Dari Sabang Sampai Merauke!: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 21:
| notes =
}}
Yang Mulia Saudara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat!
Baris 36 ⟶ 28:
Saudara-saudara!
Saya mengucap banyak-banyak terima kasih atas pidato Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang bijaksana dan bersemangat itu. Kata-kata yang diucapkan oleh beliau itu memberi keteguhan-hati kepada kita, – memberi keyakinan kepada kita, bahwa
Ya, saudara-saudara, – "
Ya, saudara-saudara! Alangkah banyaknya pengalaman-pengalaman kita dalam lima tahun ini! Alangkah bedanya keadaan, tatkala daerah Republik diserbu, tatkala bendera merah-putih diusir ke hutan-hutan, tatkala bendera si tiga-warna berkibar di istana ini dengan megahnya, dengan keadaan sekarang, yang Sang Merah Putih itu kini melambai-lambai di atas kita, seolah-olah terus-menerus berseru: merdeka, merdeka, sekali merdeka tetap merdeka! Berganti-gantinya pengalaman itu kini meliwati khayal kita laksana satu film yang maha-dahsyat, yang akan tetap terguris dalam ingatan kita. Allahu Akbar! Alangkah dahsyatnya pergantian kejadian-kejadian itu: Proklamasi dengan gegap-gempitanya sambutan di seluruh Indonesia – pertempuran-pertempuran dengan Inggeris – diserbunya pulau-pulau luar Jawa dan Sumatera oleh Belanda – Malino dan Malinosasi – Linggajati – penyerbuan beberapa daerah di Jawa dan Sumatera – aksi militer yang pertama – Renville – serbuan Jogya dan aksi militer yang kedua – gerilya total yang sengit dan seram Berastagi-Prapat-Bangka-kembali ke Jogya – Konperensi Antar Indonesia – Konperensi Meja Bundar – Penyerahan Kedaulatan ke tangan Indonesia – digulung-nya negara-negara dan daerah-daerah-bagian-tercapainya kembali Negara Kesatuan sekali lagi: Allahu Akbar, sedikit sekali bangsa-bangsa di dunia ini yang mengalami sekian banyaknya
Jiwa
"
Apakah hal-yang-satu itu? Tak lain tak bukan ialah Negara Kesatuan, yang tidak terpecah-belah dalam organisasi dan dalam jiwanya. Tak lain tak bukan ialah satuNegara, yang meliputi segenap kepulauan Indonesia ini, "dari Sabang sampai ke Merauke". Tak lain tak bukan ialah satu bentuk ketatanegaraan yang tidak federalistis. Satu Negara Nasional, – satu Nationale Staat! Adakah satuorang Indonesia yang pada 17 Agustus 1945 itu mengenangkan federalisme, berfikirkan federalisme, menyebut-nyebut federalisme?
Dari pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab sampai kepada Marhaen di kampung-kampung, dari orang-orang yang dewasa sampai kepada anak-anak kecil yang sudah sedar, dari kaum-kaum yang paling ekstrim sampai kepada kaum-kaum yang paling lunak, – tidak satu orangpun yang pada waktu proklamasi itu meng-hendaki atau ingat kepada ketatanegaraan yang federal. Semua, semua, berfikir, bercita-citakan, bersemangat unitaristis! Tetapi, – jalan pertumbuhannya
Ya, sudah barang tentu, dalam jalan pertumbuhannya
Coba seandainya tidak ada jiwa-nasional itu, kita sudah lama patah. Coba tidak ada jiwa-proklamasi yang tetap hidup itu, – biarpun kadang-kadang sebagai api di dalam sekam, tetapi hidup, dan tetap hidup, – kita sudah lama bukan saja patah, tetapi mungkin sudah hancur-binasa samasekali! Coba bayangkanlah dalam ingatanmu, saudara-saudara, betapa gelapnya keadaan sesudah: 19 Desember 1948, – bukan saja kita telah dipotong-potong dan telah dibagi-bagi dengan gobét malinosasi dan gobét balkanisasi, bukan saja kita telah berulang-ulang dipukul-dihantam-dilabrak dengan cambuknya kekerasan militer, bukan saja kita telah hampir-hampir tercekék samasekali oleh cekékannya blokade yang amat efektif, – bahkan Jogyakarta dan seluruh daerah Republik digempur dan diserbu. Negaramu dikatakan "sudah tidak ada samasekali", pemimpin-pemimpin-negaramu ditangkap dan dibuang ke pengasingan! Pada waktu itu kita pada zahirnya sudah "als kapot geslagen", pada waktu itu kita pada zahirnya sudah "ajur mumur tanpa ngaran".
