Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Untuk Apa Penyelidikan Purbaka

UNTUK APA PENYELIDIKAN PURBAKALA?

A.J. Bernet Kempers


Dalam karangan-karangan yang berikut kami sebagai pegawai Dinas Purbakala hendak berusaha memberi sekedar kesan tentang pekerjaan kami, ialah: penyelidikan kepurbakalaan dan pemeliharaan monumen-monumen di Indonesia. Dengan singkat sekali kami akan mencoba menguraikan apa yang dimaksudkan itu, bagaimana kami melakukannya dan apa hasil-hasilnya. Tetapi ada lagi pertanyaan lain yang mungkin akan para pembaca kemukakan, ialah ini: mengapa sesungguhnya pekerjaan itu dilakukan? Apakah gunanya orang mempelajari ”Purbakala” masa silam yang berarti beratus-ratus, beribu-ribu, barangkali ratusan ribu tahun ada di belakang kita? Pertanyaan ini dapat diberi jawaban bermacam-macam. Tetapi di sini kami akan berikan hanya satu jawaban saja, ialah: kita sebagai manusia hendak mengenal diri kita sendiri. Dalam hal ini para ahli purbakala bersamaanlah tujuannya dengan banyak ahli lainnya, hanya mereka itu berusaha mencapai tujuan itu dalam lapangan yang khusus dan dengan jalan yang tersendiri. ”Kenallah akan dirimu sendiri” telah dua ribu lima ratus tahun yang lalu diserukan kepada umat manusia, dan sejak dari itu sudah berbagai-bagailah caranya orang berusaha untuk memenuhinya. Manusia bukanlah manusia dalam arti yang sesungguhnya jika ia tidak senantiasa menyelidiki dirinya sendiri yang demikian itu bukannya berarti penyelidikan terhadap manusia pada sesuatu ketika yang tertentu dan sesuatu tempat yang tertentu saja, melainkan terhadap umat manusia seluruhnya beserta sejarah perkembangannya, dengan lain perkataan: manusia dari segala masa dan semua negara. Dalam pada itu mempelajari manusia sebagaimana ia adanya sekarang dan berkembangnya nanti selanjutnya menjadi pokok yang sangat penting: justru oleh karena manusia hidup dari masa kini lebih dapat kita kenal daripada manusia manapun juga dari masa yang sudah lampau. Tetapi di samping itu sangat penting pula peranan ilmu-ilmu sejarah yang mempelajari manusia dari jaman dahulu. Dan termasuk juga dalam ilmu-ilmu sejarah tadi ialah arkeologi, ilmu yang mempelajari zaman silam yang lebih jauh lagi zaman purbakala. Sebagaimana dapat kita lihat nanti maka untuk mempelajari purbakala itu ada ilmunya yang khusus dengan pengetahuan serta cara-caranya sendiri yang khusus pula. Sesungguhnyalah, pengkhususan itu terutama adalah soal pembagian kerja di antara ilmu-ilmu pengetahuan sebab baik di belakang arkeologi maupun di belakang ilmu-ilmu lainnya yang seasas selalu tersimpan harapan untuk menyelami sedalam-dalamnya sifati inti dari manusia itu dalam keanekaan seluruhnya.

Jika orang hendak mengetahui betul-betul akan sesuatu dalam segala kemungkinan serta bentuk perwujudannya, maka orang membawanya ke laboratorium atau kebun percobaan. Lalu dilakukan olehnya segala macam percobaan. Ditempatkannya yang akan diselidiki itu dalam berbagai keadaan, maka diikutilah dengan teliti reaksi-reaksinya, perubahan-perubahan bentuknya, dan sebagainya. Sebaiknya dalam jarak waktu yang lama. Mengenai manusia, yang demikian itu seringkali sulit kalau tidak mustahil
2. Bodhisattva dari Candi Plaosan (Surakarta).
3. Kapal di Laut, Borobudur (800 M.).

