karena
Lihat – alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita sekarang telah mempunyai Republik, tetapi manakala kita tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada perjoangan kita, – tidak menjalankan perjoangan kita itu dengan sifat yang benar dan pada tempat yang benar -, maka kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa rakyat Indonesia telah merdeka, tetapi untuk
Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang dinamakan revolusioner? – dapatkah kita pisahkan Revolusi Indonesia daripada Revolusi Besar
Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di sana itu, dan di seluruh Indonesia di hari-hari yang kemudiannya, adalah satu peristiwa
”Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang ber-kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke – Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
Tetapi kecuali daripada itu, peristiwa menjadi merdekanya suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, – merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka boneka, – adalah satu peristiwa revolusioner, oleh karena peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: Tidak dapat ”diatur”, ”disedia-sediakan”, ”dihadiahkan” secara konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu, dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, adalah satu peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara konstitusionil. Dan tidak akan – tidak mungkin! – sengaja diatur atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan bangsa yang daripadanya ia menghisap zat-zat untuk hidupnya atau kesejahteraannya! ”Tak pernah sesuatu kelas dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih”, demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh karena itulah pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak revolusioner, tetapi
Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa
Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan Indonesia telah saya lihat menyingsing di cakrawala. – Dengan hati yang berdebar debar karena rasa kegembiraan yang tak tertahan, di dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat yang terkenal: ”Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa karena ledakan bom dan dinamit, di situ rakyat Indonesia akan melepaskan belenggu-belenggunya, di situ rakyat Indonesia akan merdeka!”
Baris 1.555 ⟶ 1.546:
Ucapan ini bukan satu ”nujuman”. Ia bukan pernyataan seorang-orang yang melihat gambar hari kemudian terlukis dalam rangkaian bintang-bintang di langit.
Ia bukan pula keluar dari mulutku karena dorongan harapan berdasar ”wishfull thinking”. Bukan pula sekedar hasutan kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam penjara
Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan duniawipun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah turun (telah ”im Niedergang”) dan megap-megap mencari nafas dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp dan main drel dengan senapan mesin, – semua itu membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu
Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang segenting-gentingnya, – pasti peperangan itu datang, hantu-hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada ampun, – itu saya tahu -, imperialisme Belanda, akan terseret-serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu godamnya!
Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam atau hampir remuk-redam, maka itu adalah satu
Di samping situasi revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan (dan kita bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan Belanda di dunia Timur.
Baris 1.571 ⟶ 1.562:
Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya lukiskan di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh daripada bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya Indonesia adalah satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh karena ia, sebagai tadi saya katakan, adalah satu langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh karena ia (nanti saya jelaskan) satu bagian daripada satu proses dunia yang revolusioner.
Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih dianggap
Memang untuk memberi keyakinan yang demikian itulah salah satu maksud tangan saya menggoyangkan pena! Tetapi saya pun sedar, bahwa saya masih harus menarik terus garis penerangan saya itu lebih jauh. Saya sedar, bahwa justru oleh karena tertarik oleh kebenaran pendirian ”tingkat ketiga” itu, sebagian dari pembaca-pembaca lantas berfikiran: ”Ha, tingkat ketigalah yang benar, tingkat ketigalah yang memberi pemecahan soal wanita yang memuaskan, marilah kita pusatkan segala perhatian kita dan keaktivan kita sekarang juga kepada Revolusi Sosialisme! Maka oleh karena itulah lantas mendesak kemuka soal:
''' Sudahkah''' sekarang tiba waktunya bagi kita untuk Revolusi Sosialisme? Untuk meniadakan tiap-tiap sesuatu yang berbau kapitalisme? Untuk membasmi borjuasi nasional? Untuk menghapuskan apa saja yang masih bercorak feodal? Untuk melabrak tiap-tiap sesuatu yang masih belum bersifat sosialistis?
” ''' Kesejahteraan sosial ”''' . Dua perkataan yang di dalam Revolusi kita ini telah amat termasyhur! Tetapi justru juga dua perkataan yang mewajibkan kita berfikir dalam-dalam.<br />
”Kesejahteraan sosial”! Ambillah misalnya pergaulan hidup dalam kelompok. Di dalam pergaulan hidup kelompok itu tentu tidak ada kapitalisme, tentu tidak ada borjuasi, tentu tidak ada feodalisme.
Baris 1.583 ⟶ 1.573:
Atau ambillah pergaulan hidup dalam gens, di zamannya matriarchat. Juga di situ tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme. Malah di situ menurut pendapat Engels atau Muller Lyer ada ”oercommunisme”. Tetapi adakah di situ kesejahteraan sosial?
''' Apakah''' yang dinamakan kesejahteraan sosial? Apakah satu masyarakat, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, – yang di dalamnya '''ada ”''' sama rasa sama rata”, '''tetapi''' yang di dalamnya misalnya orang harus berjalan kaki atau menaik gerobak kerbau kalau hendak pergi dari Bandung ke Surabaya, karena tidak ada oto atau kereta api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam gelap gulita pada waktu malam karena tidak ada listrik ataupun minyak tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga plongo karena tidak ada percetakan yang mencetak buku-buku atau surat-surat khabar; yang di dalamnya orang harus menderita banyak penyakit oleh karena tidak ada paberik yang membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat bendungan-bendungan air – pengairan oleh karena di dalam tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau, dan palawija sekian pikul sebau oleh karena pertanian masih dijalankan secara di zaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; '''pendek kata:''' satu masyarakat kuno-kuno-mbahnya-kuno dengan tiada oto, dengan tiada kereta api, dengan tiada paberik-paberik, dengan tiada surat-surat khabar, dengan tiada radio, dengan tiada rumah-rumah sakit, dengan tiada kapal-kapal, dengan tiada korek api, dengan tiada buku-buku, tiada aspal, tiada sepeda, tiada semen, tiada sekolah, tiada ... ya, entah tiada apapun namanya lagi, – dapatkah masyarakat yang demikian itu, '''walaupun''' di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan '''ada ”''' sama rasa sama rata”, – dapatkah masyarakat yang demikian itu bernama masyarakat yang ”berkesejahteraan sosial”?
Sudah tentu tidak! Masyarakat yang demikian itu bukan masyarakat kesejahteraan sosial, masyarakat yang demikian itu '''bukan masyarakat sosialisme.'''
Masyarakat yang demikian itupun tidak mungkin dapat berdiri teguh di dalam dunia kapitalistis yang sekarang.
Baris 1.596 ⟶ 1.585:
Sosialisme kah kalau wanita di rumah lampunya lampu minyak kelapa atau lampu biji jarak, meniup-niup api di dapur tiap-tiap kali ia hendak menanak nasi, memintal dan menenun sendiri tiap-tiap jengkal bahan baju anaknya atau suaminya karena memang tidak ada paberik tenun yang menenun tekstil?
Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif. Adanya industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding, adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi, dll,
Satu masyarakat yang belum dapat memenuhi syarat-syarat teknik itu sampai kepada sedikitnya satu
Sudahkah kemajuan masyarakat kita sekian jauhnya? Sudahkah masyarakat kita politik cukup merdeka, untuk menyediakan ”syarat-syarat teknik” sampai kepada sedikitnya satu tingkat ”minimum” itu? Pada saat saya menuliskan pertanyaan-pertanyaan ini, lampu yang menyinari kertas saya ialah lampu lilin, karena aliran listrik diputuskan Belanda di Tuntang, dan di berpuluh-puluh tempat dalam Republik, mortir dan bren-gun Belanda berdentam-dentam. Negara Indonesia dalam bahaya! Dapatkah satu Negara, yang sedang dikepung dan diserang oleh musuh, melaksanakan sosialisme? Dan andaikata Belanda tidak mengepung dan tidak menyerang negara kita, sekali lagi saya tanyakan, dapatkah kita sekarang, – sekarang! – , telah melaksanakan sosialisme?
Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita satu kejadian yang
Bangsa Indonesia sedang di dalam Revolusi. Tetapi Revolusi bukanlah sekedar satu ”kejadian” belaka. Revolusi adalah satu
Revolusi adalah ”hamuknya” tenaga-tenaga masyarakat, tetapi tenaga-tenaga itu bukan hanya tenaga-tenaga yang menghantam, menggempur, menghancurleburkan saja, – tenaga-tenaga itu ada pula yang menyusun, membina, membangun. Revolusi bukan hanya proses yang destruktif, ia juga satu tenaga besar yang konstruktif. Keadaan-keadaan dalam masyarakat yang telah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan baru, ia hantam, ia matikan, ia hancurleburkan, – keadaan-keadaan baru yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan baru ia bangunkan. Dan di dalam tiap-tiap fase Revolusi, maka tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu bekerja serempak, bekerja
Sebagaimana di dalam faIsafah Hindu destruktivismenya Syiwa dan konstruktivismenya Wisynu bekerja serempak simultan, maka demikian pula di dalam tiap-tiap fase daripada Revolusi, destruksi dan konstruksi berjalan serempak simultan.