Baris 56 ⟶ 48:
Tetapi jiwa-nasional kita tidak "kapot geslagen". Jiwa-nasional kita tetap utuh! Dan aku tahu akan hal itu! Pada waktu aku pada 22 Desember, bersama dengan beberapa kawan lain, diangkut dari Jogyakarta dalam sebuah bomber B-25 dengan tidak tahu hendak dibawa ke mana, dengan tidak tahu hendak dihidupi atau dimatikan, tidak tahu hendak dikurung dalam penjara atau hendak didrél, – pada waktu itu aku, kecuali satu tas kecil yang berisikan sedikit pakaian, tidak membawa apa-apapun melainkan: tawakal kepada Tuhan dan kepercayaan, keyakinan, bahwa jiwa-nasional tidak padam dan – tidak akan padam.
Dan keyakinanku itu ternyata tidak salah! Sejak di Prapat, saya telah mendapat bukti-bukti, bahwa jiwa-nasional itu malahan mulai bangkit dengan cara yang sehebat-hebatnya: Gerilja, sesuai dengan perintah-siasat yang memang telah diberi-kan lebih dahulu, mulai bangkit. Dan gerilya tidak mungkin bisa berjalan dengan tidak adanya jiwa-nasional. Gerilya tidak mungkin bisa berkobar dengan hanya angkatan perang saja. Gerilya tidak mungkin bisa berjalan dengan baik jikalau tidak si Amat dan si Minah, si Suta dan si Naya, si Dadap dan si Waru, ikut-serta mutlak dalam
Saudara-saudara, alangkah besarnya jiwa orang-orang bangsa kita yang pada waktu itu menyabungkan nyawanya dalam
Saudara-saudara!
Baris 66 ⟶ 58:
Ahli sejarah yang termasyhur H. G. Wells pernah berkata bahwa "Anasir terpenting yang menentukan nasibnya sesuatu bangsa ialah kwalitasnya dan kwantitasnya ia punya Kemauan". – "The essential factor in the destiny of a nation lies in the quality and quantity of its will".
Nah, Wil kita itu telah menggumpal, dan tak dapat dipatahkan. Wil kita itu telah membaja, oleh karena Geest kita telah berkobar-kobar dan merata, dan Wil kita itulah pula yang melahirkan Amal-Nasional kita, yaitu Nationale Daad.
Dengan bekal-bekal ini saja sememangnya, – dengan Nationale Geest saja, dengan Nationale Wil saja, dengan Nationale Daad saja yang memuncak kepada gerilya yang total itu -, sememangnya kita akan dapat dan pasti akan dapat mencapai apa yang kita kehendaki dan cita-citakan. Saya tidak pernah ragu-ragu tentang hal itu. Tatkala kami pemimpin-pemimpin disekam di Bangka, tatkala kami dengan macam-macam jalan rahasia dan tidak rahasia mengikuti berlangsungnya
Tetapi, saudara-saudara, juga di dalam
Ya, juga
Zaman Bangka! Zaman dalam mana kami harus mempertimbang-kan: Mana yang engkau pilih: duduk menonton dengan memeluk lutut di atas scraphead, sedang rakyat
Maka kami telah memilih.
Baris 84 ⟶ 76:
Bahkan Crescendo! Terus naik! Terus menanjak! Terus maju ke arah Kesatuan di atas segala lapangan: Tanggal 12 Maret 1950 kita mengadakan peraturan penyehatan keuangan (geldsanering), – semua itu dengan pengaruh besar atas pertumbuhan ke arah tercapainya Kesatuan Ekonomi. Juga kunjungan Presiden ke India, Pakistan dan Burma; kunjungan Romulo ke Indonesia; kunjungan Pandit Nehru ke tanah-air kita; ikut-sertanya Indonesia di dalam berbagai-bagai organisasi internasional, – itupun sangat berpengaruh atas pandangan dunia-luar atas realiteit adanya Kesatuan Indonesia, dan tidak atas adanya perpecahan Indonesia atas daerah-daerah yang kecil!
