Al-Ghazali dan Kepastian

Al-Ghazali dan Kepastian  (2005)  oleh Goenawan Mohamad
2005

I

JIKA ada yang berubah dari zaman kita, itu tampak dalam cara orang membaca Al-Ghazali. Salah satu kutipan yang termashur dari karya otobiografi pemikirannya, al-Munqidh min al-Dalal (‘Selamat dari Sesat’) menekankan niatnya yang teguh untuk satu hal: kepastian dalam pengetahuan.


'‘Tujuanku adalah untuk mencerap realitas yang terdalam dari hal ihwal; aku ingin menangkap hakikat pengetahuan. Pengetahuan yang pasti adalah yang membuat hal yang diketahui mewedarkan dirinya tanpa membiarkan secercah pun peluang untuk ragu atau kemungkinan apapun untuk salah dan berilusi, dan tak pula hati kita membiarkan kemungkinan semacam itu. …Orang harus dilindungi dari kekeliruan, dan harus begitu terpaut erat dengan kepastian hingga usaha apapun, misalnya, untuk mengubah sebungkah batu menjadi emas atau sebatang tongkat menjadi seekor ular, tak akan membangkitkan ragu atau menimbulkan kemungkinan yang berlawanan….’


Tampak di mana ia meletakkan penekanan, dan apa yang terasa sebagai hasrat orang alim yang mendapatkan julukan hiperbolik hujjat al-Islam ini: ia tak hendak memberi ‘peluang untuk ragu’, ia haus akan ‘hakikat pengetahuan’.

Saya bukan seorang yang mempelajari khusus Al-Ghazali. Yang saya ketahui tentang dia datang dari sumber-sumber sekunder atau terjemahan dari bahasa Arab. Saya tak tahu pasti tentang asal-usul dorongan untuk ‘hakikat pengetahuan’ itu dalam kehidupan religius dan intelektual di masanya. Tapi cukup dikenal bahwa ia hidup di dunia Islam yang tak punya suatu pusat pemikiran, khususnya sebuah pusat yang ditopang oleh politik yang stabil. Tak ada lagi kekuatan yang kharismatik yang tunggal di puncak, tak cukup kukuh pula institusi kekuasaan yang mapan mengendalikan sebuah ‘daulat’.

Al-Ghazali lahir di sebuah keluarga terpelajar di kota Tus di timur-laut Persia di tahun 1058. Itu berarti sekitar empat abad setelah Islam menyebar dan mendapatkan pemeluk dengan latar budaya yang beragam, sementara soal kepemimpinannya menghadapi problem legitimasi, ketika penganutnya tak menemukan pedoman yang mantap untuk menyelesaikannya. Cara yang sering dipakai adalah kekerasan. Khalif-khalif dibunuh, atau skisma terjadi, terutama ketika lahir gerakan, keyakinan, dan pemikiran Syi’ah.

Tak hanya itu. Sejak pertengahan abad ke-10, kekhalifahan di Baghdad secara efektif surut; posisi itu hanya jadi semacam lambang yang bertahta. Pemegang tampuk de facto adalah penguasa perang yang kemudian disebut ‘Sultan’, sejak Tughril Beg di tahun 1055 datang dan menegakkan tarikh baru. Orang inilah yang memulai kekuasaan Seljuq (‘al Salājiqah’) di Baghdad yang didukung suku-suku orang Turki.

Al-Ghazali lahir, tumbuh, dan meninggal dalam zaman itu, di tengah dualisme kekuasaan yang masih mencari bentuknya. Dalam usia tigapuluhan tahun ia bahkan ikut terlibat dalam pelbagai ketegangan yang tak terelakkan dari keadaan itu.

Ini dimulai ketika ia meninggalkan kota tempat ia bersekolah, Nishapur, dan bergabung dengan majelis Nizam al-Mulk, seorang wazir yang bekerja di bawah pemerintahan Sultan Alp-Arslan (1063-72) dan Malik-Shah (1072–92). Pejabat terkemuka yang selama 30 tahun mengabdi kekuasaan Seljuq inilah yang membangun perguruan Nizamiyah — sebutan ini diambil dari namanya –di sembilan tempat, sejak Mosul sampai Herat. Madrasah-madrasah ini pada dasarnya merupakan perguruan hukum agama oleh dan untuk para pengikut Mazhab Syafi’i.

Seorang sejarawan mencatat tempat pendidikan itu sebagai pusat ilmu di mana pendekatan fiqh bertaut dengan kalām (teologi), dan seorang sejarawan lain melihat bagaimana madrasah-madrasah itu tumbuh jadi tempat di mana ortodoksi Sunni disusun, ketika para pejabat dan ulama menghadapi gerakan politik dan pemikiran Syi’ah, khususnya kaum Ismaili. Yang disebut barusan ini dianggap sebuah ancaman, dengan pusat di Kairo, di mana kekhalifahan Fatimiyah berdiri sejak tahun 968.

Dalam proses itu, para ulama pun, sebagai penerima dan pengelola utama wakaf untuk perguruan itu, mendapatkan statusnya sebagai suatu elite tersendiri, meskipun sebenarnya tak pernah ‘kelompok’ ini benar-benar merupakan satu kesatuan politik dan sosiologis. Tapi dalam kepercayaan umum mereka dianggap pewaris para nabi, yang, menurut seorang sejarawan, ‘secara de facto jadi penjaga syari’ah’.

Al-Ghazali adalah salah satu di antaranya. Bahkan dialah yang terkemuka, sejak ia diangkat sendiri oleh Nizam al-Mulk sebagai pengajar utama Perguruan Nazimiyah Baghdad. Inilah puncak karirnya pada usia 33, meskipun hanya berlangsung selama empat tahun, ketika ia menikmati penghormatan dan kekayaan yang, dalam gambaran seorang penulis riwayat, ‘tak tertandingi oleh para pangeran, wazir, dan raja’.

Tapi kita bisa menduga bahwa di masa jabatannya itu, dimulai di tahun 1091, suasana dirundung ketidak-tenteraman dan ambivalensi. Patronase politik atas pusat-pusat pendidikan sangat penting tapi, karena sistem wakaf, kekuasaan itu tak langsung menentukan nasib para ulama yang berpusat di sana. Tapi pada saat yang sama, sultan-sultan begitu kuat hingga disebut orang sebagai ‘mereka yang memiliki kuasa mengikat atau melepaskan’ (ahl al-hall wa’l-aqd).

Dengan struktur elite seperti itu, persengketaan bersenjata dalam masalah kepemimpinan serta konflik sosial yang mengibarkan lambang keagamaan dengan segera membuat krisis legitimasi dan legalitas jadi akut. Persaingan dan permusuhan di antara kelompok Muslim sangat intens.

Dalam sebuah studi tentang hidup dan filsafat Al-Ghazali, Mustafa Abu-Sway (Abu-Sway: 1996) menyebut suasana tanpa toleransi yang berkecamuk antara kelompok-kelompok teologi dan fiqih dari kalangan Sunni sendiri di masa itu. Sejarahnya cukup lama. Di tahun 1055, tiga tahun sebelum Al-Ghazali lahir, bentrokan terjadi antara para pengikut Imam Hambali dan kaum Asyariyah; yang terakhir ini bahkan dilarang ikut dalam shalat Jum’at.

Tapi ketegangan yang paling mencekam tentu saja datang dari sisi ini: perselisihan antara kaum Sunni dan Syi’ah yang tak kunjung berhenti. Peringatan 10 Asyura acap merupakan hari yang eksplosif, ketika penganut kedua kubu itu berhantam dan korban jiwa jatuh. Keadaan menajam ketika salah satu firqah kaum Isamili mengambil jalan kekerasan: membunuh musuh-musuh politik mereka.

Nizam al-Mulk, sang wazir, tewas. Nasib yang sama juga menempa beberapa orang ‘amir’, pejabat tinggi daerah. Terbunuh pula khatib dari Nishapur, Abu al-Qasim, putra almarhum Imam al-Haramayn al-Juwayni, guru al-Ghazali.

Dan selama periode Baghdad dalam hidup al-Ghazali itu juga di pucuk kekuasaan politik terjadi bentrok. Di tahun 1092 Sultan Malik Shah mangkat, dan perang saudara di antara para pemimpin Seljuq pecah, kurang lebih selama tiga tahun.

Ada beberapa hal penting yang terjadi selama al-Ghazali menghadapi hal-hal yang merisaukan itu. Diketahui ia menulis beberapa buku yang menentang pemikiran kaum Ismaili, yang oleh musuh-musuhnya, juga oleh al-Ghazali, disebut sebagai ‘al-Batiniyah’. Salah satunya ditulis atas permintaan Khalif al-Mustazhir yang baru bertahta. Farouk Mitha (Mitha: 2001) menilai buku itu, Fada'ih al-Batiniyyah wa Fada'il al-Mustazhiriyyah (‘Keburukan al–Batiniyah dan Kebajikan al-Mustaziriyah’), bukan saja disusun untuk menampik dalil-dalil keagamaan kaum Ismaili. Kitab itu juga bisa dilihat sebagai pelanjut tradisi siyāsa shari’yya, jenis risalah yang di masa itu merupakan usaha menawarkan teori politik dengan patokan hukum – dan, setidaknya dalam hal Fada'ih al-Batiniyyah, merupakan argumen bagi kebutuhan dan keinginan untuk meneruskan sistem kekhalifahan.

