Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999  (1999) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;

b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu pelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara;

c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;

2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;

3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;

4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya;

5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;

6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;

7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;

8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya; 9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar;

10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;

11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik;

12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berada dari kendaraan bermotor;

13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;

14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;

15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;

16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum myang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;

17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;

18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, atau sumber tidak bergerak spesifik; 19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;

20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;

21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;

22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;

23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;

24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;

25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;

26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;

27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;

28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;

30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 2

Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber ganggunan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.

Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4

(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.

(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 5

(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.

(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional.

(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional.

(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah.

Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6

(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah. (2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien.

Pasal 7

(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.

(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.

Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang


Pasal 8

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama. (2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.

(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 9

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.

Bagian Kelima
Baku Tingkat Ganggunan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10

(1) Kepala instansi yang beranggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.

(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

a. baku tingkat kebisingan; b. baku tingkat getaran;

c. baku tingkat kebauan; dan

d. bakku tingkat ganggunan lainnya.

(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.

(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.

(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 11

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.

Bagian keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12


(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara. (2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.

Pasal 13

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pasal 14

(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan.

(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk :

a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu; b. bahan pertimbangan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

Pasal 15

Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.

BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16

Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran. Serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17

(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 18

(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur.

(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5

(lima) tahun.

Pasal 19

(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.

(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup

Pasal 20

Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara :

a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini;

b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.

Pasal 21

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien wajib : a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;

b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;

c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 22

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 24

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25

(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau ganggunan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Paragraf 1
Keadaan Darurat

Pasal 26


(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka :

a. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;

b. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya

(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 27

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.

Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28


Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 29

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman

teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak.

Pasal 30

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib manaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3
Sumber Bergerak

Pasal 31

Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32

(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak.

(2) Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.

Pasal 33

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

Pasal 34

(1) Kendaraan bemotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.

(2) Bagi kendaraan bemotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.

(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 35

(1) Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu llintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 36

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Paragraf 4
Sumber Gangguan

Pasal 37


Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumebr gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemerksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 38

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber gangguan.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber

gangguan.

Pasal 39

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

Pasal 40

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41

(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.

(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.

(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 42

(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada instansi yang bertanggung jawab.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 44

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 45

(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 46

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 47

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Pasal 48

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib:

a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;

b. memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;

c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas.

d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas, dan


e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.

Pasal 49

Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pajabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluarkan kepada masyarakat.

Pasal 50

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.

(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertangung

jawab.

Pasal 51

(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien.

(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.

(3) Hasil pemantau yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 52


Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53

Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.

BAB VI
GANTI RUGI

Pasal 54


(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.

(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 55

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI
SANKSI

Pasal 56


(1) Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau ganggugan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup. (2) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi pesyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara yang telah tetap Berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/26 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/27 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/28 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/29 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/30 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/31 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/32 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/33 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/34 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/35 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/36 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/37 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/38 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/39 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/40 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/41 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/42 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/43 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/44 Halaman:Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.pdf/45

Ayat (2)
Cukup Jelas

Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup Jelas

Pasal 49
Cukup Jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Pemantauan terhadap mutu udara ambien yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan di luar area kegiatan.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 52
Cukup jelas


Pasal 53
Cukup jelas


Pasal 54
Cukup jelas


Pasal 55
Cukup jelas


Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3853