untuk dijalankan secara besar-besaran. Tetapi ada juga ”kebun percobaan dari alam” dan di situ manusia pun dapat kita amati dalam keadaan yang berbeda-beda sebanyak-banyaknya; di hawa panas atau di masa es, sebagai anak raja atau sebagai pengemis, di kota atau di hutan rimba, semacam perseorangan atau sebagai bagian dari segala macam bentuk kemasyarakatan; lagi pula mungkin dalam waktu-waktu yang terpanjang. Adapun kebun dari percobaan alam itu ialah sejarah, termasuk pula Purbakala yang juga meliputi prehistori. Sesungguhnyalah suatu kemungkinan yang terangan-angan betul untuk dapat mengenal manusia sedalam-dalamnya jika bahan-bahan tidak terlalu sering tak sempurna dan tak lengkap. Banyaklah yang sudah hilang lenyap untuk selama-lamanya. Namun setiap orang yang dengan pandangan luas mencurahkan tenaganya kepada penyelidikan sejarah perkembangan umat manusia segera akan menginsapi betapa kayanya penyelidikan itu akan kemungkinan-kemungkinan serta pelaksanaannya dalam tiap lapangan kehidupan.

Jika dipikirkan betapa penting dan menawan hati penyelidikan demikian itu, lalu timbullah pertanyaan apakah sebabnya maka begitu sedikit orang, pun dari bangsa Indonesia, yang merasa tertarik olehnya. Mengapakah menurut perbandingan agak banyak juga orang yang umpamanya mempelajari kesusastraan tidak dengan maksud merendahkannya sehingga dapat nyata bahwa minat terhadap ilmu-ilmu budaya memang sungguh ada, sedangkan yang mau mempelajari sejarah atau ilmu purbakala sangat luar biasa sedikitnya? Betul hal ini bukannya terdapat di Indonesia saja, sebab di seluruh dunia jumlah ahli purbakala hanya kecil sekali, namun sungguh amat sayanglah untuk Indonesia. Bukan main banyaknya pekerjaan luhur itu yang dapat dilakukan di negeri ini, jarak sebaliknya bukan main sedikitnya yang sudi menjalankannya. Tambahan lagi dari sedikit itu terutama adalah orang-orang Belanda.