Ada alasan untuk itu. Di kalangan Sunni, tulis Mitha, pengertian ‘umat’ bukanlah sebuah badan yang abstrak. Identitasnya berasal dari hubungannya dengan otoritas sang khalif, yang ‘dianggap sebagai wali penjaga umat setelah Nabi wafat, dan sebab itu juga sebagai wali penjaga syari’ah’. Tentu saja struktur yang menopang peran sebagai ‘wali penjaga’ itu tak diatur dalam Qur’an. Yang diuraikan oleh para penulis siyāsa shari’yya seperti al-Ghazali adalah ide mereka mengenai itu, seraya memberinya legitimasi dengan otoritas sebagai faqih. Fada'ih al-Batiniyyah, misalnya, mengidentifikasi syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi dan ditegakkan agar ‘dasar Islam bagi kehidupan umat’ terjaga. Sekaligus, buku ini, menurut Mitha, ‘memberi bentuk tempat dan peran politik ulama dalam masyarakat…’

Fada'ih al-Batiniyyah bukanlah karya terpenting al-Ghazali, tapi cukup mencerminkan suasana di masanya yang nanti akan membuat guru besar Nazimiyah ini mengambil keputusan yang penting dalam hidupnya.

Telah disinggung di atas bahwa ia ditulis di tengah retaknya kekuasaan elite Seljuq, yang berarti timbulnya kembali harapan bahwa posisi sentral sang khalif akan kembali. Tentulah tak mudah al-Ghazali merumuskan sikap di sini: ia sendiri mendapatkan posisinya dari kekuasaan Seljuq, sementara ia mendukung al-Mustazar, khalif muda yang ia hadiri upacara bai’atnya di bulan Februari 1084. Ia mempertahankan posisi fiqih Sunni, sementara ia tak bisa meremehkan semangat politik dan produk intelektual kalangan Syi’ah.

Kita tak tahu sejauh mana karya semacam Fada'ih al-Batiniyyah memuaskan al-Ghazali sendiri. Bukan mustahil, keterlibatannya dengan persoalan politik yang ruwet masa itu dan kebiasannya merenungkan kehidupan dengan kesadaran moral yang kuat, akhirnya membuatnya tak jenak benar dalam kedudukannya yang prestisius di Perguruan Nazimiyah. Bukan mustahil pula, di masa itu ia mulai lebih dekat kepada tasawuf. Abu-Sway menyebut, itulah periode ketika al-Ghazali membaca karya-karya yang mengakrabkannya ke hidup ber-khalwat, mengundurkan diri dari dunia.

Tentang keputusan yang dramatis itu di bulan November 1095 itu, cukup terkenal apa yang diceritakannya dalam al-Munqidh yang ditulisnya 15 tahun setelah kejadian. Syahdan, kian lama ia kian merasa bahwa ia mengajar bukan untuk Allah. Ia risau. ‘Selama hampir enam bulan sejak Rajab tahun 488 Hijriah,’ demikian tulisnya, ‘aku terombang-ambing antara daya tarik duniawi dan desakan ke hidup yang kekal’.

Dan di bulan Juli 1095 itu pula, tulisnya, ia ‘melintasi batas kemauan bebas dan masuk ke dalam kendala (idtirār)’. Tuhan, kata al-Ghazali, ‘mengunci lidahku’, dan ia tak bisa mengajar. Kesehatannya memburuk. Para dokter tak tahu bagaimana mengobatinya. Mereka menyimpulkan bahwa sakitnya bukanlah gangguan jasmani. Akhirnya al-Ghazali pun mengambil keputusan; ia ‘berlindung kepada Allah yang meringankan hatinya untuk menampik kedudukan dan harta, dan lepas dari anak-anak dan sahabat’.

Dengan segera dibagi-bagikannya kekayaannya dan ditinggalkannya Baghdad. Sejak itu ia berkelana, selama sebelas tahun lamanya, ke Damaskus, Jerusalem, Hebron, Madinah, Mekah dan kembali ke Baghdad sebentar di bulan Juni 1097, sebelum ia akhirnya kembali ke Tus, tempat kelahiran dan akhirnya tempat wafatnya.

Dalam cerita yang terkenal itu, kita bisa merasakan keresahan batin yang mencengkam. Pilihan ber-khalwat pada waktu itu adalah sebuah laku yang luar biasa bagi seorang faqih yang terpandang seperti al-Ghazali. Sebab bukan saja kegemilangan dunia yang ditinggalkannya. Ia mengundurkan diri dari banyak hal lain.

Abu Sway mencatat, bahwa di tahun 1098, Yerusalem jatuh dari kekuasaan Islam. Pasukan Perang Salib dari Prancis merebutnya. Tapi tentang peristiwa yang mengguncang dunia Islam ini al-Ghazali diam. Ia tak menyerukan jihad.

Ada di antara para penelaah sejarah pemikiran Islam yang kemudian mengecam sikap diam ini. Abu-Sway mencoba menjelaskan posisi ini dengan menyebutkan, bahwa pengertian ‘jihad’ bagi al-Ghazali, mengikuti hadith Nabi, juga berarti mencari pengetahuan, atau zikir, atau, ‘mengucapkan kata kebenaran di hadapan sultan yang tak adil’. Menurut Abu-Sway, bagi al-Ghazali, kekalahan politik Islam di Yerusalem hanyalah sebuah gejala penyakit dalam kekhalifahan, yang merupakan sebuah kekuasaan yang korup, dan ia tak hendak dekat di sana.

Penampikan ini tak berarti membuat al-Ghazali sepenuhnya acuh tak acuh kepada keadaan. Jauhnya ia dari pamrih kekuasaan justru memberinya wibawa, meskipun bukan tanpa problem. Abu-Sway mengatakan, bahwa Islam pada dasarnya tak akan membenarkan seseorang menarik diri dari masyarakat dan hidup menyepi dalam pertapaan, tapi al-Ghazali berjalan bersendiri berkelana di pelbagai tempat sebagai seorang zuhud. Di Yerusalem ia bahkan acapkali berdiam diri dalam Al-Sakhrah, ruangan di bawah kubah yang dipercaya sebagai tempat Nabi bertolak untuk Mi’raj. Akhirnya ia hidup ber-khalwat selama sebelas tahun di Tus, mendirikan pondok untuk para sufi, menegaskan perlunya hidup miskin, bahkan dalam sepucuk surat mengutip kata-kata Yesus, bahwa kelak, ‘orang yang kaya tak akan dapat masuk ke kerajaan surga’. Tak terbayangkan bahwa dengan demikian ia – yang terkenal sebagai seorang sufi yang menghormati syari’ah — bermaksud melanggar perintah Allah yang tak membenarkan rahbāniyyah, hidup kerahiban.

Persoalan menafsirkan ‘perintah Allah’ ini, sebuah persoalan penafsiran yang klasik, pada akhirnya diputuskan oleh pilihan seseorang dalam berhubungan dengan Tuhan dalam hidupnya. Tapi tak mudah menjelaskan sebab-sebab sebuah pilihan, juga dalam hal seoarng faqih yang merindukan kepastian seperti al-Ghazali. Abu-Sway mengatakan, bahwa al-Ghazali memutuskan untuk berkhalwat bukan untuk melepaskan diri dari ‘kesulitan-kesulitan politik’ di Baghdad. Tapi tampaknya jelas pula bahwa pilihan al-Ghazali itu dipengaruhi oleh pandangannya tentang kekuasaan pada umumnya.

Kita tahu ia telah menyaksikan dan terlibat dalam perilaku kekuasaan secara langsung ataupun tak langsung. Maka penting untuk dicatat bahwa di makam Nabi Ibrahim di Yerusalem, ia bersumpah seraya menarik garis yang tegas: ia tak mau menerima uang dari Sultan yang manapun, juga tak hendak mendatangi mereka — sebuah sikap yang ditegaskannya kembali dalam suratnya kepada Sultan Sanjar Seljuqi, ketika ia menolak undangan penguasa itu agar datang ke istana. Bahkan dalam sepucuk surat untuk Qazis dari Maghrib-i Aqsa, ia menasihati: ’Tuan tak akan beroleh selamat, kecuali kalau tuan putuskan hubungan dengan para Amir dan Sultan’, sebuah pandangan yang sangat meragukan nilai moral dari setiap kepemimpinan politik, sesuatu yang tampak jelas dalam surat-suratnya yang dihimpun oleh Abdul Qayyum (Qayyum: 1992).

Pendirian ini – yang bisa menjadi tauladan terus menerus dalam hal hubungan antara seorang alim dengan kekuasaan, semacam yang sembilan abad kemudian dipujikan oleh Julien Benda dalam La Trahison des Clercs — tentu menimbulkan problem sendiri. Bagaimana hukum dan ajaran Islam dijaga di dunia, jika tak ada kekuasaan yang didekati dan dibentuk oleh mereka yang hidup dengan pengetahuan tentang Tuhan dan kehendak-Nya?

Pertanyaan ini tak mudah diselesaikan, terutama di zaman ketika sejarah memberi contoh yang berderet tentang kekuasaan manusia (juga yang dijalankan dengan ketaatan beribadah) yang pada akhirnya tetap merupakan kekuasaan dari makhluk yang terbatas, dengan kecenderungannya untuk membenarkan diri. Dengan kata lain, argumen yurisprudensi Islam seperti tersirat dalam siyāsa shari’yya akan selalu dipengaruhi oleh tendensi itu.

