Catholic Encyclopedia (1913)/Brahmanisme

Apa yang dimaksud dengan Brahmanisme ialah sebuah agama yang kompleks dan sistem sosial yang tumbuh dari ritus-ritus pujaan politeistik bangsa Arya kuna yang menaklukkan bagian utara India dan Iran. Agama atau kepercayaan ini lalu menyebar ke seluruh wilayah anak benua Hindia, dan lestari tanpa tidak berubah secara signifikan sampai dewasa ini. Tahap-tahap modernnya yang sangat kompleks biasa disebut sebagai sistem kepercayaan agama Hindu.

‘’’I. TEKS-TEKS BRAHMANISME.’’’ -- Pengetahuan kita akan aliran kepercayaan Brahmanisme pada tahap-tahap awalnya berasal dari kitab-kitab suci yang masih primitif dan pada awalnya adalah komposisi sastra lisan dan berasal dari masa antara tahun 1500 SM dan 400 SM. Pertama-tama adalah apa yang disebut Empat Weda atau Catur Weda (weda artinya adalah pengetahuan) yang berasal dari 1500 sampai 800 SM dan terdiri atas:

  1. sebuah koleksi gita-gita kuna (rk) yang disebut Rgweda dan berisi pujaan kepada Dewa-Dewi.
  2. Samaweda yang disusun dari bagian-bagian Rgweda sebagai gita pengiring dalam melaksanakan ritus korban Soma.
  3. Yajurweda, sebuah teks liturgis yang terdiri terutama atas gita-gita kuna dan sebagian doa-doa dan mantra yang dipakai dalam segala bentuk upacara korban.
  4. Atharwaweda, sebuah koleksi mantra-matra magis dan eksorsisme rakyat yang sebagian besar diwarisi dari zaman primitif kaum Arya.

Setelah itu ada teks-teks Brahmana (kurang lebih 1000 SM-600 SM). Teks-teks ini adalah sebuah rangkaian bermacam-macam keterangan yang bermuluk-muluk daripada teks-teks, ritus-ritus, dan adat-istiadat yang ditemukan dalam setiap dari empat Weda dan khusus disusun bagi kaum Brahmana atau pandita.

Kemudian ada teks-teks yang disebut Upanishad (800 SM500 SM)dan membicarakan spekulasi-spekulasi falsafi bersifat panteistik akan sifat Ketuhanan dan akhir manusia. Kemudian ada lagi kitab-kitab Sutra (600 SM400 SM), yang merupakan pedoman pelaksanaan ritual dan adat-istiadat. Yang terpenting adalah Grhya-Sutra, pedoman ritual rumah tangga dan Dharma Sutra (bukan Dharma Sutra atau Dhammapada sang Buddha!). Kedua buku ini mencerminkan sisi praktis dan kerakyatan Brahmanisme di mana kitab-kitab Brahmana dan Upanishad memperlihatkan sisi falsafi dan spekulatifnya. Masih dekat dengan kitab-kitab hukum ini ada sebuah buku ternama yang disebut Manawa-Dharma-Sastra, dan dalam bahasa Inggris sering disebut the Laws of Manu atau the Code of Manu. Kemungkinan kitab Manu ini berasal dari abad ke-5 SM. Kitab-kitab ini bersama dengan dua wiracarita suci yaitu "Ramayana" dan "Mahabharata", merupakan tulisan terpenting dalam khazanah sastra Brahmanisme.

II. KEPERCAYAAN AWAL BRAHMANISME ATAU KEPERCAYAAN WEDA. -- Agama dalam masa Weda yang sejati, bisa dikatakan cukup sederhana. Hal ini mencakup pemujaan banyak dewa-dewi, besar maupun kecil, yang merupakan personifikasi kekuatan-kekuatan alami. Yang terpenting di antaranya adalah:

  • Baruna (Varuna), langit yang mencakup segalanya, pencipta dan pemilik segala sesuatu yang ada dan pembela hukum moral;
  • Surya, atau Dewa Matahari yang merupakan musuh kegelapan dan pembawa berkah. Dewa ini juga dikenal sebagai Pushan sang pemberi makanan, Mitra, sang sahabat yang baik dan pembalas dendam kebohongan, Savitri sang penerang dan Wisnu, yang dikatakan membagi bumi menjadi tiga bagian dan memberikan ladang-ladang yang subur kepada umat manusia;
  • Dewa angkasa, Indra, yang seperti Mars dalam mitologi Yunani, juga dianggap sebagai Dewa Perang yang membebaskan hujan dari ular yang berbentuk awan dan disebut Ahi (atau Wrtra). Indra bersenjatakan bajra (vajra) yang adalah kilat ;
  • Rudra, kelak dikenal sebagai Siwa, yang terberkati, dewa angin topan dan merupakan penghalang mereka yang jahat namun teman orang baik;
  • Agni, Dewa Api, teman dan pemberkah umat manusia yang tinggal di tungku-tungku di setiap rumah, dan membawakan doa dan korban bakar kepada Dewa-Dewi lainnya.
  • Soma, atau juga dikenal sebagai bulan yang merupakan Dewa sebuah tanaman misterius yang memiliki sari buah minuman yang memabukkan dan memberikan hidup kekal.