Saudara-saudara! Manakala saya menggambarkan pertumbuhan-pertumbuhan yang cepat tadi, sebagai akibat politik Tracee Baru dan sebagai buah-hasil gilang-gemilang dari jiwa-nasional yang gilang-gemilang, maka terdengarnya seolah-olah segala sesuatu berjalan dengan licin dan gampang, zonder kesulitan-kesulitan sama sekali. Padahal tidak! Macam-macam kesulitan menghadang di tengah jalan kita di masa yang telah lalu. Tetapi manakah
Ya, memang benar: Bintang Kemerdekaan sulit tertangkap. Memang benar Bintang Kemerdekaan selalu menari berjingklak-jingklak. Kitapun mengalaminya, kitapun merasainya. Kitapun tidak seperti berjalan di Nevsky Prospect, kitapun tidak seperti melalui Boulevard Champs Elysees. Apalagi, tahun yang lalu ini memang tahun peralihan. Dan peralihan adalah selalu sulit; selalu banyak perbuatan-perbuatan yang kurang sabar, selalu banyak persengketaan, selalu banyak kerewelan. Tidakkah masa peralihan dalam hidupnya manusiapun membawa sakitnya tubuh dan pancaroba di dalam jiwa?
Marilah saya terangkan di sini apa yang saya maksudkan dengan kata "masa peralihan" itu: Sungguhpun kedaulatan atas Indonesia telah diserahkan oleh Kerajaan Belanda kepada kita dengan segala upacara pada tanggal 27 Desember 1949, maka likwidasidaripada kekuasaan yang dulu itu tidak selesai serentak di dalam satu-dua hari. Likwidasi itu meminta sekedar waktu. Sebagaimana biasanya, di mana-mana dan sepanjang masa, maka tiap-tiap masa peralihan adalah mengandung dalam pangkuannya: anasir-anasir dari masa yang lalu yang bakal lenyap berangsur-angsur, dan anasir-anasir baru yang sedang muncul, yang perkembangannya barulah selesai-sempurna dalam masa yang akan datang. Maka keadaan inilah yang sering dilupakan; keadaan inilah yang menimbulkan banyak salah sangka, sehingga timbul banyak kerewelan. Karena itu marilah kita insyafi benar keadaan dalam semua masa peralihan. Marilah misalnya kita insyafi benar-benar, bahwa pada hari ini, hari pulihnya Negara Kesatuan, masa peralihan itupun belum berakhir. Janganlah orang menyangka bahwa dengan pulihnya Negara Kesatuan itu, beresok segala sesuatu dengan sekaligus
Ada dua hal yang memberikan corak dan bentuk kepada masa peralihan kita itu. Apakah dua hal itu?
Baris 120 ⟶ 112:
Demikianlah kesulitan-kesulitan kita dalam masa peralihan yang timbul dari likwidasinya sendi-sendi-kekuasaan yang lama sesudah penyerahan kedaulatan ke tangan kita. Sebagai saya katakan tadi, maka masa peralihan ini diberi corak dan bentuk pula oleh lain hal lagi, yaitu proses pergolakan politik pembentukan ketata-negaraan Indonesia sendiri, yang buat sebagian tidak dapat diduga-duga atau diraba-raba lebih dahulu.
