Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-IV/2006: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
←Mengganti halaman dengan 'Makamah Tinggi Persekutuan'
Tag: Penggantian Dikembalikan perubahan_terbaru VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Reverted 1 edit by 113.211.111.222 (talk)
Tag: Pembatalan
 
Baris 1:
{{PutusanMK|003|PUU-IV|2006}}
[[Makamah Tinggi Persekutuan]]
<center>
 
PUTUSAN
 
Nomor 003/PUU-IV/2006
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
 
Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh :
 
Ir. DAWUD DJATMIKO, Tempat tanggal lahir, Surabaya, 06 September
1951, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan PT. Jasa Marga (Persero),
Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Perumahan Bumi Mutiara Blok JC-7/2 Desa
Bojong Kulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Telp. 8413630 ext.260.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 2 Maret 2006, memberi kuasa kepada
Abdul Razak Djaelani, S.H. dkk., yang memilih domisili hukum di Kantor Advokat
�JAMS & REKAN� beralamat di Jalan Cibulan Nomor 13-A Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan;
 
Untuk selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------- Pemohon;
 
Telah membaca permohonan Pemohon;
 
Telah mendengar keterangan Pemohon;
 
Telah mendengar keterangan Pemerintah;
 
Telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
 
Telah mendengar keterangan para Pihak Terkait, Jaksa Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Jaksa Tim Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah;
 
Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilam Rakyat Republik
Indonesia;
 
Telah membaca keterangan tertulis para Pihak Terkait Jaksa Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Jaksa Tim Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
 
Telah mendengar keterangan para Ahli;
 
Telah memeriksa bukti-bukti;
 
 
 
DUDUK PERKARA
 
 
 
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat
permohonannya bertanggal 9 Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah), pada
hari Senin tanggal 13 Maret 2006 dan diregister dengan Nomor 003/PUU-IV/2006,
dan telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 17 Maret 2006 yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin tanggal 20 Maret 2006,
menguraikan sebagai berikut :
 
I. DASAR PERMOHONAN
 
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa �Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik,
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum�.
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) menyatakan bahwa
�Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.�
 
 
 
 
3. Pasal 1 angka 3 huruf a UU MK menyatakan bahwa: �Permohonan
adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD 1945�.
4. Pasal 29 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa : �Permohonan diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya
kepada Mahkamah Konstitusi.�
5. Berdasarkan uraian pada hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian materiil terhadap Pasal
2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU PTPK terhadap
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
 
 
 
 
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK, �Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
 
 
2. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU PTPK,
hal ini dapat dilihat dengan adanya peristiwa hukum di bawah ini:
a. bahwa Pemohon telah menjalani proses penyidikan sebagai tersangka
oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia sehubungan dengan dugaan
tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan tanah untuk proyek
pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas Taman
Mini Indonesia Indah-Cikunir, Seksi E-1, yang diduga melanggar Pasal 2
ayat (1), dan/atau Pasal 3 UU PTPK.
 
 
 
 
 
 
b. bahwa Pemohon telah ditahan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia selaku penyidik, mulai tanggal 28 Juni 2005 sampai dengan
tanggal 25 Oktober 2005 di Rumah Tahanan Negara pada Rutan
Salemba Jakarta Pusat Cabang Kejaksaan Agung RI untuk kepentingan
penyidikan.
c. bahwa Pemohon telah ditahan oleh Kejaksaan Agung RI selaku
Penuntut Umum mulai tanggal 25 Oktober 2005 sampai dengan tanggal
14 Nopember 2005 di Rumah Tahanan Negara pada Rutan Salemba
Jakarta Pusat Cabang Kejaksaan Agung RI dan tanggal 14 Nopember
2005 sampai dengan tanggal 12 Januari 2006 di Rutan Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang.
d. bahwa perkara Pemohon dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta
Timur kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur, sebagaimana
disebutkan dalam Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa
Nomor: B.028/01.13/Ft.1/01/2006, tanggal 06 Januari 2006.
e. bahwa Pemohon telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di
persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 17 Januari 2006
dengan dakwaan:
 
 
Primair: �sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat
(1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana�;
Subsidair: �sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo.
Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana�.
 
 
f. Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, khususnya Pasal 2,
ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK tersebut, menurut hemat Pemohon
sangat bertentangan dengan atau melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD
1945;
Bahwa berdasarkan peristiwa hukum di atas, jelas kiranya bahwa
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya telah dirugikan dengan didakwanya Pemohon
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, apalagi terhadap
Pemohon telah dilakukan penahanan sejak tanggal 28 Juni 2005 hingga
sekarang;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
C. PERMOHONAN PROVISI
1. bahwa berdasarkan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang dianggap telah dirugikan tersebut, maka Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memberikan putusan provisi
berupa penghentian sementara pemeriksaan atas diri Pemohon sebagai
Terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam perkara tindak pidana
korupsi sebagaimana dalam registrasi perkara Nomor 36/Pid/B/2006/
PN.JKT.TIM, sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas
permohonan ini.
2. bahwa berhubung adanya permohonan ini, maka Pemohon berpendirian
bahwa adalah selayaknya jika proses persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Timur untuk sementara waktu dihentikan untuk menunggu putusan
Mahkamah Konstitusi atas permohonan ini. Jika sekiranya ternyata
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini, maka dasar dari Jaksa
Penuntut Umum dan Majelis Hakim untuk menuntut dan mengadili
Terdakwa di pengadilan akan menjadi hilang. Pemohon khawatir bahwa jika
sekiranya proses peradilan tetap berlanjut, sementara permohonan ini
diproses maka akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, yaitu
mengingat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat ke depan
(prospektif). Jika sekiranya pemeriksaan terhadap permohonan ini berjalan
bersamaan dan ternyata kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Timur
memutuskan perkara terlebih dahulu, maka akan sangat merugikan
Pemohon. Apalagi jika sekiranya Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
PTPK yang dipersoalkan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, maka Putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan mengikat terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Terakhir adalah tidak pada
tempatnya jika suatu undang-undang yang eksistensinya diragukan tetap
diterapkan dan adalah sangat baik jika penerapan undang-undang yang
diragukan dihentikan sampai hilangnya keraguan atas undang-undang yang
bersangkutan.
3. bahwa UU MK mengandung kelemahan fundamental, yang bukan berupa
pertentangan dengan UUD 1945, karena tidak menyediakan suatu sarana
dalam hal permohonan untuk menguji undang-undang dilakukan
 
 
 
 
bersamaan dengan adanya kasus konkrit yang sedang diproses di
pengadilan lain, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hal ini
merupakan suatu kekosongan hukum yang perlu diisi dalam pemeriksaan
terhadap permohonan ini dan sifatnya hanya berlaku untuk permohonan ini
saja (ad hoc).
4. bahwa sekalipun tidak ada ketentuan dalam UU MK yang mengatur proses
ini, Pemohon melihat bahwa adalah cukup alas hak Mahkamah Konstitusi
untuk mengisi kekosongan yang terdapat dalam UU MK. Pemohon
berpandangan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal dari
Konstitusi. Konstitusi berisi norma-norma yang berisi perlindungan terhadap
hak asasi manusia. Diturunkan dari norma itu, maka Mahkamah Konstitusi
dalam memeriksa suatu pengujian atas undang-undang harus menjaga
agar hak asasi manusia jangan sampai dilanggar atau diabaikan.
5. sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mengajukan
permohonan agar Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan sebagai
berikut:
a. menyatakan bahwa UU MK mengandung kelemahan fundamental, yang
bukan merupakan pertentangan dengan UUD 1945, karena tidak
mengatur tentang pengajuan permohonan pengujian atas undang-
undang yang dilakukan berkenaan dengan perkara yang sedang
diproses di pengadilan;
b. menyatakan bahwa ketiadaan aturan tersebut sebagai keadaan
kekosongan hukum;
c. menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam permohonan pengujian
material ini mempunyai kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut dan membuat rekomendasi yang diperlukan yang sifatnya
mengikat kepada lembaga negara lain yang terkait;
d. merekomendasikan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk
memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, untuk menangguhkan sementara proses
persidangan perkara pidana No. 36/Pid/B/2006/PN.JKT.TIM atas nama
Terdakwa Ir. Dawud Datmiko, yang diikuti dengan penangguhan
penahanan atas diri Pemohon, sampai dengan adanya Putusan
 
 
 
 
 
 
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1),
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15
(sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU PTPK, dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
e. menyatakan putusan provisi ini agar dilaksanakan secara serta merta
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan provisi dimaksud.
 
 
 
 
D. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
Dalam pengajuan permohonan ini, Pemohon tidak menyampaikan dalil-dalil
hukum yang rumit atau teori-teori ilmu hukum yang canggih, karena
menurut hemat Pemohon, apa yang menjadi alasan permohonan ini sudah
sangat jelas dan kuat serta sulit dibantah bahwa Pasal 2 ayat (1), Penjelasan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang
mengenai kata �percobaan�) UU PTPK secara nyata telah bertentangan
terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan �Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.�
 
Adapun alasan-alasan permohonan ini adalah sebagai berikut :
 
 
1. Kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai pengertian ganda.
a. bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyebutkan sebagai berikut :
�Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).�
 
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut:
 
 
 
 
�Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
 
 
 
 
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan
keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan
dengan timbulnya akibat.�
b. Pasal 3 UU PTPK menyebutkan sebagai berikut :
�Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan atau denda paling
sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).�
 
Penjelasan Pasal 3 UU PTPK menyebutkan sebagai berikut :
 
�Kata �dapat� dalam ketentuan tersebut diartikan sama dalam dengan
Penjelasan Pasal 2�
 
Dengan demikian, dengan adanya kata �dapat� pada kedua pasal
tersebut, baik pada Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU PTPK,
mengakibatkan adanya 2 (dua) jenis tindak pidana korupsi yang terdapat
di masing-masing pasal, yaitu:
 
 
a. Suatu tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara (kerugian
negara sudah terjadi secara riil dan nyata).
b. Suatu tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara (kerugian
negara tidak terjadi).
 
 
Kedua tindak pidana korupsi tersebut menimbulkan akibat yang sangat
berbeda dan bahkan sangat bertolak belakang, yaitu:
a. Keadaan dimana keuangan negara atau perekonomian negara sudah
dirugikan atau dengan perkataan lain �keuangan negara sudah
berkurang jumlahnya� akibat tindak pidana korupsi tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
b. Keadaan dimana keuangan negara atau perekonomian negara tidak
dirugikan atau dengan perkataan lain �keuangan negara atau
perekonomian negara masih tetap utuh seperti sedia kala tidak
berkurang akibat tindak pidana korupsi tersebut.
c. Seharusnya kedua tindak pidana tersebut TIDAK BOLEH digabung
dalam satu pasal, melainkan dibuat dalam pasal yang terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri, yaitu :
1) Tindak Pidana Korupsi yang telah merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dengan perumusan (redaksi) sesuai
pasal yang dimaksud.
2) Tindak Pidana Korupsi yang tidak merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dengan perumusan (redaksi) sesuai
pasal yang dimaksud.
 
 
 
 
 
 
 
 
2. Suatu Tindak Pidana Yang Mempunyai 2 Macam Akibat Yang Sangat
Berbeda Diancam Dengan Hukuman Yang Sama.
Ancaman hukuman yang ditentukan terhadap tindak pidana yang telah
merugikan negara maupun yang tidak merugikan negara, adalah sama, yaitu
sebagai berikut :
 
 
a. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK:
 
 
Terhadap tindak pidana korupsi yang telah nyata-nyata merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, maupun yang tidak
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, ancaman
pidananya sama, yaitu adalah sebagai berikut:
�Dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).�
 
 
b. Dalam Pasal 3 UU PTPK:
Terhadap tindak pidana korupsi yang telah nyata-nyata merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, maupun yang tidak
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, ancaman
pidananya sama, yaitu sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
�Dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).�
Kedua pasal tersebut menyamakan ancaman pidana bagi terdakwa yang
telah merugikan negara dan terdakwa yang tidak merugikan negara.
 
Seharusnya besarnya ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi
tersebut harus dibedakan antara satu dengan yang lain. Artinya, terhadap
tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara, ancaman
hukumannya lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana korupsi yang
tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 
 
3. Ancaman Pidana Untuk Percobaan Tindak Pidana Disamakan Dengan
Tindak Pidana Pokoknya.
Pasal 15 UU PTPK menyebutkan, �Setiap orang yang melakukan
percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14�.
 
Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, maka untuk
percobaan tindak pidana korupsi dalam kedua pasal tersebut disamakan
ancaman hukumannya, baik kepada tindak pidana korupsi yang telah nyata-
nyata merugikan negara maupun kepada tindak pidana korupsi yang tidak
merugikan negara.
 
Ketentuan yang menyamakan ancaman hukuman tersebut, secara jelas telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi siapa saja
yang dikenakan dengan ancaman hukuman yang demikian, karena
percobaan tindak pidana korupsi dapat dihukum berat dan dimungkinkan
dijatuhi pidana penjara lebih berat dari tindak pidana (pokok) korupsi itu
sendiri. Padahal dalam percobaan tindak tindak pidana korupsi,
perbuatannya sendiri belumlah selesai, apalagi akibatnya belum ada sama
sekali.
 
Dengan demikian sangat jelas dan tegas bahwa Pasal 15 (sepanjang
mengenai kata �percobaan�) UU PTPK, bertentangan atau melanggar Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 khususnya anak kalimat �kepastian hukum yang adil�.
 
 
 
 
 
 
4. Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3,
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU PTPK
Mengesampingkan Prinsip-Prinsip Yang Universal Tentang Ancaman
Hukuman.
Dalam ketentuan hukum pidana dimanapun di dunia, beratnya ancaman
hukuman dari suatu tindak pidana berhubungan erat dan saling
mempengaruhi dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.
Artinya makin berat atau makin besar kerusakan yang ditimbulkan, maka
makin berat ancaman hukumannya. Demikian pula sebaliknya, makin ringan
atau makin kecil kerusakan, maka makin ringan ancaman hukumannya.
Prinsip tersebut sangatlah adil, manusiawi, dan rasional.
 
Tentu sangatlah tidak adil, tidak manusiawi, dan cenderung irrasional apabila
prinsip tersebut disamaratakan menjadi �apapun akibat yang ditimbulkannya,
berat ataupun ringan akibatnya, ancaman hukumannya sama�.
 
Sebagai contoh Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, maka menurut
prinsip hukum yang baik tersebut menjadi �ancaman pidana untuk
penganiayaan yang menyebabkan luka ringan disamakan dengan ancaman
pidana yang menyebabkan kematian�. Prinsip yang dipakai oleh KUHP
adalah makin berat akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, maka
makin berat ancaman hukumannya, demikian juga sebaliknya.
 
Sebagai contoh konkrit, Pemohon mengambil ketentuan dalam Pasal 351
KUHP tentang �Penganiayaan� dan Pasal 347 tentang �Pengguguran
Kandungan�.
 
Pasal 351 KUHP :
 
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
 
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
 
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
 
Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
 
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
 
 
 
 
 
 
Pasal 347:
 
Ayat (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
 
Ayat (20 Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
 
Bahwa KUHP sudah terbukti dapat dijadikan sebagai undang-undang yang
eksistensinya bermanfaat bagi kepentingan negara dan masyarakat, karena
sangat memperhatikan akibat hukum yang ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana dalam menentukan berat ringan ancaman hukumannya.
 
KUHP membedakan ancaman hukuman antara tindak pidana pokok dan
percobaan tindak pidana. KUHP juga membedakan ancaman hukuman
antara kejahatan dengan pelanggaran.
 