Ada juga pertanyaan apakah kekurangan minat itu disebabkan oleh karena nama buruk yang melekat pada ilmu purbakala. Bukankah seorang ahli purbakala itu, demikian pikir orang, hanya melihat ke belakang saja? Sedangkan yang kita perlukan ialah justru orang-orang yang teguh berdiri di masa kini dengan pandangan lurus kedepan atau lebih baik lagi yang telah mengayunkan langkahnya di dalam masa mendatang. Soalnya sebetulnya ialah bagaimana orang itu "menoleh ke belakang". Apakah hanya untuk melarikan diri saja ke masa lampau menyingkirkan masa sekarang, ataukah untuk mendapatkan kesadaran jiwa dan ilham guna kepentingan masa yang akan datang juga. Tak akanlah kami menganjurkan seorang pun untuk hanya melihat ke masa lampau belaka saja, dan ahli purbakala yang terbaik. Tetapi sebaliknya orang tak dapat juga berdiri dimasa kini belaka dengan tiada pengalaman lain kecuali hanya dari lingkaran kecil sekitar kita sebetulnya dapat mempergunakan bahan-bahan dari berabad-abad. Sungguh bukan suatu kemewahan yang tak berguna bahwa sebentar-sebentar ada seorang orang, tentu saja tak banyak jumlahnya, yang menunjukan kepada kita bagaimana kita ini menjadi sebagaimana adanya sekarang, yang mengingatkan bahwa kita ini bukan satu-satunya yang bermimpikan perbuatan-perbuatan hebat dan keindahan, yang jatuh dan berusaha bangun kembali, tetapi bahwa di negeri sendiri maupun di luar sudah adalah orang-orang lain yang mengalami semuanya itu dan memecahkannya dengan caranya sendiri-sendiri serta berhasil pula. Siapa yang mengarahkan pandangannya ke dalam sejarah umat manusia, siapa yang meneliti jalan-jalan perkembangan yang berabad-abad panjangnya beserta pertemuan-pertemuannya di waktu yang lalu, dia itu melepaskan diri dari kesempitan masa kini yang mengekang kita dan yang tergopoh-gopoh hendak kita tinggalkan dengan tidak menoleh lagi ke kanan maupun ke kiri. Tiada bedanya dengan jika kita menyingkiri keramaian dan kesempitan kota kemudian pergi ke gunung dengan pemandangan-pemandangannya yang luas serta udaranya yang sejuk. Memang tak selamanya kita dapat tinggal di gunung-gunung saja, tetapi tak dapatlah pula kita hidup di kota terus menerus dengan tetap menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Jika kita sebagai orang kita hendak mendaki gunung, maka tak sedikit kesukaran dan kesulitan, bahkan mungkin kesedihan dan kekesalan yang harus kita atasi. Demikian pula jika kita hendak mencurahkan jiwa kita kepada sejarah dan ilmu purbakala. kita harus bersedia menempuh pelajaran-pelajaran yang sangat berat, bersedia menderita dan tidak terpikat oleh kesempatan-kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Yang terutama dibutuhkan ialah minat, hasrat belajar dan keteguhan kehendak. Semua itu lebih penting daripada keistimewaan bakat. Bakat demikian itu tentu saja berarti keuntungan besar bagi ilmu pengetahuan, tetapi bukan itu sajalah yang menjadi syarat utama. Pendidikannya memakan waktu tahunan "kita harus teken kontrak untuk selama hidup", demikianlah kami suka berkelakar terhadap para calon. Pelajarannya meliputi bahasa-bahasa sendiri dan bahasa-bahasa asing, baik bahasa-bahasa kuno maupun baru, kemudian sejarah, cara-caranya penyelidikan purbakala. Buku, buku, dan sekali lagi buku! Sebaliknya kita ini hidup di negeri sendiri di mana sejarah itu telah berlangsung, di mana terdapat bekas-bekasnya dari masa silam itu di tengah masyarakatnya sendiri yang masih hidup dan menjadi satu dengan alam sekitarnya. Jika kita mempelajari relief-relief candi di Jawa umpamanya terutama di Jawa Timur maka kita sebetulnya mempelajari kebudayaan Jawa yang masih hidup, hanya dalam tingkatan yang lebih tua. Jika kita mengunjungi daerah Toraja dengan megalith-megalithnya maka kita lihat batu-batu besar yang berabad-abad umurnya di samping batu-batu besar lainnya yang baru setahun yang lalu didirikan. Tempat-tempat suci agama Islam masih saja menjadi pusat hidup keagamaan. Senantiasa kita dapat menarik garis-garis yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang sebagai satu hidup, satu jalan pertumbuhan. Memang dalam pertumbuhan itu waktu sekarang berdaya pula banyak faktor-faktor lain kecuali kekuatan-kekuatan dari masa silam saja. Tetapi selamanya begitu juga jalannya, sejak dari dahulu. Selamanya dari persenyawaan diantara yang telah ada dan yang baru, yang kedua-duanya mempunyai tenaga hidup dan berkembang selanjutnya, timbullah suatu yang baru lagi. Dan yang baru ini segera menjadi tua Jadi selalu pertumbuhan itu hasil dari anasir-anasir lama anasir-anasir asli, Jawa Hindu atau apa saja yang ada pada ketika yang tertentu dan anasir-anasir baru bersama-sama. Hasil dari yang baru saja tak akan mempunyai corak keaslian, hasil itu akan tetap berupa pinjaman atau tiruan belaka.
4. Sendangduwur (Bojonegoro). Masjid dan Makam setelah Dipugar (abad ke 16 M.).
5. Genta Jawa - Tengah.