Apakah fase-fasenya Revolusi kita? Kita mengalami fase
Perhatikan: laksana fase kanak-kanak dan fase dewasa dalam hidupnya manusia atau binatang! Artinya, dua fase ini
Hantam-kromo saja mau segera
Di dalam tahun 1927 dan 1928 saya mengalami kesulitan-kesulitan yang semacam dengan itu pula. Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjoangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai
”Saudara anti kapitalisme, saudara bercita-cita sosialis, kenapa saudara tidak mulai sekarang saja mengadakan aksi sosialis, Mengapa saudara mengadakan pergerakan
Selalu saya menghadapi kenyataan, bahwa orang belum mengerti bahwa Revolusi adalah satu
Tidak dapat kewajiban tingkatan yang kemudian disuruh menyelesaikan oleh tingkatan yang terdahulu, tidak dapat kewajiban tingkatan yang terdahulu ditunda kepada tingkatan yang kemudian. Siapa yang menginsyafi hal-hal ini semuanya dengan benar-benar, bertindak sesuai dengan keinsyafan itu, berjoang, membanting tulang mati-matian untuk
Lilin di hadapan kertas saya tetap menyala! Satu simbul, bahwa Revolusi kita tetap berjalan. Paberik listrik di Tuntang boleh dikuasai oleh Belanda, – Revolusi kita dalam arti yang luas akan berkobar terus, rakyat kita akan berjoang terus memper-tahankan Negaranya.
Baris 1.629 ⟶ 1.618:
Tetapi nyata lilin itu membuktikan bahwa Revolusi Nasional kita belum selesai, Revolusi Nasional kita kini sedang berjalan.
''' Sedang berjalan,''' dengan gegap-gempitanya, dengan hebatnya, dengan dahsyatnya! Revolusi Nasional ini sebagai satu cambuk gaib mengaktifkan tiap-tiap atom daripada tubuhnya bangsa kita, memasangkan tiap-tiap urat kecil daripada badan-tenaganya rakyat kita, menggeletarkan tiap-tiap bagian daripada jiwa masyarakat kita, dan dia akan mengaktifkan terus, akan memasangkan terus, akan menggeletarkan terus, entah buat berapa tahun lamanya lagi, sampai kewajibannya tertunai. Sebab sebagai saya katakan tadi, tiap-tiap fase mempunyai periodenya sendiri dan mempunyai kewajibannya sendiri, dan tiap-tiap fase menunaikan periodenya sendiri dan menunaikan kewajibannya sendiri. Dan apakah kewajiban fase Revolusi Nasional kita ini? Apakah ”tugas bersejarah”-nya Revolusi Nasional kita ini?
Kewajiban atau tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita ini ialah mendirikan satu Negara Nasional Indonesia. Tugas bersejarah ini harus selesai lebih dahulu sebelum Revolusi Nasional itu minta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial Dan berapa lamakah diperlukan untuk menyelesaikan tugas bersejarah itu? Entah berapa tahun, entah berapa windu, – tetapi nyata bukan hanya beberapa bulan saja. Banyak air keringat kita masih harus mengucur, banyak keluhan kita masih harus terdengar, sebelum tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita itu tertunai. Samodera Hindia masih harus bergelora bertahun-tahun lagi, sebelum gelombang-gelombangnya membanting membasahi pantai-pantai kepulauan Indonesia yang telah tergabung teguh dalam satu Negara Naional Indonesia. Ya, bertahun-tahun! Dua tahun lebih kita telah berada dalam kancah Revolusi Nasional, tetapi kesudahannya nyata belum tercapai. Memang, alangkah banyaknya, alangkah sukarnya dan hebat-hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita selesaikan, anasir-anasir ”destruksi” dan anasir-anasir ”konstruksi”! Merebut kekuasaan pemerintah dari tangan asing, menyusun angkatan perang nasional, membinasakan tiap-tiap kuman kolonialisme, menjalankan semua jawatan-jawatan dengan kekuatan sendiri, membuat peruangan Indonesia, mempersatukan semua kepulauan Indonesia dalam lingkungan-nya satu negara yang merdeka, membanteras kekacauan-kekacauan dari dalam, menyusun teknik Indonesia yang kuat dan modern, menjalankan diplomasi untuk mendapat pengakuan de jure internasional, menindas provinsialisme, menggembleng milyunan rakyat Indonesia menjadi satu bangsa yang berkesadaran nasional, berkesadaran negara, berkesadaran pemerintah, berkesadaran tentara, berkesadaran sosial, membuat pemerintah Nasional menjadi stable government ke luar dan ke dalam, dan lain-lain lagi, – semua itu harus dikerjakan, semua itu harus ditunaikan lebih dahulu, sebelum boleh dikatakan Revolusi Nasional selesai. Ini bukan pekerjaan kecil, ini bukan pekerjaan yang dapat kita selesaikan sambil goyang kaki beberapa hari. lni pekerjaan raksasa, yang membutuhkan pengerahan tenaga, keuletan kemauan, ukuran fikiran dan ukuran timbangan raksasa.
Baris 1.642 ⟶ 1.630:
Sekali lagi, alangkah banyaknya, sukarnya, dan hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita tunaikan.
Alangkah banyaknya isi yang harus kit ”isikan” dalam kata-kata ”
Dan bukan saja Revolusi Nasional ini harus selesai untuk memenuhi syarat-syarat
Saya tidak berkata bahwa tiap-tiap bangsa yang telah merdeka telah pula terhindar dari eksploatasi dari luar!
Tidak! Pembaca kenal nasib Siam, dan kenal nasib Iran, misalnya. Tetapi kemerdekaan politik itu adalah syarat mutlak untuk
Malah tegas, kita bukan hanya sekedar hendak merdeka, kita tegas berjoang mendirikan Negara
Kita menghendaki Negara Nasional.
Baris 1.660 ⟶ 1.648:
”Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan ”Gemeinschaft”- nya dan perasaan orangnya. ”l’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan.
Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana ”kesatuan-kesatuan” itu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan, bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar. Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan ... Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! ... Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu
”Seluruh Rakjat Indonesia, baik di daerah Republik, maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Papua, seluruh Rakyat Indonesia yang merantau di manca negara,
Dan hasil pertama yang besar daripada perjoangan bersama, penderitaan bersama, pengorbanan bersama kita itu ialah Republik Indonesia ini! Republik Indonesia, yang kini hendak dihancurkan oleh
Ya, ini barangkali memang berbau idealisme, barangkali memang berbau romantik. Saya memang dapat berlinang-linang air mata pada saat mengelamunkan persatuan Indonesia itu. Tetapi saya mengucap suka-syukur kepada Tuhan, bahwa jiwa saya tidak kosong daripada idealisme dan romantik yang demikian itu. Saya merasa iba kepada orang-orang, yang tidak mempunyai ”Romantik Indonesia” itu. Saya merasa bahagia dalam keyakinan, bahwa ”romantik” saya itu bukan romantik yang merindukan sesuatu hal
Apa sebab saya mengatakan, bahwa Negara Nasional Indonesia satu Keharusan sosial politik? Dus satu hal, yang tidak boleh tidak kelak pasti akan terjadi? Saya tidak berkata, bahwa Negara Nasional Indonesia itu pasti akan terjadi
''' Apa sebab? –''' saudara menanya lagi? Sebabnya ialah bahwa terbentuknya Negara-Negara Nasional itu memang termasuk dalam tingkatan-tingkatan pertumbuhan masyarakat burgerlijk. Di dalam alam masyarakat burgerlijk yang sedang subur, ada dua tendenz yang nyata dan terang: '''pertama''' tendenz tergabungnya negara-negara kecil menjadi negara-negara besar, '''kedua''' tendenz terjadinya segala macam perhubungan-perhubungan antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Yang '''pertama''' dus tendenz terbangunnya negara-negara nasional, yang '''kedua''' tendenz terhapusnya batas-batas nasional.
Yang '''pertama''' terjadinya ialah pada waktu kapitalisme hendak menyubur, yang '''kedua''' terjadinya ialah bilamana kapitalisme telah jadi subur.
Kapan negara-negara kecil di Jermania – Pruisen, Saksen, Beieren, dan lain-lain sebagainya -, kapan negara-negara kecil itu digabungkan menjadi negara nasional Jermania, dan Raja Pruisen dijadikan Kaisarnya? Pada tahun 1871, tatkala kapitalisme di Jermania hendak menaik. Kapan negara-negara kecil di Italia di bawah pimpinan Mazzini, Garibaldi, Cavour digabungkan menjadi negara nasional Italia? Pada kira-kira waktu itu pula, tatkala kapitalisme di Italia hendak menyubur. Kapan daimyo-daimyo Jepang menyerahkan negara-negara kecilnya kepada Meiji Tenno, sehingga terbangun Dai Nippon Teikoku? Pada waktu kapitalisme Jepang hendak berkembang. Demikian pula, maka di lain-lain daerah di muka bumi ini didirikanlah negara-negara nasional, sebagai gelanggang usahanya kapitalisme yang hendak menyubur. Negara-negara kecil yang feodal tidak dapat menjadi gelanggang penyuburan itu, negara-negara kecil itu perlu digabungkan menjadi satu, agar dapat menjadi padang usaha yang mencukupi segala syarat-syarat kapitalisme nasional. ''' Negara–negara multi–feodal''' diluluh menjadi ''' Negara Nasional!'''