 
5. Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3,
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU PTPK
menimbulkan berbagai penafsiran (multi tafsir).
Karena sangat �luwes�, maka pasal-pasal tersebut di atas menimbulkan
berbagai penafsiran yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya, sehingga menimbulkan kontroversi yang justru berpotensi
menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri.
 
 
a. Unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK :
Unsur-unsur dimaksud adalah sebagai berikut:
 
 
- setiap orang;
- secara melawan hukum;
- memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
 
 
- dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 
 
Melihat unsur-unsur yang terdapat pada pasal tersebut di atas, akan
sangat banyak perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana
korupsi. Walaupun menjadi agak aneh dan kurang tepat apabila
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, namun sulit untuk
membantah bahwa suatu perbuatan telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana korupsi.
 
 
 
 
 
 
b. Unsur-unsur dalam Pasal 3 UU PTPK :
 
Unsur-unsur dimaksud adalah sebagai berikut:
 
- setiap orang;
- menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
- dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 
 
Dari apa yang telah disampaikan di atas memang ternyata bahwa pasal-
pasal tindak pidana korupsi tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran
karena terkesan tidak jelas batasannya, sehingga seolah-olah semua
perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, yang pada
akhirnya menimbulkan keadaan yang serba ragu, serba salah dan dapat
menimbukan �ketakutan�, terutama bagi mereka yang tidak memahami
masalah-masalah hukum.
 
Kondisi di atas tentu secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi kinerja dan produktifitas kerja masyarakat, terutama bagi
mereka yang berhubungan erat dengan keuangan negara atau
perekonomian negara seperti:
 
- Direksi dan karyawan bank pemerintah;
- Direksi dan karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
- Pegawai Negeri Sipil pada umumnya;
- Perusahaan-perusahaan swasta yang mempunyai kaitan bisnis
dengan atau mendapat pekerjaan dari pemerintah;
- dan lain-lain.
 
 
Akibat keraguan dan ketakutan tersebut dapat menyebabkan bank-bank
pemerintah takut mengucurkan kredit atau mengadakan ekspansi.
Perusahaan BUMN takut mengembangkan proyek baru, manager-
manager takut mengambil keputusan, pejabat pemerintah takut
menetapkan kebijakan yang pada akhirnya justru �dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara�.
 
Dengan penjelasan di atas, sebenarnya pemohon hanya ingin
menyampaikan bahwa untuk dapat memberantas korupsi secara berhasil,
perlu adanya ketentuan perundangan yang minimal memenuhi syarat
sebagai berikut:
 
- mempunyai redaksional yang jelas dan terukur dan gampang
dimengerti oleh siapapun;
 
 
- ancaman pidana harus rasional dan proporsional, artinya
ancaman pidananya harus disesuaikan dengan akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan pidana itu sendiri;
- dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
 
 
6. Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan
Pasal 3, Pasal 15 (sepanjang kata �percobaan�) UU PTPK adalah tidak
adil dan cenderung irrasional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak pidana korupsi yang telah merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, BERBEDA dengan tindak
pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Perbedaannya adalah bahwa pada tindak pidana korupsi yang telah
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kerugian negara
secara nyata telah terjadi atau keuangan negara sudah berkurang.
Sedangkan pada tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara,
kerugian negara tidak ada atau keuangan negara masih tetap seperti sedia
kala, tidak berkurang.
 
Antara percobaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana korupsi (yang
telah selesai) juga berbeda. Pada percobaan tindak pidana korupsi,
perbuatan pidananya belum selesai, artinya masih pada tahap percobaan
atau akibatnya belum terjadi. Sedangkan pada tindak pidana korupsi (yang
telah selesai), perbuatan pidananya telah selesai dan akibatnya pun sudah
terjadi yaitu kerugian keuangan negara atau perekonomian negara telah
terjadi secara nyata.
 
Ketiga macam atau variasi akibat tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
�percobaan�) �Undang-undang Tindak Pidana Korupsi�, diancam hukuman
pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
 
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ke-3 (tiga) variasi tindak
pidana korupsi tersebut, dianggap sama nilainya oleh Pasal 2 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1). Hal itu dibuktikan dengan adanya ancaman
hukuman yang sama, karena kalau dianggap berbeda tentu ancaman
hukumannya seharusnya berbeda pula.
 
 
 
 
Menyamakan atau menganggap sama ke-3 (tiga) variasi akibat tindak pidana
korupsi tersebut adalah tidak masuk akal atau irrasional, karena siapapun
yang kita tanya pasti menjawab bahwa ke-3 (tiga) tindak pidana korupsi
tersebut berbeda atau tidak sama.
 
Memaksakan bahwa ketiganya sama, maka hal itu tidak ada bedanya dengan
menyatakan bahwa 5 (lima) ditambah 5 (lima) sama dengan sebelas (11).
 
Sebagai perbandingan, dalam tindak pidana penganiayaan (Pasal 351
KUHP; antara penganiayaan yang menyebabkan luka ringan (ancaman
hukumannya maksimal 2 tahun 8 bulan) dibedakan dengan yang
menyebabkan kematian (ancaman hukumannya maksimal 7 tahun), karena
dianggap keduanya berbeda atau tidak sama.
 
Pasal tersebut masuk akal atau rasional, karena keduanya memang berbeda
dan tentu dapat dibayangkan akibatnya kalau ancaman keduanya
disamakan. Misal, keduanya diancam hukuman antara minimal 2 tahun dan
maksimal 7 tahun. Hal ini memungkinkan penganiayaan yang menyebabkan
luka ringan dihukum 7 tahun, dan sebaliknya yang menyebabkan kematian
dihukum 2 tahun.
 
Suatu ketentuan pidana, disamping harus adil, adanya kesamaan perlakuan
dihadapan hukum, tentunya juga harus logis atau rasional.
 
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat
(1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15
(sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU a quo adalah bertentangan
dengan Pasal 28 huruf D ayat (1) �UUD 1945�.
 
 
7. Pengertian anak kalimat �Kepastian Hukum Yang Adil� dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Asas �kepastian hukum yang adil� berarti bahwa terhadap tindakan pidana
korupsi yang telah mengakibatkan kerugian negara diancam hukuman berat
dan terhadap tindak pidana korupsi yang tidak mengakibatkan kerugian
negara diancam hukuman ringan.
 
Azas �kepastian hukum yang adil�, juga mempunyai arti bahwa orang yang
kesalahannya berat dihukum berat, yang kesalahannya ringan dihukum
 
 
 
 
ringan dan yang tidak bersalah jangan dihukum, sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Apabila Pasal 28D ayat (1) UUD1945 dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1),
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15
(sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU a quo dalam tindak pidana
korupsi yang �dapat� merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, pasti akan bertentangan dengan azas �kepastian hukum yang adil�,
bila:
 
 
a. Ancaman hukuman bagi terdakwa yang tidak merugikan negara, atau
yang melakukan percobaan tindak pidana korupsi; lebih berat, atau
sama dengan ancaman hukuman bagi terdakwa yang telah merugikan
negara.
b. Ketentuan dalam �Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi� memberikan peluang, terjadinya pelanggaran terhadap UUD
1945.
 
 
Seharusnya �Undang-undang Tindak Pidana Korupsi� dapat mencegah
terjadinya pelanggaran terhadap �UUD 1945�, dengan membuat ketentuan
yang dengan tegas membedakan ancaman hukumannya antara tindak
pidana korupsi yang telah nyata merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dengan tindak pidana korupsi yang tidak merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan percobaan tindak pidana
korupsi. Misalnya:
a. Untuk tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, ancaman hukumannya minimal 4 tahun
pidana penjara dan maksimal 20 tahun pidana penjara atau seumur hidup.
b. Untuk tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, ancaman hukumannya minimal 1 tahun pidana
penjara atau maksimal 4 tahun pidana penjara.
c. Untuk percobaan tindak pidana korupsi, ancaman hukumannya minimal 2
tahun pidana penjara atau maksimal 4 tahun pidana penjara.
 
 
Bila setuju pada pendapat �tindak pidana yang tidak sama atau berbeda
akibat yang ditimbulkannya, dapat diancam dengan ancaman hukuman
yang sama�, maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP), tidak perlu membedakan ancaman hukuman bagi seluruh
 
 
pasal-pasal pidana yang terdapat dalam KUHP tersebut, cukup dengan
satu ancaman hukuman saja.
Misalnya: dihukum pidana penjara minimal 4 tahun atau maksimal
seumur hidup, bagi seluruh jenis tindak pidana yang ada dalam KUHP
tersebut.
 
Memang ada orang berdalih dengan menyatakan: �Walaupun ancaman
hukumannya sama, Majelis Hakim yang memeriksa perkaralah yang
berwenang untuk menentukan berat ringannya hukuman bagi terdakwa,
sehingga tidak ada yang salah dengan Pasal-pasal UU PTPK tersebut�.
 
Argumentasi demikian hanyalah suatu jawaban yang kurang fair karena
menghindari pokok permasalahan yang menjadi tujuan permohonan
pengujian materil ini, yaitu tentang adanya pasal-pasal dalam UU PTPK
yang bertentangan dengan azas �kepastian hukum yang adil�, yang
bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut.
 
Jadi yang menjadi pokok permasalahannya adalah mengenai �isi pasal-
pasal� tersebut, bukan mengenai penerapan hukumnya; JADI BUKAN
APA YANG AKAN TERJADI NANTINYA DALAM PRAKTEK
OPERASIONALNYA�
 
 
 
 
II. HAL-HAL YANG DIMOHONKAN
A. Dalam Provisi
Sebelum Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dalam
pokok permohonan, maka Pemohon mengajukan permohonan agar Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memberikan putusan provisi sebagai
berikut:
 
 
1. Merekomendasikan kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung
memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, untuk menangguhkan sementara proses persidangan
dalam perkara pidana dengan register perkara No. 36/Pid/B/2006/
PN.JKT.TIM dengan Terdakwa Ir. DAWUD DATMIKO di Pengadilan
Negeri Jakarta Timur, yang diikuti dengan penangguhan penahanan atas
diri Pemohon, sampai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
 
 
 
 
 
 
�percobaan�) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
2. Menyatakan putusan provisi ini agar dilaksanakan secara serta merta
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan provisi dimaksud.
 
 
B. Dalam Pokok Permohonan
Berdasarkan dasar, fakta-fakta, alasan-alasan dan pendapat sebagaimana
diuraikan di atas, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi memutuskan sebagai berikut:
 
 
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang
mengenai kata �percobaan�) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan terhadap Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2
ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai
kata �percobaan�) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
segala akibat hukumnya.
 
 
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon
telah mengajukan bukti-bukti sebagai berikut :
 
 
 
 
1. Bukti P-1 : Kartu Tanda Penduduk atas nama IR. DAWUD DJATMIKO;
 
2. Bukti P-2 : Surat dakwaaan Reg.Perkara Nomor: Perkara Ods-01/KOR/
JKTTM/01/2006, Perkara Tindak Pidana Korupsi, atas nama Ir.
DAWUD DJATMIKO;
 
3. Bukti P-3 : Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
 
4. Bukti P-4 : Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
 
5. Bukti P-5 : Surat Panggilan Tersangka Nomor: SPT-206/F/F.2.1/05/2004,
tertanggal 11 Mei 2004 atas nama Ir. DAWUD DJATMIKO;
 
6. Bukti P-6 : Surat Nomor: B-280/F/F.2.1/05/2004, tertanggal 11 Mei 2004,
perihal Bantuan Pemanggilan Tersangka, atas nama Ir.
DAWUD DJATMIKO;
 
7. Bukti P-7 : Penetapan Nomor: 388/Pen.Pid/2005/PN.JKT.TIM, tertanggal 09
November 2005, perihal Perpanjangan Penahanan atas nama Ir.
DAWUD DJATMIKO;
 
8. Bukti P-8 : Penetapan Nomor: 422/Pen.Pid/2005/PN.JKT.TIM, tertanggal 12
Desember 2005 atas nama Ir. DAWUD DJATMIKO;
 
9. Bukti P-9 : Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim tertanggal 03 Februari
2005 atas nama Ir. DAWUD DJATMIKO;
 
10. Bukti P-10 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama H. HAMID DJIMAN;
 
11. Bukti P-11 : Perhitungan secara manual mengenai kemungkinan (probabilita),
ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam implementasinya akan tidak adil dan
bertentangan dengan Pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar
Tahun 1945;
 
12. Bukti P-12 : Foto Copy Harian Seputar Indonesia pada hari Senin tanggal 20
Maret 2006 dengan rubrik Tajuk halaman 8 (delapan) kolom 1
(satu) yang berjudul �Menjadikan Hukum �Panglima�;
 
13. Bukti P-13 : Foto Copy Harian Seputar Indonesia pada hari Senin tanggal 20
Maret 2006 dengan rubrik Opini halaman 9 (sembilan) kolom 1
(satu) yang berjudul �Kurikulum Antikorupsi, Perlukah�;
 
14. Bukti P-14 : Foto Copy harian Seputar Indonesia pada hari Senin tanggal 20
Maret 2006 dengan rubrik Opini halaman 8 (delapan) kolom 2 (dua)
yang berjudul �Hukum Kekuasaan, dan Korupsi�;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 18 April 2006 Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Dr. HAMID AWALUDIN telah
memberikan keterangan secara lisan di persidangan dan telah pula menyerahkan
keterangan tertulis yang menguraikan sebagai berikut:
 
I. UMUM
 
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
dan sejahtera perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada
khususnya. Pada saat ini korupsi tidak hanya dianggap masalah suatu negara,
tetapi sudah merupakan masalah transnasional, di samping merupakan "core
crime" yang berkaitan dengan tindak pidana-tindak pidana lain.
 
Di tingkat transnasional korupsi diidentifikasikan dapat meningkatkan
berkembangnya:
 
- perusakan lingkungan hidup;
- tindak pidana obat bius;
- penyelundupan bahan-bahan senjata nuklir, biologis, kimia;
- penyimpangan pajak;
- defisit keuangan negara;
- krisis kepercayaan;
- "capital flight";
- krisis ekonomi;
- destabilisasi pemerintahan;
- ekonomi biaya tinggi;
- disparitas pendapatan;
- menurunkan investasi;
- memperlambat pertumbuhan;
- menggangu anggaran nasional;
 
 
- merusak demokrasi yang dilandasi "trust" dan korupsi merusak
kepercayaan.
 
 
Diidentifikasikan pula bahwa korupsi yang paling berbahaya adalah
"corruption among justice and security officials".
 
Salah satu kesimpulan Forum Global Konferensi Internasional untuk
memerangi korupsi yang dilaksanakan di Washington (2426 Pebruari 1999)
ditegaskan bahwa:
 
"We are on the eve of a new millenium. As never before, the world's people
need officials of their governments to serve them with unquestioned integrity.
Corruption common long co-exist with democracy and the Rule of Law".
 
Seiring dengan perkembangan internasional tentang bahayanya tindak
pidana korupsi tersebut, maka di tengah upaya pembangunan nasional di
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan Iainnya makin meningkat karena perbuatan korupsi telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Untuk itu, upaya pencegahan
dan pemberantasannya perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Dalam rangka
melaksanakan kehendak rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, telah
diundangkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tekad pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberantas korupsi
sesugguhnya telah dimulai sejak tahun 1971 dengan diundangkannya Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Karena Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hukum dalam masyarakat, maka diganti dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Iebih efektif.
 
 
 
Tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara sistematik dan meluas
tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara Iuas, sehingga pemberantasan tindak pidana
korupsi harus dilakukan secara Iuar biasa.
 
Yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban timbul karena :
 
- berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, balk di tingkat pusat maupun di daerah;
- berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milk Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri di daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.
 
