Max Havelaar/Bab 1: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Vyasa (bicara | kontrib)
Terjemahkan alinea ke-8
Vyasa (bicara | kontrib)
Terjemahkan alinea ke-9
Baris 18:
Saya ini tengkulak kopi yang tinggal di Lauriergracht no 37. Sebetulnya bukan kebiasaan saya menulis cerita dan sebangsanya, dan lama juga menimbang-nimbang sampai akhirnya memutuskan memesan beberapa <i>riem</i> kertas, dan mulai menulis buku. yang baru saja Anda pegang, pembaca budiman, yang harus dibaca kalau Anda bekerja sebagai tengkulak kopi atau juga atau lainnya. Sebetulnya bukan saya tidak pernah menulis roman atau semacamnya, tapi saya tidak suka membacanya, karena saya ini usahawan. Bertahun-tahun saya bertanya-tanya untuk apa sebenarnya, dan sering terkejut betapa tanpa malu-malunya si pengarang membual tentang sesuatu yang tidak pernah terjadi, dan seringkali tidak mungkin terjadi. Dalam bidang keahlian ''saya'' – saya ini tengkulak kopi yang tinggal di Lauriergracht no 37 – kalau membuat laporan pada penjual kopi dan sedikit saja ada salahnya, seperti isi kebanyakan puisi dan roman, langsung saja ia menghubungi Busselinck & Waterman. Mereka juga tengkulak kopi, tapi alamatnya Anda tidak perlu tahu. Makanya saya selalu berhati-hati untuk tidak menulis cerita atau bertindak tidak jujur. Saya juga sering mengamati kalau orang-orang yang bertindak demikian, akhirnya bernasib buruk. Umur saya empat-puluh tiga tahun, sudah dua puluh tahun berpengalaman di bursa, makanya dapat datang memberi nasehat kalau ada yang mencari orang yang berpengalaman. Saya pernah betulan melihat rumah rubuh! Yang ujuk-ujuknya, saya temukan, disebabkan salah membangunnya di awal.
 
Pedoman hidup saya: ''jujur dan akal sehat'', yang sampai sekarang saya ikuti. Tentu saja saya buat perkecualian untuk ''Kitab Suci''. Salahnya bermula dari Van Alphen, dan juga pada aturan pertama tentang anak-anak. Entah terpengaruh apa tuan tua itu bisa menjadi pengagum saudari saya Truitje yang bermata bintilan, atau saudara saya Gerrit yang selalu sibuk dengan hidungnya. Dan ''toch'', katanya "kalau dia melakukan hal itu karena didorong oleh ''cinta''." Saya sering berpikir semasa anak-anak, "saya ingin bertemu sekali dengan Anda, dan kalau Anda terang-terangan menolak memberi gundu, atau kue ulang-tahun – panggilan saya ''Batavus'' – saya akan menganggap Anda pembohong. Tapi saya tidak pernah bertemu dengan van Alphen. Dia sudah meninggal, sepertinya, ketika ia bercerita kalau ayah saya adalah teman baik saya – saya lebih sayang pada Pauweltje Winser, yang tinggal di sebelah kami di Batavierstraat – dan anjing saya pasti sangat berhutang-budi padanya. Kami tidak memelihara anjing, karena mereka buang air sering sembaranganjorok.
 
Semuanya bohong! Begitulah yang dilakukan dalam pendidikan. GadisAdik baru dibawa ibu penjual sayur asalnya daridalam kol besar. Semua orang Belanda pemberani dan murah hati. Orang Romawi merasa lega karena orang-orang Batav membiarkan mereka hidup. Penguasa Tunisia langsung jatuh sakit kalausenewen diabegitu mendengar Bendera Belanda terlihat berkibar. Bangsawan Alva biadab. Laut surut, tahun 1672 kalau tidak salah, berlangsung lebih lama dari biasanya, khusus untuk melindungi Belanda. Semuanya bohong! Belanda tetap jadi ''Belanda'', karena para pendahulu kita melaksanakan tugasnya dengan baik, dan karena mereka punya kepercayaan yang benar. Itu sebabnya!
 
Dan kemudian muncul berbagai kebohongan lainnya. Setiap gadis adalah malaikat. Siapa yang mencetuskan pendapat demikian, pasti tidak pernah punya saudara perempuan. Cinta adalah berkat. Orang pergi dengan berbagai cara untuk mengejarnya ke ujung dunia. Dunia tidak ada ujungnya, dan cinta juga sebuah kegilaan. Tidak ada yang bisa mengatakan kalau saya tidak bahagia hidup dengan isteri saya – dia adalah anak perempuan dari Last & Co, tengkulak kopi – tidak ada yang bisa menggunjingkan sesuatu tentang perkawinan kami. Saya juga anggota dari ''Artis'', dia mempunyai selendang seharga 92 gulden, dan cinta yang bisa sampai mendorong pergi ke ujung dunia ''toch'' tidak pernah terjadi di antara kami. Saat menikah, kami pergi pesiar ke den Haag – di sana dia membeli kain flanel, dan kemejabaju dalam dari kain itu masih saya pakai sampai sekarang – setelahnya tidak pernah kami jatuh cinta satu sama lain. Kesimpulannya: semuanya omong-kosong dan bohong belaka!
 