Maka saya kira ada benarnya yang ditulis oleh salah satu penelaah Al-Ghazali, Kojiro Nakamura (Nakamura: 1985) bahwa keputusan orang alim dari Tus itu untuk meninggalkan Baghdad dan hidup menjadi seorang sufi merupakan ‘sebuah manifestasi dari satu tahap baru pemahaman agama dalam perkembangan sejarah Islam’. Sebelumnya, pemahaman ini mendapatkan bentuknya dalam usaha menyusun dan menjalankan perangkat hukum yang mengatur perilaku umat dan tata sosial kekhalifahan. Pemahaman ini semakin terasa kehilangan daya dorongnya di tengah pengalaman sejarah yang ada – pengalaman yang menyaksikan ketidak-adilan tak kunjung lenyap. Tahap baru pun dijelang. Dalam kata-kata Nakamura: ‘sebuah iman yang diekspresikan sebagai komunikasi langsung dengan Tuhan dalam pengalaman mistik sufi’.

Sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan oleh Abu-Sway, sampai akhir hayatnya, pengarang kitab Ihya Ulum al-Din ini memang tak pernah meninggalkan sufisme dan tetap dengan pilihannya untuk menjauhi dunia. Tentu saja, seperti telah disinggung di atas, ia bukan sama sekali tak peduli akan keadaan; secara tak langsung surat-suratnya menunjukkan ia tak meniadakan hubungan antara kesalehan dan masyarakat. Tapi tampak bahwa baginya keterbatasan manusia menyebabkan pengetahuan tentang hukum agama itu tak akan memadai buat jadi pembimbing. ‘Meskipun pengetahuan tentang hukum yang berhubungan dengan penyelenggaraan keadilan antar manusia merupakan sesuatu yang tak dapat ditinggalkan,’ demikian tulis al-Ghazali kepada Abu Hassan Mas’ud, ‘itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan pengetahuan ke-Ilahi-an, yang menerangi jalan kita ke Surga dan menghidupkan kembali ruh kita dengan wanginya yang semerbak’.

‘Pengetahuan ke-Ilahi-an’ itulah yang agaknya menjadi pegangan al-Ghazali: tasawufnya makin menegaskan keyakinannya tentang keterbatasan akal manusia. Baginya ‘ada misteri dalam kenyataan rohaniah yang akan selalu tak terjelajahi’. Bahkan faktor ‘yang akan selalu tak terjelajahi’ itu menjadi demikian penting hingga ada kalimat dari Ihya Ulum al-Din yang sering dikutip: ‘mengungkapkan misteri kuasa Allah adalah kufur’.

Agaknya itulah dasar bertolak al-Ghazali untuk menampik perdebatan keagamaan. Ia telah menempuh hidup di mana perdebatan seperti itu, yang selalu berupa perdebatan tafsir tentang Tuhan dan firman-Nya, tak bisa lepas dari hubungan-hubungan kekuasaan dan kepentingannya, dan akhirnya tak akan membuahkan legitimasi yang final.

Kita ingat ia telah bersumpah di Yerusalem, di makam Nabi Ibrahim. Ia bersumpah — seperti yang dinyatakannya juga kepada Nizamuddin Ahmed yang mengundangnya kembali mengajar di Baghdad — bahwa ia tak hendak terlibat dalam kontroversi seperti itu. Ia memilih tinggal di Tus, bersama murid yang lebih sedikit, dengan fasilitas untuk menambah pengetahuan yang tak lengkap. ‘Di Baghdad, ‘tulis al-Ghazali, ‘saya tak dapat mengelak dari kontroversi keagamaan’.

Kontroversi keagamaan mau tak mau akan mendasarkan diri kepada pendekatan terhadap ‘kebenaran’. Bagi al-Ghazali, dengan pandangan seorang sufi, kebenaran bukanlah sebuah kesimpulan kognitif yang cocok dengan ‘kenyataan’. Ia berbicara tentang ‘yakin’ sebagai sebuah taraf pengalaman, sesuatu yang datang melalui proses dhawq, intuisi mistik yang bukan ‘ilmu’, melainkan ‘laku’; bahkan, seperti diutarakannya dalam Mishkāt ul Anwār, bisa dibandingkan dengan pengalaman intuitif seorang penyair. Mukashafah, kata lain yang penting dalam sistem al-Ghazali, ibarat ‘sebuah sinar yang muncul di hati setelah hati itu disucikan dari sifat-sifatnya yang tercela’. Mukashafah ini kurang lebih sama dengan ‘pencerahan’: keadaan ketika kebenaran terungkap, kawedar. (Jabre: 1958; Shehadi: 1964; Abu-Sway: 1996).

Persoalan tentu tak akan selesai dengan pendirian seperti ini, terutama dalam perkara ‘kepastian’. Apa yang bisa dipenuhi dari kata-kata al-Ghazali dalam al-Munqidh: ‘Orang harus dilindungi dari kekeliruan, dan harus begitu terpaut erat dengan kepastian’?

Sejarah pemikirannya menunjukkan bahwa al-Ghaxali sendiri tak gampang menjawab pertanyaan itu.


II

DI bulan Januari 1095, ia selesai menulis Tahāfut al-Falasifah (‘Keruwetan Para Filosof’). Buku ini tak sedahsyat Ihya ‘ulum al-din dari segi kemampuannya untuk mengangkat nama pengarangnya dalam sejarah pemikiran Islam. Tapi Tahāfut penting bagi pembicaraan kita karena ia mencerminkan usaha awal al-Ghazali untuk meneguhkan kepastian pengetahuan yang menyangkut iman – dan juga, pada hemat saya, membuka persoalan yang tak kunjung terpecahkan bahkan sampai setelah kitab Ihya terbit dan menimbulkan pelbagai reaksi selama bertahun-tahun..

Berbeda dengan Ihya yang ditulis setelah al-Ghazali hidup menyendiri, Tahāfut disusun di antara kesibukannya mengajar dan mengikuti tugas resmi sebagai rektor. Isinya adalah buah pikiran yang lahir delapan bulan sebelum ia meninggalkan kedudukannya, bahkan sebelum ia merasakan kerisauan batinnya.

Ada yang mengatakan buku ini salah satu dari sebuah trilogi: yang pertama adalah Maqāsid al-Falasifah (‘Maksud Para Filosof’), sebuah uraian yang akurat tentang pemikiran Neo-Platonis dalam filsafat yang tumbuh di dunia Islam, yang lain adalah Mi’yar al-‘Ilm (‘Kriterium Ilmu’). Ada pula yang menyebut Al-Ghazali, segera setelah menerbitkan Tahāfut, merasa perlu menjelaskan buku itu dan menulis juga Mihakk al-nazar fi’l-mantiq (‘Batu Ujuan Pembuktian dalam Logika’), yang seperti Mi’yar, merupakan telaah tentang logika Aristoteles.

Tahāfut berangkat sebagai polemik. Judulnya dengan segera menyarankan itu. Al-Ghazali memang menulis untuk melucuti argumen yang terdapat dalam Kitab al-Najāt Ibn Sina, filosof besar dari abad ke-10 dan 11 itu, yang oleh sebagian komentator dikutuk dan oleh al-Ghazali sendiri diragukan kesalehannya. Dari terjemahan Sabih Ahmad Kamali (al-Ghazali: 1963), saya menemukan dalam pengantarnya sebuah sikap yang sengit, yang menyebut orang-orang ‘ateis’, atau kalau tidak, ‘orang-orang yang berbuat bid’ah di masa kita’, yang layak dicap sebagai ‘sesat seperti setan dan bandel secara bodoh’.

Seperti tampak dalam kesimpulan buku ini, al-Ghazali belum membebaskan diri dari posisi sebagai ‘jurubicara’ kaum ulama, dan bertindak sebagai seorang teolog dan seorang faqih yang punya otoritas. Apalagi setelah Tahāfut ia menulis Faysal al-Tafriqah Bayn al-Islam Wa ‘l-Zandaqah, yang menjelaskan dasar hukum bagi penilaiannya, bahwa para filosof telah ingkar.

Agaknya dari sini orang mendapat kesan bahwa penulis Tahāfut adalah seorang pengawal ortodoksi – seorang yang menutup pintu bagi filsafat dalam Islam, dengan akibat masa muram yang panjang bagi dunia pemikiran, walaupun dicoba perbaiki oleh Ibnu Rushd di abad ke-12 dari kehidupan intelektual yang sedang cemerlang di Spanyol.

Tapi tak jelas sebenarnya sejauh mana al-Ghazali menghardik habis kegiatan berpikir. Dari teksnya sendiri, Tahāfut lebih merupakan polemik ke arah para filosof yang dikenal di zamannya ketimbang hantaman terhadap ikhtiar filsafat pada umumnya. Al-Ghazali mengecam mereka yang ‘menolak untuk puas dengan agama yang diikuti nenek-moyang’, yang seraya memuja nama-nama besar seperti Plato, Sokratres, dan Aristoteles, merasa ‘terhormat bila tak menerima kebenaran dengan sikap tak kritis’, meskipun sebenarnya mereka tak kritis sama sekali kepada argumen yang keliru.

Satu hal perlu dicatat: al-Ghazali menyebut filosof bukan Muslim yang pengaruhnya telah meresap ke dunia Islam selama sekitar 200 tahun itu tanpa menampik sama sekali filsafat Yunani. Baginya, ‘para filosof zaman dahulu’ itu, yang oleh ‘kaum ateis zaman kita’ diklaim sebagai guru, adalah orang-orang yang ‘tak membantah agama’.—satu hal yang sebenarnya membuatnya lebih dekat kepada sikap Ibnu Rushd ketimbang yang sering diduga.