Pada masa awal ini tidak ada kuil-kuil maupun candi. Sesajian dipersembahkan pada sebuah gundukan tanah, seringkali oleh kepala rumah tangga, namun sesajian penting dan rumit harus dipersembahkan oleh seorang pandita atau brahmana bersama-sama dengan kepala rumah tangga.

Maksud setiap kurban adalah untuk mempersembahkan makanan kepada para Dewa-Dewi dan menjamin berkah dan anugerah mereka sebagai pembalasannya. Kurban manusia, meskipun jarang, ada pula. Tetapi kurban hewan dilaksanakan setiap hari. Yang terpenting adalah kuda, lalu lembu, domba dan kambing. Sesajian berupa ghee (Bahasa Sansekerta: ghrta atau mentega cair yang dijernihkan), beras, gandum dan jenis-jenis gandum lainnya juga dikenal secara umum. Tetapi yang paling disukai oleh Dewa-Dewi dan kekhusyukannya menyaingi kurban kuda adalah sajian minuman Soma. Soma adalah sebuah minuman memabukkan dan kaum Arya menganggapnya sebagai sebuah minuman Ilahi karena mereka percaya bahwa keadaan mabuk adalah sebuah pengalaman spiritual.

Keperluan jiwa yang lebih tinggi tidak terlupa pula. Dalam gita-gita yang memuji Baruna, Mitra dan Dewa-Dewa lainnya, banyak terdapat teks-teks yang me... rasa salah dan ingin meminta ampun. Pada waktu teks-teks religius Ibrani masih diam mengenai imbalan dan pembalasan di akhirat, para penyair rk kuna sudang mengumandangkan kepercayaan mereka akan sebuah surga dan kenikmatan tak terhingga bagi yang bijak dan sebuah jurang dalam penuh kedalaman bagi yang jahat.

Bhakti kepada Pitr. (Ayah, leluhur), atau para saudara yang telah meninggal juga merupakan unsur penting agama mereka. Meski kaum Pita naik ke sebuah sorga penuh berkat, kebahagiaan mereka tidaklah hanya tergantung kepada kebajikan mereka ketika hidup saja. Kebahagiaan mereka bisa ditambah dengan kurban saji Soma, nasi dan air; sebab mereka mirip Dewa yang dikira memiliki tubuh yang terdiri dari sebuah substansi yang mirip dengan udara dan juga menikmati rasa-rasa makanan. Oleh karena itu para keturunan yang masih hidup merasa memiliki kewajiban suci untuk memberikan sesajian dan puja yang disebut Sraddhapada waktu-waktu tertentu bagi leluhur mereka yang telah meninggal. Sebagai imbalannya, arwah lelulur melindungi mereka dari segala marabahaya dan menjamin kemakmuran mereka. Bentuk-bentuk pemujaan alam yang lebih rendah juga diperoleh. Sapi sangat dihormati dan lalu pohon-pohon serta ular-ular dipuja pula. Banyak sekali mantra-mantra didapati untuk mengobati orang sakit, mengusir setan (roh-roh halus), dan menolak pratanda buruk. Praktek ilmu hitam diharamkan dan pelaksanaan tes-tes tertentu biasa dilakukan dalam mendeteksi kesalahan.

III. KEPERCAYAAN BRAHMANISME RAKYAT. --Dalam masa di mana kitab-kitab Brahmana dan Upanishad ditulis, agama Weda mengalami dua perkembangan. Pada sisi praktis, terlihat ada perkembangan luar biasa ritual-ritual keagamaan dan pembatasan sosial serta kewajiban, sementara pada sisi teoretis, kepercayaan Weda terhadap keampuhan Dewa-Dewi pribadi diletakkan di bawah suatu rencana penyelamatan panteistik.

Jadi, agama yang lebih awal di satu pihak telah berkembang menjadi Brahmanisme popular yang eksoterik, sementara di pihak lain menjadi Brahmanisme kependetaan yang esoterik. Yang pertama dicerminkan dalam Kitab-kitab Brahmana dan Sutra-sutra, sementara yang belakangan dalam Kitab-kitab Upanishad.