Dan tatkala kapitalisme-kapitalisme nasional itu telah terbangun, tatkala produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala produksi itu membangunkan export dan import yang membubung tinggi, terbangunlah satu perlalulintasan dan perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional tetapi ekonomi dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan negara yang satu dari negara yang lain. Demikianlah berlaku '''dialektik''' dalam alam kapitalisme itu: di satu pihak membangunkan negara-negara nasional, di lain pihak, memecah-kan batas-batas yang memisahkan antara negara-negara nasional.
Dialektik ini di Indonesia pun akan berlaku! Saya tidak berkata bahwa kapitalisme nasional di Indonesia akan membubung tinggi, tetapi Negara Nasional Indonesia akan terjadi. Sebab evolusi menuju kepada ”industrialisme”.
Baris 1.680 ⟶ 1.668:
Dan industrialisme membutuhkan negara nasional itu.
Tetapi, apakah Negara Nasional Indonesia itu akan berupa Negara Kesatuan yang benar-benar Kesatuan (unitaristis), atau akan berupa Negara Kesatuan yang bersifat Negara Gabungan, itu akan membukti sendiri di hari kemudian. Segala sesuatu akan berlaku secara
Seluruh Kepulauan Indonesia membutuhkan diri satu sama lain, seluruh kepulauan Indonesia barulah dapat menjadi satu dasar ekonomis yang kuat bagi industrialisme, jika ber-gandengan ekonomis satu sama lain, isi mengisi satu sama lain, bantu-membantu satu sama lain. Dari manakah misalnya Jawa dapat memperoleh besi dan batu bara jika tidak dari pulau lain, dan dari manakah Kalimantan dapat memperoleh tenaga manusia jika tidak dari Jawa? Tidak! Buat membangunkan industrialisme yang luas, tidak ada satu pulau di Indonesia yang dapat berdiri sendiri! Jikalau di Indonesia akan tumbuh industrialisme yang kuat, – dan garis evolusi masyarakat
Orang-orang yang kukuh mau mengadakan negara-negara tersendiri di masing-masing pulau atau di masing-masing daerah, sungguh harus kita ibai. Mereka atau tidak berpengetahuan tentang tendenz evolusi masyarakat,
Ya, Negara Nasional Indonesia pasti berdiri.
Nasionalisme Indonesia itu mempunyai sumber-sumber, mempunyai ”penghidup-penghidup”, dan penghidup-penghidup-nya itu ialah tenaga-tenaga masyarakat (s
Apakah tenaga-tenaga masyarakat itu?
''' Pertama''' tenaga masyarakat yang timbul dari kalangan '''rakyat jelata''' yang bermilyun-milyun, buruh dan tani, yang oleh imperialisme turun-temurun dihisap ditindas, dieksploatir laksana ternak, dan kini jiwanya menjadi jiwa rebelli mau cukup bekal hidup, mau sejahtera, mau aman, – '''kedua''' tenaga-masyarakat yang timbul dari kalangan '''kaum perusahaan''' Indonesia yang oleh adanya imperialisme sama sekali kehilangan alam, dan kini mau mempunyai alam. Kedua-dua tenaga masyarakat ini memberontak kepada: imperialisme itu, yang satu memberontak ingin hidup, yang lain memberontak ingin berkembang: Tujuh puluh milyun manusia tua muda laki-laki perempuan – boleh dikatakan tidak ada satu orangpun yang terkecuali – jiwanya dalam rebelli, benci kepada penjajahan dan rindu kepada kemerdekaan, berpuluh-puluh milyun dari antara mereka itu bangkit aktif, mengambil bambu runcing dan golok dan senapan untuk menyerang dan melawan, – berpuluh-puluh milyun lagi mengambil pacul dan martil dan tangkai pena untuk menyusun, mencipta, membangun. Destruksi dan Konstruksi sedang berlaku simultan dalam satu simfoni yang maha dahsyat.
Itulah Nasionalisme Indonesia yang sedang menjalankan Revolusi Nasional. Yang sedang '''meneruskan''' Revolusi Nasional, – yang memang belum selesai, karena memang belum terbangun satu Negara Nasional. Apakah ini berarti, bahwa tujuannya Revolusi Nasional kita itu dus sekedar satu Negara Nasional di dalam arti biasa, seperti Jerman, seperti Italia, seperti Jepang, seperti Perancis? Satu Negara Nasional yang '''burgerlijk,''' yang ”borjuis”, – oleh karena belum tiba saatnya untuk mengadakan sosialisme?
''' Tidak!'''
Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, – belum tiba '''kemungkinannya''' buat kita untuk mengadakan sosialisme – , sekarang Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu '''tidak''' berarti, bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan '''dus''' satu negara yang burgerlijk. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa batas antara Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial tidak tajam seperti batas antara bilik yang satu dan bilik yang lain, sebagaimana tiap-tiap proses melalui beberapa fase, yang fase-fase ini juga tidak terpisah tajam antara satu sama lain, maka Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu ”fase-peralihan” '''antara''' fase burgerlijk dan fase sosialis.
Lihatlah Undang-undang Dasar Republik kita. Jikalau dikatakan, bahwa Undang-undang Dasar Republik kita itu satu undang-undang dasar yang sama sekali sosialistis, maka itu tidak benar. Tetapi juga, jikalau dikatakan, bahwa ia satu undang-undang dasar yang sema sekali burgerlijk, itupun tidak benar.
Baris 1.702 ⟶ 1.689:
Pasal 33 yang berbunyi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. dan
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, – pasal-pasal itu menghilangkan sifat yang ”samasekali burgerlijk” itu.
Di dalam pasal-
Memang segenap jiwanya adalah jiwa yang revolusioner. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang revolusioner, nasionalisme yang sekarangpun telah dengan langsung mengemukakan perhubungannya dengan kemanusiaan, – nasionalisme yang biasa saya namakan socio-nasionalisme. Demokrasinya adalah demokrasi yang revolusioner, demokrasi rakyat sepenuh-penuhnya yang sedar akan kekurangan-kekurangannya demokrasi politik
Menjadi nyatalah: Negara Nasional yang kita dirikan, bukan negara burgerlijk, bukan pula negara sosialis. Revolusi Nasional yang kita jalankan, bukan revolusi burgerlijk, bukan pula revolusi sosialis. Bukan burgerlijk, oleh karena kita telah meliwati fase burgerlijk; bukan sosialis, oleh karena kita belum sampai kepada fase sosialis.
Baris 1.718 ⟶ 1.705:
Siapakah yang menjalankan Revolusi kita sekarang ini? Boleh dikatakan semua golongan masyarakat Indonesia menjalankannya: kaum pemuda terpelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum pegawai, kaum bangsawan, kaum pedagang, dsb – semuanya ikut semuanya berjoang! Oleh karena itulah boleh dikatakan bahwa Negara kita bukan milik sesuatu golongan, bukan monopoli sesuatu kelas. Negara burgerlijk ia bukan, sebab ia bukan monopolinya kelas borjuis; negara proletar ia bukan, sebab ia bukan monopoli kelas proletar. la adalah negara milik seluruh lapisan Indonesia yang revolusioner.
Dan kewajibannya Revolusi yang kita jalankan ini adalah memang kewajibannya semua lapisan Indonesia yang revolusioner:
Apakah yang dinamakan ”golongan-golongan rakyat yang revolusioner” itu? la bukan hanya golongan proletar saja, bukan hanya golongan buruh! Bukan pula ia hanya golongan yang galib dinamakan ”kaum jembel”. la adalah golongan-golongan yang berjoang sesuai dengan kemajuan dalam perjalanan evolusi masyarakat, bukan menentangnya, bukan menahannya, – golongan-golongan yang berjoang mati-matian menghancur –leburka ”orde” yang lama dan mempercepatkan datangnya ”orde” yang baru, sesuai dengan tendenz-tendenz dalam evolusinya masyarakat itu. Tak perduli dari lapisan mana golongan-golongan itu! Tak perduli dari lapisan proletar, tak perduli dari lapisan tani, tak perduli dari lapisan pedagang, tak perduli dari lapisan pemuda terpelajar, tak perduli dari lapisan ningrat, tak perduli dari lapisan mana, – tetapi lapisan atau golongan yang berjoang menghancur-leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde yang baru sesuai dengan tendenz evolusi masyarakat, – dia adalah revolusioner. lni bukan satu definisi yang terlalu royal dengan sebutan revolusioner. Ini satu definisi tentang arti revolusioner yang meski kaum komunis sekalipun membenarkannya. Misalnya Stalin di dalam bukunya tentang ”Soal-soal Leninisme” mengemukakan definisi yang malah lebih ”royal” lagi:
”Untuk bernama revolusioner, maka sesuatu gerakan nasional tidak perlu terdiri dari golongan-golongan proletar, tidak perlu mempunyai program republikein, tidak perlu mempunyai dasar demokratis. Perjoangannya Amir Afghanistan untuk kemerdekaan negerinya, obyektif adalah satu perjoangan
Jadi, menurut definisinya itu, tiap-tiap pergerakan yang menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme adalah pergerakan revolusioner. Artinya: jangan mengukur pergerakan-pergerakan nasional itu dengan ukurannya keproletaran, kerepublikan, atau demokrasi formil. Satu-satunya ukuran yang harus dipakai ialah hasil, akibat pergerakan-pergerakan itu: memperkuatkah kepada imperialisme, atau melemahkankah kepada imperialisme? Yang memperkuat imperialisme adalah reaksioner; yang melemahkan imperialisme adalah revolusioner!