Tapi perdebatan yang intens selalu tak hanya menyangkut ide. Tampaknya memang ada hubungan yang tak ramah antara para filosof dan para mutakallimun di masa itu. Telaah Watt (Watt: 1961) mencari sebab keadaan itu dari sistem pendidikan di dunia Islam di abad ke-11: mereka yang mengenal filsafat Yunani terpisah dari mereka yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Apalagi yang disebut para filosof, menurut Watt, adalah sekelompok kecil orang yang hampir semuanya ‘cranks’, tukang recok dengan ide-ide mengejutkan dan eksentrik, meskipun di antaranya ada yang jadi tabib yang ulung. Watt menggambarkan, bahwa ‘hanya dengan motif yang sangat kuat seorang teolog dapat melawan warisan kecurigaan itu dan bergabung dengan kelompok filosof’.

Al-Ghazali adalah salah satu dari sedikit teolog yang meskipun tidak ‘bergabung’, berani ke seberang untuk bertamu ke kemah orang-orang seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina serta pengikutnya. Perhatiannya yang mendalam kepada logika menyebabkannya dikecam oleh sejumlah ulama dari Mazhab Maliki, juga oleh Ibnu Taymiyah, tokoh Mazhab Hambali. Logika memang belum sepenuhnya diterima dengan tenteram oleh para teolog masa itu. Tapi, seperti dikatakannya dalam al-Munqidh, ia tak ingin bertindak seperti orang buta dalam membantah. Ia harus juga memahami dan mengenal kedalaman sistem pemikiran lawannya.

Mungkin itu sebabnya sekitar 80 tahun kemudian, Ibnu Rushd — di samping menulis polemiknya terhadap Tahāfut yang termashur itu dengan judul yang lucu dan cerdas, Tahāfut al-Tahāfut, (‘Ruwetnya Keruwetan’) — menggambarkan diri al-Ghazali dengan setengah kagum dan setengah mengejek. Dari kitab Fasl al-maqāl-nya ia dikutip mengatakan bahwa ‘Abu Hamid’, nama lain orang alim dari Tus itu, ‘tampak sebagai seorang penganut Asy’airiyah di antara kaum Asy’airiyah, sebagai seorang Mu’tazilah di antara kaum Mu’tazilah, sebagai seorang Sufi di antara kaum Sufi, dan filosof di antara filosof’.

Tapi justru sebab itu Tahāfut al-Falasifah adalah sebuah karya polemik yang cerdas, dengan logika yang tajam dan argumentasi yang analitis. Bahkan ada yang menyimpulkan (Bello: 1989) karya al-Ghazali ini di pelbagai soal pokok tak terbantah oleh kritik Ibnu Rushd, pendekar kemandirian filsafat itu.

Terdiri dari 20 bab yang menampik proposisi kaum filosof yang umumnya punya argumen kuat, Tahāfut memang bisa melelahkan karena pengulang-ulangannya. Tapi tak pelak lagi: posisi dan ungkapannya gigih, cemerlang, dan jelas.

Sebagian besar halamannya dicurahkan untuk menghadapi teori qidam al-‘ālam, atau kekekalan alam semesta, dan bagaimana penciptaan oleh Tuhan dilihat oleh para filosof. Kita dapat menduga kenapa al-Ghazali, seorang ulama, juga seorang faqih dan pemikir yang dekat dengan pemikiran Asy’ariah, mengutamakan perkara ini. Begitu pula kenapa ia menganggap penting membantah penafsiran (dengan gema suara Aristoteles) tentang Tuhan sebagai Sang Sebab Pertama.

Di permukaan, perdebatan ini adalah perdebatan mengenai apa yang diketahui manusia tentang Allah dan dunia. Tapi pada akhirnya mau tak mau melibatkan persoalan ethis; argumen-argumen al-Ghazali sebenarnya adalah pendirian tentang bagaimana manusia bersikap. Seperti nanti akan diuraikan lebih lanjut, persoalan kekekalan alam semesta dan berlaku atau tidaknya tesis sebab-dan-akibat, terutama dalam pemikiran al-Ghazali, mau tak mau menyangkut masalah bagaimana manusia diharapkan dan diposisikan di dunia.

Tentu saja kita harus mulai dengan pemikiran Aristoteles – setidaknya Aristoteles sebagaimana ditafsirkan orang di dunia berbahasa Arab di zaman itu. Sebab persoalan kekekalan alam semesta memang berasal dari ‘sang guru pertama’ dari Yunani itu. Sebelum Aristoteles, para filosof umumnya menganggap alam semesta datang dari sebuah materi yang primitif atau dari dunia yang lain. Setelah Aristloteles, dalam Kitab al-Najāt Ibnu Sina tesis qidam al-‘ālam itu mendapatkan gemanya.

Bantahan al-Ghazali terhadap pandangan itu bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun pengaruh Aristoteles amat besar, sekitar seratus tahun sebelum al-Ghazali kritik yang mirip telah datang dari al-Kindi, al-Razi, kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah (termasuk guru al-Ghazali, yakni al-Juwayni). Bahkan sebagian sejarawan melihat para filosof Islam yang menampik pandangan tentang kekekalan alam semesta.ini mendapatkan sumbernya pada pemikiran Johannes Philophonus, teolog Kristen dari Iskandariyah sebelum Islam. Tapi dalam sejarah yang panjang itu, demikianlah dikatakan, hanya dalam Tahāfut itulah teori yang ‘sesat’ itu diuraikan dengan terang. Bahkan al-Ghazali dengan akurat dan adil menunjukkan bagian ‘yang paling pintar’ dari argumen para filosof, dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang tak mudah dijawab:


‘Jika asal usul dunia dikarenakan laku Tuhan, pertanyaannya tetap: Mengapa sekarang, dan bukan sebelumnya? Apakah hal itu disebabkan tidak adanya cara, atau kuasa, atau tujuan, atau alam?

‘…Tentu mustahil untuk menjawab, ‘Karena ketidak-mampuan-Nya untuk membuat dunia ada’, atau ‘Karena mustahilnya dunia untuk ada’. Seandainya demikian itulah jawabnya, berarti Tuhan berubah dari tak mampu menjadi berdaya, atau dunia berubah dari kemustahilan menjadi mungkin…

‘Yang paling mendekati [jawaban yang tepat] adalah bila kita membayangkan diri mengatakan bahwa Tuhan sebelumnya tak menghendaki adanya dunia….

‘Berarti kehendak itu punya permulaan dalam waktu, sementara Ia tak tunduk kepada peristiwa temporal.


Hubungan antara Tuhan dan alam semesta, bagi filosof seperti Ibnu Sina, bukanlah seperti hubungan antara arsitek dan sebuah bangunan. Bagi mereka, alam semesta ‘memancar’ dari hadirat-Nya. Karena Tuhan tak tunduk kepada kerangka waktu, para filosof menganggap alam semesta senantiasa ada bersama kekekalan Tuhan. Sebab mustahil bila baru pada suatu waktu timbul ‘kehendak’ Tuhan untuk menciptakan alam semesta. Jika itu terjadi di ‘suatu waktu’, berarti Tuhan tidak kekal. Waktu, seperti dalam pengertian Aristoteles, menandai perubahan, sedang Tuhan begitu sempurna hingga Ia tak berubah. Demikian juga kehendak-Nya.

Tapi, bagi al-Ghazali, penciptaan bisa terjadi tanpa waktu. Kita, kata al-Ghazali, bisa mengajukan satu tesis: mula-mula Tuhan ada sebelum Yesus, kemudian Tuhan ada dan Yesus ada, tanpa harus mengasumsikan ada unsur waktu di sana. Dalam proses itu, manusia memasukkan unsur waktu karena ‘imajinasi tak dapat menolak untuk menganggapnya demikian’. Imajinasi tak mampu membayangkan adanya sebuah kejadian di luar waktu, sebab manusia hidup dalam waktu yang diciptakan Tuhan bersama alam semesta. Tapi dengan logika dan nalar murni kita dapat menyimpulkan kemungkinan adanya keadaan tanpa waktu ketika penciptaan terjadi: yang maha kuasa akan selalu dapat menciptakan sesuatu dari ketiadaan yang sehampa-hampanya.

Perdebatan ini, yang sangat kompleks dan mendasar (dan tak akan cukup diuraikan sepenuhnya di sini), pada akhirnya berkisar pada persoalan: adakah alam semesta diciptakan ex nihilo, dari sesuatu ketiadaan sama sekali, ataukah, seperti dalam filsafat al-Farabi dan Plotinus, merupakan emanasi atau ‘pancaran’ esensi Tuhan yang kekal. Al-Ghazali menegaskan yang partama. Ia hendak mengukuhkan kembali peran Tuhan yang tidak tampil impersonal seperti dalam teori penciptaan para filosof, melainkan Tuhan yang mahakuasa dan mahatahu. Juga Tuhan yang mempunyai iradah, berkehendak.

Sejak al-Kindi di abad ke-9 memperkenalkan kata muhdith dalam perbincangan filsafat dalam bahasa Arab — yang oleh Majid Fakhry (Fakhry: 2004) dengan sadar diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai generator, dan bukan creator — para filosof memang tampak terombang-ambing dalam menggambarkan Tuhan: Sang Pencipta-kah Ia, atau Sang Maha Pemula?