Demikian pula adanya sekarang. Dan justru sekarang, oleh karena dari segala penjuru, diminta ataupun tidak diminta, sedang mendesak dengan derasnya segala macam anasir-anasir asing Barat, Timur, ataupun apa saja yang ada lebih-lebihlah nyata keharusannya untuk menyadari milik sendiri, bagaimana tumbuh dan hidupnya milik itu. Dengan lain perkataan, sadar akan masa silam. Sebab penyelidikan akan masa lampau, baik yang mengenai zaman yang tertua dari purbakala maupun mengenai zaman yang termuda, terutama sekali adalah penyelidikan akan pertumbuhan dan perkembangan. Akan tetapi untuk menginsafi segala itu haruslah terlebih dahulu ada orang yang dapat menceritakan kepada kita bagaimana adanya dahulu dan menunjukkan bagaimana rupanya. Jadi harus ada orang yang dengan belajar sekuat tenaga menyelidiki masa silam itu.

Tetapi bagaimana orang itu, bagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya itu dapat memperoleh bahan-bahan dari masa silam yang diperlukan guna memaparkan dalam uraian yang dapat setiap orang mengerti?

Pada umumnya ada tiga macam bahan: cerita-cerita yang turun-temurun secara lisan, sumber-sumber tertulis, dan peninggalan-peninggalan kepurbakalaan. Perumusan singkat ini bolehlah diberi penjelasan lebih lanjut.

Cerita-cerita yang turun-temurun dari mulut ke mulut dapat berasal dari orangnya sendiri yang menyaksikan atau mengalami sesuatu kejadian. Meskipun dalam perjalanannya dari masa ke masa banyak tambahan atau ubahannya, di dalamnya ada juga tentunya sari kebenaran dari kejadian yang sesungguhnya. Pada cerita-cerita tentang waktu yang telah lama sekali lampau, kebenarannya biasanya hanya berupa mitos atau legenda saja, yang hendak menerangkan tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian dunia, dan susunan dalam segala yang ada. Dongeng-dongeng itu harus kita anggap sebagai perlambang yang banyak mengandung kebijaksanaan. Maksud memaparkan sejarah memang tak ada di dalamnya, dan kita akan bersalah jika mencari-cari kebenaran sejarah itu di dalam dongeng-dongeng tadi.

Sumber-sumber tertulis dapat berupa hasil-hasil seni sastra yang mungkin memberi keterangan kepada kita tentang waktu ditulisnya. Atau dapat juga cerita-cerita sejarah sebenarnya, dimaksudkan untuk memberi uraian tentang sesuatu kejadian. Tetapi tidak setiap bangsa merasa rlu untuk dengan tertulis mengekalkan kejadian-kejadian dan menyusun kembali peristiwa-peristiwa yang lampau. Di Jawa misalnya yang kita pergunakan sebagai sumber untuk sejarah tua kebanyakan kitab-kitab yang dikarang dengan maksud lain. Salah satu di antaranya yang terpenting ialah Nagarakertagama, ditulis dalam tahun 1365 Masehi dan dimaksudkan guna memuja dan memuji Raja Hayam Wuruk. Seringkali sumber-sumber itu berasal dari bangsa asing, untuk Indonesia, dari fihak bangsa Tionghoa misalnya. Berita-berita dari luar negeri itu sangat penting, oleh karena mata asing itu biasanya dapat melihat lebih baik. Sumber tertulis lainnya yang amat penting, ialah prasasti-prasasti akan dibicarakan tersendiri dalam sebuah karangan di belakang.

