Ahimsa
Lapangan Tahrir, sebelum Mubarak lengser. Ketika malam menutupi Kairo, para pemuda yang ikut protes bergeletakan berbaring. Ada yang tidur, ada yang membaca. Sebuah cerita di BBC menyebut, di bawah bayang-bayang tank tentara yang menjaga alun-alun itu, seorang demonstran membaca buku Gene Sharp.
Sejak itu Sharp disebut di BBC dan The New York Times sebagai pengilham gerakan yang meletus di Mesir dan Tunisia.
Mengagetkan juga. Lelaki 89 tahun ini tampak kuno banget. Di rumahnya yang sederhana di East Boston, ia tak tahu Facebook atau Twitter; bahkan ia harus diberi petunjuk untuk memakai e-mail.
Tapi rupanya, di dunia ia cukup dikenal. Ia, pendiri Albert Einstein Institution, pernah jadi salah satu calon penerima Nobel Perdamaian. Ia menulis satu buku tentang Gandhi dan kemudian menghasilkan satu buku lain, From Dictatorship to Democracy. Risalah tipis ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa, yang menurut The New York Times telah mempengaruhi gerakan prodemokrasi di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan kini Mesir serta Tunisia. Sharp juga menulis sebuah manual, 198 Methods of Nonviolent Action, yang memberi petunjuk aksi bagaimana ”mogok makan” sampai bagaimana ”mengenal mata-mata”.
Tapi ia tak pernah ikut dalam pergerakan apa pun. Pada dasarnya ia seorang periset. Maka bisa dimengerti jika Sharp, yang pemalu dan rendah hati itu, tak mau mendaku bahwa apa yang terjadi di Mesir itu akibat pengaruhnya. ”Rakyat Mesir yang melakukan itu,” katanya, ”bukan saya.”
Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau menakutkan. Di Venezuela dan Burma, Sharp dianggap biang pembangkangan. Di Teheran ia dituduh ”agen CIA”.
Demikian berbahayakah gagasan Sharp, yang menegaskan prinsip nonkekerasan? Ia sendiri akan menyebutnya sebagai ”gagasan Gandhi”. Pergolakan Mesir, katanya, itu ”datang langsung dari Gandhi”.
Memang Gandhi, yang menolak untuk memakai kekerasan dalam perjuangan antikolonialismenya, sebuah legenda yang mempesona. Salah satu adegan dalam film tentang sang Mahatma yang dibuat Richard Attenborough melekat di kepala saya: sejumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Inggris datang menghantam mereka dengan tongkat. Tapi, ketika reportase tentang hal ini tersiar ke seluruh dunia, orang pun tahu mana yang ”biadab” dan mana yang teguh dalam keluhuran budi. Sejak itu penjajahan Inggris kehilangan legitimasinya, juga di Inggris sendiri.
Hari-hari ini kita tahu di Libya Qadhafi juga kehilangan legitimasinya. Selama 42 tahun ia berkuasa dan kini tetap ingin bertahan dengan menembaki ratusan orang penentangnya. Dalam pergaulan dunia ia tak akan dilihat sebagai pemimpin. Ia seorang pembantai, hanya dengan kostum yang teatral: aktor tunggal dalam sebuah teater kekejaman.
Tapi dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legitimasi dan jatuh seorang diktator. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Qadhafi: gagalkah ia bertahan dengan ”darah & besi”? Butuhkah ia diakui sebagai seorang yang beradab? Jangan-jangan tidak. Jika ia begitu kuat dan begitu tak peduli, Libya akan tetap ditundukkannya.
Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya seorang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasarkan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata ”tak melakukan tindakan yang mencederai”. Tapi ia juga bagian dari sikap yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan mengutarakan kata-kata bengis.
Betapa tak gampang….
Dalam perjuangan merebut hak-hak asasi kaum Hitam di Amerika Serikat yang dipimpin Martin Luther King, yang tak gampang itu ternyata berbuah. Sebagaimana Gandhi berhasil. Tapi tak semua berakhir dengan kemenangan, baik dalam kekuasaan maupun dalam nilai-nilai.
Di Cina, para pemuda memprotes Partai Komunis yang berkuasa hanya dengan pengeras suara, patung darurat, dan sikap nekat. Kita ingat potret jurnalistik yang termasyhur itu: seseorang berdiri sendiri di tengah jalan menyetop barisan tank yang menderu ke Tiananmen. Tapi Partai yang berkuasa bersikeras. Entah berapa puluh orang tewas dibabat. Protes punah; kekuasaan tegak, malah makin kukuh.
Contoh lain di Iran. Para demonstran dalam revolusi ini tak menembakkan pistol atau melemparkan granat. Mereka hanya dengan berani berseru-seru. Syah akhirnya jatuh, Ayatullah Khomeini naik. Tapi, setelah itu, kekuasaan yang menggantikannya dengan rajin menghukum mati kawan-kawan revolusinya sendiri. Ahimsa—dikembangkan Gandhi dari tradisi Veda, Jainisme, dan Buddhisme—tak ada dalam tradisi Islam. Ahimsa tak menang di Iran.
Ataukah Gandhi sebuah perkecualian yang mujur? Kaum sosialis dari pelbagai penjuru dunia, dari Jawaharlal Nehru sampai George Orwell, novelis dan esais itu, tak menganggap sang Mahatma begitu suci. Orwell (yang pernah bekerja sebagai polisi kolonial) menulis bahwa pemerintah kolonial Inggris sengaja tak hendak menghancurkan Gandhi. Mereka takut, bila penganjur ahimsa ini lenyap, akan tampil para militan yang lebih menyukai bom. Gandhi sendiri tak selamanya konsisten, kata para pengkritiknya pula. Ahimsa asas yang terlalu luhur bagi dunia yang berdosa.
Tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bukanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdosa”. Ahimsa sebuah strategi, dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru, itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” kepada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan gagal.