Bila kita berangkat dari tesis bahwa alam semesta dan hidup diciptakan oleh yang maha kuasa, kuasa itu dapat memutuskan dari kehendaknya yang kekal untuk menciptakan sesuatu – juga sesuatu dalam kerangka temporal. Untuk mengatakan hal itu mustahil, para filosof, menurut al-Ghazali, tak punya argumen yang memadai. Yang pasti tak berdasarkan keniscayaan rasional yang tak usah dibuktikan lagi. Sebab jika demikian halnya, kenapa tak setiap orang. langsung setuju?

Juga para filosof, menurut al-Ghazali, tak punya argumen berdasarkan logika. Secara logika orang tak dapat serta merta mengatakan bahwa karena premis ‘tak-ada’ menjadi ‘ada’ adalah urutan dalam waktu, maka kesimpulannya kehendak membuat ‘tak-ada’ menjadi ‘ada’ dengan sendirinya berada dalam waktu. Silogisme ini baru lengkap jika didahului dengan satu pembuktian, bahwa mustahil ada ‘kehendak’ yang bisa bebas dari kerangka temporal – dan itu berarti kita kembali ke titik awal persoalan. Maka al-Ghazali pun menyimpulkan:


‘Yang telah tuan-tuan katakan hanya menunjukkan adanya kemustahilan, dengan membandingkan kehendak Ilahi dengan kecenderungan atau kehendak kita. Perbandingan itu salah; sebab kehendak yang kekal tak dapat menyerupai kecenderungan temporal.’


Tampak, bahwa bagi para filosof, hanya ada dua kemungkinan ketika kita berbicara bahwa Tuhan ‘membuat’ dunia. Kemungkinan pertama adalah antara Tuhan yang ‘membuat’ dan dunia yang ‘dibuat’ ada jarak waktu. Itu sama saja dengan mengatakan Tuhan, seperti ciptaan-Nya, berada dalam kerangka waktu. Kemungkinan kedua ialah bahwa kata ‘membuat’ punya makna lain yang bukan urutan waktu, bukan temporal, melainkan esensial, khususnya dalam hubungan sebab dan akibat. Contoh yang gamblang adalah gerakan tubuh kita yang ‘membuat’ bayangan bergerak atau gerakan tangan yang menyebabkan cincin di jari kelingking bergerak pula.

Bagi al-Ghazali, mengatakan Tuhan berada dalam kerangka waktu tentulah bertentangan dengan konsep kekekalan Tuhan – dan dalam hal ini ia setuju dengan argumen para filosof . Tapi mengatakan bahwa hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan kausal juga bisa menyesatkan.

Kita tahu Aristoteles beranggapan bahwa tak mungkin rangkaian sebab-dan-akibat di dunia bersifat tanpa batas; ‘sebab pertama’ niscaya ada. Ini pulalah yang kemudian diikuti al-Farabi: ia menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Yang Awal’. Syahdan, dari [Sebab] Yang Awal inilah yang alam semesta berpangkal. Kaitan antara sang [Sebab] Yang Awal dan alam semesta adalah kaitan kausal yang secara alamiah niscaya terjadi.

Para pengritik doktrin ‘keniscayaan alami’ ini — mereka menyebutnya ījāb dhātī — menyerang bahwa ada yang tak meyakinkan dalam keyakinan tentang Tuhan di dalam pandangan ini. Seperti dicoba ditunjukkan al-Ghazali, bila genesis alam semesta dilihat dari pandangan ini, bila Tuhan oleh Ibnu Sina disebut sebagai wājib al-wujūd, Ia tak dianggap sebagai subyek dan pelaku yang bebas, fā’il mukhtār. Inilah yang diutarakan al-Ghazali:


Pelaku (fā’il) adalah ia dari mana sebuah laku berlangsung, sebagai akibat dari kemauan untuk berbuat, menjalankan laku, dengan kebebasan memilih dan pengetahuan tentang apa yang dimaui. Tapi dalam pandangan tuan-tuan, hubungan dunia dengan Tuhan sama dengan hubungan antara akibat dan sebabnya. Maka dunia menyusul-Nya sebagai akibat yang niscaya (darūri). Karena itu, tak terpikirkan bahwa Tuhan akan telah dapat menghindari perbuatan-Nya, sebagaimana bayang-bayang tak dapat menghindari seseorang, atau sinar menghindari matahari.

Tapi ini tak ada hubungannya dengan ‘perbuatan’. Mereka yang mengatakan bahwa lampu ‘melakukan’ cahaya, atau seseorang ‘melakukan’ bayang-bayang, adalah mereka yang menjembereng makna kata melebihi definisinya. Mereka akan meminjam sepatah kata yang dipakai di suatu konteks yang lain, karena terlampau mudah mempersoalkan hubungan antara dua hal dari satu sifatnya saja – yakni seorang pelaku adalah seluruhnya hanya sebuah sebab, dan lampu adalah penyebab terang dan matahari penyebab cahaya.

Tapi pelaku tak disebut pelaku semata-mata karena ia ada sebagai sebab, melainkan ia sebuah sebab dalam cara khusus, yakni dalam cara kemampuan dan pilihan bebas….


Argumen ini pada hemat saya penting: ide tentang Tuhan sebagai fā’il mukhtār dalam al-Ghazali bersangkut paut dengan pandangannya yang tak hendak menerima secara mutlak tesis kausalitas. ‘Hubungan antara apa yang dipercaya sebagai sebab dan akibat’, demikian tercantum di kalimat awal bantahan ke-17 dalam Tahāfut, ‘bukanlah hubungan yang niscaya sifatnya’.

Al-Ghazali bisa mengerti bila orang percaya, bahwa beberapa kejadian di dunia membawa kejadian lain, dan bahwa pengalaman kita tentang hal itu memberi kita keyakinan akan kemampuan kita mengartikan apa yang berlangsung dalam kehidupan. Yang ditentang al-Ghazali ialah anggapan bahwa kaitan sebab-akibat itu mau tak mau harus terjadi.

Coba lihat sepotong kapas terbakar karena api, katanya. Para filosof mengatakan bahwa api itu ‘membakar’ kapas, dan itu terjadi karena keniscayaan alami. Dengan kata lain, api itulah pelaku pembakaran. Tapi bagi al-Ghazali, api yang didorong keniscayaan tak punya kehendak. Maka yang kita saksikan adalah A ada dengan B, dan bukan ada oleh B, tanpa sebab lain apapun selain B.

Hampir seperti Sextus Empiricus yang menentang teori kausalitas Aristoteles di abad ke-2 dan seperti Hume di abad ke-18, al-Ghazali secara tak langsung menunjukkan, bahwa ketika kita melihat ada hubungan antara sebab dan akibat dalam dua kejadian, kita sebetulnya hanya memproyeksikan ke dunia sebuah pengharapan dalam diri kita, pengharapan yang terbentuk oleh pengalaman. Dengan kata lain, yang lahir dari sebuah ‘kebiasaan’, ‘adah.

Pada dasarnya argumen ini menggemakan kembali pemikiran ‘atomistik’ Asya’iriah: tiap kejadian, sebagaimana tiap zarah yang ada di dunia, adalah hasil ciptaan dari ketiadaan. Oleh Tuhan, semuanya digabung dan dipertahankan sementara di dalam ruang-ruang yang terbatas. Tuhanlah yang mengatur atom yang terpisah-pisah itu dalam sebuah desain, sebuah pola, hingga tak berantakan dan asal-asalan, hingga orang dapat memperoleh pengetahuan dan ilmu tentang alam. Maka, kalaupun ada ‘kekuatan silogisme yang tersembunyi’, qūwa qiyāsīyā khafiya, untuk memakai kata-kata Ibnu Sina, itu bukan karena sifat dasar obyek dan kejadian itu sendiri.

Di sinilah al-Ghazali berbeda dari Hume, seorang empiris dan sekaligus seorang materialis. Al-Ghazali seorang ulama yang percaya bahwa tiap kejadian ditentukan oleh Tuhan yang mempunyai kemauan bebas, Tuhan yang bukan Sebab Pertama, melainkan satu-satunya Subyek, Pelaku, atau fa’il mukhtār.

Kesimpulan al-Ghazali tentu saja lebih merupakan kesimpulan seorang teolog. Ketika ia menggunakan metode filsafat, misalnya logika, untuk mempertahankan kesimpulan itu, ia tak cukup bergerak jauh, apalagi radikal. Salah satu bantahan Ibnu Rushd dalam Tahāfut al-Tahāfut secara tak langsung menunjukkan satu persoalan yang tak dimasuki al-Ghazali dari tesisnya sendiri: dari mana sebenarnya manusia melihat dan memahami ‘desain’ atau ‘pola’ dalam atom yang terpisah-pisah di alam semesta itu?

Jika itu dari ‘kebiasaan’ (‘adah), apa arti ‘kebiasaan’ di sini? ‘Kebiasaan’ Tuhan dalam menentukan hal ihwal? Jika Tuhan mempunyai ‘kebiasaan’, itu berarti Tuhan melakukan sesuatu berdasarkan sebuah corak perilaku yang berulang-ulang – yang tak cocok dengan konsep Tuhan yang, dalam tesis al-Ghazali, berkehendak bebas untuk membuat tiap kejadian terjadi. Al-Ghazali juga tentu tak akan menyebutnya sebagai ‘kebiasaan’ dari hal ihwal itu sendiri; baginya hal-ihwal bukan ‘pelaku’.