Coba perhatikan: Pada mulanya disangka oleh banyak orang, bahwa status-quo Konperensi Antar Indonesia, yang menjadi dasar penetapan Undang-undang Dasar Sementara bagi R.I.S. pada K.M.B., dapat dipertahankan sampai terbentuknya Konstituante. Tetapi apa yang telah terjadi? Demi kedaulatan diserahkan ke tangan kita, demi R.I.S. mulai berkembang, maka timbullah dengan gelora yang hebat di segala daerah di luar Republik gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan yang menuntut supaya negara-bagiannya dibubarkan dan daerahnya digabungkan kepada Republik. Ke Republik! Ke Republik! Ke Negara ciptaan kita sendiri! – Demikian-lah bunyi suara yang pada waktu itu mendengung di mana-mana. Dan atas gerakan rakyat yang aktif itu, maka satu demi satu daerah atau negara itu bergabung kepada Republik, sehingga akhirnya tinggal lagi empat negara atau daerah-bagian saja. Ya, memang sejak penyerahan kedaulatan itu, demokrasi mulai dapat berjalan di beberapa daerah di tanah-air kita, yang tadinya di situ rakyat terbungkem dan tertekan. Negara Indonesia memang negara demokrasi, dan demokrasi berarti kebebasan, – kebebasan berfikir, kebebasan menulis, kebebasan berorganisasi, kebebasan bertindak, kebebasan menuntut
Anarchi ini adatelah terjadi di sana-sini. Tetapi pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa kejadian-kejadian itu sekedarlah satu ekses, – eksesnya demokrasi yang masih muda, dan – eksesnya jiwa nasional yang amat meluap-luap dan berkobar-kobar! Apa sebab orang tak sabar menunggu
Nah, saudara-saudara! Ini hari kita berdiri kembali di bumi Negara Kesatuan. Negara ini harus kita sempurnakan. Ia harus kita perlengkapkan. Ia harus terus kita bangun.Berulang-ulang sudah, saya mengajak saudara-saudara untuk membangun, membangun, dan sekali lagi membangun. Dapatkah Negara menjadi kuat dan lengkap, kalau tidak kita bangun? Dan dapatkah Negara memberi kebahagiaan kepada Rakyat, kalau syarat-syaratnya kebahagiaan itu tidak kita bangun? Dasar yang muluk-muluk dan jaminan yang indah-indah dalam Undang-Undang Dasar saja tidaklah cukup. Si lapar tak akan menjadi kenyang, hanya karena kita memberi kitab Undang-undang Dasar ke dalam tangannya. Tidak!
Baris 128 ⟶ 120:
Yang penting, yang terutama, ialah melaksanakan dasar-dasar yang tertulis dan tak tertulis itu ke dalam praktek, ke dalam usaha, ke dalam amal, ke dalam fi'il pembangunan, sehingga benar-benar terasa oleh rakyat bahwa cita-cita kita bukan hanya cita-cita yang melayang di awang-awang, tetapi benar-benar cita-cita yang dapat direalisir.
Dan untuk mengalihkan cita-cita kita itu dari awang-awang yang tinggi ke dunia yang zahir, perlulah usaha, amal, keringat, yang diperas dengan sepenuh-penuh jiwa. Tidak cukup kita membanggakan tuah di masa yang lalu; tidak cukup kita menyebut-nyebut jasa dalam fase penggempuran kolonialisme dan pemerintahan asing. Masyarakat tidak diam, masyarakat itu senantiasa
Tetapi saya tandaskan di sini, bahwa masyarakat yang sejahtera itu tidak dapat terlaksana, hanya dengan tuntutan-tuntutan saja. Masyarakat yang sejahtera itu harus kita bina, harus kita susun, harus kita bangun, harus kita adakan, harus kita jelmakan. Harus kita jelmakan dengan membanting kita punya tulang, dan mengucurkan kita punya keringat! Ya, kita, kita semua, kita, – ya pemimpin, ya yang dipimpin, ya pegawai, ya marhaen, ya buruh, ya petani, ya yang terpelajar, ya yang awam! Apakah yang dinamakan masyarakat yang "berkeadilan sosial"? Sudahkah sesuatu masyarakat tentu berkeadilan sosial, kalau tidak ada kapitalisme di dalamnya dan ada "sama-rasa-sama-rata" di dalamnya? Tatkala kita masih hidup primitif dalam rimba-rimba dan gua-gua, tatkala pada waktu itu tidak ada kapitalisme di kalangan kita dan adasama-rasa sama-rata di antara kita, – sudahkah pada waktu itu kita hidup dalam masyarakat "keadilan sosial?" Tatkala kita tak mengenal lain kendaraan melainkan kaki kita sendiri, tak mengenal lain penerangan di waktu malam melainkan api-unggun di dalam rimba, tak mengenal lain pakaian penutup aurat melainkan sehelai kulit kayu, tak mengenal lain makanan melainkan akar-akar dan ikan, – sudahkah kita pada waktu itu "berkeadilan sosial", padahal tidak ada kapitalisme, padahal ada sama-rasa-samarata? Tidak! Masyarakat keadilan sosial, kecuali berdasar atas pembahagian bekal-bekal-hidup dan alat-alat-hidup secara adil, adalah berdasarkan pula atas adanya bekal-bekal-hidup dan alat-alat-hidup itu sebanyak-banyaknya. Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga meminta adanya produksi yang secukupnya. Apa yang harus didistribusi, kalau tidak ada produksi yang cukup? Masyarakat keadilan sosial meminta adanya pertanian yang luas dan tinggi mutu; ia meminta adanya paberik-paberik yang berefisient tinggi; ia meminta adanya perhubungan dan perlalulintasan yang mencapai tingkat perfeksi; ia meminta adanya rakyat yang tidak buta huruf; ia meminta adanya teknik dan elektrisitet; ia meminta adanya keamanan dan ketenteraman; ia meminta adanya semangat gotong-royong yang menghikmati seluruh khalayak. Dan semuanya ini tak akan jatuh kant-en-klaar dari awang-awang, tetapi harus diadakan, harus dibuat, harus diwujudkan, harus dijelmakan, tidak oleh satu dua orang, tetapi oleh kita semua, oleh seluruh masyarakat sendiri. Karena itu, maka membangun! Membangun! Membangun! Menjadilah panggilan-masa di waktu sekarang. Saya harap semua pemimpin-pemimpin sedar dalam hal ini, terutama sekali pemimpin-pemimpin yang bercita-citakan masyarakat keadilan sosial. Sungguh, manakala kita di masa yang lalu telah banyak mengucurkan keringat, maka lebih banyak keringat lagi harus kita kucurkan di masa datang. Marilah kita tidak terlalu banyak meminta kepada Ibu. Marilah kita banyak memberi, memberi, memberi, dan sekali lagi memberi kepada Ibu Pertiwi!
Saudara-saudara, janganlah salah faham. Manakala saya mengajak kepada pembangunan, dan selalu mendengungkan panggilan kepada konstruksi dan sekali lagi konstruksi, itu tidak berarti bahwa saya memaksudkan bahwa
Apa boleh buat! Pemuda-pemuda kita buat sebagian masih belum boleh meletakkan bedil dan senapannya! Apa boleh buat, gerombolan-gerombolan bersenjata yang selalu mengganggu keamanan dan kedaulatan Negara, yang tidak mau disanak dan tidak mau memberhentikan aksi-aksinya yang mendurhakai Negara itu, mereka harus digempur dan dilucuti jikalau mungkin, digempur dan dibinasakan jikalau perlu. Apa boleh buat, di dalam fase sekarang ini, sebagian dari pemuda-pemuda kita itu, yang sejak pecahnya revolusi memang setiap hari dan setiap detik telah berkorban dan lagi-lagi berkorban sekarang, sesudah penyerahan kedaulatan, masih harus terus
Ya, apa boleh buat, aksi terhadap Soumokil c.s. pun sekarang sedang berjalan! Berulang-ulang kita mencoba menyelesaikan soal "Republik Maluku Selatan" itu dengan jalan damai, berulang-ulang pula percobaan kita itu ternyata gagal. Ternyata sekarang bahwa harapan kita akan penyelesaian dengan jalan damai itu sama tipisnya dengan harapan bisa
Angkatan perang kita sekarang sedang beraksi di sana itu. Saya mengirimkan saluut kepada angkatan perang kita yang sedang beraksi di sana itu. Aksi ini tidakditujukan kepada rakyat di Maluku Selatan, tidakditujukan kepada rakyat di Ambon. Sebab rakyat di sana itu adalah sama-sama rakyat Negara kita, sama-sama saudara-saudara kita juga. Malahan sesudah angkatan perang kita mengembalikan kekuasaan kita di pulau Buru dan pulau Seram, ternyatalah bahwa rakyat di pulau-pulau itu, dan juga di pulau Ambon, samasekali tidak senang kepada avontuurnya Soumokil c.s. yang khianat itu. Tidak, aksi ini adalah aksi yang semata-mata ditujukan kepada pemberontak-pemberontak, yang berulang-ulang diajak menyelesaikan soal dengan jalan damai, tetapi tidak mau diajak menyelesaikan soal dengan jalan damai.