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dalam hal
terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim
gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan
sekaligus perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat
yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan
penghargaan.
 
 
 
 
 
 
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dirumuskan secara tegas hal yang sangat penting untuk
pembuktian yaitu dikategorikannya tindak pidana korupsi sebagai delik formil.
Dengan rumusan delik formil, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada
negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diproses secara hukum dan bagi
pelaku tetap dipidana. Upaya lain dalam rangka mencapai tujuan yang lebih
efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-
undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang
sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana
denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan
pidana.
 
 
 
 
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
 
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
 
 
c. badan hukum publik atau privat; atau
 
d. lembaga negara.
 
 
Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
"hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian
dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya
suatu undang-undang, menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat
yaitu :
 
 
 
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
 
 
Menurut Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya Pasal
ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 1 sepanjang mengenai kata "percobaan" Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan. Pemohon dalam permohonannya menganggap
hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya peristiwa hukum sebagai
berikut:
 
1. Bahwa Pemohon telah menjalani proses penyidikan sebagai tersangka
oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia sehubungan dengan dugaan
tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan tanah untuk proyek
pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) ruas Taman Mini
Indonesia Indah Cikunir, Seksi E-1 yang diduga melanggar Pasal 2 ayat
(1) dan/atau Pasal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
2. Bahwa Pemohon telah ditahan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia
selaku Penyidik mulai tanggal 28 Juni 2005 sampai dengan 25 Oktober
2005 di Rumah Tahanan Negara Salemba Jakarta Pusat Cabang
Kejaksaan Agung RI untuk kepentingan penyidikan.
3. Bahwa Pemohon telah ditahan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia
selaku Penuntut Umum mulai tanggal 25 Oktober 2005 sampai dengan
 
 
14 Nopember 2005 di Rumah Tahanan Negara Salemba Jakarta Pusat
Cabang Kejaksaan Agung RI dan 14 Nopember 2005 sampai dengan 12
Januari 2006 di Rutan LP Cipinang.
4. Bahwa perkara Pemohon dilimpahkan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur
kepada Pengadilan Jakarta Timur, sebagaimana disebutkan dalam Surat
Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa Nomor B.028/01.13/
Ft.1/01/2006 tanggal 06 Januari 2006.
5. Bahwa Pemohon telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangar
Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 17 Januari 2006 dengan
dakwaan: Primair : "sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang
Nomor 20 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana".
 
 
Subsidair : ""sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo
Pasii 18 ayat (1) huruf a, b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal
64 ayat (1) KUHPidana".
 
6. Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, khususnya Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menurut Pemohon
sangat bertentangan dengan atau melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Bahwa berdasarkan peristiwa hukum tersebut, Pemohon
menganggap sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya telah dirugikan dengan didakwanya Pemohon
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apalagi
terhadap Pemohon telah dilakukan penahanan sejak tanggal 28 Juni 2005
hingga sekarang.
 
 
Sehubungan dengan dalil Pemohon tersebut, perlu diuji adakah hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dirugikan dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pemohon tidak secara jelas menyebutkan hak dan/atau
kewenangan konstitusional dan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causaal verband) antara kerugian dan berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
 
Kemudian jika Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional Pemohon mana
yang dirugikan? Menurut Pemohon yang bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah dakwaan jaksa yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terhadap dalil Pemohon
tersebut dapat dijelaskan bahwa dakwaan penuntut umum adalah
operasionalisasi suatu norma yang apabila Pemohon keberatan dapat
menyampaikan upaya hukum sesuai dengan hukum acara pidana yang
berlaku. Peristiwa hukum yang dialami Pemohon tidak ada hubungannya
dengan konstitusionalitas suatu norma.
 
Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon menjalani proses penyidikan,
penuntutan, dan proses pemeriksaan di sidang pengadilan yang disertai
penahanan adalah dalam rangka proses peradilan pidana sebagai bagian
dari integrated criminal justice system. Apabila Pemohon mengaitkan dengan
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dapat dijelaskan bahwa selama proses peradilan sedang
berlangsung, maka terhadap Pemohon tetap dianggap tidak bersalah sesuai
 
asas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Asas praduga
tidak bersalah tersebut berlaku untuk setiap orang yang disangka/didakwa
melakukan tindak pidana, tidak hanya terhadap Pemohon. Pemohon dalam
menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dan menjalani penahanan adalah dalam rangka proses
pembuktian terjadinya tindak pidana, dan tidak ada kaitan dengan hak
konstitusional Pemohon.
 
Atas dasar pertimbangan tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa nyata-
nyata tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dirugikan atas keberlakuan Undang-undang aquo, karena pada
kenyataannya peristiwa hukum yang dialami oleh Pemohon justru dalam
rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum
sebagaimana Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
 
Karena itu Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi agar memerintahkan Pemohon untuk membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa
tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh sebab itu kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini
disampaikan argumentasi Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN
1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
 
A. Terhadap permohonan provisi.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Bahwa permohonan
provisi yang disampaikan Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi
berhubungan dengan kelemahan undang-undang, kekosongan hukum,
pengisian kekosongan hukum, rekomendasi penangguhan sementara
proses persidangan pidana, dan penangguhan penahanan yang tidak ada
relevansi dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan penjelasan
tersebut maka permohonan provisi Pemohon harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena tidak termasuk
kompetensi Mahkamah Konstitusi.
 
 
B. Sehubungan dengan pendapat Pemohon dalam permohonannya yang
menyatakan bahwa:
1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan: "Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".
 
 
 
 
 
 
Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang dimaksud dengan "secara melawan
hukum" dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidaksesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
 
Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan
atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
 
 
2. Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan : "Setiap
orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".
Penjelasan : Kata "dapat" dalam ketentuan ini diartikan sama dengan
Penjelasan Pasal 2.
 
 
3. Pasal 15 sepanjang mengenai kata "percobaan".
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: "Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
 
Sehubungan dengan dalil Pemohon tersebut, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
 
1. Pemohon menyatakan bahwa kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 mempunyai pengertian ganda yaitu :
 
 
 
 
 
 
 
 
- Tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara secara
nyata.
- Tindak pidana yang tidak merugikan negara (kerugian negara tidak
terjadi).
 
 
Terhadap dalil Pemohon tersebut dapat dijelaskan bahwa Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 Undang-undang a quo merupakan delik formil.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 3 secara tersurat
menjelaskan bahwa kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan
atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Pembuat undang-undang
secara cermat dan visioner mengantisipasi kemungkinan terjadinya
penafsiran yang berbeda terhadap kata "dapat" dengan memberikan
penjelasan dalam penjelasan pasal demi pasal. Tindak pidana yang
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut merupakan
tindak pidana yang telah selesai, tidak terkandung ketentuan tindak
pidana percobaan.
Hal tersebut terlihat sangat jelas dalam Keterangan Pemerintah di
hadapan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia mengenai Rancangan Undang-undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disampaikan oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1 April 1999 sebagai
pengantar sebelum Rancangan Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah. Dalam
Keterangan Pemerintah tersebut dijelaskan:
 
Pertama dari berbagai pemberitaan baik melalui media cetak dan
elektronik dapat diketahui bahwa aspirasi masyarakat untuk
memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin
meningkat. Hal ini karena dalam kenyataan kasus korupsi telah
menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan negara
dan perkonomian negara yang pada akhirnya menimbulkan dampak
krisis di berbagai bidang yang menjurus menyengsarakan masyarakat.
 
 
 
 
 
 
 
 
Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia perlu ditingkatkan dan di intensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia demi kepentingan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 
Kedua adanya keinginan yang kuat untuk dapat menjangkau
pemberantasan terhadap berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
rumit. Untuk itu norma-norma mengenai tindak pidana yang diatur
dalam Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga mencakup
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi "secara melawan hukum" dalam pengertian delik formil.
Dengan perumusan tersebut pengertian tindak pidana korupsi
mencakup pula perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, seperti perbuatan
kolusi dan nepotisme. Di samping itu, dengan perumusan "secara
melawan hukum" yang mengandung perumusan delik formil
dimaksudkan pula agar lebih mudah memperoleh pembuktian tentang
perbuatan yang dapat dipidana, yaitu perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
 
Hal ini sangat penting karena rumusan tindak pidana korupsi yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam praktek
sering diartikan sebagai delik materiil, yakni delik yang selesai jika
telah timbul akibat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Dengan demikian, apabila pelaku mengembalikan hasil
korupsi yang dilakukan, maka unsur kerugian negara dianggap sudah
tidak ada lagi, sehingga pelaku tindak pidana korupsi tidak diajukan ke
pengadilan atau dipidana. Sebaliknya, dengan delik formil yang dianut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap
diajukan ke pengadilan dan dapat dipidana. Sedangkan pengembalian
hasil korupsi tersebut dapat menjadi unsur yang meringankan dalam
penjatuhan pidana.
 
 
 
 
 
 
 
 
Ketiga perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini
adalah:
 
 
a. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang
sebelumnya, yaitu menentukan ancaman lebih tinggi, menentukan
ancaman pidana minimum khusus dan memuat rincian ancaman
pidana terhadap pasalpasal yang diangkat dari Kitab Undang-
undang Hukum Pidana.
b. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi,
polisi, jaksa, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan
perkara dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank melalui Gubernur
Bank Indonesia.
c. Dalam Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juga terdapat pengembangan ketentuan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana yaitu adanya penerapan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas terhadap perbuatan tertentu dan
juga dalam hal perampasan hasil korupsi. Meskipun demikian
jaksa juga harus dapat membuktikan tindak pidana korupsi (sistem
pembuktian terbalik berimbang).
 
 
d. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juga memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut
berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Di samping itu, diatur pula
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala
bentuk transfer keuangan/kekayaan hasil tindak pidana korupsi
antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif.
Dari keterangan pemerintah tersebut sangat jelas bahwa Pemerintah
mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, mengingat tindak pidana korupsi
tersebut sungguh merupakan suatu kejahatan yang mengancam
 
 
 
 
 
 
 
 
keuangan negara dan perekonomian negara yang pada gilirannya
dapat merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 
 
 
 
4. Menurut Pemohon suatu tindak pidana yang mempunyai 2 macam
akibat yang sangat berbeda diancam dengan hukuman yang sama.
Pemohon berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-
undang a qua menyamakan ancaman pidana bagi terdakwa yang
telah merugikan negara dan terdakwa yang tidak merugikan negara.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat dijelaskan bahwa tindak
pidana korupsi selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
pembuat undang-undang berkehendak membangun sistem yang kuat
dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi. Dengan ancaman
hukuman yang demikian tinggi, diharapkan setiap orang akan
menghindarkan diri untuk melakukan hal-hal yang mengarah pada
tindak pidana korupsi sehingga fungsi preventif ,Undang-undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih efektif;
 
Mengenai masalah dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyamaratakan
ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi yang telah
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan
pelaku tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara adalah tidak benar. Dalam rumusan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 undang-undang a quo dimaksudkan untuk
memberikan kebebasan pada hakim untuk memutus hukuman sesuai
dengan rasa keadilan dalam masyarakat, yakni jika terdakwa dalam
melakukan tindak pidana korupsi tidak menimbulkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara, maka pidana yang
dijatuhkan tidak harus sesuai dengan ancaman pidana maksimum,
melainkan bisa saja hanya ancaman pidana minimum yang dijatuhkan.
 
 
 
 
 
 
Dengan demikian, ancaman hukuman yang tercantum dalam Pasal 2
ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang aquo merupakan ancaman
pidana minimum dan ancaman maksimum yang dapat dijatuhkan oleh
hakim. Hakim dapat menjatuhkan antara batas minimum pidana
(sekurang-kurangnya 4 tahun) sampai dengan batas maksimum
(paling lama hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup atau
hukuman mati). Hukuman pidana (vonis hakim) sangat tergantung
pada pembuktian dan keyakinan hakim yang memeriksa, dan
memutus perkara di sidang pengadilan. Hal ini merupakan
operasionalisasi undang-undang, tidak terkait dengan
konstitusionalitas suatu norma undang-undang.
 
Di samping itu, mengingat bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh
kejahatan tindak pidana korupsi sangat Iuar biasa, maka ancaman
hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang tidak merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara sama dengan ancaman
hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang sungguh-sungguh telah
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 
5. Menurut Pemohon ancaman pidana untuk percobaan tindak pidana
disamakan dengan tindak pidana pokoknya. Pemohon berpendapat
bahwa ancaman hukuman percobaan berdasarkan Pasal 15 Undang-
undang a quo yang menyamakan ancaman hukuman dengan tindak
pidana dalarn Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 undang-undang a quo,
menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan.
 
Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat dijelaskan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat extraordinary crime
dan selama ini telah terjadi di Indonesia secara sistematik dan meluas
serta merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. Oleh karena itu tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara Iuar biasa. Untuk itu, ancaman pidana terhadap
orang yang melakukan percobaan tindak pidana korupsi disamakan
dengan ancaman pidana terhadap orang yang telah melakukan tindak
pidana pokoknya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya
tindak pidana korupsi. Perumusan yang sedemikian itu juga dianut
 
 
 
 
 
 
oleh beberapa undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana
yang digolongkan sebagai kejahatan yang Iuar biasa (extraordinary
crime), misalnya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang mengancam percobaan terhadap tindak pidana
terorisme sama dengan ancaman pidana bagi tindak pidana pokoknya
(tindak pidana terorisme).
 
Dengan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 2
ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 15 sepanjang mengenai kata "percobaan" Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945.
 
 
 
 
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon
kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
 
 
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 sepanjang mengenai kata "percobaan"
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
 
 
 
 
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
 
 
5. Menyatakan Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan
Pasal 3, dan Pasal 15 sepanjang mengenai kata "percobaan" Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap mempunyai kekuatan hukum
dan tetap berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono).
 
Menimbang bahwa DPR yang diwakili oleh NURSYAHBANI
KATJASUNGKANA, SH., telah memberikan keterangan secara lisan di persidangan
dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang menguraikan sebagai berikut :
 
I. MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN
 
Di dalam permohonannya, Pemohon menyatakan:
 
 
a. Dengan berlakunya ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Dampak dari diterapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Patas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam pemberantasan korupsi.
c. Ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
 
 
 
 
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni Pasal 2
ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 15 (sepanjang kata �percobaan�) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal
28D ayat (1) , yang berbunyi sebagai berikut: �Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum�.
 
 
II. Bahwa Terhadap permohonan tersebut kami sampaikan keterangan
sebagai berikut:
I. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing ) Pemohon.
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
 
 
a. perorangan warga Negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
 
 
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan �hak konstitusional� adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan yang dimaksud
dengan �perorangan� termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama.
Menurut Pemohon, Pemohon mempunyai hak sebagai warga negara
untuk memohon kepada Makamah Konstitusi yang (berpotensi) melanggar
hak-hak konstitusional masyarakat atau sekelompok masyarakat. Masalah
penangguhan penahanan termasuk dalam kopetensi peradilan umum bukan
Makamah Konstitusi, karena materi penangguhan penahanan diatur dalam
KUHAP. Dalam hak uji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
tidak mencakup kewenangan untuk penangguhan penahanan selain itu
sesuai dengan Pasal 58 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 yang
 
 
 
 
berbunyi �Undang-undang yang diuji oleh Makamah Konstitusi tetap berlaku
sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
 
Oleh Karena itu ketentuan tentang tindak pidana korupsi berlaku
sebelum undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku menurut
Makamah Konstitusi. Maka Perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah benar
Pemohon sebagai pihak yang hak dan atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
 
Bahwa DPR beranggapan tidak terdapat dan atau telah timbul
kerugian terhadap hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon atas
keberlakuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena apa
yang dimohonkan mengenai penangguhan penahanan tidak termasuk dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasna Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Dengan demikian kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan
pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
 
Berdasarkan uraian di atas maka dalam putusannya menyatakan
permohonan Pemohon ditolak berdasarkan Pasal 56 ayat (5) Undang-undang
Makamah Konstitusi yang menyatakan, �Dalam hal undang-undang dimaksud
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak�.
 
II. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Atas Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
 
 
 
 
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Terhadap permohonan Pemohon dapat disampaikan keterangan sebagai
berikut:
 
Pasal 2 ayat (1); Penjelasan Pasal 2 ayat (1); Pasal 3; Penjelasan Pasal 3
(adanya kata �dapat�).
 
 
1. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Bahwa kata �dapat� sengaja dirumuskan sebagai unsur tindak pidana
korupsi untuk menunjukkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan tindak pidana
formil materiil dalam arti bahwa tindak pidana telah terjadi jika unsur-
unsur tindak pidananya telah terpenuhi dan bukan akibatnya.
 
 
2. Rumusan formil materiil dengan mencantumkan kata �dapat� ini,
dilatarbelakangi oleh kehendak dan aspirasi masyarakat yang sangat
kuat pada waktu itu sebagai salah satu amanat reformasi. Amanat
tersebut kemudian dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Atas dasar
perintah Tap MPR tersebut kemudian telah diundangkan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi yang kemudian
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi.
3. Bahwa unsur-unsur dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang
tersebut dengan sengaja dimaksudkan untuk menjangkau seluruh bentuk
tindak pidana korupsi baik perbuatan yang merugikan keuangan negara
maupun yang tidak merugikan keuangan negara. Hal ini bersesuaian
dengan anggapan yang telah diakui oleh masyarakat internasional bahwa
tndak pidana korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa
(extraordinary crimes). Maka dalam penanganannya, pada tahap
penyelidikannya maupun penyidikan harus dilakukan secara luar biasa
pula. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera (deterrence effect)
 
 
 
 
terhadap seluruh warga masyarakat baik itu pengusaha, pejabat dan
seluruh anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
4. Dalam ketentuan Pasal 2, terdapat 3 unsur yaitu �setiap orang�, �secara
melawan hukum� kemudian �melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi� yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dari rumusan delik materiil
formil pada Pasal 2 tersebut, maka sanksi sudah dapat dijatuhkan jika
unsur melawan hukumnya telah dipenuhi. Hal ini juga ditegaskan dalam
Pasal 4 UU tersebut yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian
keuangan Negara tidak menghapuskan unsur pidananya.
5. Kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, penekanannya
sebenarnya pada aspek pencegahan (deterrence) dan upaya shock
therapy bagi masyarakat luas, selain dimaksudkan untuk merumuskan
delik secara formil. Selain itu penggunaan kata �dapat� dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3, didasarkan pada adanya keinginan kuat untuk
memberantas tindak pidana korupsi dan memberikan peringatan kepada
semua orang untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi serta untuk
meminimalisir baik secara kualitatif atau kwantitatif atau mencegah
adanya potensial lost.
6. Kata �dapat� dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) merupakan kata yang tidak
berdiri sendiri tapi merupakan satu kesatuan dengan frase selanjutnya
yaitu merugikan keuangan negara oleh karena itu harus dibaca dalam
satu kesatuan arti. Unsur memperkaya diri sendiri itu mengandung
pengertian bahwa penggunaan keuangan Negara tidak diperuntukan
untuk kepentingan penyelenggaraan Negara tetapi untuk kepentingan diri
pelaku tindak pidana korupsi.
7. Pemahaman kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) sedikit berbeda dengan
Pasal 3. Kata dapat pada Pasal 3 lebih menunjukkan pada
menyalahgunakan wewenang (abuse of Power). Pengertian
menguntungkan tidak identik dengan penambahan harta kekayaan tetapi
dapat berupa memperoleh kenikmatan atau keuntungan yang bersifat
materil atau imateril berupa fasilitas dan kemudahan untuk melakukan
sesuatu tindakan. Jadi dengan demikian titik berat yang dipidana dalam
Pasal 3 ini adalah penyalahgunaan wewenang melakukan perbuatan
 
 
 
 
melawan hukum yang memperkaya diri sendiri dengan menggunakan
kekayaan negara.
8. Suatu perbuatan yang tidak diatur atau tidak melanggar peraturan
perundang-undangan tapi karena perbuatan itu tercela maka kata �dapat�
disini merupakan penjelasan dari pembentuk undang-undang kepada para
pelaksana undang-undang dalam hal ini polisi dan jaksa. Dalam praktek
sering kali unsur-unsur melawan hukum dari cara-cara perbuatan korupsi
yang sangat tercela dimasukkan kedalam unsur melawan hukum.
9. Dalam kasus-kasus yang menyangkut anggota DPRD, unsur perbuatan
melawan hukum ini diperluas pengertiannya menjadi perbuatan yang tidak
etis atau tercela dengan membandingkan upaya peningkatan kekayaan
atau pendapatan para anggota DPRD dan atau pejabat eksekutif lainnya
dengan kemiskinan rakyat yang diwakilinya atau yang dipimpinnya.Jadi
yang dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela adalah bahwa
para anggota DPRD itu dianggap telah memutuskan anggaran yang
berdampak pada keadaan memperkaya dirinya sendiri padahal
pendapatan yang diterima telah sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal
ini yang dimaksud oleh penjelasan pembuat undang-undang untuk
memberikan pandangan yang lebih luas dari apa yang ditulis pada Pasal
2 mengenai apa yang dimaksud dengan melawan hukum tapi juga bagi
penegak hukum untuk memperluas arti penafsiran melawan hukum yang
tidak hanya terbatas pada melanggar hukum tertulis tapi juga melanggar
rasa keadilan masyarakat.
 
 
Pasal 15 (sepanjang kata �percobaan�)
1. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat extraordinary
crime yang selama ini telah terjadi di Indonesia secara sistematik dan
meluas serta merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat. Oleh karena itulah maka ancaman pidana terhadap
orang yang melakukan �percobaan� tindak pidana korupsi disamakan
dengan ancaman pidana terhadap orang yang telah melakukan tindak
pidana tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah secara dini
dilakukannya tindak pidana korupsi. Kebijakan untuk menyamakan
ancaman pidana bagi �percobaan� sama dengan tindak pidana selesai
dilakukan dalam pasal tersebut juga dianut oleh bebarapa undang-undang
 
 
 
 
yang mengatur tindak pidana yang digolongkan sebagai kejahatan luar
biasa (extraordinary crime), misalnya Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2. Selain itu kriminalisasi pelaku percobaan tindak pidana korupsi pada
Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sejalan dengan Pasal 27
ayat (2) UN Conventions against Corruption, 2003, yang telah diratifikasi
menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.
Pasal 27 ayat (2) UN Conventions against Corruption, 2003, berbunyi ;
�masing-masing negara pihak dapat mengambil tindakan-tindakan
legislative dan lainnya sedemikian sebagaimana dianggap perlu untuk
menetapkan sebagai pelanggaran pidana sesuai dengan hukum
internalnya, percobaan apapun untuk melakukan suatu pelanggaran yang
dilakukan sesuai dengan konvensi ini�.
 
 
3. Delik �percobaan� sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dikategorikan
sebagai end casuality of delict, yakni dianggap merupakan delik yang
selesai. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Sudarto yang menyatakan
bahwa: perbuatan percobaan dipandang sebagai
Tatbestandusdehnungsgrund yakni suatu tindak pidana yang merupakan
satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik
yang tidak sempurna, tetapi merupakan delik yang sempurna atau delik
tersendiri (delictum sui generis) hanya dalam bentuk yang
khusus/istimewa.
4. Menyamakan perbuatan percobaan dengan perbuatan pidana yang
selesai bukanlah sesuatu yang asing dalam sistim hukum pidana kita
sebagaimana dapat kita lihat pada beberapa contoh delik �percobaan�
dalam KUHP adalah delik makar (aanslagdelicten) dalam Pasal 104, 106,
dan 107.
5. DPR sebagai pembuat undang-undang berpendapat bahwa perubahan
dan penggantian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sangat diperlukan
karena kondisi korupsi sudah merajalela yang sangat merugikan
keuangan negara. Tindak pidana korupsi terjadi tidak hanya di pusat
tetapi diseluruh jajaran pemerintahan sampai di daerah, oleh karena itu
pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara sunguh-sungguh
dan karenanya pardigma baru harus digunakan dalam UU yang baru ini
 
 
 
 
antara lain dengan memberi penegasan bahwa percobaan melakukan
tindak pidana korupsi disamakan dengan tindak pidana korupsi itu sendiri.
6. Pasal 15 merupakan aturan khusus hal ini dapat dilihat pada
penjelasannya yang menyatakan �Ketentuan ini merupakan aturan khusus
karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana
pada umumnya dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidananya�.
Selain itu pada Pasal 15 dan penjelasanya justru memberi kepastian
bahwa perbuatan percobaan disamakan dengan perbuatan selesai. Oleh
karena itu persoalanya tidak terlihat pada asas kepastian hukum yang adil
tapi terlihat pada asas dan rasa keadilan yang merupakan ranah
pelaksanaan hukum dalam arti setelah mempertimbangkan bukti-bukti
yang cukup dan adanya keyakinan hakim.
7. bahwa meskipun Pasal 2 dan 3 UU ini telah dirumuskan secara formil
namun UU ini hendak menjerat semua orang yang tidak saja melakukan
korupsi tapi juga yang berniat atau mencoba melakukannya. Dengan kata
lain bahwa rumusan Pasal 15 diperlukan untuk membentuk sebuah
budaya anti korupsi pada semua kalangan dan lapisan masyarakat dan
bertujuan pula untuk membentuk suatu kepribadian bahwa seseorang
haruslah jujur sejak dalam pikirannya.
 
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 Mei 2006 telah didengar
keterangan Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (untuk selanjutnya disebut
Jaksa KPK) dan Jaksa dari Kejaksaan Agung dalam hal ini Tim Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Jaksa TIMTASTIPIKOR) selaku Pihak Terkait, yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Jaksa KPK
 
 
1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UUMK, Mahkamah
mempunyai kewenangan untuk menguji ketentuan Pasal 2 ayat (1) Penjelasan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang
mengenai kata �percobaan�) UU a quo terhadap UUD 1945, sehingga oleh
Karena itu Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadli dan memutus
permohonan a quo oleh Pemohon;
2. Diberlakukannya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU a quo terhadap Pemohon
yang diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sama sekali tidak
 
 
 
 
menimbulkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Apabila dalam proses penegakan hukum terdapat tindakan yang merugikan hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, maka atas kerugian tersebut
Pemohon seharusnya tidak mengajukan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya,
karena kerugian yang timbul tersebut adalah masalah penerapan hukum acara
pidana yang merupakan kompetensi Peradilan Umum;
3. Sesuai dengan Pasal 58 UUMK menyatakan bahwa undang-undang yang diuji
oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusun yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Maka dengan adanya
Pasal 58 tersebut, justru untuk menghindari adanya kekosongan hukum akibat
adanya pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang mana secara tegas
dinyatakan undang-undang yang sedang diuji tetap masih berlaku;
4. Berdasarkan UUMK dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-undang, permohonan
provisi tidak dikenal sehingga tidak dapat dimintakan dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
5. Pemohon telah keliru menafsirkan arti kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU a quo. Pengertian kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU a quo secara otentik tercantum dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1), sehingga
tidak perlu ditafsirkan lagi;
6. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU a quo, maka kata
�dapat� bukanlah mengakibatkan adanya 2 (dua) pengertian tindak pidana
sebagaimana disampaikan oleh Pemohon, yaitu mempunyai pengertian ganda,
melainkan pengertian hanya merupakan 1 (satu) tindak pidana, yaitu perbuatan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan
pengertian termasuk kerugian keuangan yang belum terjadi namun berpotensi
menimbulkan kerugian keuangan negara;
7. Dilihat dari segi pembuatan undang-undang (legal drafting), rumusan delik
tersebut hanya tercantum dalam 1 (satu) kalimat dalam 1 (satu) pasal (untuk
Pasal 3) sehingga tidak dapat diartikan ada pengertian ganda atau 2 (dua) delik
dalam masing-masing rumusan pasal tersebut;
8. Dari masing-masing rumusan kedua pasal tersebut, jenis/kualitas dari perbuatan
tindak pidana adalah satu walaupun akibat yang ditimbulkan kemungkinannya
 
 
 
 
ada dua, namun tidak berarti ada dua jenis/kualitas tindak pidana yang berbeda,
yaitu tindak pidana yang telah merugikan keuangan negara dan tindak pidana
yang tidak merugikan keuangan negara. Mengingat dari kedua penjelasan pasal
tersebut secara tegas dinyatakan sebagai delik formil, yang mana walaupun
secara nyata kerugian keuangan negara itu belum terjadi, namun dari perbuatan
tersebut apabila telah dapat dibuktikan adanya potensi terjadinya kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara, maka perbuatan itu telah
memenuhi rumusan tindak pidana dimaksud;
9. Pencantuman ancaman pidana oleh pembuat undang-undang dalam pasal
tersebut adalah sudah tepat, karena rumusan tersebut tidak mengandung dua
jenis/kwalitas perbuatan melainkan hanya satu jenis/kualitas tindak pidana,
Pemohon yang telah keliru menafsirkan bahwa dari masing-masing pasal
tersebut mempunyai dua pengertian (pengertian ganda);
10. Dengan demikian dalam suatu kasus/perkara korupsi baik yang telah terjadi
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara maupun yang berpotensi
terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, maka
pemidanaannya (berat ringannya pidana) diserahkan kepada hakim yang
memutus perkara itu sesuai dengan hukum pembuktian yang berlaku, sehingga
pemidanaan yang dipermasalahkan oleh Pemohon tersebut merupakan ruang
lingkup dari implementasi/penerapan suatu undang-undang;
11. Dalam Penjelasan Umum UU a quo menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi
dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting
untuk pembuktian. Ketentuan dalam penjelasan tersebut dapat dipahami karena
pembentuk undang-undang menyadari bahwa dalam praktek peradilan
sebelumnya berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971, tindak pidana korupsi
menjadi sulit pembuktiannya, karena terdapat rumusan Pasal 1 ayat (1) huruf a
UU a quo sebagai delik materiil, yang mana kerugian negara atau perekonomian
negara yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sudah nyata-nyata
terjadi, mengakibatkan para pelaku tindak pidana korupsi sering lolos dari jeratan
hukum, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat;
12. Berdasarkan histories (sejarah perundang-undangan) dan teleologis (tujuan
pembentukan undang-undang), maka terjadi perubahan fundamental dari
rumusan undang-undang tindak pidana korupsi yang lama (Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971) yang membedakan adanya tindak pidana korupsi sebagai
 