Ataukah itu ‘kebiasaan’ manusia? Jika ‘kebiasaan’ ini dipasang oleh Tuhan dalam diri manusia, atau pun jika ‘kebiasaan’ itu terbit dari manusia sendiri, dan dengan ‘kebiasaan’ itulah manusia memahami hal ihwal, menilai, dan memutuskan, maka itu berarti, dalam kata-kata Ibnu Rushd, ‘tak akan ada kearifan di dalam dunia yang membuat kita dapat menyimpulkan bahwa sang pelaku adalah arif bijaksana’..

Di sini sebenarnya yang kita saksikan adalah tema perdebatan klasik kaum Asy’airiah dengan kaum Mu’tazilah. Secara kasar dapat diringkaskan, bahwa inilah perdebatan untuk menentukan, di mana kita harus meletakkan titik berat dalam sejarah: pada desain Tuhan? Pada kreatifitas manusia?

Kita tahu di mana al-Ghazali berdiri. Dalam satu telaah yang seksama tentang hubungan yang tak semuanya pasti antara al-Ghazali dan pemikiran Asya’iriah, Frank (Frank: 1994) mengutipnya dari al-Iqtisād f’il-I’tiqad: al-Ghazali memilih menggunakan pengertian ‘pencipta’, al-khāliqu wal-mukhtari, semata-mata buat Tuhan. Sebab dialah ‘yang menyebabkan sesuatu ada, melalui kekuatannya sendiri’. Laku manusia yang dijalankannya dengan kemauannya sendiri hanya bisa disebut kash (dalam bahasa Inggris: performance’).

Ini tentu saja yang tak tercantum dalam pemikiran Mu’tazilah: di sini tak ada rasa enggan menggunakan pengertian ‘khalaqa, yakhluqu’ bagi manusia sebagai subyek. Seperti kita ketahui, .dalam pemikiran ini manusia secara otonom menghadirkan lakunya di dunia. Tuhan hanya tak secara langsung mempengaruhi kejadian.

Dalam batas tertentu ini adalah benih sebuah ‘humanisme Islam’, dan sejarahnya panjang. Majid Fakhry menyebut asal usul perdebatan antara pemikiran Qadariyah yang mengakui kemauan bebas manusia dan kaum Jabariyah yang menampiknya dari sejak Ma’bad al-Juhanī. Pemikir ini dihukum mati di tahun 699 oleh Khalif Abdul-Malik (685-705). Pandangannya bentrok dengan kepentingan kekhalifahan: bila manusia dianggap punya kemauan bebas, maka sang khalif tak lagi dapat dilepaskan dari tanggungjawab atas tindakannya yang zalim, sebab tindakan itu tak lagi bisa dikatakan sebagai akibat ‘titah Tuhan yang tak dapat dijelaskan’.

Kaum Mu’tazilah tak selamanya berada dalam posisi perlawanan seperti itu, jika diingat bahwa dalam masa Khalif al-Ma’mun paham ‘rasionalis’ itu mendapatkan patronase politik penuh, bahkan di tahun 827 dan 833 ia jadi doktrin yang dipaksakan. Tapi pada saat yang sama permusuhan terhadapnya tak berhenti. Tentu saja doktrin tak pernah utuh dan tak bergeming; tiap pertentangan ide akan menimbulkan penekanan baru dan juga moderasi. Betapapun, dasar argumennya bertahan. Fakhry menyebut nama Mu’ammar b. ‘Abbad dari kota Basra, misalnya, yang menganggap bahwa di dunia benda-benda mati, laku – yang menyebabkan ‘kejadian’ — terjadi karena keharusan alam (tab’an), sedang di dunia makhluk hidup, laku terjadi karena ada kemauan (ikhtiyāran).

‘Humanisme’ ini tentu saja tak sepenuhnya menegaskan, bahwa manusia adalah pusat dan ukuran segala hal ihwal. ‘Humanisme’ Mu’tazilah pada dasarnya sebuah teodise.


III

DI tahun 1710, Leibnitz menerbitkan Essais de Théodicée dalam bahasa Prancis. Sejak itu, teodise dikenal: sebuah pembelaan manusia untuk membuktikan keadilan Tuhan, yang dibentuk dari kata theos dan dikē, ‘Tuhan’ dan ‘keadilan’. Dalam sejarah pemikiran Islam, kata itu tak dipergunakan, tapi ada benihnya sebelum ajaran Mu’tazilah tersusun di abad ke-9.. Dan persoalan tentang ini tak berhenti dengan al-Ghazali.

Dalam sebuah telaah yang menyeluruh dan mendalam, Ormsby (Ormsby: 1984) menemukan sumbernya pada pemikiran al-Hasan al-Basri, yang wafat di tahun 728.

Pada mulanya adalah persoalan, akankah Tuhan menghukum selama-lamanya mereka yang tak dibimbing-Nya sendiri ke dalam Islam. Terhadap ini al-Hasan al-Basri menjawab: ‘Tuhan kita begitu rahim, begitu adil, dan begitu pemurah untuk melakukan hal itu bagi hamba-Nya’. Dalam kandungan pernyataan ini, orang alim yang di masanya sangat berpengaruh itu menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia berkemauan bebas, dan sebab itulah, bila ia berbuat keji dan tak adil, itu adalah hasil kemauannya, bukan karena takdir Tuhan atas dirinya. Tuhan senantiasa akan bersifat adil.

Pengaruh al-Hasan sangat besar pada aliran teologi yang kemudian dikenal sebagai Mu’tazilah itu, yang memperkenalkan ‘teologi dialektis’ dalam Islam, yang mula-mula berkembang di Basra di abad ke-8. Yang terpenting bagi aliran ini — kemudian disebut sebagai ‘golongan keadilan’ (adlīyah) — adalah keyakinan tentang keadilan Tuhan. Sebagai bagian dari keyakinan itu, dikemukakanlah manusia sebagai pelaku dengan kemauan bebas.

Seperti kata Wasil ibnu ‘Atā, pendiri aliran ini: ‘Karena sang pencipta arif dan adil, maka dilarang membuat kaitan antara Dia dan kekejian (sharr) atau salah (zulm) …Sebab itu manusia adalah pembuat kebaikan, kekejian, keyakinan, kemungkaran, kekufuran dan dosa, dan diberi pahala atau hukuman atas lakunya’.

Kira-kira satu abad kemudian Ibrahim ibn Sayyār al-Nazzām, teolog Mu’tazillah dari Basra, mengatakan pula: ‘Kekejian adalah sebuah sifat yang secara intrinsik terdapat dalam perbuatan yang keji…Tuhan, pintu keadilan, tak boleh digambarkan sebagai yang punya kuasa untuk bertindak tak adil’.

Ada semacam optimisme dalam teodise Mu’tazillah: pandangan ini meyakini bahwa kejahatan di bumi tak pernah diniatkan oleh Tuhan. Bahkan Tuhan, didorong oleh sifat-Nya sendiri yang ‘begitu rahim, begitu adil, dan begitu pemurah’ senantiasa menyediakan apa yang sebaik-baiknya (al-aslah, kata kaum Mu’tazillah) bagi makhluk-Nya.

Optimisme ini menarik, tapi bagi sebagian teolog justru menggelisahkan. Tidakkah ajaran atau gambaran seperti itu mengandung pikiran yang hendak membuat Tuhan tak lagi Maha Kuasa? Jika Tuhan ‘harus’ menyediakan apa yang sebaik-baiknya, dan jika manusia adalah sumber dan ukuran ‘kebaikan, kekejian, keyakinan, kemungkaran, kekufuran dan dosa’, Tuhan akan tampak surut.

Pada dasarnya itulah kritik yang dilancarkan oleh kaum Asy’ariyah: bagi mereka, Tuhan berada di atas ukuran ‘kebaikan’ dan ‘keadilan’ manusia. Al-Ghazali menegaskan pandangan ini dengan mengatakan bahwa ‘baik’ (hasan) dan ‘jahat’ (qabih) berarti lurus atau melencengnya sesuatu dari sebuah tujuan, tapi Tuhan tak punya tujuan: Ia adalah tujuan itu sendiri. Bagi al-Ghazali, kezaliman (zulm) berarti pelanggaran hak milik pihak lain, tapi semua makhluk milik-Nya; Ia tak dapat dianggap zalim.

Tapi jika demikian halnya, akan adakah pertalian moral antara Tuhan dan manusia? Jika Tuhan terlepas dari seperangkat nilai-nilai, di manakah nilai-nilai akan mendapatkan otoritasnya agar universal, dan, karena universal, dengan mudah diterima untuk memperbaiki kehidupan? Dengan segera tampak, bahwa dilema yang dihadapi terletak di antara dua pilihan: bila Tuhan bersifat adil, Ia tidaklah maha kuasa. Tapi bila Tuhan mahakuasa, Ia tak niscaya adil.

Dilema ini dicoba dipecahkan oleh kaum Asy’ariah – yang punya akar teologi yang sama dengan kaum Mu’tazilah – dengan merumuskan: hanya Tuhan yang menciptakan laku di dunia, dan manusia ‘memperoleh’ laku ini dan dengan perolehan (kasb) itu sebab itu secara legal bertanggungjawab atas perbuatannya.