Maka nyatalah, bahwa di dalam definisi itu tekanan accent diletakkan kepada apa yang saya namakan bagian destruktif daripada pergerakan nasional atau revolusi nasional: Bagian yang menghantam, bagian yang menggempur. Di bagian ini
Saya bukan saja mengemukakan bagian yang destruktif, saya mengemukakan juga bagian yang konstruktif, yang membina, membangun. Yang berjalan serempak, simultan, dengan bagian destruktif itu. Yang harus pula kita gelora-gelorakan, kita hebat-hebatkan, agar supaya Revolusi kita lekas selesai. Bagian itu ialah bagian membangun Negara Nasional.
Maka di dalam bagian membangun Negara Nasional ini,
Revolusinya ''' Bangsa! Bukan revolusinya sesuatu kelas!'''
Alangkah seringnya perkataan ”bangsa” itu dipermainkan! Sering sekali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan sesuatu golongan atau sesuatu kelas. Kadang-kadang kaum ningrat mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – ditutupilah kepentingan sendiri itu dengan menamakan pergerakannya itu pergerakan ”bangsa”. Kadang-kadang kaum pedagang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, pergerakannya itupun dinamakan pergerakan ”bangsa”. Kadang-kadang kaum inteleklah yang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – lagi-lagi dikeluarkanlah dengan muka angker perkataan ”bangsa”.
Hitler menamakan pergerakannya pergerakan ”bangsa”, kaum borjuis di Perancis menamakan revolusinya satu setengah abad yang lalu revolusi ”bangsa”. Tetapi kadang-kadang pula sesuatu golongan buruh hendak meng-anschluss nama ”bangsa” itu pula!
Tetapi Revolusi kita ini (harus) benar-benar satu Revolusi Kebangsaan, benar-benar satu Revolusi
Ya, seluruh
Yang menonjol ke muka ialah sifatnya
” ''' Di negeri–negeri yang tidak merdeka, maka pertentangan–pertentangan sosial diperjoangkan secara nasional”. –'''
” ''' Desocialletegenstellingenwordeninonvrijelandeninnationalevormenuitgevochten” –'''
Tidakkah ternyata demikian keadaan di dalam Revolusi kita ini?
Baris 1.754 ⟶ 1.742:
Dan sudahkah bagian konstruktif selesai? Bagaimana bagian konstruktif dapat selesai, kalau bagian destruktif belum selesai! Segenap jiwa kita yang menggeletar gandrung kepada adanya Negara Nasional Indonesia itu, laksana lautan gandrung kepada angkasa yang biru, masih belum melihat Pemerintah Nasional Indonesia berkuasa di seluruh kepulauan Nusantara. Negara Nasional Indonesia, Republik Indonesia yang Besar, belum tercapai. Yang telah tercapai barulah Negara Republik Indonesia yang sekarang, – ”Republik Indonesia yang kecil”. .
Tetapi alangkah pentingnya Republik Indonesia yang kecil ini! Alangkah pentingnya
Biar dia masih ”kecil”, – dengan dia di dalam tangan kita, kita merasa menggenggam satu senjata yang amat hebat. Musuh kita gempur dengan dia, pengkhianat-pengkhianat dari dalam kita lemahkan dengan dia, segenap tenaga rakyat kita susun dengan dia. Dia adalah alat perjoangan kita, alat Revolusi kita. Destruktif dan konstruktif kita sekarang berjoang dengan dia sebagai senjata. Dan kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata, sampai tujuan kita, yaitu ”Republik Indonesia yang Besar”, tercapai. Biarpun dia sekarang agak lebih kecil daripada dua tahun yang lalu, – lebih kecil oleh karena musuh menduduki sebagian dari daerahnya -, dia akan kita genggam makin keras di dalam tangan kita, dan akan terus kita perguna-kan sebagai senjata kita yang paling hebat. Biar dia umpamanya ”tinggal selebar payung” sekalipun, – kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata!
''' Negara adalah memang alat–senjata.'''
Telah berpuluh-puluh tahun kita berjoang, berjiwa nasional dan menggerakkan satu pergerakan nasional, berusaha, menderita, berkorban untuk mencapai cita-cita bersama, tetapi baru dua tahun inilah kita berjoang dengan senjata baru, yaitu Negara. Dulu kita berjoang hanya dengan senjata rapat umum, surat khabar, serikat sekerja, '''partai,''' sekarang kita berjoang dengan senjata ''' Negara.'''
Tenaga-tenaga yang amat hebat kita pusatkan dalam Negara itu, agar supaya ia dapat menjadi alat senjata destruktif dan konstruktif yang sehebat-hebatnya pula.
Baris 1.770 ⟶ 1.757:
Dulu serikat sekerja dan partailah alat kekuasaan kita.
Sekarang alat kekuasaan kita ialah Negara! Negara memang bukan sekadar satu hal ”kerukunan” belaka, negara adalah satu
Tetapi, Insya Allah, – ia tidak mudah akan berhasil. Kita seratus kali lebih kuat daripada dahulu. Sebab senjata kita sekarang ialah justru
Senjata kita hadapi dengan senjata,
''' Berkat adanya Negara, maka kita dapat berjoang secara totaliter ; maka musuh tidak akan menang, tetapi kita yang akan menang!'''
Kita yang akan menang! Dan kita ini akan menang, bukan hanya oleh karena kita dengan alat Negara dapat mengerahkan pertahanan di dalam yang totaliter, – kita pun akan menang oleh karena pertahanan di luar telah bangkit secara hebat. Indonesia tidak lagi Indonesia dari zaman dahulu. Ia tidak lagi berdiri sendiri. Ia sudah satu kali buat selama-lamanya terhubungkan dengan dunia luaran. Memang demikianlah, kata saya di muka tadi, berjalannya dialektik dalam alam industrialisme; di satu fihak berdirinya negara-negara nasional, di lain fihak terhapusnya negara-negara-nasional, di lain fihak terhapusnya batas-batas nasional. Bangsa-bangsa mendirikan kebangsaannya sendiri-sendiri tetapi serempak dengan itu, tenaga-tenaga imperial-ismepun menjadi satu, dan tenaga-tenaga anti-imperialisme pun menjadi satu. Ofensifnya imperialisme kepada kemerdekaan kita sekarang ini, sebenarnya bukan hanya ofensifnya imperialisme Belanda kepada kemerdekaan Indonesia saja, tetapi adalah '''sebagian daripada ofensif umum''' yang dilakukan oleh imperialisme internasional di mana-mana.
Di Indonesia, di Vietnam, di Tiongkok, di Balkan, dan di lain-lain tempat lagi (dengan cara-cara yang ditentukan oleh tempat dan keadaan), imperialisme internasional itu serentak sedang dalam ofensif, tetapi tenaga-tenaga anti imperialisme di seluruh duniapun serentak sedang mengadakan perlawanan bersama yang sekuat-kuatnya. Serangan yang dilakukan oleh angkatan perang Belanda kepada kemerdekaan kita itu, dirasakan oleh segenap golongan-golongan anti imperialisme sedunia sebagai bangkitnya reaksi imperialisme internasional yang membahayakan juga kepada mereka. Itulah sebabnya, maka kita dibela oleh mereka, dibantu oleh mereka, atau sedikit-dikitnya mendapat simpati dari mereka.
Dan pada waktu mereka memberi simpati kepada kita atau membela kita itu, mereka tidak menanya-nanya apakah kemerdekaan kita itu ”bikinan Jepang atau tidak”, tidak pula mengukur-ukur perjoangan kita itu dengan ukurannya demokrasi formil. Benar, Republik kita memang bukan bikinan Jepang, azas kita memang Pancasila yang lebih demokratis daripada demokrasi biasa, tetapi golongan-golongan anti imperialis sedunia yang membantu dan membela kita itu tidak menanya-nanya hal ”bikinan Jepang”, tidak mengemukakan ukuran demokrasi formil. Apa sebab?