6. Masjid Panjunan. Cirebon.

Tinggallah sekarang apa yang tadi kita namakan peninggalan-peninggalan kepurbakalaan. Untuk keperluan kita bahan-bahan ini adalah yang paling penting sebab justru inilah yang pertama-trama dipergunakan dalam penyelidikan arkeologi dan oleh Dinas Purbakala, badan yang bertugas melakukan penyelidikan itu. Bahan-bahan arkeologi ini dapat dijelaskan sebagai ”segala apa yang telah dibuat atau ditinggalkan sebagai bekas-bekas yang dapat diraba, dari manusia dahulu”. Misalnya rumah, tempat kediaman, patung, kuil, kuburan, senjata, pakaian, perkakas, alat-alat dan sebagainya. Kebanyakan daripadanya tak lebih dari potongan-potongan dan pecahan-pecahan saja, peninggalan yang tak memadai dari apa yang dahulu ada. Coba saja kita pikirkan apa yang terjadi dalam iklim negeri kita yang basah, panas, dengan banyak tumbuh-tumbuhan, serangga-serangga, dan lain-lain tenaga perusak seperti gempa bumi, letusan gunung api, dan banjir, jika suatu tempat kediaman dengan rumah-rumahnya dari bambu, perkakas rumah tangganya, dan sebagainya dari kayu dan tembikar, akan ditinggalkan dan dibiarkan saja beberapa puluh tahun lamanya! Dan soalnya dalam arkeologi itu bukan mengenal puluhan, tetapi ratusan, bahkan untuk prehistori ribuan tahun! Maka tidaklah mengherankan bahwa yang tinggal dan sampai kepada kita itu hanya yang paling keras dan paling tahan lama saja. Pun daripadanya cuma sebagian kecil saja yang tinggal, ialah yang dibuat dari batu, bata yang baik, tanah yang telah dibakar menjadi keras sekali, perunggu, dan sebagai kecualian yang jarang sekali di negeri kita ada juga yang dari kayu atau bahan yang tak tahan lama lainnya. Dan di manakah pada umumnya bekas-bekas itu kita dapatkah? Janganlah dianggap bahwa arca-arca atau candi-candi menampakkan diri begitu saja ataupun tinggal dipegang saja sebagaimana sekarang mereka itu berdiri di halaman-halaman yang terpelihara oleh Dinas Purbakala atau tersusun rapih di museum. Semua itu harus dicari dan diusut dahulu, digali dari dalam tanah atau dikeluarkan dari rimba, kemudian batu-batu yang berasal dari bangunan diukur dan dicocok-cocokkan, dan akhirnya dibangun kembali dan diperbaiki yang mengerjakannya bertahun-tahun. Pun hal ini akan dibicarakan nanti dalam karangan tersendiri.

Dan apakah sekarang yang kita peroleh jika tengkorak-tengkorak manusia prehistori, perkakas-perkakas, candi-candi, dan lain-lain sebagainya dari zaman dahulu itu setelah disertai etiket rapih
7. Candi Gebang (Yogyakarta).

atau diperiksa dapat dilihat oleh para pengunjung? Apakah saksi-saksi yang tampil ke muka dari kegelapan itu dengan sendirinya lantas mulai bercerita tentang zaman waktu mereka dipergunakan orang, tiada bedanya dengan periuk-periuk dan panci-panci dari dongengan yang menceritakan pengalamannya masing-masing setelah semua orang tidur? Ah, kami tak perlu membohongi tuan, Tuan tahu sendiri betapa celakanya kalau tuan berjalan-jalan di museum sedangkan tak ada yang memberi keterangan seperlunya. Atau bagaimana tuan, jika datang di lapangan kepurbakalaan akan segera lebih memperhatikan pemandangan alam sekitarnya daripada candinya sendiri.