 
 
 
delik materiil, yaitu Pasal 1 ayat (1) huruf a dan tindak pidana korupsi sebagai
delik formil, yaitu Pasal 1 ayat (1) huruf b;
13. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU a quo tidaklah diartikan adanya 2
(dua) jenis tindak pidana pada setiap pasal, melainkan setiap pasal hanya ada 1
(satu) jenis/kualitas tindak pidana. Pengertian kata �dapat� dalam rumsuan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3, tidak berarti ada tindak pidana korupsi yang telah terjadi
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dan ada yang tidak terjadi
kerugian keuangan negara atau perekonoian negara;
14. Pengertian kata �dapat� semata-mata untuk menyatakan bahwa tindak
pidana/delik tersebut adalah tindak pidana formil, yang mana tidak perlu
perbuatan tersebut telah nyata-nyata berakibat terjadinya kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara, melainkan sudah cukup kalau perbuatan
tersebut nyata telah dapat (berpotensi) terjadinya kerugian keuangan negara;
15. Tidak ada yang keliru atau salah dalam pencantuman ancaman pidana pada
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 oleh pembuat undang-undang;
16. Penyamaan ancaman pidana antara percobaan dan delik selesai yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang telah memberikan kepastian hukum yaitu
siapapun yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
UU a quo, akan diancam dengan pidana yang sama;
17. Tujuan pemidanaan dalam suatu tindak pidana adalah dimaksudkan untuk
menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan melindungi kepentingan umum.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, perlindungan hukum terhadap
kepentingan umum (masyarakat) karena akibat dari kejahatan korupsi
sebagaimana telah diuraikan Jaksa, sangat merugikan, tidak saja merugikan
keuangan negara tetapi juga telah merugikan hak-hak ekonomi dan sosial
masyarakat;
18. Sebagai a tool of social engineering (alat perekayasa masyarakat) maka
pembuat undang-undang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan
semangat untuk melakukan pemberantasan korupsi dapat dan dibenarkan untuk
membentuk ketentuan yang khusus termasuk memberikan sanksi, ancaman
pidana yang sama antara perbuatan percobaan dan perbuatan selesai pada
kejahatan tindak pidana korupsi;
19. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana, baik yang termuat dalam KUHAP
maupun dalam doktrin hukum pidana, pencantuman ketentuan ancaman pidana
 
 
 
 
secara khusus adalah dibenarkan sesuai asas lex specialis derogate legi
generali;
20. Dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU a quo
ancaman pidana terhadap percobaan melakukan tindak pidana korupsi diancam
dengan hukuman yang sama dengan tindak pidana yang telah selesai. Sehingga
dalam hal ini ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP yang menyatakan maksimum
pidana pokok dalam kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga, tidak
berlaku;
21. Dalam hal pelaku percobaan tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana lebih
berat daripada pelaku pidana (pokok) korupsi itu sendiri, adalah masalah
penerapan/penegakan hukum (law enforcement), bukan masalah yang
berhubungan dengan pembuatan undang-undang atau pencantuman ketentuan
ancaman hukuman dalam Pasal 15 UU a quo itu sendiri;
22. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan percobaan maupun perbuatan yang telah
selesai dilakukan dalam tindak pidana korupsi harus diartikan secara luas, bukan
secara sempit sebagaimana diuraikan oleh Pemohon;
23. Pada hakekatnya bahaya atau akibat yang akan ditimbulkan dalam perbuatan
percobaan, tidak dapat dikatakan lebih kecil dari perbuatan yang sudah selesai.
Dalam doktrin hukum pidana perbuatan percobaan diartikan bahwa tidak
selesainya perbuatan tersebut dilakukan bukanlah kehendak dari pelaku itu
sendiri melainkan di luar kehendaknya. Dengan demikian dalam perbuatan
percobaan, niat (kehendak) jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sudah
ada pada diri pelaku, bahkan telah dimulai dengan perbuatan permulaan
pelaksanaannya dan hal ini sama bahayanya dan sama akibat yang akan timbul
dari pelaku yang sudah selesai melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Tidak
selesainya perbuatan yang dilakukan dalam stelsel pemidanaan, karena niat
jahat pelaku percobaan adalah sama dengan niat jahat untuk delik selesai;
24. Pemohon hanya menafsirkan bahaya dan akibat yang ditimbulkan dan tidak
melihat bahaya atau akibat dari niat jahat pelaku tindak pidana korupsi yang
dapat bertumbuh secara sistematik sehingga membahayakan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara;
25. Pembentuk undang-undang yang menyamakan ancaman pidana terhadap
percobaan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana korupsi yang sudah
selesai sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 15 UU a quo adalah sudah
 
 
 
 
tepat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan telah sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat;
26. Pada umumnya rumusan suatu delik berisi bagian inti (bestand delen) artinya
bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan,
namun walaupun bagian inti (bestand delen) telah terpenuhi, unsur kesalahan
(schuld) yang melekat pada diri pelaku harus dibuktikan walaupun tidak secara
tegas dicantumkan dalam rumusan delik;
27. Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1), bagian inti (bestand delen) yang harus
dipenuhi dan dibuktikan adalah :
a. setiap orang;
b. secara melawan hukum;
c. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
d. yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
 
 
28. Dalam rumusan tersebut, tidak tercantum unsur (element) tentang kesalahan
(schuld), namun unsur tersebut haruslah dibuktikan agar pelaku dapat dipidana
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU a quo;
29. Dalam hukum pidana dikenal asas �Geen straaf zonder schuld� tiada pidana
tanpa kesalahan. Untuk membuktikan adanya unsur kesalahan (schuld)
tersebut maka harus dilihat mens rea dari diri si pelaku yaitu apakah perbuatan
yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan dikehendaki dan diketahui oleh si
pelaku (willens en weten);
30. Jaksa KPK dalam keterangannya menyimpulkan sebagai berikut :
1. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan Pemohon untuk melakukan pengujian ketentuan Pasal 2 ayat
(1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 dan Pasal 15
(sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU a quo sesuai dengan ketentuan
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK;
2. Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon, untuk mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
dalam perkara a quo, sehingga berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UUMK,
sewajarnya permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk
verklaard);
 
 
 
 
 
 
3. Permohonan provisi yang diajukan Pemohon adalah tidak berdasar dan
sewajarnya tidak perlu dipertimbangkan dan harus diabaikan oleh
Mahkamah;
4. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, sebagaimana kesimpulan
dalam butir 2 di atas, maka keseluruhan alasan permohonan yang diajukan
oleh Pemohon adalah keliru dan tidak berdasar, sehingga permohonan
tersebut harus dinyatakan ditolak;
5. Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 15 UU a quo berikut
penjelasannya secara sah mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku
serta tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
 
 
 
 
Jaksa TIMTASTIPIKOR
1. Pemohon tidak konsisten dan mencampuradukkan istilah hukum kerugian
keuangan negara dengan kerugian negara;
2. Kerugian keuangan negara adalah istilah yang sesuai dengan perumusan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU a quo, sebagaimana dalam penjelasan pasal
dimaksud bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul
karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan
hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan
yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan
negara;
 
 
3. Pengertian tersebut berbeda jika diubah menjadi kerugian negara yang berarti
negara mengalami kerugian yang cakupannya sangat luas, meliputi rakyat atau
wilayahnya (darat, laut, udara) atau harta benda yang terkandung di dalamnya;
4. Pasal 2 ayat (1), penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, penjelasan Pasal 3 dan
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU a quo tidak bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
 
 
 
 
Menimbang bahwa dalam persidangan pada tanggal 11 Mei 2006 telah di
dengar keterangan di bawah sumpah Ahli dari Pemohon bernama Soejatna
Soenoesoebrata, yang pada pokoknya sebagai berikut :
 
 
1. Bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan
�penggunaan wewenang� di dalam suatu sistem lembaga (birokrasi). Untuk
membuktikan tindak pidana, penyidik harus meneliti jejak-jejak perbuatan para
pejabat yang di dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan unsur-
unsur kendali manajemen yang dimiliki lembaga tersebut sebagai acuan
(referensi) kerjanya, antara lain :
1. Kebijakan yang merupakan pernyataan niat dari setiap kegiatan yang
dilakukan (arah dan tujuannya);
2. Struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang
menggambarkan wewenang yang dimiliki setiap pejabat dan prosedur kerja
yang terkait dengan cara penggunaan wewenang tersebut;
3. Sistem pencatatan/pelaporan yang mengabadikan (memotret) semua
langkah/perbuatan setiap pejabat dan hasil-hasilnya;
 
 
2. Dalam proses audit investigasi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,
prosedur audit wajib yang merupakan bagian standar audit yang ditetapkan oleh
lembaga profesi akuntan sudah diabaikan. Apabila hal ini terjadi, laporan
akuntan menjadi cacat. Karena Akuntan merupakan �jabatan profesi
kepercayaan masyarakat�, Maka akibat kelalaiannya menerbitkan laporan yang
cacat, Akuntan dapat dituntut balik oleh para terdakwa;
3. Peraturan-peraturan keuangan yang konkret itu adalah untuk mengelola uang-
uang anggaran pendapatan negara, mengelola keuangan negara yang dikelola
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tetapi ada juga kekayaan
negara yang dipisahkan;
4. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pernah
berlaku pada dasarnya mengandung dua golongan tindakan melawan hukum
yaitu golongan I, tindak pidana melawan hukum yang pasal-pasalnya diadopsi
dari Undang-undang Hukum Pidana, mengenai golongan ini rumusan pasal-
pasalnya sudah sangat jelas sehingga tidak perlu penafsiran lagi;
 
 
 
 
5. Golongan II, tindakan melawan hukum yang pasal-pasalnya memerlukan
penafsiran khusus karena menyangkut penyalahgunaan wewenang, di dalam
sistim kerja kelembagaan yang karakteristik kegiatan lembaga sangat bervariasi;
6. Walaupun rumusan Pasal 2 UU a quo sudah jelas, dalam penjelasan pasal demi
pasal tidak serta merta para ahli hukum khususnya para jaksa penyidik segera
dapat menangkap artinya, karena rumusan perbuatannya di dalam pasal
tersebut sangat tidak jelas, berbeda dengan bunyi rumusan yang ada dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, 8 dan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UU a quo;
7. Tindakan melawan hukum yang dirumuskan dalam kedua pasal tersebut
merupakan penyimpangan terhadap penggunaan wewenang di dalam
pelaksanaan sistim kerja kelembagaan yaitu birokrasi termasuk di dalamnya
penyimpangan atas peraturan ketentuan baik yang merupakan kelengkapan
yang dibuat lembaga itu sendiri yaitu peraturan intern lembaga maupun yang
dibuat oleh lembaga di atasnya yang terkait dengan kegiatan lembaga tersebut;
8. Untuk dapat mengungkap penyimpangan yang mencakup jenis
penyimpangannya maupun siapa yang membuat penyimpangan harus
memahami lebih dahulu seluruh sistim kendali manajemen dan karakteristik
kegiatan lembaga. Dari kesimpulan itu dapat dimengerti mengapa akuntan
diikutsertakan membantu Kejaksaan Agung di dalam upaya mengungkapkan
tindak pidana korupsi, karena tugas itu memang sangat terkait dengan tugas
akuntan sehari-hari khususnya dengan tugas pemeriksaan investigasi atas jejak
langkah, perbuatan manajemen yang terkait dengan suatu permasalahan yang
perlu dijelaskan untuk kepentingan pihak-pihak terkait atau stakeholder;
9. Sistem kelengkapan kerja suatu lembaga baik lembaga pemerintah, PTUN
ataupun usaha itu bisnis terdiri atas beberapa subsistem, sub sistem yang
langsung terkait dengan pengoperasian kegiatan lembaga adalah kebijakan.
Kebijakan merupakan pernyataan niat dari manajemen baik manajemen tinggi
maupun menengah, atas langkah-langkah yang diambil untuk mengerti mengapa
suatu langkah diambil harus terlebih dahulu diketahui kebijakan apa yang
mendasarinya;
 
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal tanggal 26 Juni 2006 telah
didengar keterangan Ahli yang dipanggil oleh Mahkamah, bernama Prof. Dr. Romli
Atmasasmita,S.H.LL.M, Prof. Dr. ERMAN RAJAGUKGUK, S.H., LL.M., dan Prof.
 
 
Dr. Andi Hamzah,S.H., yang telah memberikan keterangan di bawah sumpah baik
lisan dan tertulis, pada pokoknya sebagai berikut :
1. Ahli Prof. Dr. Romli Atmasasmita,S.H.,LL.M
 
Bahwa Undang-undang Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah
mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali (tahun 1960,1971,1999, dan
terakhir tahun 2001). Perubahan signifikan terjadi pada perumusan tindak
pidana korupsi termasuk unsur-unsur subjektif dan unsur objektif dan ancaman
pidana terhadap tindak pidana korupsi. Perubahan signifikan pada perumusan
tindak pidana korupsi adalah pencabutan kalimat "langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara� dan diganti dengan
kalimat, "dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara�. Kalimat lain
yang dihapus adalah : "atau diketahui atau patut disangka olehnya.." yang lebih
dimaknai sebagai "sengaja" atau "kelalaian", dihapus sehingga kerugian negara
harus dilakukan dengan sengaja;
 
Bahwa dengan penambahan kalimat, "dapat" di muka kalimat, "merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara ", maka tidak perlu terjadi benar-
benar kerugian keuangan negara, melainkan dengan "kemungkinan
menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara" saja, maka bagian inti
delik telah terpenuhi;
 
Bahwa dengan demikian ada perubahan perumusan dari "delik materiil"
pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1971 kepada "delik formil" pada Pasal
2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999;
 
Bahwa perubahan perumusan delik yang sangat signifikan tersebut di atas
dapat dipahami mengingat situasi perekonomian dan keuangan negara yang
ketika UU a quo dikeluarkan dalam keadaan krisis yang sangat membahayakan
kesejahteraan rakyat Indonesia, di mana Indonesia terkena dampak krisis yang
sangat parah dibandingkan dengan negara lain.
 
Bahwa perubahan dimaksud adalah untuk "mempermudah pembuktian"
tidak dapat dianggap serta merta melanggar ketentuan hukum acara pembuktian
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 dan asas legalitas
sebagaimana dianut dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jika dihubungkan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menitikberatkan kepada "perlindungan atas
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum",
tampak seolah-olah ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU a quo tersebut bertentangan
dengan bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun demikian jika diteliti makna
 
 
 
 
lebih jauh mengenai kalimat, "pengakuan, jaminan, dan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum";
 
Bahwa ketentuan dalam UUD 1945 tersebut lebih dititikberatkan kepada
operasionalisasi atau penerapan ketentuan suatu undang-undang, bukan kepada
rumusan atau makna dari ketentuan suatu undang-undang khusus terkait
kepada bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dan Pasal 15 sepanjang mengenai
percobaan dalam UU a quo;
 
Bahwa dari sisi ini maka penafsiran atas tidak dipenuhinya ketentuan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 jelas tergantung dari fakta empiris
mengenai penerapan pasal-pasal tersebut yang menjadi wewenang pihak
penyidik, dan pengadilan sebagai sebagai lembaga pemutus;
 
Bahwa dilihat dari sisi penafsiran gramatikal dan sistematis maka
perumusan Pasal 2 ayat (1) UU a quo dapat dikatakan bahwa, bunyi kalimat
"dapat" harus ditafsirkan secara holistik yaitu terkait dengan bunyi awal kalimat
dalam pasal tersenut, yaitu : "Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara"
harus dibaca dalam satu nafas, tidak terpisah dan parsial;
 
Bahwa dengan demikian, bunyi rumusan kalimat dalam Pasal 2 ayat (1)
UU a quo telah memenuhi asas lex scripta (ketentuan itu harus tertulis), lex certa
(ketentuan itu harus jelas) dan lex stricta (ketentuan itu tidak ditafsirkan secara
analogi atau harus ditafsirkan secara sempit);
 
Bahwa dua aspek penting dalam ketentuan suatu undang-undang, adalah
dipenuhinya aspek dapat diperkirakan (akibatnya) dari suatu perbuatan
(requirement of forseeability) dan dipenuhinya aspek dapat diketahui langsung
dan mudah dipahaminya suatu ketentuan undang-undang (requirement of
accessibility);
 
Bahwa analisis hukum terhadap bunyi Pasal 3 UU a quo yang
berdasarkan penjelasannya merupakan delik formil bukan delik materiil;
 