Dan
Maka dengan ini nyatalah dan tegaslah, bahwa perjoangan kemerdekaan sesuatu rakyat jajahan atau setengah jajahan janganlah ditinjau dalam ”keadaannya sendiri”, tetapi harus ditinjau dalam hubungan sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu:
Kapitalisme internasional dihidupi imperialisme internasional, imperialisme internasional berakibat perlawanan kepada imperialisme internasional; perjoangan kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan melemahkan imperialisme internasional, lemahnya imperalisme internasional melemahkan kapitalisme internasional;
Tetapi Alhamdulillah, tidak semua ”sosialis” adalah pendurhaka sosialisme, tidak semua kaum ”progresif” adalah iblis berpakaian dewa. Perjoangan kita dengan senjata Negara itu dibenarkan, diberi simpati, dibantu, dibela oleh golongan-golongan yang benar-benar progresif di seluruh dunia. Di Australia mereka membela, di Rusia dan di Eropa Timur, di seluruh Asia, di banyak tempat di Amerika dan Eropa Barat, – ya, di negeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid!) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi:
” ''' Eenvolkdateenandervolkonderdrukt, kannietvrijzijn ”.'''
” ''' Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdeka ”.'''
Sekali lagi, Insya Allah, dengan senjata Negara kita, dengan mengerahkan rakyat secara totaliter, dengan bantuan dari luar, – kita akan menang. Kita akan menang dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia ini terhadap kepada baja dan dinamitnya peperangan kolonial. Dan kita akan menang pula
Oleh karena itulah kita obyektif harus menetapi tugas kewajiban tingkatan Revolusi kita sekarang ini, kita obyektif harus kenali dan penuhi ”tugas bersejarah” Tingkatan Revolusi kita sekarang ini: Tingkatan Nasional, karena memang masih dalam periode Nasional, dengan tugas kewajiban Revolusi Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional. Dan oleh karena masih dalam tingkatan Nasional, maka penunaian tugas-kewajiban Revolusi itupun obyektif harus dan dapat dikerjakan oleh segenap rakyat Indonesia yang 70.000.000, dari segenap golongan dan segenap lapisan, dari segenap kepercayaan dan segenap agama, dalam persatuan yang seerat-eratnya dan sehebat-hebatnya.
”Obyektif kita pasti menang, Apakah ini berarti, bahwa dus
”
Karl Marx sendiri di dalam salah satu tulisannya menyata-kan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak otomatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyalah berdiri jikalau
Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan ”keharusan sosial historis” mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme
Padahal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi)
Maka demikian pulalah keadaan kita sekarang ini: Anasir-anasir obyektif untuk pasti menangnya Revolusi Nasional kita telah ada semuanya, telah tersedia semuanya, sebagai yang saya terangkan di muka tadi. Maka berdirilah, hai kawan-kawan semua, di atas anasir-anasir obyektif itu, janganlah menyimpang sedikitpun daripada anasir-anasir obyektif itu, tetapi janganlah pula kurang hebat memobilisir anasir-anasir subyektif yang ada pada kita. Perhebatlah semangat, bulatkanlah tekad sekeras baja, berkorbanlah seikhlas-ikhlasnya, bantinglah tulang dan peraslah keringat, berjoanglah sehebat-hebatnya sehingga gemuruhnya perjoanganmu itu terdengar di lima benua dan di tujuh samudera, – berjoanglah massal semassal-massalnya dengan semangat Persatuan Bangsa yang sehidup-hidupnya. Jangan memprovosir pertentangan kelas di dalam fase sekarang ini, jangan curiga-mencurigai satu sama lain, jangan terpecah-belah satu sama lain, bersatulah, rukunlah, isi mengisilah satu sama lain, kuat perkuatkanlah satu sama lain! Jangan memeluk tangan! Perkawinkanlah anasir-anasir obyektif itu dengan anasir-anasir subyektif secara sedinamis-dinamisnya dan sehebat-hebatnya, buatlah dua pool itu selalu mengelektris satu sama lain sedahsyat-dahsyatnya, – gelorakanlah dinamik Amal Nasional!
Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Henriette Roland Holst (meski beliau sekarang sudah banyak sekali luntur) di dalam bukunya yang terakhir ”
”Ya, het kapitalisme is dood, althans in Europa, evengoed dood als het Tzaristisch-theocratische Rusland dit was in 1927. Het zal niet weder opstaan. Maar wat in zijn plaats komen zal, dat moog in de sterren geschreven of, theologisch uitgedrukt, door Gods ondoorgrondelijk raadsbesluit van eeuwigheid af vastgesteld zijn. Een zachte stem in ons binnenste zegt met een accent van absolute overtuiging:
”
”Wij zijn mest op de velden der toekomst”. ''' O neen, menselijke wezens zijn Dimmer enkel mest. Wij willen de dragers der toekomst zijn, de stenen aandragen tot haar bouw, haar fundamenten leggen.'''
Wij zijn akkers, ook in ons ontkiemt het zaad!”.
''' Artinya:'''
”Ya, kapitalisme memang telah mati, setidak-tidaknya di Eropa, sama matinya dengan Rusia Tzaristis teokratis di tahun 1927. Ia tak akan bangun kembali. Tetapi apa yang akan menggantinya, itu boleh jadi telah tertulis di bintang-bintang atau telah ditetapkan di dalam Luh Mahfudz. Satu suara kecil dalam jiwa kita berkata dengan keyakinan yang pasti: ”Nasib manusia terletak dalam tangan manusia sendiri”, dan kita merasa, bahwa suara itu benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti pertumbuhannya binatang atau tanaman. Pertumbuhan ke arah sosialisme itu meminta pengetahuan yang terang tentang ujud-ujudnya dan cara-cara melaksanakannya, kemauan yang keras dan kebijaksanaan, pengekangan diri dan peniadaan diri ... Keridlaan berkorban untuk keperluan umum; dengan cermat menyebar benih, meski mengetahui, bahwa orang lainlah yang akan memetik buah; – itulah yang perlu. Kita tidak berkata seperti kaum bolshevik Rusia ”Kita ini pupuk tahi sapi saja di ladang-ladangnya hari kemudian”.
O tidak, makhluk manusia bukan hanya pupuk tahi sapi belaka! Kita mau menjadi pemikul-pemikul hari kemudian, membawakan batu-batu yang perlu untuk membinanya, memasang alas-alasnya. Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih!”
Alangkah bagusnya kata-kata penyair ini:
''' Menselijkewezenszijnnimmerenkelmest!'''
''' Wijzijnakkers, ookinonsontkiemthetzaad!'''
– ''' Manusia bukan hanya pupuk tahi–sapi belaka!'''
Kita adalah ladang, ''' di dalam pangkuan kita juga bersemi benih! –'''
– ''' Kita tidak harus sekedar menunggu.'''
''' Kita harus bertindak, berjoang, membangun, membina! –'''
Sekali lagi, kemenangan pasti di pihak kita, '''asal''' kita berjoang sehebat-hebatnya, dan '''asal''' kita berdiri tepat di atas kewajiban obyektif daripada tingkatan evolusi sekarang: Tugas kewajiban Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional, karena masih dalam tingkatan dan periode Nasional. Apakah ini berarti, bahwa kita '''dus''' samasekali '''tidak boleh berangan–angan sosialisme ?''' Tidak boleh menyebar-nyebarkan cita-cita sosialisme?
Tidak boleh berideologi anti kapitalisme?
''' Tidak boleh dari sekarang juga bekerja dan berjoang untuk terlaksananya cita–cita sosialisme ?'''
Sama sekali tidak! Alangkah piciknya orang yang menyangka begitu! Kalau semua hal yang ditanyakan itu tidak boleh, – buat apa saya menulis ini buku? Buat apa saya sendiri Marhaenis? Buat apa saya dengan susah-payah menjelas-jelaskan kepada kaum wanita, bahwa hanya di dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat menjumpai kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna? Buat apa kita telah dari sekarang berikhtiar supaya Negara kita itu satu ”jembatan” antara Negara burgerlijk dan Negara sosialis? Buat apa kita dari sekarang telah mengucapkan perkataan ”kesejahteraan sosial”?
Justru oleh karena saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis ini buku. Justru oleh karena kita mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana
Itulah ”jasa” teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita itu terangkat naik ke tingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu
Semua itu berkat ”jasa” teori sosialisme, sesuai dengan kebenaran bahwa ”tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner”!
