Tiongkok: Pusaran Asia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 13:
Menurut penyelidikan di abad ini, boyongan orang Tionghoa ke Indonesia secara besar-besaran berlangsung baru di abad kedelapan. Mula-mula mereka itu hanya berasal dari daerah [[:w:Fujian|Fuhkien]] (Hokkien) dan [[:w:Guangdong|Kwangtung]]. Kemudian banyak juga orang Tionghoa yang datang dari daerah-daerah sebelah utara Kwangtung. Jumlah mereka yang tinggal di Indonesia di permulaan abad kedua puluh ini kira-kira setengah juta, sekarang ditaksir orang sesudah setengah abad lamanya berkembang menjadi 2,5 juta lebih.
 
Berapakah di antaranya yang menganggap tanah airnya [[:w:Tiongkok|Tiongkok]], dan berapa jumlahnya yang menetap di Indonesia sebagai [[:w:warga negara republikRepublik Indonesia|warga negara republikRepublik Indonesia]], pada waktu menulis kitab ini belum diketahui. Tapi maksud buku ini bukan untuk meninjau [[:w:Tionghoa-Indonesia|bangsa Tionghoa di Indonesia]], melainkan untuk mengarang buku tentang hal-ihwal negeri dan rakyat di Tiongkok yang besarnya seperti benua itu.
 
Bangsa Indonesia mengetahui adanya Tiongkok itu karena ada bangsa Tionghoa di Indonesia, sebab itu kita mulai mendahului isi kitab ini dengan apa yang diketahui oleh bangsa Indonesia tentang Tiongkok itu yakni bangsanya.
 
 
Bangsa Tionghoa di Indonesia terbagi dua, yakni "[[:wikt:singkek|sin-kh'eh" (tamu baru) dan "[[:wikt:peranakan". Kedua golongan itu di Tionghoa sendiri bernama "Hoa Kiao", yakni [[:w:Tionghoa-perantauan]]. Mereka berada di seluruh Indonesia, yang terbanyak di luar Jawa, dan yang paling besar jumlahnya di luar Indonesia, yakni di Semenanjung Malaka, sejumlah 3 juta, lebih dari penduduk asli tanah semenanjung itu. Berhubung dengan keadaan baru, maka bangsa Tionghoa Totok dan peranakan ada sebagian yang jadi warga negara Indonesia, sedang yang tidak masuk itu terhitung bangsa asing.
 
Walaupun banyak jumlah bangsa Tionghoa yang kawin dengan perempuan Indonesia, dibandingkan dengan bangsa lain, dan penghidupannya disesuaikannya dengan keadaan di Indonesia, akan tetapi orang Tionghoa peranakan sebagian terbesar tidak menjadi anggauta masyarakat Indonesia dalam arti sefaham, senasib, sepenanggungan dan seperasaan, terbukti semenjak zaman penjajahan, zaman Jepang, zaman revolusi dan zaman sesudah terbentuk Republik Indonesia yang baru. Hal itu sebagian disebabkan oleh karena perbedaan dalam hal adat-istiadat, agama, bahasa dan huruf. Orang Tionghoa yang pergi ke perantauan tidak membuang bahasanya, hurufnya, kebudayaannya dan sifat-sifatnya, yang membedakan dia dari bangsa lain; mereka tetap memuja nenek moyangnya.
 
Tanah airnya yang besar itu, adalah tempat hidupnya dan berkuburnya nenek moyang mereka itu, tidak mungkin dilupakannya, sebagaimana orang putih tidak dapat melupakan Eropah pada umumya (kecualinya ada). Akan tetapi tanah airnya yang besar itu pun tidak melupakan Hoa-Kiaonya. Bantuan kesusilaan dan kebendaan yang diterima oleh negara Tiongkok dari bangsa Tionghoa di perantauan, dalam segala zaman, baik langsung atau tidak langsung, tidaklah sedikit jumlahnya.
 
Orang Indonesia tertutup pemandangannya terhadap Tiongkok, selama zaman penjajahan, karena perhubungan resmi antara Indonesia, yang di masa itu bernama Hindia Belanda, berlangsung via perwakilan Belanda belaka dan orang Indonesia yang berdagang tidak kesampaian membuka cabang-cabangnya ke banda-bandar Tiongkok. Segala dagang ke Tiongkok berlangsung via [orang] Belanda, Inggeris dan Tionghoa.
 
== Perkenalan Sepintas Lalu ==