Baris 154 ⟶ 146:
Jangan mengemukakan lagi alasan "mission sacrée"! Itu alasan sudah berkarat, sudah basi, dan akan ditertawakan orang terbahak-bahak! Sebab dengan alasan "mission sacrée" yang bagaimana muluknyapun, – feit bahwa Nederland masih duduk di Irian itu, membuktikan bahwa Nederland masih satu negara kolonial. Jangan mengemukakan bahwa kekuasaan Nederland harus tetap berada di Irian "ter wille van de democratie", sebab sesuatu bangsa hanya dapat menjalankan demokrasi saja zonder kolonialisme, atau kolonialisme saja zonder demokrasi, tetapi tidak kedua-duanya sekaligus! Kalau benar-benar Nederland adalah satu bangsa yang percaya kepada kemerdekaan, kalau benar-benar Nederland adalah satu bangsa yang "gelooft in de heilige rechten van mens en volk", maka Nederland harus me-merdekakan Irian sekarang juga, sebab orang tidak dapat percaya kepada kemerdekaan tetapi menolak kemerdekaan kepada orang lain.
Lihat, semua alasan-alasan yang saya kemukakan ini tidak menyinggung-nyinggung soal cerdas-atau-tidak-cerdas, Irian-sedarah-dengan-kita atau Irian-tidak-sedarah-dengan-kita, Irian-sudah-akil-balig-atau-Irian-belum-akil-balig, melainkan melulu berdasarkan atas dasar penjajahan atau tidak-penjajahan, kemerdekaan atau tidak-kemerdekaan. Seluruh, – sekali lagi seluruh! – Bekas Hindia-Belanda itu, dari Sabang sampai ke Merauke, harus dimerdekakan dalam lingkungan Negara Indonesia! Ini adalah kewajiban moril Belanda yang mengatakan menyerahkan kedaulatan kepada kita dengan secara mutlak, ini adalah kewajiban nasional kita yang tidak boleh ditawar-tawar! Sebab kita telah bersumpah: sampai ke lebur-kiamat kita akan tetap
Masih kita mengharap yang Irian-Barat dikembalikan kepada kita dalam tahun ini. Masih kita junjung tinggi ketentuan dalam K.M.B., bahwa soal lrian-Barat itu harus diselesaikan dalam tahun ini juga dengan jalan perundingan. Liwat tahun ini, kedua belah fihak tidak terikat lagi kepada ketentuan K.M.B. itu. Sekarang ini sudah pertengahan Agustus, dan tanda-tanda Belanda
Tujuh puluh lima milyun orang berdiri di belakang saya di dalam urusan ini.
Baris 162 ⟶ 154:
Lihat saya bicara di sini di hadapan lautan orang-orang bangsa Indonesia yang tidak seorangpun dari mereka itu tidak menuntut dikembalikannya Irian-Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di hadapan saya berdirilah ratusan ribu rakyat dari segala lapisan dan segala golongan. Di kursi-kursi sana itu duduklah para perwira Angkatan Perang, utusan dari Angkatan Perang kita yang beratus ribu, Angkatan Perang gemblengan dalam masa revolusi. Di sana juga duduklah berpuluh-puluh invaliden, wakil-wakil dari invaliden tentara kita yang masih hidup dan dari pahlawan-pahlawan kita yang ribuan yang telah beristirahat di alam barzah.
Mereka adalah lambangnya kesediaan bangsa kita untuk berkorban, berkorban untuk kebesaran Negara, berkorban untuk tercapainya citacita, dengan bersemboyan lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Di sebelah sana itu adalah duduk wakil-wakil polisi, – juga lambang kebesaran dan keteguhan Negara. Dan di sebelah sini ini duduklah wakil-wakil organisasi rakyat yang mewakili jumlah bukan puluhan ribu tetapi ratusan ribu rakyat. Di sana adalah golongan pegawai, yang satu persatu hanya bertekad suci mengabdi, mengabdi kepada Negara dan cita-cita. Dan di sana lagi wakil-wakilnya guru dan mahaguru, pelopor daripada kehidupan intelek bangsa. Di sebelah itu wakil pemuda dan pemudi, wakil-wakil daripada jiwa yang menyala-nyala, – pecita-cita dan
Manakala saya pada saat sekarang ini berdiri dan berpidato disaksikan oleh semua mereka itu, berhaklah saya berkata bahwa saya berbicara di atas namanya Bangsa. Bukan Sukarno sini yang berbicara, tetapi Bangsa Indonesia lah yang berbicara. Karena itu saya harap, supaya perkataan-perkataan saya mengenai tuntutan pengembalian Irian-Barat itu diperhatikan benar-benar, baik oleh Nederland, maupun oleh negara-negara lain yang ber-goodwill kepada kita.