Transformasi ke dalam Brahmanisme popular pada umumnya disebabkan oleh pengaruh kaum Brahmana, atau para pendeta. Karena mereka senang sekali akan kata-kata dan bentuk-bentuk simbolik, rincian ritualnya kian lama kian menjadi rumit. Sebagian malah menjadi begitu rumit sehingga membutuhkan pelayanan 16 orang pendeta. Kurban mengambil bentuk ritus sacramental, dan pelaksanaannya pasti akan menghasilkan tujuan-tujuan yang diharapkan. Dengan demikian maka pemberian kurban menjadi sangat penting dan di sekitarnya seluruh dunia yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan berputar. Karena itu, pemberian kurban layak disertai dengan imbalan yang besar bagi para pendeta yang melaksanakannya. Namun demikian kurban tidaklah semata-mata sekadar ritus yang dilaksanakan secara otomatis, karena bila dilaksanakan oleh pendeta yang tidak layak, maka pemberian kurban itu menjadi sia-sia dan bahkan merupakan penghinaan terhadap agama.

Bersamaan dengan liturginya yang rumit, kurban juga disertai dengan banyak doa dan ritus yang masuk ke dalam kehidupan sehari-hari baik pendeta maupun kaum awam. Pembacaan setiap hari bagian-bagian dari Weda, yang kini dihormati sebagai wahyu ilahi, adalah sesuatu yang paling penting, khususnya bagi kaum Brahmana. Ini adalah tugas suci bagi setiap orang untuk membacakan pada pagi dan malam hari Savitri, yakni doa singkat untuk menghormati matahari yang memberikan kehidupan.

Perhatian yang sangat cermat terhadap kemurnian dalam upacara, yang melampaui bahkan orang-orang Farisi Yahudi, menyebabkan timbulnya rangkaian ritus penyucian yang tidak habis-habisnya, seperti mandi, pemercikan dengan air, pengolesan dengan abu atau kotoran sapi, menghirup air, menahan napas – semuanya bersifat sacramental dan manjur untuk penghapusan dosa. Ada alasan untuk mempercayai bahwa para pemeluk Brahmanisme sangat sadar akan kesalahan dan dosa yang dilakukan, dan bahwa dengan melaksanakan ritus-ritus ini, yang begitu mudah untuk disalahgunakan, orang dapat mengembangkan kecenderungan jiwa untuk menyesali dosa.

Dalam Brahmanisme populer periode ini, gagasan pembalasan dosa dibuat untuk mencakup akibat-akibat yang paling hebat dan berjangka panjang. Orang tidak bisa keluar daripadanya, kecuali melalui penyesalan yang tepat waktunya. Karena setiap perbuatan baik pasti akan mendapatkan ganjarannya di masa mendatang, demikian pula setiap perbuatan jahat akan menghasilkan buah penderitaan pada waktunya. Inilah doktrin karma (tindakan) yang dengannya terkait gagasan tentang reinkarnasi. Sementara kebahagiaan sorgawi yang kekal masih dijanjikan kepada orang yang benar, orang jahat akan mengalami berbagai nasib yang berbeda setelah kematian kelak. Nasib ini berbeda-beda, tergantung pada sifat dan besarnya kesalahan -- mulai dari masa siksaan yang panjang dalam tingkatan neraka yang berbeda-beda, hingga berbagai rangkaian kelahiran kembali dalam bentuk tanaman, binatang, dan manusia. Dari tingkatan di mana si pelaku kejahatan itu dikutuk, ia harus melalui suatu transisi yang lamban melewati tangga yang naik hingga ia mencapai kelahirannya kembali sebagai manusia yang terhormat.