Dan mustinya sekarang kehidupan perkawinan ''saya'' kurang bahagia dibandingkan dengan orang-orang lain yang karena cinta sampai terkena TBCparu-paru basah, atau menarik rambut di kepalanya? Atau mungkin pikir Anda rumah-tangga saya berjalan agak kurang lazim dari seharusnya daripada kalau saya sebelum umur 17 tahun sudah menulis puisi pada sang kekasih mengatakan kalau saya ingin menikahinya? Omong-kosong! Saya ''toch'' bisa melakukannya sama bagusnya dengan orang lain, karena menulis puisi itu keahlian, yang jelas lebih mudah ketimbang mengukir gading. Kalau tidak bagaimana ''ulevellen'' <ref>permen terbungkus kertas bertuliskan sajak yang populer di jaman itu</ref> bisa begitu murahnya?-- Frits menyebutnya: "''Uhlefeldjes'': saya tidak tahu, kenapa?--Dan coba sekali-sekali tanya berapa harga bola bilyar!
 
Saya bukannya anti kegiatan menulis puisi. Kalau orang-orang ingin menulis kata-kata bersajak, bagus! Tapi jangan katakan sesuatu yang tidak benar. "''Cuaca tak bersahabat, sekarang jam empat''." Yang ini boleh, selama betul memang ''cuaca tak bersahabat'' dan betulan waktu menunjukkan ''jam empat''. Tetapi kalau waktunya pukul setengah tiga <ref>di teks asli: pukul tiga kurang seperempat</ref>, dapat saya katakan dengan kata-kata biasa tak bersajak: "'' cuaca tak bersahabat dan sekarang pukul setengah tiga''." Si pembuat sajak karena menuliskan ''cuaca tak bersahabat'' di baris pertama lalu jadi terikat dengan jam-jam tertentu. Buat dia lalu harus jam ''empat'', ''tiga kurang seperempat'', dst. saat udara boleh tidak bersahabat. ''Tujuh'' atau ''delapan'' dilarang oleh aturan berpuisi. Dia lalu harus pintar-pintar mengutak-atik kalimat! Entah keadaan cuacanya, atau waktunya harus diubah. Salah satunya lalu tidak lagi benar.
 
Dan bukan hanya puisi yang mengajar generasi muda berbohong. Sekali-sekali pergilah ke gedung teater, dan dengarkan di sana berbagai kebohongan yang disampaikan. Tokoh utama dari pertunjukan diselamatkan dari bahaya tenggelam oleh seseorang yang sedang nyaris bangkrut. Kemudian diberikannyalah setengah hartanya. Hal ini tidak mungkin benar. Saat berjalan di Prinsengracht dan topi saya jatuh ke air <ref>teks Frits yang membandingkan dua kata Belanda ''woei'' ''waaide'' yang bermakna sama tidak dimasukkan dalam terjemahan ini</ref> saya beri orang yang mengembalikannya 10 sen gulden; dan yang bersangkutan senang-senang saja. Saya tahu kalau lebih banyak yang harus diberikan kalau diri saya yang diselamatkannya dari air, tapi jelas tidak mungkin sampai setengah dari seluruh harta. Kalau begitu cukup dua kali jatuh ke dalam air untuk jatuh miskin. Parahnya dari pertunjukan semacam itu adalah penonton terbiasa dengan hal-hal yang tidak benar, menganggapnya bagus dan bertepuk-tangan. Saya pernah tergoda untuk menceburkan seluruh pengunjung teater dari kelas kambing itu ke air, untuk melihat siapa dari yang bertepuk-tangan sungguh serius dengan ide tersebut. Saya yang menyukai kebenaran, wanti-wanti pada siapa saja yang mau menyelamatkan saya dari dalam air kalau tidak akan memberikan sebanyak itu sebagai imbalan. Siapa yang tidak puas karena dapat kurang dari itu, boleh meninggalkan saya dalam air. Hanya hari Minggu saya mau memberi lebih banyak, karena hari itu saya mengenakan rantai jam kantong, dan jubah yang lain.
 