Karena itu, sekali lagi saya katakan: piciklah orang yang mengatakan, bahwa karena tingkatan sekarang tingkatan Nasional, orang dus tak boleh berfikir dan berjoang ”sosialistis”. Picik! Sebab perjoangan untuk mendirikan Negara Nasional
Sungguh, berangan-angan sosialisme adalah perlu. Tetapi tidak kurang perlu pula adalah berilmu sosialisme. Siapa yang berangan-angan sosialisme, – di dalam dadanya dapat bersarang satu idealisme yang hidup, satu idealisme yang menyala-nyala, yang dapat mewahyui dia untuk bekerja habis-habisan dengan tiada mengenal lelah, berjoang mati-matian dengan berani menghadapi segala rintangan dan risiko, berkorban seikhlas-ikhlasnya dengan tidak menghitung-hitung untung rugi bagi dirinya sendiri. Ucapan Krishna dalam Bagavad Gita kepada Arjuna, yang berbunyi: ”
Tetapi angan-angan itu janganlah angan-angan yang kosong.
Berapakah tidak, di dalam sejarah dunia ini, tenaga manusia dan jiwa manusia terbuang tersia-sia sebagai sampah, karena mengejar cita-cita yang kosong? Sosialisme yang harus menjadi angan-angan kita itu janganlah ”sosialisme angan-angan”, yaitu janganlah sosialisme
Sosialisme yang demikian itulah yang boleh! Yang boleh diangan-angankan” dari sekarang; yang boleh dicita-citakan dari sekarang; dan yang boleh
Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para pemegang obor, harus memahami ilmu itu. Dapatkah orang memimpin dengan baik, – menunjukkan jalan kepada rakyat, mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga-bekerja dan tenaga perjoangan rakyat, mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan korban yang sesedikit-sedikitnya -, bila orang tidak tahu jalan-jalan apa yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila tidak dengan tuntunan
Dan angan-angan sosialisme serta ilmu sosialisme itu tidak hanya ”baik” buat pemimpin saja, rakyat jelata pula (sedapat mungkin) harus memahaminya. Berilah kursus sebanyak-banjaknya dan sepopuler-populernya kepada rakyat jelata itu. Tetapi terutama sekali
Mereka harus diinsyafkan harga kelasnya, – harus dibuat
Mengetahui arti golongan sendiri dan tidak mau diper-kudakan untuk kepentingan golongan lain, – itulah makna perkataan sadar akan diri sendiri dan berkesadaran kelas.
Tidakkah ”perkudaan” itu sering terjadi, terutama bila perjoangan bersifat perjoangan “nasional”, dalam mana semua golongan dan semua lapisan berjoang bahu-membahu? Dalam perjoangan-perjoangan ”nasional” itu sering sekali
Dan hakekatnya perjoangan nasional di negeri-negeri lain adalah demikian pula.
Karena itu, jagalah jangan sampai rakyat-jelata
Ini sungguh bukan satu kejahatan. Ini bukan mengadu-dombakan golongan dengan golongan, ini bukan (dan jangan!) menghidup-hidupkan perjoangan kelas. lni bukan memecah-belah bangsa.
Salahlah mengkobarkan perjoangan kelas di dalam Revolusi Nasional! Saya selalu mengatakan, bahwa semua golongan dan lapisan di dalam Revolusi Nasional ini harus bekerja bersama-sama menyusun satu
Alangkah sering ditakuti orang, perkataan ”kesadaran diri” ini, jika ditinjau dari sudut kenasionalan! Sering orang berkata: ”Jaga persatuan bangsa, jaga persatuan semua golongan, – jangan massa dibuat sadar akan diri sendiri”. Atau: ”Buatlah masing-masing golongan melupakan kepentingan golongan sendiri, hilangkanlah kesedaran golongan, buatlah semua golongan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja!”. Demikianlah sering sekali diucapkan orang. Terutama, sekali golongan-golongan yang
Sama sekali ”Pro Patria”! ”Untuk tanah air”!
Baris 1.892 ⟶ 1.877:
Tetapi saya harap semua orang yang menghendaki Revolusi kita sekarang ini berjalan pesat dan progresif, mengerti bahwa perlu sekali rakyat jelata kita dibuat sadar akan diri sendiri. Dan, oleh karena itu, saya harap kitapun mengerti perlunya persatuan yang erat dengan rakyat jelata. Terjunlah di kalangan rakyat, bergaul lah dengan mereka, didiklah mereka, berjoanglah dengan mereka dan untuk mereka, – buatlah rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan tindakannya, buatlah Revolusi kita semassal-massalnya, buatlah Rakyat jelata itu betul-betul basis sosialnya Revolusi.
Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separoh daripada politisi kita adalah salon politisi, yang mengenal Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira dapat menyelesaikan Revolusi sekarang ini, meski tingkatannya tingkatan
Terutama sekali
Di sana, di kalangan rakyat murba, di sana, laksana intan yang tiap-tiap hari digosok oleh ribuan pasir lembut, ia dapat membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh reaksioner, dapat makin lama makin menjadi ”sosial revolusioner”, dapat benar-benar menjadi penyala api kancahnya Revolusi. Di sana ia dapat mengajar Massa dan
”Gerakkanlah Massa itu”!
Dan dalam pada menggerakkan massa itu, – dengan membuat mereka sadar akan diri sendiri – , maka kita harus menggabungkan tenaga massa itu dengan
Nasional kita gabungkan tenaga massa itu dengan tenaga kaum intelek Indonesia, kaum alim-ulama Indonesia, dlsb. yang sama-sama anti imperialisme, sama-sama menghendaki kemerdekaan Indonesia, – berkesadaran kelas, tetapi jangan mengobarkan perjoangan kelas, kata saya tadi -, internasional kita hubungkan dengan pergerakan-pergerakan buruh dan pergerakan-pergerakan nasional di negeri-negeri lain.
Dan di atas lapangan internasional ini, kita tidak harus hanya mencari bantuan dari luar, tetapi kalau dapat juga
Rasa persatuan perjoangan sedunia menjadi tebal oleh karenanya, rasa persatuan nasib menjadi lebih rill, rasa menghadapi musuh yang sama menjadi lebih menjelma. Dan rasa
Tetapi ”tidak menggantungkan nasib kepada orang lain” itu tidak boleh berarti, bahwa kita tidak harus insyaf bahwa perjoangan kemerdekaan kita adalah
Dan menjadilah ia satu
Terhadap kepada imperialisme yang bersambung-sambung satu sama lain laksana rantai itu, kita dulu terlalu berjoang secara ”sendiri”. Padahal teranglah sudah, bahwa imperialisme inter-nasional hanya dapat dikalahkan secara internasional. Hanya dapat dikalahkan dengan hantaman internasional!
Dulu, di dalam abad kesembilanbelas, imperialisme belumlah bersambung satu sama lain. Dulu ekonomi belumlah ekonomi dunia, tetapi ekonomi itu dulu bersifatlah ekonomi ”negeri sendiri-sendiri”, ”ekonomi negeri individuil”. Sekarang ekonomi itu telah bersifat
Sekarang perjoangan harus perjoangan internasional.
Baris 1.926 ⟶ 1.911:
Dan sebagai di muka saya katakan, soal kita bukan saja memproklamasikan kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan kemerdekaan itu seterusnya. Di dalam mempertahankan kemerdekaan itu kita lebih-lebih lagi butuh kepada simpati dan bantuan internasional. Perjoangan kita yang berupa pertahanan konkrit, usaha kita di lapangan diplomasi, jerih-payah kita di lapangan pembangunan, semua itu jangan sampai terpencil, jangan sampai kena diisolir, semua itu harus kita usahakan dalam suasana internasional. Tidakkah fihak Belanda selalu mencoba mengisolir pertikaian Indonesia-Belanda ini menjadi satu soal ”dalam negeri”?
Memang banyak sekali orang heran, bahwa justru di
Keterangannya ialah, bahwa dunia imperialisme SEBAGAl SATU KESELURUHAN – dengan ekonominya yang telah ekonomi dunia -, telah masak untuk revolusi. Maka di dalam keseluruhan dari Barat sampai ke Timur, dari Utara sampai ke Selatan yang telah masak untuk revolusi itu,
Dan di mana rantai imperialisme itu paling lemah?
''' Di Indonesia dan di Vietnam.''' Di dua negeri itu imperialisme Belanda di satu fihak dan imperialisme Perancis di lain fihak paling mendapat pukulan-pukulan hebat dari peperangan dunia ke II, di dua negeri itu rakyatnya paling tertindas, paling terhisap, paling jembel, paling dendam dan paling marah. Di dua negeri itu bisul revolusi yang menghinggapi seluruh tubuh imperialisme dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai ke Selatan, paling dulu menjebrot dan memecah! Di dua negeri itu rantai imperialisme terputus, dan oleh karenanyalah maka sekarang semua cincin-cincin rantai itu yang belum terputus lantas bekerja bersama-sama untuk menyambungkan lagi rantai imperialisme itu di tempat-tempat yang terputus itu.
Inilah artinya '''ofensif–umum daripada imperialisme–internasional''' yang sekarang sedang bertubi-tubi di atas tubuhnya Republik Indonesia dan Republik Vietnam, yang kedua-duanya digempur dengan bom dan dinamit, dengan tank dan kapal-udara!