Ya, saya minta goodwill-nya seluruh dunia atas segala apa yang kita kerjakan di sini di waktu yang akhir-akhir ini dan di waktu yang akan datang. Pemuasan aspirasi-nasional kita sekarang sedang kita ikhtiarkan. Pemuasan aspirasi-nasional kita itu bukan saja bermanfaat bagi bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga memanfaat-kan kepada negeri Belanda, dan memanfaatkan kepada seluruh dunia. Sebab hanya dengan pemuasan aspirasi-nasional kita itulah di sini dapat datang stabilitet politik, dan stabilitet politik itu bermanfaat kepada Indonesia, kepada Belanda, kepada dunia. Janganlah pemuasan aspirasi-nasional kita itu ditentang-tentang, sebab penentangan itu akhirnya toh akan sia-sia belaka. Jalannya sejarah dunia menuju kepada pemenuhan aspirasi-nasionalnya bangsa-bangsa, dan jarumnya sejarah tak dapat dibalikkan lagi oleh siapapun juga. "We cannot escape history",
Saudara-saudara! Agak dengan cara tandas saya membicarakan soal Irian-Barat itu, oleh karena soal Irian-Barat bagi kita memang soal yang amat besar. Kita rasakan soal Irian itu sebagai satu ketidakadilan kepada kita, sebagai satu onrecht yang belum diperbaiki. Segenap jiwa kita tidak tenteram oleh karenanya, segenap jiwa kita laksana hendak mendidih oleh karenanya. Kita sekarang dalam per-sahabatan dan perdamaian dengan Belanda, tetapi – "peace without justice is not peace" – "perdamaian yang tidak berisi keadilan bukanlah perdamaian", demikianlah seorang pujangga telah berkata. Karena itu marilah kita mendo'a moga-moga mata rakyat Belanda akan terbuka melihat kebenaran tuntutan kita itu, agar persahabatan dan perdamaian kita dengan Belanda makin subur.
Nah, saudara-saudara! Sesudah mendengarkan semua uraian-uraian saya di atas itu, lebih jelaslah bagi saudara-saudara bahwa
Dan kepada saudara-saudara kaum buruhpun saya minta supaya ingat bahwa kita ini masih harus menyelesaikan
Dan sekarang, segenap bangsaku, bangkitlah terus,
Berjuanglah terus dalam Persatuan Nasional yang sebulat-bulatnya! Benar kita dalam tahun yang lalu itu mengalami kesulitan-kesulitan; benar kita dalam tahun yang lalu itu mengalami kesedihan-kesedihan seperti meninggalnya Wolter Monginsidi dan Panglima Besar Sudirman yang moga-moga Tuhan memberkati arwah-arwahnya; benar kita dalam tahun yang lalu itu kadang-kadang terlalu berpanas-panasan hati satu sama lain; tetapi dari seluruh pertumbuhan seperti yang saya lukiskan di atas tadi nyatalah dengan senyata-nyatanya, bahwa kita akan benar-benar bersatu kembali, karena kita kuat. Dan sebaliknya, kita Insya Allah akan tetap kuat, karena kita telah menunjukkan dapat bersatu. "Dharma eva hato hanti", – bersatu karena kuat, kuat karena bersatu, – itulah kalimat yang saya tidak bosan-bosan mengulanginya selama Revolusi kita ini. Sebab, memang itulah rahasianya kemenangan, itulah Wahyu Cakraningratnya sesuatu bangsa yang ingin menjadi besar dan ingin menjadi jaya. Maka itu bersatulah! Dan, benar kita dalam tahun yang lalu ini kadang-kadang mendapat tamparan-tamparan dan hantaman-hantaman yang pedih, tetapi janganlah hal itu mendatangkan rasa putus-asa, sebaliknya haruslah malahan menjadi cambuk untuk menggigitkan gigi, – untuk berjalan terus, berikhtiar terus,
Ya, belum ada "journey's end" bagi kita, –
Apa yang dinamakan "semangat proklamasi"?
"Semangat proklamasi" adalah semangat rela
Hanya dengan demikianlah kita pantas bernama satu bangsa yang bertradisi proklamasi, hanya dengan demikianlah kita tidak harus malu kepada diri sendiri manakala kita pada ini hari merayakan proklamasi.
Baris 201 ⟶ 193:
Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka!
[[Kategori:Pidato Soekarno]]
|