Tentu saja pemecahan ini tak memuaskan. Setali tiga uang: manusia di sini tetap semacam robot. Dengan demikian, bila ia dihukum, sementara ia hanya menjalankan sesuatu yang telah diprogram untuk eksistensinya, pengertian ‘salah’ menjadi problematik, dan akan terputus hubungan nilai-nilai antara yang insani dan yang illahi. Kemungkinan yang tertinggal adalah fatalisme.

Tapi fatalisme adalah sikap yang ibarat burung onta: membenamkan kepala dan matanya ke dalam pasir, menyerah agar tak mencoba mengetahui apapun tentang sifat Tuhan, selain sebagai Tuhan yang mahakuasa dan berkehendak. Fatalisme praktis mereduksikan Tuhan hanya sebagai kekuasaan. Tidakkah dengan demikian Ia jadi impersonal, karena tak punya sifat-sifat lain?

Yang pasti, fatalisme bukanlah agenda teologis kaum Asy’ariah. Tapi pandangan mereka bukannya telah menawarkan kata akhir. Juga pandangan al-Ghazali. Sebagai konsekuensi dari kritiknya terhadap pandangan para filosof yang menampilkan Tuhan sebagai sesuatu yang impersonal, al-Ghazali berbicara tentang sifat-sifat Tuhan. Tapi begitu seseorang masuk ke dalam bahasa ini – yang sifatnya antropomorfis – ia pun masuk ke dalam kemungkinan untuk jauh dari Tuhan sebagai subyek yang maha kuasa dan merdeka.

Dan itulah yang terjadi. Ormsby menguraikan dengan jernih sebuah kehebohan yang berlanjut sampai ke abad ke-19 di sekitar Ihya Ulum al-Din. Syahdan, di bagian empat buku yang termashur ini, ketika al-Ghazali membahas soal ‘tawakal,’ ada sepotong kalimat yang berbunyi: ‘Tak mungkin akan terjadi apa saja yang lebih bagus, lebih lengkap, atau lebih sempurna ketimbang yang ada kini’.

Bagi al-Ghazali, sebagaimana kemudian dikemukakan seorang penafsirnya, itu adalah tanda sifat pemurah (fadl) Tuhan kepada alam semesta dan manusia. Tapi bagi sebagian teolog, terutama dengan kecenderungan Asy’ariah, kalimat itu dianggap membangkitkan kembali teodise Mu’tazilah, yang membatasi Tuhan dari kemahakuasaan-Nya.

Memang ada dalam baris-baris Ihya, sebagaimana dipaparkan Ormsby, yang akan mengingatkan kita kepada optimisme yang pernah merisaukan kaum Asy’ariah. Terutama ini:


Setiap yang dibagikan Tuhan kepada manusia, misalnya dukungan kehidupan, panjangnya usia, nikmat dan sakit, mampu dan tak mampu, percaya atau tak percaya, patuh atau berdosa, semua itu semata-mata keadilan, tanpa ada ketidak-adilan di dalamnya, dan sepenuhnya benar, tak ada salah di dalamnya.

Sungguh, itu sesuai dengan tertib yang niscaya benar, menurut apa yang mesti, dan sebagaimana mestinya, dan dalam ukuran yang semestinya pula; dan tak mungkin akan terjadi apa saja yang lebih bagus, lebih lengkap, atau lebih sempurna ketimbang itu.


Bagi al-Ghazali, ‘tertib yang niscaya benar’ itu, al-tartīb al-wājib al-haqq, merupakan ekspresi kearifan ilahi. Dalam hal ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Ormsby, al-Ghazali sebenarnya tak mengikuti tesis Mu’tazilah tentang al-aslah, melainkan mengikuti pendapat yang menentang itu dan menggantikannya dengan isābah, atau ‘penempatan hal ihwal secara patut’. Tapi bagi kaum Asy’ariah, ini mirip dengan usaha me-‘rasional’-kan laku Tuhan. Tendensi ini patut dicurigai sebagai usaha menerjemahkan dan mereduksi Tuhan ke dalam kerangka nisbi manusia: mengatakan bahwa alam semesta ini merupakan karya Tuhan yang paling indah, bahwa ciptaan ini ‘menurut apa yang mesti’, sama artinya dengan membatasi sifat maha kuasa dan maha tahu Allah..

Memang, pandangan Asy’ariah tentang Tuhan di sini terasa kering dan juga kurang. Dua abad setelah al-Ghazali, Ibnu Taymiyah menilai kaum Asy’ariah sebagai yang ‘menegaskan kehendak [Tuhan] tanpa kearifan, menekankan kemauan [Tuhan] tanpa sifat pengampun, kasih, maupun dukungan’. Seperti saya katakan mengenai fatalisme, Tuhan kaum Asy’iriah juga hampir sepenuhnya tampil sebagai satu kekuasaan yang nyaris impersonal – dan lebih penting lagi: terlepas dari kaitannya dengan nilai-nilai insani.

Dilihat dari sini, melalui Ihya, al-Ghazali telah mencoba, untuk meminjam kata-kata Ormsby, ‘mengubah doktrin Asy’airah yang ketat’, yakni doktrin yang meletakkan kedaulatan Tuhan sebagai sesuatu yang ‘tak perlu dipertanggungjawabkan’.

Tapi perdebatan di sekitar Ihya tak berhenti. Ormsby mencatat bahwa itu berlanjut terus sampai sekitar delapan ratus tahun, kadang-kadang dengan letupan permusuhan. Di abad ke-15, misalnya, seorang penulis, Ibrāhim ibn ‘Umar al-Biqa’i menilai sang hujjat al-Islam telah berbuat bid’ah; syahdan, segera setelah bukunya terbit, di Damaskus terjadi kerusuhan yang hampir menyebabkan al-Biqa’i terbunuh.

Ironisnya, tema serangan itu kita kenal kembali sebagai gaung argumen al-Ghazali di masa lampau: kenapa, begitulah kata para penafsir al-Ghazali menyalahkan baris-baris Ihya itu, tak mungkin terjadi sesuatu yang lebih bagus ketimbang alam semesta sekarang jika Tuhan menghendakinya? Tidakkah di sini Al-Ghazali mengulang ajaran kaum filosof yang sesat, yang menafikan pilihan bebas Tuhan dalam mencipta? Perbantahan ini menyebabkan orang alim dari Tus yang pernah bersumpah untuk tak terlibat dalam kontroversi agama ini harus kembali mempertahankan diri dari para pengecamnya.

Memang, seperti di atas disebut, ia sebermula memilih diam. Dalam Ihya ia mengatakan bahwa ‘mengungkapkan misteri kuasa Allah adalah kufur’. Tapi pada akhirnya menafsirkan misteri kuasa Allah tak mungkin dielakkan – dan itulah sebabnya sejak Tahāfut, teologi, yang sering dikemukakan dengan semangat filsafat, tak berhenti. Teologi dalam Islam adalah ‘ilmu kālam’, yang kata seorang pakar sebermula berarti ‘ilmu percaturan pendapat’. Di dasar persoalan itu adalah pertanyaan: seberapa jauhkah Tuhan dari manusia?

Di sini, sebelum dan sesudah al-Ghazali, kita memang menghadapi apa yang paradoksal dalam pengertian kita tentang Tuhan.

Dalam Islam, doktrin tentang ‘sifat’ Tuhan yang tak terbandingkan, yang unik, dan yang sama sekali berbeda (mukhālafah) merupakan asas yang eksplisit dikemukakan. Setiap Muslim hafal Surah Al-Ikhlas. Yang Maha-Lain adalah juga Yang Maha-Tak-Diketahui, karena ‘mengetahui’ berarti juga menangkap, menyalin, meringkas, untuk menampilkan kembali ‘yang-lain’.

Tapi di hadapan dan mengenai Yang Maha-Tak-Diketahui, bagaimana kita membicarakan-Nya, ketika kita harus membicarakan-Nya? Di hadapan yang sama sekali berbeda, bagaimana bila kita akan, seperti disebutkan sebuah hadith, menumbuhkan sifat-sifat-Nya dalam diri kita?

Kita ingat, al-Ghazali memperingatkan para filosof, bahwa salah untuk ‘membandingkan kehendak Ilahi dengan kecenderungan atau kehendak kita’. Sebaliknya dalam kritiknya Ibnu Rushd juga mengingatkan, bahwa pengertian ‘kehendak’ yang dipakai al-Ghazali dan kaum Asy’ariah dalam hal Tuhan sering rancu dengan ‘kehendak’ dalam hal manusia. ‘Kehendak’ manusia terjadi karena ada yang dikehendaki, dan itu berarti ada yang belum didapat. Tuhan, dalam kesempurnaan-Nya, tak demikian.

Bahkan dapat dipersoalkan pula pengertian ‘kemerdekaan memilih’ dalam sifat Tuhan. Sebagaimana Ibnu Rushd menganggap adanya ‘kehendak’ dalam diri manusia sebagai indikasi kekurangan, hingga Tuhan sebenarnya tak pernah ‘berkehendak’ dalam arti itu, orang pun dapat mengatakan bahwa ‘kemerdekaan memilih’ pada hakikatnya muncul sebagai antitesis dari keadaan tak merdeka untuk memilih. Tapi Tuhan, dalam inayah-Nya dan kesempurnaan-Nya, tak perlu memilih. Dan itulah sebenarnya yang tersirat dari teori emanasi Ibn Sina yang dikecam al-Ghazali.