Tetapi terutama rakyat Indonesia mempertahankan diri dengan gagah dan berani. Segenap tenaga nasionalnya dimobilisir, segenap tenaga progresif sedunia dipanggilnya.
Baris 1.948 ⟶ 1.932:
Agak panjang uraian saya tentang beberapa soal yang mengenai perjongan Republik kita. Pokok-pokoknya ialah:
Bahwa fase perjoangan kita sekarang ini ialah fasenya Revolusi Nasional. Dharma kita di dalam fase ini ialah menyusun Kemerdekaan Nasional,
– ”Penuhilah sepenuh-penuhnya segala syarat Revolusi Nasional, perkuatkanlah Negara, – sekali lagi perkuatkanlah Negara -, susunlah persatuan Nasional, kejar dan capailah Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang berdaulat seratus prosen! Isilah Revolusi Nasional ini dengan
''' Tetapi, – apakah kewajiban wanita dalam penyelenggaraan segala hal–hal itu ?'''
Jawab saya adalah tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti, bahwa hanya sosialisme sajalah yang dapat menolong dia, dan karenanya, wanita harus ikut serta dalam penyelenggaraan segala hal-hal yang saya sebutkan sebagai pokok-pokok perjoangan kita itu dengan cara yang sehebat-hebatnya. Tidak saya akan puas dengan ”setengah-setengahan”! Tidak saya akan berhenti, sebelum wanita Indonesia seluruhnya betul-betul ikut aktif dalam Revolusi Nasional dengan isi yang saya maksudkan itu. Pernah saya di waktu masih muda remaja tertangkap hati oleh anjuran Ernest Douwes Dekker (Setyabudi) yang berbunyi:
”Men moet zich geheel geven, geheel! De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder!” – yang artinya: ”Janganlah setengah-setengahan, berilah jiwa-ragamu sama sekali!” – maka anjuran yang demikian itu pula sekarang saya berikan kepada wanita Indonesia di dalam Revolusi kita. Tidakkah segenap macam perjoangan yang saya sebutkan di atas itu pada intinya berarti menyusun hari kemudian
Ah ya, terutama kepada kaum laki-laki saya serukan supaya mengerti betul-betul
”
Tak lain tak bukan, ialah oleh karena pemerintah sovjet siang-siang sekali mengerti, bahwa
Fannina W. Halle menceriterakan tentang hal ini di dalam bukunya yang telah saya sebutkan.
Malah mungkin sekali bahwa pemerintah sovjet siang-siang mengerti pentingnya soal wanita itu, bukan hanya oleh karena ”tahu teori”, yaitu teori yang telah disusun oleh pemimpin-pemimpin wanita tingkat ketiga. Mungkin sekali
Apakah pengalaman itu? Pengalaman itu ialah, bahwa revolusi proletar di Rusia Pusat itu dipelopori oleh
”Kesadaran kelas yang sehat membuat kaum buruh wanita menyokong pemogokan-pemogokan, dan tidak jarang wanita- wanita itu mengorganisir sendiri dan memimpin sendiri pemberontakan-pemberontakan paberik”.
Baris 1.974 ⟶ 1.957:
Demikianlah pernyataan Alexandra Kollontay yang saya baca dalam kitab Fannina W. Halle. Tetapi lebih tegas adalah pernyataan- pernyataan berikut:
”Kaum buruh wanita sudah ikut-serta aktif pada pemberontakan-pemberontakan buruh dalam tahun 1874 di Petersburg di paberik-paberik tenun. Dalam pemberontakan buruh yang termasyhur di Orjechowo Sujewo, di daerah tekstil Wladimir, yang berhasil mencapaikan larangan kerja malam bagi wanita dan kanak-kanak dari pemerintah, maka
Dan bagaimanakah rol wanita dalam revolusi-revolusi Rusia yang kemudian?
Trotzky menceriterakan tentang Revolusi Maret 1917 (di Rusia dinamakan Revolusi
”Adpokat-adpokat dan jurnalis-jurnalis daripada kelas-kelas yang terhantam oleh Revolusi ini tidak sedikit menghamburkan tinta untuk membuktikan, bahwa dalam bulan Februari itu sebenarnya telah terjadi satu pemberontakan
Hari wanita ini berakhir dengan hasil yang memuaskan, dengan semangat, dan dengan tiada korban”.
Baris 1.987 ⟶ 1.970:
” Sebagai angin taufan yang membinasakan segala sesuatu yang mengadang di jalannya, bergeraklah kaum buruh wanita yang telah mata gelap karena siksaannya lapar dan siksaannya peperangan itu.
''' Bangkitnya kaum buruh wanita yang dendam–benci kepada penindasan yang telah ratusan tahun, itulah cetusan api yang menyalakan api revolusi Februari, revolusi yang nantinya meremuk–redamkan Tzarisme sama sekali ”.'''
Dan surat kabar Pravda menulis seminggu kemudian:
Baris 1.995 ⟶ 1.977:
Sebagai akibat larangan itu terjadilah mula-mula perkelahian-perkelahian di paberik-paberik Putilow, yang kemudian menjalar menjadi satu rapat-raksasa, satu revolusi.
''' Hari pertama dari revolusi, – itulah Hari Wanita, hari Internasional kaum buruh wanita.''' Hormat kepada wanita! Hormat kepada Internasionale!
''' Wanitalah yang paling dulu keluar ke jalan–jalan Petrograd pada hari mereka itu.'''
Di Moskow wanita pada hari itu acapkali menentukan sikapnya prajurit-prajurit militer: mereka masuk ke asrama-asrama, menasehati serdadu-serdadu supaya memihak kepada revolusi, – dan serdadu-serdadu itu mengikuti seruannya.
Baris 2.012 ⟶ 1.992:
Fannina Halle menambah pernyataan-pernyataan ini dengan kata-kata berbunyi:
”Maka demikianlah kita melihat wanita Rusia itu di atas jalan yang panjang dan penuh duri, – jalannya Revolusi yang menuju kepada Rusia yang baru: wanita dengan keberanian hati yang sering sekali membuat malu kawan-kawan yang laki-laki, dengan penuh penyerahan jiwa raga, dengan tak takut kepada maut, dengan berjalan di sana-sini di tempat yang
Dan akhirnya bacalah pendapat bapak revolusi Rusia sendiri yang saya cantumkan di bawah ini, yaitu pendapat
”Di Petrograd, dan di Moskow sini, di kota-kota dan di pusat-pusat industri, di daerah-daerah pedalaman, wanita-wanita proletar bersikap dengan cara yang mengagumkan.
''' Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai.''' .. ltulah keyakinan saya. Alangkah beraninya mereka itu dulu, alangkah beraninya mereka itu sekarang! Coba bayangkan segenap penderitaan-penderitaan dan kemelaratan-kemelaratan yang mereka derita. Mereka tahankan semua penderitaan itu, oleh karena mereka menghendaki adanya sovyet, dan oleh karena menghendaki kemerdekaan, menghendaki komunisme.
Ya, sesungguhnya, wanita-wanita proletar kita adalah wanita-wanita pejoang kelas yang amat jempol. Mereka selayaknya harus kita hormati, mereka harus kita cintai!”
Baris 2.024 ⟶ 2.003:
Kulebih-lebihkankah, jikalau aku mengatakan tadi, bahwa revolusi di Rusia Pusat jaya oleh karena dipelopori oleh wanita? Atau setidak-tidaknya: oleh karena wanitanya ikut-serta mutlak dalam revolusi itu?
” ''' Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai!'''
” ... Demikianlah, kata demi kata, – ”woordelijk” -, ucapan Lenin! Maka sebagai saya katakan tadi, mungkin pengalaman di Rusia-Pusat inilah – di samping segala teori – yang menjadi sebabnya pemerintah sovyet pagi-pagi telah mengerti, bahwa buat pembangunan di Rusia Timur yang masyarakatnya masih kolot bin kolot itu, yang paling dulu harus disadarkan, disemangatkan, dibangkitkan, digelorakan, ialah fihak wanita-wanitanya.
Dan itulah mereka kerjakan! Wanita di Rusia Timur mereka ”serbu”. Kemudian: dengan masyarakat wanita yang telah sadar itu, pembangunan umum di Rusia Timur (sudah barang tentu juga dengan masyarakat laki-laki yang disadarkan pula) berjalan-lah dengan pesatnya: pertanian, pengajaran, pemerintahan, pertahanan, peternakan, pengkolektivan,
Dan bagaimana kita?
Ah, apakah barangkali memang benar, bahwa beberapa kekalahan yang kita derita di dalam revolusi kita ini, sebabnya '''antara
Apa sebab fase pertama daripada revolusi kita di Kalimantan belum berhasil memuaskan? Mungkinkah karena
Ah, teringatlah saya lagi kepada mata wanita di belakang tabir dulu itu! Berapa laksa atau keti, mungkin berapa milyun wanita Indonesia, terutama sekali di luar pulau Jawa, masih hidup secara begitu!