Doktrin ini menyebabkan munclnya aturan-aturan perilaku yang ketat, yang kadang-kadang hampir absurd. Serangga, betapapun menjijikkannya, tidak boleh dibunuh; air tidak boleh diminum sebelum disaring terlebih dahulu, agar bentuk-bentuk kehidupan yang paling kecil sekalipun tidak ikut hancur; pertukangan kayu, membuat keranjang, pengolahan kulit, dan bentuk-bentuk pekerjaan yang serupa dianggap hina, karena semua itu tidak dapat dilakukan tanpa menyebabkan kematian pada kehidupan tanaman dan tumbuhan. Sebagian orang yang sangat bersemangat bahkan mempertanyakan apakah mengolah tanah dapat dibenarkan mengingat mau tidak mau si pelaku akan menyebabkan matinya cacing dan berbagai serangga. Namun di pihak lain, ajaran etis Brahmana dalam lingkup yang sah tentang perilaku yang benar luar biasa tingginya. Kejujuran, ketaatan kepada orangtua dan atasan, pengendalian diri, kemurnian, dan pemberian sedekah, semuanya ditanamkan dengan kuat. Meskipun, seperti dalam agama-agama kuno lainnya, poligami dan perceraian diizinkan, zinah dan segala bentuk ketidaksetiaan sangat keras ditentang. bunuh diri, aborsi, menipu, fitnah, bermabuk-mabuk, judi, riba yang menindas, dan kekejaman yang berlebih-lebihan terhadap binatang -- semuanya dilarang keras. Sisi yang mirip dengan agama Kristen, yaitu mencoba melunakkan sisi yang keras dari sifat manusia dapat ditemukan dalam berbagai pelajaran tentang kelemah-lembutan, kemurahan hati terhadap yang sakit, yang lemah dan lanjut usia, serta penekanannya terhadap pengampunan dan pembalasan kejahatan dengan kebaikan. Standar yang tinggi tentang perilaku yang benar ini juga berlaku bagi tindakan-tindakan luar. Tindakan yang baik dan buruk dibagi tiga, yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan -- dan semua ini sering diungkapkan dalam ajaran Brahmana.

Yang akrab terkait dalam ajaran keagamaan Brahamanisme adalah pembagian masyarakat ke dalam kasta-kasta yang didefinisikan secara kaku. Dalam masa Weda yang lebih awal, telah ada pembedaan kelas yang menempatkan kelas perwira (Ksatria atau Rajana) sebagai yang pertama dalam martabat dan kedudukannya yang penting. Berikutnya adalah kelas pendeta (Brahmana), dan kemudian kelas petani (Waisya), dan yang terakhir, kelas hamba dari bangsa-bangsa taklukan (Sudra). Dengan perkembangan Brahmanisme, keempat bagian masyarakat ini distereotipkan ke dalam kasta-kasta yang eksklusif, dengan tempat yang tertinggi diambil alih oleh kaum Brahmana. Sebagai guru-guru kitab suci Weda, dan sebagai pendeta yang melaksanakan kurban-kurban yang penting, mereka mengaku sebagai wakil para dewata sendiri serta padanan dari umat manusia sendiri. Tidak ada kehormatan yang terlalu besar bagi mereka. Memukul mereka dianggap sebagai suatu perbuatan dosa.


Teks.-- MUIR, Original Sanskrit Texts, 5 vols. (London, 1868-70); MÜLLER, Vedic Hymns in Sacred Books of the East, XXXII; OLDENBERG, Vedic Hymns, op. cit. XLVI; BLOOMFIELD, The Atharva Veda, op. cit., XLII; EGGELING, The Satapatha Brahmana. op. cit., XII, XXVI, XLI; MÜLLER, The Upanishads, op. cit., XV; OLDENBERG AND MÜLLER, The Grihya-Sutras, op. cit., XXIX, XXX; BÜHLER, The Sacred Laws of the Aryas, op. cit., II, XIV; IDEM, The Laws of Manu, op. cit., XXV; THIBAUT, The Vedanta-Sutra, op. cit. XXXIV, XXXVIII; TELANG, The Bhagavad-Gita, op. cit VIII; BURNOUF-ROUSSEL, Le Bhagavata Purana, 5 vols. (Paris, 1898).

Risalah umum.--BARTH, The religions of India (London, 1882); MONIER-WILLIAMS, Brahminism and Hinduism, or Religious Thought and Life in India (London, 1891); IDEM, Hinduism (London, 1897); IDEM, Indian Wisdom (London, 1876); HOPKINS, The Religions of India (Boston, 1895); DUBOIS, Hindu Manners, Customs, and Ceremonies (Oxford, 1897); GOUGH, The Philosophy of the Upanishads and Ancient Indian Metaphysics (London, 1882); DEUSSEN, Das System des Vedanta (Leipzig, 1883); IDEM, Der Philosophie der Upanishads (Leipzig, 1899); KÆGI, The Rig-Veda (Boston, 1886); OLDENBERG, Die religion des Veda (Berlin, 1894); COLEBROOK, Miscellaneous Essays, 2 vols. (London, 1873); WEBER, The History of Indian Literature (London, 1892); DAHLMAN, Das Mahabharata (Berlin, 1895); SCHOEBEL, Las Ramayana in Annales du musee Guimet (Paris, 1888), XIII; DE LA SAUSSAYE, Lehb. der Religionsgesch. (Freiburg, 1905), II.


CHARLES F. AIKEN