Walhasil: sedalam mana perbedaan Tuhan dari manusia digariskan? Bagaimana mendeskripsikan-Nya? Manusia dan bahasanya tak mungkin membebaskan diri dari persoalan ini. Tiap pihak agaknya berada dalam keadaan yang siap ‘keliru’ dalam tashbih, dalam menggunakan perbandingan Tuhan dengan makhluk. Kaum Mu’tazilah, misalnya, meskipun lebih membayangkan Tuhan sebagai Yang Maha Esa yang tak terperikan oleh sejumlah sifat (apalagi sifat atau kualitas itu juga dipakai buat manusia) dalam teodise yang mereka kemukakan, setidaknya bagi kaum Asy’ariah, telah membawa Tuhan ke dalam ukuran-ukuran antropomorfis. Mengambil posisi menghindar dari pencitraan Tuhan yang tanpa sugesti pensifatan sama sekali, seperti ta’til yang dicoba Jahm Ibnu Safwān di abad ke-8, tampaknya mustahil dilakukan oleh siapapun dalam bahasa yang ada.

Memang pada umumnya para pemikir dan teolog memilih jalan tengah: mengakui ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan manusia tanpa mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan yang terpaksa diterjemahkan ke dalam pengertian manusia — sebuah posisi yang sering disebut tanzih. Tapi posisi ini pun pada akhirnya selalu tentatif. Maka meskipun ia menampik pandangan Ibnu Sina yang menampilkan Tuhan sebagai wājib al-wujūd yang impersonal, pada akhirnya al-Ghazali juga mengatakan, bahwa Tuhan berada di luar pensifatan yang mengacu pada sifat personal manusia.

Itulah sebabnya, bagi al-Ghazali, menyebut sifat-sifat Tuhan yang seperti itu perlu, tapi keliru. Shehadi (Shehadi: 1964), yang mambahas dengan sistematis konsep Tuhan menurut al-Ghazali mengutip frase ini dari al-Maqsad al-Asnā:


Tujuan dari penyebutan sifat-sifat [Tuhan] itu adalah untuk memberi sedikit ide (īhām), atau analogi, yang meskipun demikian bersifat keliru (tashbiīh khata)….


Dalam arti tertentu, teologi al-Ghazali adalah teologi pragmatis: baginya, apa yang tampil sebagai sifat-sifat Allah dalam Qur’an ‘sebaiknya diterangkan menurut hasil dan tujuan sifat-sifat itu, dan bukan makna dan etimologi mereka’.

Dengan kata lain, yang terpenting bukanlah pengetahuan. Dalam sistem pemikiran al-Ghazali, pengetahuan manusia terdiri dari tiga jenis: percaya, atau opini, atau takhayul. Di situ, masalah ‘kebenaran’ adalah masalah cocoknya apa yang ada dalam pikiran dengan yang ada di dunia — veritas est adaequatio intellectus ad rem. Tapi seperti yang telah disebut di bagian pertama tulisan ini, ada ‘kebenaran’ dalam arti yang lain, yakni yang disebutnya kawedar dalam kashf: keadaan ‘terungkap’. Di sini, seperti juga sudah saya sebut, ‘yakin’ adalah sebuah taraf pengalaman, sesuatu yang datang melalui proses dhawq, intuisi mistik yang bukan ‘ilmu’, melainkan ‘laku’, atau aksi, menurut ilmu al-mu’amalah.

Al-Ghazali, sebagai seorang sufi, tentu dapat mengklaim bahwa dalam ‘yakin’ itulah terdapat kepastian yang dicarinya. Ia menunjukkan bahwa filsafat tak dapat membawanya ke sana. Seperti dikatakannya dalam prakata pertama Tahafut, tak ada yang tetap dan ajeg dalam posisi para filosof yang ditelaahnya. ‘Seandainya teori metafisik mereka secara nalar dapat membawa kita yakin sebagaimana pengetahuan aritmatik mereka’, kata al-Ghazali tentang lawan-lawannya itu, ‘mereka tak akan berbeda di antara mereka sendiri dalam persoalan-persoalan metafisik’.

Tak perlu dikatakan lagi rasanya, bahwa al-Ghazali bukan pemikir dari zaman ini – dan dengan kesadaran itulah ia kita ikuti. Jika dibaca sekarang, statemen di atas — yang kita tahu tak semestinya ditujukan buat filsafat, karena filsafat tak lagi terkait dengan klaim kesahihan ilmu-ilmu pasti — lebih merupakan kesalah-fahaman akhir abad ke-11. Terutama sebelum sang faqih menjadi sufi yang berkelana dan menulis al-Maqsad al-Asnā. Seorang lain di abad ke-20 juga melihat ‘kebenaran’ bukan sebagai adaequatio intellectus, melainkan, seperti sang sufi, menyebutnya sebagai ‘keterungkapan’, atau Unverborgenheit. Orang itu, Heidegger, menjauhi pengetahuan ilmu-ilmu dan epistemologi rasional, dan mendekatkan diri kepada pengalaman pekerja kriya, perupa, penyair, dan manusia dalam permenungan. Ia berpendapat bahwa ‘pemikiran metafisik’ dan kelanjutan perkembangannnya, ‘pemikiran teknologis’, menyebabkan ketercerabutan manusia (Dasein yang selalu terpaut pada tempat dan waktu) dari dunianya. Filsafat, bagian dari ilmu kemanusiaan, tak lagi hendak dikuasai oleh logika dan metode ilmiah, melainkan oleh hermeneutika. Kepastian bukanlah agendanya. Hermeneutika adalah, seperti ilm kalām, ‘ilmu’ percaturan pendapat.

Riwayat percaturan dan sengketa yang panjang di sekitar Ihya Ulum al-Din dan jawaban al-Ghazali terhadap para pengecamnya, adalah suatu indikasi bahwa ketegangan hermeunetika, antara ‘kebenaran’ sebagai adaequatio intellectus dan ‘kebenaran’ dalam kashf, tak kunjung bisa diselesaikan – juga seraya orang mengacu ke teks yang paling suci dan berwibawa. Juga bagi seorang. yang disebut sebagai ‘bukti kebenaran Islam’.

Memang ada usaha untuk tak mengakui ketidak-pastian yang tampak dalam proses itu dan menutup ruang untuk sebuah ilm kalām yang sehat dan filsafat yang hidup. Seorang yang pernah membaca karya Ibnu Rushd, Al-Kashf ‘an Manahij al-Adilla fi ‘Aqaid al-Milla, mengatakan bagaimana Ibnu Rushd menyebut sebagian al-Mutakallimun, para teolog, memonopoli akses kepada kebenaran dan mengutuk ‘siapa saja yang tak setuju kepada mereka sebagai bid’ah atau kafir yang hak milik dan darahnya sah untuk dirampas’ (Najjar: 2002).

Itu terjadi di zaman penulis Tahafut al-Tahafut. Tapi saya kira tendensi itu dalam bentuk lain tak hilang sekarang, justru ketika, dalam kata-kata Ahmad Syafii Maarif, ‘ide tradisional tentang Tuhan menghilang’ dan manusia bertanya di mana diperoleh ‘rasa aman ontologis’.

Tapi bisa dan harus selalu adakah rasa aman seperti itu, ketika pada akhirnya yang mendefinisikan sikap kita adalah sujud yang terus menerus? Satu kutipan dari al-Maqsad al-Asnā:

Hasil akhir pengetahuan para arifin adalah ketidak-mampuan mereka untuk mengetahui Dia, dan pengetahuan mereka sebenarnya adalah bahwa mereka tidak tahu tentang Dia, dan sepenuhnya mustahil bagi mereka untuk mengetahui Dia.


New York, Maret 2005.

Daftar Bacaan:

Abu-Sway, Mustafa, Al-Ghazāliyy, A Study of Islamic Epistemology, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996).

Al-Ghazali, Incoherence of the Philosophers, terjemahan Sabih Ahmad Kamali atas Tahāfut al-Falasifah, (Lahore: Pakistan Philosophical Congress, 1963)

Bello, Iysa A., The Medieval Islamic Controversy between Philosophy and Orthodoxy, Ijma’ and Ta’wil in the Conflict between Al-Ghazali and Ibn Rushd, (Leiden, etc., E.J Brill, 1989).

Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, edisi ke-3, 2004)

F. Jabre, La notion de certitude selon Ghazali dans ses origines psychologiques et historiques, (Paris: Vrin, 1958).

Frank, R.M., Al-Ghazali and the Ash’arite School, (Durham and London, Duke University Press, 1994).

Mitha, Farouk, Al-Ghazālī and the Ismaili, (London: I.B. Tauris and the Institute of Ismaili Studies, 2001).

Najjar, Ibrahim Y., ‘Ibn Rushd's Criticisms of the Theologians: Arguments for the Existence of God’, Arab Philosophy Website, Mei 2002

Nakamura, Kojiro, ‘An Approach to Ghazali’s Conversion’, (Orient 21: 46-59, 1958)

Qayyum, Abdul, Letters of Al-Ghazzali, (New Delhi: Nusrat Ali Nasri untuk Kitab Bayan, 1992)

Ormsby, Eric L., Theodicy in Islamic Thought, The Dispute over al-Ghazali’s ‘Best of All Possible Worlds’ (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1984).

Shehadi, Fadlou, Ghazali’s Unique, Unknowable God – a philosophical critical analysis. of some of the problems raised by Ghazali’s view of God as utterly unique and unknowable, ( Leiden: E.J. Brill, 1964).

Watt, Montgomery, A Study of al-Ghazali, (Edinburgh: the University of Edinburgh, 1971).