Ya, pertunjukan teater meracunimenyesatkan banyak orang, lebih parah daripada roman. Begitu terang-terangannya! Dengan suasa <ref>emas tiruan</ref> dan pita dari kertas bekas, kelihatan semuanya begitu begitu memukau. Untuk anak-anak, maksud saya, dan juga untuk orang awam. Juga kalau para aktor dan aktris di teater ingin menunjukkan kemiskinan, pertunjukan mereka selalu berpura-pura. Seorang gadis yang ayahnya jatuh bangkrut, bekerja untuk menghidupi keluarga. Baiklah. Kelihatan memang dia menjahit, merajut atau menyulam. Tapi hitunglah berapa jahitan, rajutan atau sulaman yang dia kerjakan selama berperan. Dia berbicara, menghela nafas, berjalan ke jendela, tapi dia tidak bekerja. Keluarga yang bergantung dari kerjanya pasti tidak banyak kebutuhannya. Gadis tersebut tentu saja jadi tokoh pujaan. Dia mengusir beberapa pemujanya di tangga, sambil memanggil: "oh ibuku, oh ibuku!" dan dengan cara demikian memberi contoh teladan. Tokoh teladan apa itu, yang membutuhkan waktu satu tahun untuk menjahit beberapa kaus-kaki wol? Apa ini tidak memberi gambaran yang keliru untuk diteladani, dan "''bekerja untuk mencari penghasilan?''" Semuanya omong-kosong dan kebohongan!
 
Kemudian sang kekasihnya yang pertama muncul – yang sebelumnya pegawai rendahan di percetakan, tetapi sekarang kaya-raya – dan tiba-tiba kembali, dan menikahi si gadis. Lagi-lagi bohong. Siapa yang punya uang, tentunya tidak menikahi gadis dari keluarga miskin. Dan kalau Anda bilang, dalam pertunjukan hal ini boleh jadi perkecualian, tetap saja saya bertahan dengan pendapat itu, bahwa hal tersebut menyesatkan paham kebenaran dalam masyarakat, dan perkecualian dianggap hal umum, dan aturan moral masyarakat dilanggar, dengan cara membiasakan diri mengelu-elukan di pertunjukan, apa yang oleh setiap tengkulak atau pedagang dianggap sebagai ketidaklaziman di ''dunia''. Ketika ''saya'' menikah, kami ada bertiga belas, di kantor ayah mertua – Last & Co –, itu sebabnya!
Dan komt haar eerste minnaar – die vroeger klerk was aan 't kopieboek, maar nu schatrijk – op-eens terug, en trouwt haar. Ook weer leugens. Wie geld heeft, trouwt geen meisjen uit een gefailleerd huis. En als ge meent, dat dit op het tooneel er dóór kan als uitzondering, blijft toch mijn aanmerking bestaan, dat men den zin voor waarheid bederft bij het volk, dat de uitzondering als regel aanneemt, en dat men de publieke zedelijkheid ondermijnt, door het te gewennen iets toetejuichen op het ''tooneel'', wat door elk fatsoenlijk makelaar of koopman voor een bespottelijke krankzinnigheid wordt gehouden in de ''wereld''. Toen ''ik'' trouwde, waren wij op 't kantoor van mijn schoonvader – Last & Co – met ons dertienen, en er ging wat om!
 
 
10: En nog meer leugens op het tooneel. Als de held met zijn stijven komediestap weggaat om 't verdrukte vaderland te redden, waarom gaat dan de dubbele achterdeur altijd vanzelf open? En verder, hoe kan de persoon die in verzen spreekt, voorzien wat de ander te antwoorden heeft, om hem 't rijm gemakkelijk te maken? Als de veldheer tot de prinses Zegt: "''mevrouw, het is te laat, de poorten zijn gesloten''" hoe kan hij dan vooruit weten, dat zij zeggen wil: "''welaan dan, onversaagd, men doe het zwaard ontblooten?''" Want als zij nu eens, hoorende dat de poort toe was, antwoordde dat ze dan wat wachten zou tot er geopend werd, of dat zij een andermaal eens terug zou komen, waar bleef dan maat en rijm? Is het dus niet een pure leugen, als de veldheer de prinses vragend aanziet, om te weten wat ze doen wil na 't poortsluiten? Nog-eens: als 't mensch nu eens lust had gehad te gaan slapen, in plaats van iets te ontblooten? Alles leugens!
 
En dan die beloonde deugd! O, o, o! Ik ben sedert zeventien jaren makelaar in koffij – Lauriergracht, N° 37 – en heb dus al zoo-iets bijgewoond, maar het stuit mij altijd vreeselijk, als ik de goede lieve waarheid zóó zie verdraaien. Beloonde deugd? Is 't niet om van de deugd een handelsartikel te maken? Het ''is'' zoo niet in de wereld, en 't is ''goed'' dat het niet zoo is. Want waar bleef de verdienste, als de deugd beloond werd? Waartoe dus die infame leugens altijd voorgewend?