Baris 2.038 ⟶ 2.018:
Dapatkah kita berjoang sehebat-hebatnya, membangun sehebat-hebatnya, dengan masyarakat yang berisi milyunan wanita yang begitu itu? Dan di pulau Jawa sendiri, ya, pingitan sudah jauh berkurang atau hampir habis sama sekali, – tetapi berapa prosenkah sudah ikut berjoang secara mutlak, dan dari itu lagi berapa prosenkah berjoangnya dengan penuh faham-kesadaran ?
Banyak golongan-golongan yang harus kita sadarkan dan harus kita kerahkan, banyak lapisan yang harus kita dinamisir. Pemuda, buruh, tani, pegawai, pedagang, alim-ulama, semuanya kita tarik ke dalam kancah, sekarang marilah kita dengan lebih banyak energi lagi mendinamisir pula kaum
Kita, – artinya pemimpin-pemimpin wanita
Sebab, terhadap kepada soal wanita ini, – soal wanita dalam segala seluk-beluknya -, sebenarnya pihak
Sampai di kalangan-kalangan sosialis-sosialis kiri, malahan di kalangan-kalangan komunis, penyakit “patriarchat” ini belum juga sembuh. Bacalah sekali lagi misalnya keluhan Emilia Marabini yang saya sitir di muka itu. Atau bacalah ucapan Lenin di bawah ini:
”Perjoangan komunistis kita di antara kaum wanita, perjoangan politik kita di antara mereka itu harus berisi pula satu bagian besar perjoangan
Saya bukan orang komunis. Tetapi maksud ucapan Lenin yang mengemukakan perlunya pendidikan kepada kaum laki-laki atau pendidikan diri-sendiri oleh kaum laki-laki itu, saya setujui sama sekali. Memang, hantu kecongkakan patriarchat belum mati sama sekali. Umumnya kaum laki-laki (obyektif) masih produknya periode ”pemerintahan kaum lelaki”. Tetapi sekalipun umpamanya
Dengan sengaja saya beri kepada kitab saya ini dua motto ucapan Gandhi dan ucapan Lenin tentang wanita, dan saya cantumkan dua motto itu di kaca yang paling depan, dan di bawah ini buat keempat kalinya lagi, untuk menonjolkan harga wanita itu dalam perjoangan. Perhatikanlah isi peringatan itu benar-benar.
– ” ''' Banyak sekali pergerakan–pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita ”''' – Gandhi.
– ” ''' Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai ”''' – Lenin
Dan kamu, kaum wanita Indonesia, – akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada kaum laki-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjoangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjoangan. Dan di dalam perjoangan yang garis-garis besarnya telah saya guratkan di muka tadi itu, bantu-membantu mutlak antara laki-laki dan perempuan harus diselenggarakan benar-benar. Perkataan saya bahwa syarat mutlak bagi kemenangan Revolusi Nasional ialah Persatuan Nasional, sudah barang tentu juga mengenai perhubungan wanita dan laki-laki. Janganlah di dalam Revolusi Nasional ini wanita misalnya terlalu meletakkan titik berat kepada mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutannya perjoangan membela kemerdekaan Negara dan kemerdekaan Bangsa. Sebaliknya, adakanlah penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya, adakanlah perjoangan
Saya tahu, seribu satu soal-soal cabang daripada soal wanita ini harus kita pecahkan. Saya sendiri telah seringkali ber-musyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia, dan selamanya banyaklah soal-soal cabang yang menjadi acara permusyawaratan itu. Demikian pula sering sekali saya menerima keluhan-keluhan dari kalangan wanita, yang mengemukakan keluhan bermacam-macam ragam. Misalnya soal
Itu sama sekali tergantung dari sifatnya kalangan yang mengemukakan soal itu. Memang masyarakat kita terdiri dari kalangan-kalangan yang
Saya sefaham dengan
”Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku? ... Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan?
Ya, wanita sendiri harus bertindak, wanita sendiri harus berjoang! Tetapi ini tidak berarti, bahwa wanita harus berusaha terpisah sama sekali dari fihak laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda hebat dalam Revolusi Nasional; wanita di dalam Revolusi kita ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanitapun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan! Jangan ada yang memeluk tangan!
Di dalam Revolusi Nasional kita ini semua golongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan ke satu tujuan pula, – jangan ada dua golongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka sejak dari tahun 1928 saya menganjurkan kepada wanita Indonesia untuk
Jikalau umpamanya di Indonesia ini ada bermacam-macam perserikatan-perserikatan wanita atau partai-partai wanita, – entah dari tingkat kesatukah, atau feminiskah, atau neo-feminis-kah, atau sosialiskah, – jadikanlah perserikatan-perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar yang di bawah panji-panjinya sintese program itu menggelombang ke satu arah, ke arah benteng penjajahan, yang harus diremuk-redamkan bersama-sama, dihantam hancur-lebur bersama-sama. Buatlah Revolusi Indonesia ini betul-betul Revolusi
Revolusi Nasional yang Totaliter, dengari isi-isi sebagai yang saya uraikan itu, sebagai pembuka pintu kepada masyarakat sosialisme, – satu-satunya masyarakat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada wanita!
Baris 2.076 ⟶ 2.056:
Apakah ini berarti satu anjuran tersembunyi kepada wanita Indonesia, supaya menjadi anggota daripada mitsalnya ”Partai Sosialis?” Sama sekali tidak! Saya mengharap wanita bergerak, tetapi saya bukan propagandis sesuatu partai. Saya tidak mengutamakan sesuatu partai. Faham sosialisme saya kemuka-kan di dalam kitab ini di dalam artinya yang umum, tidak berhubungan dengan anggapan atau program atau organisasi sesuatu partai. Cita-cita sosialisme memang bukan monopolinya sesuatu partai, bukan milik sendirinya sesuatu golongan manapun juga. Lama sebelum partai-partai yang sekarang ini berdiri, lama sebelum Revolusi kita ini berjalan, ya, lama sebelum perang Pasifik pecah yang memungkinkan Revolusi kita itu meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, – sudah mewahyui nasionalisme kita menjadi sosio-nasionalisme dan demokrasi kita menjadi sosio-demokrasi.
Ya benar, saya memakai perkataan ”sosialisme”, – tetapi pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya sama, yakni satu masyarakat yang berkesejahteraan
Yang di dalamnya tiada eksploatasi manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara, karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit ”retak” yang membingungkan menggilakan kepadanya.
Baris 2.082 ⟶ 2.062:
Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh karena perkataan sosialisme telah lazim, oleh karena saya tak dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh karena dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosia-lisme dan gerakan wanita sosialis di buku-buku lain, – bukan oleh karena saya hendak mengutamakan sesuatu partai. Saya hanya mengharap, bahkan membangkitkan segenap jiwa-ragaku dalam usaha, supaya seluruh rakyat Indonesia laki-laki perempuan, tua-muda, berjoang, berjoang, berjoang dan sekali lagi berjoang, – aktif dan dinamis -, di dalam perjoangan nasional bersama dengan isi-isi tujuan ke arah sosialisme itu, tidak perduli di dalam partai manapun juga atau gerakan manapun juga. Saya mengutamakan keaktifan dan isi keaktifan itu, tidak mengutamakan nama-nama dan formalitas!
Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme, tetapi saya cinta pula kepada sosialisme oleh karena fikiran saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam masyarakat sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat. Saya mengajak segenap wanita Indonesia dan segenap rakyat Indonesia mencintai dan mengejar sosialisme itu (via Revolusi Nasional) oleh karena fikiran saya berkata, bahwa
Dan ... entah ini dimengerti orang atau tidak ... saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah kepada Tuhan. Saya mencintai sosialisme, oleh karena saya cinta kepada Islam. Saya mencintai sosialisme dan
Saja menulis kitab ini melulu buat mengupas soal wanita dan membicarakan kewajiban wanita dalam perjoangan Republik Indonesia. Buat mencoba mencetuskan api idam-idaman jiwaku kepada segenap wanita Indonesia, yang jika tiada mereka tak mungkin kita mencapai kemenangan sosial. Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku ini, buat engkaulah aku menggoyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjoanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu! Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebab sebagai tadipun telah kukatakan, tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!
Baris 2.092 ⟶ 2.072:
Agust Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut namanya di muka tadi, mengunci bukunya ”Die Frau und der Sozialismus” dengan kata-kata:
”Juga di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, – bahwa mereka telah bertetap hati
Jangan satu orangpun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halanganpun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir pasti nanti datang.
Baris 2.100 ⟶ 2.080:
Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kitapun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak memperdulikan soal ”di mana” atau ”kapan” batu-batu tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.
Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi kewajiban kita sebagai manusia, dan dengan keyakinan,
Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada kamu, wanita-wanita Indonesia. Malah saya tambah lagi: bandingkanlah zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-undang Sosialis sekalipun, masih bernama
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.
|