Bahwa seberapa jauh bunyi rumusan kalimat di dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU a quo relevan dan sesuai dengan perasaan keadilan sangat
tergantung dari seberapa penting dan bahaya yang ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana korupsi di Indonesia;
 
Bahwa dibandingkan dengan di negara lain, Perbedaan pemahaman dan
 
 
 
 
3
 
 
 
pengakuan suatu perbuatan merupakan perbuatan tercela dan merupakan suatu
tindak pidana serta dapat dipidana apakah dengan pidana ringan atau berat
sangat tergantung dari faktor sosiologis, kultur, dan situasi politik bangsa dan
negara yang bersangkutan;
 
Bahwa merujuk kepada penempatan Indonesia sebagai negara terkorup
sedunia sampai saat ini, dan perilaku lembaga dan aparatur penegak hukum dan
pejabat birokrasi yang masih rentan terhadap suap jelas bahwa, korupsi
merupakan bahaya nomor satu di Indonesia. Hal ini terbukti dengan agenda
pemerintah yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu misi
Kabinet Indonesia;
 
Bahwa begitu pentingnya masalah korupsi dan pemberantasannya di
Indonesia sehingga perbuatan memberikan sesuatu dan menerima sesuatu
sekalipun dalam rangka terima kasih kepada seseorang pejabat, tetap dapat
dipidana, yaitu dengan dicantumkannya "gratifikasi" sebagai delik baru dan
termasuk tindak pidana korupsi, yang tidak dianut di negara lain, kecuali
Indonesia, Malaysia, dan Singapura;
 
Bahwa pemahaman terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
serta Pasal 15 UU a quo sepanjang mengenai kata percobaan haruslah dilihat
dalam konteks perkembangan korupsi di Indonesia sejak tahun 1960-an sampai
kepada saat ini, terlebih lagi bagian menimbang dalam UU a quo, yang secara
tegas menyatakan sebagai berikut : "bahwa tindak pidana korupsi yang selama
ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa".
Mengacu kepada bunyi bagian menimbang tersebut maka perubahan signifikan
atas rumusan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan
Pasal 15 UU a quo harus juga dipertimbangkan dari latar belakang, semangat
dan jiwa dari perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971 kepada UU Nomor 31 Tahun
1999;
 
Bahwa dalam konteks itulah maka perumusan-perumusan yang dimuat
dalam Pasal 2, Pasal 3 Pasal 15 UU a quo Ahli berpendapat masih relevan
dengan perkembangan situasi Negara Republik Indonesia saat ini. Masih relevan
juga terhadap situasi sekarang dimana pemerintah, beberapa pejabat aparatur
daerah masih memperlihatkan resistensi yang tinggi terhadap pemberantasan
 
 
 
 
korupsi;
 
Bahwa masalah-masalah yang menyangkut perlindungan atas kepastian
hukum yang adil perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, Ahli berpendapat bahwa hal tersebut Iebih kepada operasional
penerapan dari satu undang-undang, bukan pada masalah keberadaan rumusan
di dalam pasal-pasal satu undang-undang;
 
Bahwa dalam Konvensi Internasional Anti Korupsi, memiliki tiga strategi.
Pertama strategi preventif, kedua represif dan yang ketiga asset recovery
strategy. Asset recovery strategy adalah strategi yang ketiga dan merupakan
terobosan hukum yang besar dari konvensi. Konvensi disusun oleh pakar-pakar
Common Law System, Civil Law System, maupun Islamic Law System;
 
Bahwa bahwa damage to the state is shall not necessary di dalam suatu
tindak pidana korupsi. Bukan refuse, it shall not be necessary. Jadi suatu tindak
pidana korupsi itu tidak perlu harus ada unsur kerugian pada negara,
implementasinya menurut konvensi tergantung dari according to principle of
domestic law in its country. Jadi bukan mutlakharus diterima, tapi disesuaikan
dengan perkembangan sistem hukum suatu negara yang bersangkutan. Oleh
karena itu bukan sesuatu kemutlakan harus ditolak;
 
 
2. Ahli Prof. Dr. ERMAN RAJAGUKGUK, S.H., LL.M.
a. Para penyusun Rancangan Undang-Undang atau perancang undangundang
memiliki kewajiban mematuhi prinsip rule of law. Sebagai bagian dari kewajiban
itu, mereka harus memastikan agar kerangka rancangan mereka ada kejelasan,
ketelitian, dan konsistensi. Tanpa kejelasan dan ketelitian, undang-undang tidak
dapat diprediksi. Prinsip negara hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang
mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan
undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undang-
undang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan
dan ketelitian dalam RUU itu sendiri menempatkan tugas penyusun RUU sebagai
dasar dari pemerintahan yang bersih dan pembangunan;
b. Kewajiban penyusun RUU yang jelas dan teliti berasal juga dari tuntutan-
tuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya mengadakan reformasi; untuk
menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku bermasalah dan dalam
pengambilan keputusan secara tidak sepihak. Kedua hal tersebut menuntut agar
menggunakan hukum dalam mendorong perilaku-perilaku yang menjadi sasaran
 
 
 
 
dari peraturan perundang-undangan baik warga masyarakat maupun para
pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum yaitu mengatur perilaku-
perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari para pejabat dalam lembaga-
lembaga pelaksanaan (penegak hukum);
c. Demokrasi menuntut kejelasan dan ketelitian dari para perancang undang-
undang. Pada prinsipnya, melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh badan pembuat undang-undang yang dipilih secara demokratis, Rakyat
menentukan perilaku penguasa. Prinsip negara hukum akan runtuh apabila para
pejabat yang menjadi sasarannya para hakim dan penegak hukum lainnya tidak
mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang sangat lemah.
Para perancang undang-undang wajib memastikan agar RUU mereka
mendorong perilaku-perilaku pejabat yang diinginkan, karena sesuai dengan
prinsip Negara Hukum (Rule of f'Law), yaitu pemerintahan harus berdasarkan
hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : "Negara
Indonesia adalah negara hukum".
d. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, guna mendorong adanya
perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan memastikan bahwa
khususnya para pejabat pemerintah mematuhi ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang, serta para pihak yang dituju undang-undang memiliki akses
yang mudah terhadap isi dari undang-undang yang bersangkutan. Sebagai
syarat pertama dari kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undang-
undang pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang
siapa melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi kalimat-kalimat
dalam undang-undang sehingga memberikan kepastian bagi para pihak yang
dituju tentang kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum. Untuk memastikan
bahwa prediksi dapat dibuat, dan memastikan agar undang-undang
sesungguhnya mendorong perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk
mencapai pembangunan maupun pengambilan keputusan tidak secara sepihak,
dan untuk melindungi pengendalian demokratis terhadap pemerintah, maka
para penyusun RUU harus mampu menghasilkan undang-undang yang
terperinci, teliti, jelas dan dapat diakses;
e. �Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" berdasarkan
alasan-alasan berikut :
 
 
 
 
 
a. Kata-kata "... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara ...", yang dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang
membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari
keadilan dan Penegak Hukum, karena perbuatan atau peristiwa tersebut
belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya;
b. Telah ada definisi "kerugian negara" yang menciptakan kepastian hukum,
yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22): "Kerugian
negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai" (garis bawah dari Ahli). "Kerugian negara yang nyata
dan pasti jumlahnya...", memberi kepastian hukum;
c. Kesimpulan Ahli dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan :
c.1. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tersebut agar diputuskan untuk tidak berlaku oleh Mahkamah
Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945, atau kata "dapat" dihilangkan sehingga,
berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang merugikan keuangan negara...";
 
c.2. Keputusan tersebut di atas tidak akan menimbulkan kekosongan
hukum, dengan adanya pengertian yang mendatangkan kepastian
hukum, sebagaimana tercantum dalam pengertian kerugian
sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.;
 
c.3. Alasan tidak berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU a quo, sesuai pula
dengan azas Hukum Pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat
(2) KUHP "Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu
dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya".;
 
 
 
 
d. Terjadinya suatu perubahan undang-undang ditandai dengan perubahan
perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang. Tiap-tiap
perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang,
maupun dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai perubahan
undang-undang dalam arti kata Pasal 1 ayat (2) KUHP; walaupun
 
 
perubahan tersebut tidak disebutkan dalam redaksi Pasal 2 ayat (1) UU
a quo;
Bahwa Kata "dapat" baru asumsi, "dapat merugikan keuangan negara",
belum tentu terjadi. Perbuatan yang bisa dihukum adalah perbuatan pasti
sudah terjadi;
 
Bahwa dalam penyusunan suatu rencana undang-undang harus
dihindari penggunaan kata-kata yang samar-samar. "Dapat merugikan
keuangan negara", contoh yang lain kata-kata yang samar-samar itu: "wajar,
cukup, untuk kepentingan umum" ;
 
Bahwa pada praktiknya kata-kata ini dapat berarti apa saja sesuai
dengan pilihan pembacanya. Sering kali kata-kata tersebut merupakan alat
penolong bagi penyusun rencana undang-undang yang malas, daripada
memperinci secara jelas keterampilannya merupakan persyaratan bagi
seorang ahli listrik yang kompeten untuk memperoleh izin ahli kelistrikan;
 
Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, yang dimaksud kerugian negara adalah, "kerugian negara atau daerah
adalah kekurangan uang surat berharga dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan yang melawan hukum baik sengaja
maupun lalai";
 
Bahwa kalau Undang-undang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara keluarnya pada tahun 2004, setelah
perbaikan Undang-undang Anti Korupsi, maka definisi kerugian negara itu
adalah definisi yang ditetapkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004;
 
Bahwa dalam teknik perundang-undangan perbuatan-perbuatan yang
dianggap melanggar tindak pidana tidak bisa didasarkan kepada asumsi, tetapi
kepada yang pasti terjadi;
 
Bahwa dari sudut peranan hukum dalam pembangunan ekonomi, pasal
ini juga dapat merugikan keuangan negara, tidak memberikan kepastian di
dalam usaha negara mendorong perekonomian. Peranan hukum dalam
pembangunan ekonomi bahwa hukum itu harus menciptakan tiga kualitas.
Pertama, predictability. Kedua, stability. Ketiga, fairness. Predictability adalah
kepastian, bahwa satu undang-undang harus memberikan kepastian. Kata-
kata "dapat merugikan keuangan negara" tidak memberikan kepastian;
 
 
 
 
 
 
Bahwa pasal-pasal dalam a quo tidak mendorong pembangunan
ekonomi. Hukum yang tidak memberikan kepastian telah mengganggu
perekonomian;
 
Bahwa sistem hukum Indonesia adalah satu kesatuan, tidak bisa
dipisah-pisah ada domain anti korupsi, ada domain badan usaha milik negara,
ada domain perbendaharaan negara. Tiap undang-undang harus kait-mengkait
satu sama lain dan tidak bertentangan satu sama lain;
 
Bahwa dalam pasal-pasal UU a quo bertentangan dengan Undang-
undang Perbendaharaan Negara. Tentang apa yang di sebut kerugian Negara
telah keluar dari Undang-undang Perbendaharaan Negara, maka kerugian
negara itulah adalah definisi dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, bukan
Undang-undang Anti Korupsi;
 
Bahwa dalam perkembangan perekonomian suatu negara, berlakunya
metode di dalam menghukum seseorang tidak selalu berhasil sudah dibuktikan
penyakit korupsi masyarakat bukan karena yang bersangkutan tidak tahu
perbuatan itu dilarang, tetapi ada faktor-faktor lain. sebagaimana sudah
dibuktikan bahwa Petrus (penembakan misterius), terbukti tidak mampu
menghabisi kejahatan dan premanisme. Efek jera tidak selalu terbukti yang
menjadi tujuan Undang-undang Anti Korupsi. Dari sudut hukum ekonomi
adalah, mana yang lebih penting menghukum seseorang atau mengembalikan
kerugian negara? Berbagai putusan pengadilan di Amerika Serikat, di mana
perusahaan-perusahaan, direktur-direkturnya di hukum pidana, tetapi tidak
berdasarkan pasal-pasal yang tidak jelas. Pasal-pasal undang-undang organik
jelas sekali dan di Indonesia, misalnya Undang-undang Pasar Modal
mempunyai aspek pidana. Undang-undang Anti Monopoli mempunyai aspek
pidana, Undang-undang Perbankan mempunyai aspek pidana. Bukan berarti
tiap direksi dari BUMN umpamanya lepas dari pidana, tidak. bisa dilakukan
dengan undang-undang organik yang lain;
 
3. Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.
 
Bahwa melawan hukum yang dalam penjelasan pasal-pasal UU a quo
bukan saja bertentangan dengan perundang-undangan tetapi juga
bertentangan dengan norma-norma lain yang hidup di dalam masyarakat.
adalah merupakan penyimpangan dengan asas legalitas. Asas legalitas
mengatakan bahwa tidak seorangpun dapat dipidana selain berdasarkan
 
 
 
 
ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya . Asas legalitas
artinya tiga:
 
1. Undang-undang peraturan itu harus tertulis, sudah disebutkan tadi lex scripta;
 
2. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
 
3. Dilarang analogi, baik analogi undang-undang maupun analogi hukum.
 
Bahwa banyak orang Indonesia sebenarnya ahli pidana tapi belum tahu
bahwa analogi itu ada dua artinya, ada analogi undang-undang, ada analogi
hukum. Ada recht analogie, analogi hukum, ada gezetsus analogie. Gezetsus
analogie, artinya tidak ada di dalam KUHP, tetapi masyarakat memandang perlu
dipidana, maka dipakailah pasal yang paling mirip di dalam KUHP. Itu namanya
gezetsus analogic. Jadi jaksa masih menyebut di dalam surat dakwaannya pasal
yang dilanggar, yang mirip, itu dianut oleh RRC. Gezetsus analogie misalnya
dukun cabul, masyarakat meminta supaya dihukum, tetapi tidak ada di dalam
KUHP, maka diterapkan Pasal 286 yaitu, "menyetubuhi perempuan yang tidak
berdaya, pingsan", padahal dia tidak pingsan, matanya terbuka, mirip. Itu
namanya gezetsus analogie, itupun dilarang dalam asas legalitas;
 
Bahwa recht analogi sama sekali tidak ada di dalam undang-undang,
hanya bertentangan, kepatutan di dalam masyarakat itu namanya recht
analogie. Negara yang menganut recht analogie adalah Jerman (Nazi), zaman
Hitler dengan KUHP-nya tahun 1936. Tidak ada negara menganut recht
analogie, tidak ada tertulis, tetapi masyarakat perlu dipidana, maka dipidana.
 
Bahwa Pasal 2 UU a quo adalah recht analogie, artinya suatu perbuatan
tidak ada di dalam undang-undang tetapi bertentangan dengan kepatutan,
kelaziman, norma-norma yang hidup dalam masyarakat;
 
Bahwa melawan hukum berkaitan dengan frase di bawahnya yaitu
melawan hukum memperkaya diri sendiri, dan memperkaya dimaksud
dilakukan dengan melawan hukum. Kata melawan hukum dan memperkaya
tidak lepas satu sama lain, namun melawan hukum dilakukan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
 
Bahwa mengenai "dapat merugikan keuangan negara", adalah bahwa
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Korupsi dan hanya satu-satunya di dunia,
oleh karena di Negara Malaysia, Singapura, Hongkong, Thailand, tidak ada
Pasal 2 dan Pasal 3, sebab di negara-negara tersebut menganggap yang
disebut korupsi adalah "suap". Karena suap adalah induk korupsi;
 
 
 
 
 
 
Bahwa dalam Konvensi Internasional yang dimaksud delik formil adalah
Pertama melawan hukum. Kedua, memperkaya diri sendiri, bukan
memperkaya orang lain. Ketiga, merugikan keuangan negara. Kata "dapat"
sama sekali tidak ada. Dalam Konvensi Internasional tidak terdapat rumusan
�merugikan keuangan Negara�, tetapi pelakunya harus pejabat, bukan
�barangsiapa�,
 
Bahwa Ahli dapat menerima, kata "dapat" dengan penafsiran harus
menggunakan ahli. Karena tidak dapat hanya dengan mengatakan "potensial
dapat merugikan negara";
 
Bahwa di dalam KUHP juga ada kata "dapat" di dalam KUHP Pasal 387
"pemborong melakukan perbuatan curang, yang dapat mendatangkan bahaya
bagi keselamatan orang, atau benda, atau negara dalam keadaan perang�
menjadi Pasal 7 UU PTPK;
 
Bahwa Ahli dapat menerima kata dapat asalkan dalam proses
pembuktian masing-masing pihak dapat mengajukan akuntan, apabila Hakim
masih ragu-ragu atas keterangan akuntan yang diajukan oleh masing-masing
pihak, maka hakim harus memutus bebas (in dubio proreo).
 
Bahwa Ahli tidak mempermasalahkan kata "dapat", tetapi Ahli
berpendapat menjadi mubazir karena memperkaya diri sendiri harus
dibuktikan, harus konkret. Kata "dapat" harus berada di bawah memperkaya,
bukan di atasnya;
 
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
 
 
 
PERTIMBANGAN HUKUM
 
 
 
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah
sebagaimana diuraikan tersebut di atas;
 
Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu perlu mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan yang diajukan oleh Pemohon;
2. Apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan pengujian undang-undang a quo;
Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
 
 
 
 
KEWENANGAN MAHKAMAH DAN KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON
Menimbang bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah dalam
rangka pengujian beberapa bahwa Pasal beserta penjelasannya dari UU PTPK
terhadap UUD 1945. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
dan Pasal 10 ayat (1) UU MK, Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus permohonan Pemohon;
 
Menimbang bahwa pihak yang dapat diterima memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD
1945, menurut Pasal 51 ayat (1) UUMK, adalah (a) perorangan warga negara
Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik atau privat;
atau (d) lembaga negara, yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang;
 
Menimbang pula, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat ini,
Mahkamah berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak atau
kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:
 
 
a. harus ada hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. pemohon mengganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual atau setidak-
tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak konstitusional
pemohon dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. apabila permohonan tersebut dikabulkan diperkirakan kerugian hak
konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;
 
 
Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Pemohon (Bukti P-
1, P-2, P-5, P-6, P-7, P-8, dan P-9) dan telah diperiksa dalam persidangan,
Mahkamah berpendapat telah cukup alasan dan bukti untuk menerima kedudukan
hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo;
 
 
 
 
TENTANG PUTUSAN PROVISI (SELA)
 
Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam
pokok perkara, Pemohon telah mengajukan permohonan putusan provisi agar
Mahkamah menjatuhkan putusan �merekomendasikan kepada Mahkamah Agung
(MA) agar MA memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, untuk menangguhkan sementara proses persidangan dalam
perkara pidana Nomor 36/Pid/B/2006/PN.JKT.TIM, sampai adanya putusan
Mahkamah Konstitusi� terhadap permohonan a quo.
 
Terhadap permohonan tersebut, dengan mengacu kepada Pasal 58 UUMK,
Mahkamah berpendapat permohonan tersebut tidak cukup berdasar sebagaimana
telah dijelaskan dalam sidang terbuka untuk umum tanggal 8 April 2006. Pasal 58
UU MK berbunyi, �Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945�. Sehingga, Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan penghentian,
meskipun bersifat sementara, suatu proses hukum yang sedang berlangsung di
pengadilan dalam suatu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung. Namun, dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan kewenangannya, yaitu berupa tindakan
penghentian sementara pemeriksaan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 atau penundaan putusan atas permohonan tersebut apabila
permohonan dimaksud menyangkut pembentukan undang-undang yang diduga
berkait dengan suatu tindak pidana. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 16
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-undang, yang berbunyi sebagai berikut:
 
(1) Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam
pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya, Mahkamah
dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda
putusan;
 
(2) Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud pada butir
(1) disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah dapat menyatakan menunda
pemeriksaan dan memberitahukan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan oleh
 
 
 
 
Pemohon;
 
(3) Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud butir (1) telah
diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan
pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah dapat meminta
keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan penyidikan
dan/atau penuntutan;
 
(4) Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan
sebagaimana dimaksud butir (1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah
yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum;
 
Dengan demikian, apabila Pemohon menganggap perlu adanya putusan
provisi untuk menghentikan sementara proses hukum yang sedang berjalan, maka
permohonan demikian seharusnya diajukan kepada pengadilan yang memeriksa
perkara yang bersangkutan sesuai dengan tingkat pengadilannya dalam suatu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Permohonan
demikian dapat diajukan mengingat berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU MK
Mahkamah selalu memberitahukan kepada Mahkamah Agung tentang adanya
permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohon putusan provisi demikian
sepenuhnya merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan, bukan
kewenangan Mahkamah.
 
Menimbang, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah harus menyatakan menolak permohonan putusan provisi yang
diajukan Pemohon dalam permohonan a quo.
 
POKOK PERMOHONAN
 
Menimbang bahwa masalah pokok yang harus dipertimbangkan oleh
Mahkamah dalam permohonan a quo adalah apakah Pasal 2 ayat (1), Penjelasan
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata �dapat�),
dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata �percobaan�) UU PTPK bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
 
 
 
 
Menimbang bahwa guna memeriksa permohonan a quo Mahkamah telah
mendengar keterangan Pemerintah dan DPR. Di samping itu Mahkamah juga
mendengar keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Timtastipikor
Kejaksaan Agung selaku pihak terkait di persidangan yang kemudian menambahkan
keterangan tertulis, dari mana telah tampak hal-hal sebagai berikut:
 
 
� Unsur-unsur dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang a quo dengan
sengaja dimaksudkan untuk menjangkau seluruh bentuk tindak pidana korupsi
baik perbuatan yang merugikan keuangan negara maupun yang tidak merugikan
keuangan negara. Hal ini bersesuaian dengan anggapan yang telah diakui oleh
masyarakat internasional bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak
�kejahatan luar biasa�. Maka dalam penanganannya, pada tahap penyelidikan
maupun penyidikan harus dilakukan secara luar biasa pula (extraordinary
measures). Hal demikian dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera (deterrent
effect) terhadap seluruh warga masyarakat baik pengusaha, pejabat, dan seluruh
anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi;
� Kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, Undang-undang a quo
penekanannya sebenarnya pada aspek pencegahan (deterrence) dan upaya
shock therapy bagi masyarakat luas, selain dimaksudkan untuk merumuskan
delik formil. Selain itu penggunaan kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 undang-undang a quo, didasarkan pada adanya keinginan kuat untuk
memberantas tindak pidana korupsi dan memberikan peringatan kepada semua
orang untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi serta untuk meminimalisasi
secara kualitatif dan kuantitatif atau mencegah adanya potential loss;
� Kata �dapat� dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang a quo juga
merupakan kata yang tidak berdiri sendiri tetapi merupakan satu kesatuan
dengan frasa selanjutnya yaitu merugikan keuangan negara. Oleh karena itu
harus dibaca dalam satu kesatuan arti. Unsur memperkaya diri sendiri
mengandung pengertian bahwa penggunaan keuangan negara tidak
diperuntukkan bagi kepentingan penyelenggaraan negara tetapi untuk
kepentingan diri pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan kata �dapat� pada
Pasal 3 Undang-undang a quo lebih menunjuk pada penyalahgunaan wewenang
(abuse of power). Pengertian �menguntungkan� dalam Pasal 3 UU PTPK tidak
selalu identik dengan penambahan harta kekayaan tetapi dapat memperoleh
 
 
 
 
kenikmatan atau keuntungan yang bersifat materiil dan/atau immateriil berupa
fasilitas dan kemudahan untuk melakukan sesuatu tindakan.
� Dengan rumusan delik materiil formil pada Pasal 2 tersebut , sanksi sudah dapat
dijatuhkan jika unsur melawan hukumnya telah dipenuhi. Hal ini juga ditegaskan
dalam Pasal 4 undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara tidak menghapus unsur pidananya.
� Kriminalisasi pelaku percobaan tindak pidana korupsi pada Pasal 15 undang-
undang a quo sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) United Nations Convention
Against Corruption, 2003, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006. Delik �percobaan� sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 undang-undang a quo dikategorikan sebagai delik yang sudah
selesai. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Sudarto yang menyatakan,
�perbuatan percobaan dipandang sebagai suatu tindak pidana yang merupakan
satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah delik yang tidak
sempurna, tetapi merupakan delik yang sempurna atau delik tersendiri (delictum
sui generis) hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa�.
� Menyamakan perbuatan percobaan dengan perbuatan pidana yang selesai
bukanlah sesuatu yang asing dalam sistem hukum pidana Indonesia
sebagaimana dapat dilihat pada beberapa contoh delik �percobaan� dalam
KUHP adalah delik makar (aanslag delicten) dalam Pasal 104, 106, dan 107.
Penyamaan ancaman pidana antara percobaan dan delik selesai yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang telah memberikan kepastian hukum yaitu
siapapun yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
undang-undang a quo, diancam dengan pidana yang sama. Sesuai dengan
asas-asas hukum pidana baik yang termuat dalam KUHP maupun dalam doktrin
hukum pidana, pencantuman ketentuan ancaman pidana secara khusus adalah
dibenarkan sesuai dengan asas �lex specialis derogat legi generali� (vide Pasal
103 KUHP);
Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Ahli (Akuntan
Publik) dari Pemohon Drs. Soejatna Soenoesoebrata, Ak., yang diajukan oleh
Pemohon, yang pada pokoknya telah menberangkan hal-hal sebagai berikut:
 
 
� Rumusan perbuatan pidana dalam pasal-pasal undang-undang a quo sangat
 
 
 
 
tidak jelas karena dari kata �dapat� timbul pertanyaan �siapa yang boleh
menafsirkan kata �dapat?� Apakah semua orang, penyidik, atau kah Ahli yang
terkait�;
� Kerugian negara harus secara benar dan tepat karena berbagai jenis
perusahaan mempunyai sistem akuntansi yang berbeda-beda di dalam
penghitungan kerugian;
� Penyidik tidak pernah menggunakan laporan hasil pemeriksaan investigasi
akuntan sebagai dasar merumuskan �unsur melawan hukum� maupun
menetapkan terdakwanya. Perumusan melawan hukum sepenuhnya ditetapkan
sendiri oleh jaksa penyidik. Di dalam penetapan �melawan hukum� jaksa
biasanya tidak mampu memerinci modus operandi pelanggarannya;
� Sebagai persyaratan agar kasusnya dapat diajukan ke pengadilan. Jaksa
penyidik meminta bantuan Akuntan BPKP untuk menghitung �kerugian keuangan
negara� yang bahan-bahannya disediakan oleh jaksa penyidik. Tetapi di dalam
penghitungan kerugian, Akuntan tidak dapat melakukan konfirmasi atas data
yang masih diragukan kebenarannya kepada pejabat yang terkait, sehingga hasil
jumlah perhitungan kerugian yang dibuat Akuntan akan sama dengan yang
dikehendaki jaksa penyidik. Dengan perkataan lain, hasil perhitungan Akuntan
hanya bersifat perhitungan pro forma sekadar untuk melengkapi tuntutan jaksa di
pengadilan;
Menimbang bahwa Mahkamah telah pula memanggil Ahli Prof. Dr. Andi
Hamzah, S.H., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Prof. Dr. Romli
Atmasasmita, S.H., LL.M. yang menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis
yang selengkapnya tercantum dalam uraian tentang Duduk Perkara, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
 
 
 
 
Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.
o Kata �melawan hukum� yang dalam penjelasan pasal-pasal undang-undang a
quo menyebutkan �bukan saja bertentangan dengan perundang-undangan tetapi
juga bertentangan dengan norma-norma lain yang hidup di dalam masyarakat�
merupakan penyimpangan asas legalitas, karena asas legalitas mengatakan
bahwa tidak seorangpun dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya;
 
 
 
 
o Ahli dapat menerima kata �dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara� dalam rumusan pasal-pasal undang-undang a quo
asalkan dalam proses pembuktian masing-masing pihak dapat mengajukan
Akuntan atau Ahli. Apabila hakim masih ragu atas keterangan Akuntan atau Ahli
yang diajukan oleh masing-masing pihak, maka atas pertimbangan sendiri hakim
dapat memerintahkan dihadirkannya Akuntan atau Ahli ketiga. Jika setelah
dihadirkan Akuntan atau Ahli ketiga pun hakim tetap ragu, maka hakim harus
memutus bebas (in dubio proreo);
 
 
Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D.
o Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Penjelasan Pasal 3
undang-undang a quo, kata-kata "dapat merugikan keuangan negara",
bertentangan tidak saja dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum tetapi juga bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945, "Negara Indonesia adalah negara hukum";
o Kata "dapat" baru asumsi, "dapat merugikan keuangan negara", belum tentu
terjadi. Perbuatan yang bisa dihukum adalah perbuatan yang pasti sudah terjadi;
o Definisi "kerugian negara" yang menciptakan kepastian hukum, adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22), "Kerugian
negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai�;
 
 
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
o Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 15 undang-undang a quo sepanjang mengenai kata �percobaan�, menurut
Ahli, masih relevan dengan perkembangan situasi Negara Republik Indonesia
saat ini, di mana beberapa pejabat pemerintahan memperlihatkan resistensi
yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi;
o Menyangkut hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)
 
 
 
 
UUD 1945], Ahli berpendapat bahwa itu Iebih kepada operasional penerapan
undang-undang, bukan pada masalah keberadaan rumusan itu di dalam pasal-
pasal undang-undang;
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU PTPK beserta penjelasannya masing-masing bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan dimaksud masing-
masing berbunyi sebagai berikut:
 
 
 
 
Pasal 2 ayat (1):
�Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)�
 
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
 
�Yang dimaksud dengan �secara melawan hukum� dalam pasal ini mencakup
perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata �dapat� sebelum frasa
�merugikan keuangan atau perekonomian negara� menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat�
 
Pasal 3:
 
�Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah)�;
 
 
 
 
Penjelasan Pasal 3:
 
�Kata �dapat� dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Pasal 2�
 
Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat:
 
Tentang Kata �dapat�
 
Menimbang bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
 
 
(a) unsur perbuatan melawan hukum;
(b) unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
(c) unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
 
 
 
Menimbang bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang
disampaikan oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka persoalan pokok yang harus dijawab
adalah:
 
 
1. Apakah pengertian kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang
pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan
penambahan kata �dapat� tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil;
2. Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di atas,
frasa �dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara�, yang
diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat
potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur
yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan;
Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan
pemahaman bahwa kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK
menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja
karena perbuatan tersebut �merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
secara nyata�, akan tetapi hanya �dapat� menimbulkan kerugian saja pun sebagai
kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi
dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata �dapat� tersebut harus
dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang
menyatakan bahwa kata �dapat� tersebut sebelum frasa �merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara�, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut
 
 
 
 
 
 
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan
dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang
menyangkut kata �dapat� sebelum frasa �merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara�;
 
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam
tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk
dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan
menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak
selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat
pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong
antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan
dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat
diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan
adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang
cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa
unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan
hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan
oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak
pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan
harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat
perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata �dapat�
sebelum frasa �merugikan keuangan negara atau perekonomian negara�, dapat
dilihat dalam arti yang sama dengan kata �dapat� yang mendahului frasa
�membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang�, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian
dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan
akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut,
tidak perlu harus telah nyata terjadi;
 
Menimbang bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan
ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi
sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberadaan kata �dapat� sama
sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang
 
 
 
 
 
 
menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya
orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana;
 
Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam
melindungi hak seseorang, hubungan kata �dapat� dengan �merugikan keuangan
negara� tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata
merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang
terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi
delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan
yang �belum nyata terjadi�, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan
kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa
suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan
khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat
disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli
dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan
perbuatan seseorang dengan kerugian.
 
Menimbang bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa
kata �dapat� sebelum frasa �merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara�, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya
kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus
nyata terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur
kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai
perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh
seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa
kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam
penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa
pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang
meringankan. Oleh karenanya persoalan kata �dapat� dalam Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak
hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma;
 
Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa �dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara�, tidaklah bertentangan
dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal
28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di
atas (conditionally constitutional);
 
 
 
 
 
 
Menimbang bahwa oleh karena kata �dapat� sebagaimana uraian
pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD
1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi,
maka permohonan Pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat
dikabulkan;
 
Menimbang pula bahwa dengan disahkan atau diratifikasinya UN Convention
Against Corruption dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam konvensi mana
kerugian negara tidak mutlak merupakan unsur tindak pidana korupsi (it shall not be
necessary), tetapi harus melibatkan public official, maka Mahkamah berpendapat
unsur �barang siapa� dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut harus juga ditafsirkan dalam
kaitan dengan perbuatan public official. Indonesia, sebagai negara pihak, sebaiknya
segera menyesuaikan dengan cara melakukan perubahan atas UU PTPK yang
didasarkan atas kajian konseptual dan komprehensif dalam satu kesatuan sistem
hukum berdasarkan UUD 1945;
 
 
 
 
Tentang Unsur Melawan Hukum (wederrechtelijkheid)
Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan
dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU PTPK, yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagaimana tertulis
dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan
argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut. Pasal 2 ayat (1) tersebut
memperluas kategori unsur �melawan hukum�, dalam hukum pidana, tidak lagi
hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele
wederrechtelijkheid. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut
berbunyi, �Yang dimaksud dengan secara melawan hukum� dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana�.
 
Menimbang bahwa dengan bunyi penjelasan yang demikian, maka meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil,
yaitu dalam pengertian yang bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran
yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu
 
 
 
 
perbuatan sebagai perbuatan tercela menurut norma sosial tersebut, di mana
perbuatan tersebut dipandang telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan
keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang dalam masyarakat maka
dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur melawan hukum
(wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah hukum atau
peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan atau etik,
dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi
kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum,
meskipun hanya dilihat secara materiil. Penjelasan dari pembuat undang-undang ini
sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan
hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya
ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk
menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah
menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang
dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi
satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh
karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan
yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain,
akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang
melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang
melawan hukum;
 
Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah
dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan
yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk
menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan
norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan
norma yang dijelaskan. Kebiasaan ini ternyata telah pula dikuatkan dalam Butir E
Lampiran yang tak terpisahkan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain
menentukan:
 
 
a. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan
 
 
 
 
hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang
tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang
dijelaskan;
b. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut;
c. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan;
Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah menilai memang terdapat
persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai
berikut:
 
 
1. Pasal 28D ayat (1) mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara
untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana
dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan
akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar
suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih
dahulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan
hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan
perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat
yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan
prinsip nullum crimen sine lege stricta;
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk),
yang mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan secermat dan
serinci mungkin (vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003:358) merupakan
syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga
dengan istilah Bestimmheitsgebot;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum
materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam
ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat,
sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan
 
 
 
 
 
 
berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat
lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain
diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut
ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang
disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam persidangan;
 
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan
dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang
mengenai frasa �Yang dimaksud dengan �secara melawan hukum� dalam pasal ini
mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana�, harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945;
 
 
 
 
Tentang Percobaan
Menimbang bahwa Pasal 15 UU PTPK yang juga dimohon untuk diuji
berbunyi, �Setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal
14�. Ketentuan tersebut oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 karena sebagai akibat rumusan yang demikian percobaan untuk
melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU PTPK ancaman pidananya disamakan dengan delik yang telah
selesai (voltoid delict);
 
Menimbang bahwa hal tersebut menurut Mahkamah tidak bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan, karena hal ini merupakan suatu
pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan oleh sistem hukum pidana
Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi, �Ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain�. Rumusan Pasal
 
 
 
 
15 UU PTPK, yang merupakan pencerminan legal policy pembentuk undang-
undang, dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di Indonesia
telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan cara-cara
yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya;
 
Menimbang bahwa mengkualifikasikan percobaan sebagai delik yang sudah
selesai (voltoid delict) merupakan pengecualian yang dibenarkan menurut Pasal 103
KUHP sehingga ketentuan Pasal 15 UU PTPK tersebut tidak dapat dianggap
bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dimaksudkan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
 
Menimbang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
Mahkamah sampai pada kesimpulan bahwa sepanjang menyangkut permohonan
atas Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang berkaitan dengan kalimat pertama,
sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikabulkan, sedangkan permohonan
selebihnya harus dinyatakan ditolak;
 
Mengingat Pasal 56 ayat (2), (3), dan (5), serta Pasal 57 ayat (1) dan (3)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah
Konstitusi;
 
MENGADILI
 
 
� Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
� Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, �Yang dimaksud dengan �secara
melawan hukum� dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana�
 
 
 
 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
� Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, �Yang dimaksud dengan �secara
melawan hukum� dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana�
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
� Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
� Menolak permohonan Pemohon selebihnya.
 
 
*********
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan 9 (sembilan) Hakim
Konstitusi pada hari Senin, 24 Juli 2006, dengan seorang Hakim Konstitusi
mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Putusan tersebut diucapkan
dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini,
Selasa, 25 Juli 2006, oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi, yaitu Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, dan didampingi oleh Prof. Dr.
H. M. Laica Marzuki,S.H., Prof. H.A.Mukhtie Fadjar, S.H., M.S., Soedarsono,S.H.,
Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., H. Achmad Roestandi, S.H., Dr. Harjono, S.H.,
M.CL., I Dewa Gede Palguna, S.H. M.H., Maruarar Siahaan,S.H., masing-masing
sebagai Anggota, dibantu oleh Makhfud, S.H. sebagai Panitera Pengganti dan
dihadiri oleh Kuasa Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Pihak Terkait Langsung maupun Tidak Langsung;
 
 
 
 
 
 
 
 
KETUA
 
TTD.
 
 
 
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H.
 
ANGGOTA-ANGGOTA
 
 
 
 
 
Prof.Dr. H.M. Laica Marzuki,S.H. Prof. H. A. Mukhtie Fadjar,S.H., M.S.
 
TTD. TTD.
 
 
 
Soedarsono,S.H. Prof. H. A. S. Natabaya,S.H., LLM.
 
TTD. TTD.
 
 
 
H.Achmad Roestandi, S.H. Dr. Harjono, S.H., MCL.
 
TTD. TTD.
 
 
 
I Dewa Gede Palguna,S.H., M.H. Maruarar Siahaan,S.H.
 
 
 
PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion)
 
Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
 
 
 
Pengujian kata �dapat� yang dimohonkan oleh Pemohon pada frasa �yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara� vide Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang
 
 
 
 
dipandang bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945, pada hakikatnya
memohonkan pengujian kata �dapat� dari kedua pasal UU PTPK tersebut, yang
berpaut dengan bagian pasal-pasal (batang tubuh) beserta penjelasan daripadanya.
Kata �dapat� yang dipersoalkan Pemohon termaktub baik pada bagian pasal-pasal
(batang tubuh) maupun penjelasan-penjelasannya.
 
Menurut Butir E dari Lampiran Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berjudul Penjelasan,
dikemukakan bahwasanya Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk
peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma
yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan (butir 165). Penjelasan tidak dapat
digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena
itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan (butir 166).
 
Dalam Rapport Wetgevingstechniek (1948) di Belanda dikemukakan, apabila
bagian penjelasan bertentangan dengan teks pasal (batang tubuh) maka teks pasal
(batang tubuh) yang mengikat. Rakyat banyak (burgers) dipandang wajib
mengetahui bunyi pasal-pasal (batang tubuh) yang ditempatkan dalam Lembaran
Negara (Staatsblad) sedangkan rumusan �agar setiap orang mengetahuinya�
menurut asas ieder word verondersteld de wet te kennen tidak dimaktub dalam
Tambahan Lembaran Negara (TLN) yang memuat penjelasan pasal-pasal.
 
Bahwa oleh karena itu, pengujian teks pasal (batang tubuh) harus dilakukan
secara bersamaan (samengaan) dengan penjelasan agar dapat diketahui hubungan
wetmatigheid di antara keduanya.
 
Kata �dapat� dalam frasa �yang dapat merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara�, di dalam bagian penjelasan dikemukakan, �kata dapat
sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat�.
 
Delik Formil (formeel delict) terjadi dengan terpenuhinya unsur-unsur
perbuatan (gedraging elementen) menurut rumusan delik, tidak mensyaratkan unsur
 
 
 
 
akibat (gevolg element) seperti halnya dengan delik materil (materiel delict). D.
Hazewinkel Suringa (1973:49), berkata, �Met formele (delicten) worden die strafbare
feiten bedoeld, waarbij de wet volstaat met het aangegeven van de verboden
gedraging; met materiele (delicten) die, welke het veroorzaken van een bepaald
gevolg omvatten etc�etc�.
 
Namun demikian, penyisipan kata "dapat� tidak ternyata pula merupakan
bestaandeel delict dari delik formil. Pasal-pasal delik formil, seperti halnya dengan
Pasal 156 KUHPidana (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat di muka umum), Pasal
160 KUHPidana (menghasut di muka umum), Pasal 161 KUHPidana (opruien,
menghasut dengan cara menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
di muka umum), Pasal 163 KUHPidana (menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan di muka umum yang berisi penawaran untuk memberi
keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan perbuatan pidana), Pasal
209 dan 210 KUHPidana (penyuapan), Pasal 242 ayat (1) KUHPidana (meineed,
sumpah palsu), Pasal 263 KUHPidana (pemalsuan surat), Pasal 362 KUHPidana
(pencurian) tidak mencantumkan kata �dapat� selaku bestaan voorwaarde dari delik
formil.
 
Dalam pada itu, pencantuman kata �dapat� pada frasa �yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara� dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK mengandung cakupan makna (begrippen) yang kurang jelas serta agak
luas, tidak memenuhi rumusan kalimat yang in casu disyaratkan bagi asas legalitas
suatu ketentuan pidana, yaitu lex certa, artinya ketentuan tersebut harus jelas dan
tidak membingungkan (memuat kepastian) serta lex stricta, artinya ketentuan itu
harus ditafsirkan secara sempit, tidak boleh dilakukan analogi, sesuai keterangan
Ahli Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. di depan sidang. Kata �dapat�
mengoyak-ngoyak tirai asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
Poenali (Pasal 1 ayat 1 KUHPidana) yang merangkumi semua ketentuan hukum
pidana, in casu ketentuan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal dimaksud
mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dijamin konstitusi,
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
 
Article 11 (2) Universal Declaration of Human Right (1948) juga menegaskan,
bahwasanya �No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act
 
 
 
 
or omission which did not constitute a penal offence, under national or international
law, at the time when it was committed�.
 
Cakupan makna kata �dapat� pada frasa �yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara� pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK
yang kurang memberikan kepastian, beserta rumusan yang agak luas dimaksud,
dapat menjaring banyak orang dalam penanganan perkara-perkara tindak pidana
korupsi, bak alat penangkap ikan yang menggunakan kain belacu sehingga mampu
menjaring kuman-kuman terkecil sekalipun, sebagaimana dikemukakan oleh Prof.
Dr. (Jur.) Andi Hamzah, SH. Namun, pada bagian ujung yang paling ekstrem dari
kata �dapat� itu, petugas-petugas penyidik dan penuntut umum dapat pula
menyampingkan beberapa perkara tindak pidana korupsi tertentu secara tebang
pilih, dengan alasan �tidak dapat�, �tidak terbukti�, dan sebagainya.
 
Dengan telah berlakunya pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, rumusan �kerugian negara/daerah� mengalami
pergeseran makna (het begrip), dibandingkan rumusan �yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara� menurut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK. Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 merumuskan, �Kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan surat berharga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat melawan hukum, baik sengaja maupun lalai�.
Rumusan dimaksud menciptakan kepastian hukum dan kejelasan, serta
memungkinkan diteliti dan dihitung kasus per kasus, kata Ahli Prof. Erman
Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D. di depan sidang.
 
Oleh karena terdapat dua undang-undang yang merumuskan hal kerugian
negara, maka undang-undang yang lebih kemudian (een latere wet) yang bakal
berlaku mengikat. De nieuwste wet moet dus worden toegepast. Deze regel vloeit
louter uit logisch redeneren voort, kata I. C. van der Vlies (1987:163).
 
Mencabut kata �dapat� pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, beserta
penjelasan-penjelasannya justru meniadakan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid), sementara penegakan hukum dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi tetap berjalan (gaat door) serta legitim.
 
Walaupun kata melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tidak
menjadi fokus argumentasi dalam permohonan Pemohon namun karena hal
melawan hukum (wederrechtelijk) merupakan bestaan deel delict bersama-sama
 
 
 
 
dengan unsur delik �dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara� maka
hal pengujian terhadap kata melawan hukum merupakan keniscayaan hukum.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyatakan, �Yang dimaksud dengan �secara
melawan hukum� dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana�.
 
Memberlakukan suatu ketentuan hukum pidana tanpa dirumuskan lebih
dahulu secara tertulis (secara legitim) pada hakikatnya melanggar asas legalitas,
termasuk memberlakukan suatu ketentuan hukum pidana, seperti halnya Pasal 2
ayat (1) UU PTPK menurut asas melawan hukum dalam arti materil (materieele
wederrechtelijkheid). Hal dimaksud melanggar Pasal 1 ayat 1 KUHPidana. Adalah
beralasan, manakala asas melawan hukum dalam arti materil ditiadakan dalam
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU PTPK, karena menimbulkan ketidakpastian hukum,
sebagaimana dijamin dalam konstitusi, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
 
Dalam pada itu, tidak beralasan kiranya permohonan Pemohon agar Pasal 15
(sepanjang kata �percobaan�) UU PTPK dinyatakan tidak mengikat secara hukum,
karena menentukan ancaman hukuman yang sama terhadap suatu perbuatan
pidana dengan percobaan daripadanya. Selain hal dimaksud masih dalam batas
kewenangan pembentuk undang-undang (wetgever) guna menentukan ancaman
pidana yang sama, namun secara khusus dalam hal tindak pidana penyuapan
(bribery), pembuat (dader) tetap dihukum walaupun public official yang bakal disuap
menolak menerima uang penyuapan. Sesungguhnya tidak ada percobaan dalam
penyuapan (Het is eigenlijk geen poging tot omkopen).
 
Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi United Nations Convention
Against Corruption, 2003, dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption, 2003.
 
Berdasarkan hal dimaksud, seyogianya permohonan Pemohon dikabulkan
untuk sebagian.
 
Menyatakan kata �dapat� dalam frasa �yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara�, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, beserta
penjelasan-penjelasannya dan kalimat, �... maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana� dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
 
Menolak permohonan Pemohon selebihnya.
</center>
PANITERA PENGGANTI
 
TTD.
 
Makhfud,S.H.