Batu-batu dan saksi-saksi lainnya dari masa silam itu dari sendiri tiada akan berbicara atau hanya sedikit sekali, tetapi mereka itu dapat juga mengobrol asal saja ada "pendengarnya yang istimewa” atau jika mereka dengan pertanyaan dipaksa berbicara. Dan inilah tugas ahli purbakala, orang yang berusaha menyelidiki cerita apa saja yang terkandung dalam batu-batu mati dan bekas-bekas lainnya itu. Caranya ialah: mula-mula sekali bahan-bahan itu ditimbulkan dari kegelapan tadinya dan diusahakan menggambarkan sebaik-baiknya kita lihat dan akan kita lihat lebih jelas lagi nanti dalam karangan Inspektur Bangunan. Kemudian diuraikan seteliti-telitinya dan diukur, digambarkan, dan diumumkan dalam sebuah karangan. Sementara itu dicarikan keterangan tentang untuk apa dahulu benda itu digunakan dengan lain perkataan: Sekarang diadakan ”tafsiran”. Bangunan apakah itu: rumah, istana, kandang, kuil? Jika kuil, untuk dewa siapa? Menggambarkan apakah relief-relief itu, kitab-kitab manakah yang telah diturut, maksud apakah yang menentukan pilihannya? Patung-patung apakah yang ada di dalamnya? Hiasan-hiasannya bagaimanakah perkembangannya dari masa ke masa, apakah dipergunakannya sebagai hiasan belaka ataukah ada artinya yang dalam, sebagai perlambang? Berasal dari zaman manakah bangunan itu, siapa yang mendirikannya, orang-orang apakah “yang hidup waktu itu? Pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya, tanda-tanda tanya yang tiada habisnya, pun di belakang jawabannya sebab apakah yang kita ketahui dengan pasti tentang masa silam yang telah lewat demikian lamanya?

Bahan-bahan kepurbakalaan itu dapat berasal dari berbagai-bagai lapangan penghidupan. Dapat bertalian dengan agama, kesenian, hidup kemasyarakatan teknik, pelayaran, pertanian dan apa saja lainnya. Seringkali diperlukan ahli-ahli yang khusus untuk mengemukakan pendapatnya mengenai lapangan-lapangan yang khusus. Ahli sejarah seni, ahli bangunan, ahli sejarah, tetapi juga ahli pertanian, pelaut, dan sebagainya, masing-masing dapat memberi penjelasan mengenai sesuatu soal. Demikianlah para ahli ilmu hayat telah dapat menetapkan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang apakah yang terlukis di relief-relief Borobudur, seorang nahkoda telah memberi keterangan tentang seluk beluknya kapal yang pula terlukis di Borobudur, seorang ahli kimia memberi keterangan tentang campuran perunggu dari arca-arca logam, dan seorang koki mungkin lebih mengetahui daripada profesor dalam arkeologi tentang makanan-makanan pada sesuatu selamatan yang terpahat di relief. Demikian kita dapat melanjutkan terus beraneka contoh. Satu-satunya yang diperlukan untuk memajukan ilmu purbakala ialah melihat sebaik-baiknya, faham sungguh-sungguh akan lapangan ilmu sendiri, dan bekerja hati-hati. Tetapi dengan demikian saja orang belum jadi ahli arkeologi, sebab ahli purbakala ialah orang yang menjadikan pekerjaan penyelidikan terhadap kepurbakalaan itu, baik pengusutan dan pemugarannya maupun hal mempelajarinya dalam hubungannya satu sama lain, sebagai lapangan kerjanya yang khusus karena
8. Maesan Berbentuk Hulu Keris, Sulawesi Selatan.

jabatannya maupun dari kesukaan saja, sebab ada juga ahli-ahli purbakala "amateur” yang sangat baik. Penyelidikan itu tidak hanya dalam hubungan satu sama lain, tetapi pula dalam pertaliannya dengan sejarah politik dan kebudayaan dari negeri tempat ahli itu bekerja, dengan ilmu bahasa dan kesusasteraannya, dengan sejarah seni dan sejarah agamanya, dan dengan segala apa selanjutnya yang diperlukan guna pengertian yang sebetulnya, sebagaimana pengertian-pengertian umum dari ilmu budaya. Di samping itu ahli purbakala harus ada minat terhadap keanehan-keanehan dari negeri itu, terhadap penghidupan dan perbuatan penduduknya sekarang. Di dalamnya tentu masih banyak tinggal bekas-bekas dari zaman dahulu. Lagi pula dengan pelajarannya ia dapat lebih baik mengenal penduduk itu.

Pendek kata: ia seharusnya selama hidup belajar terus dan demikian juga ia lakukan dan mengetahui boleh dikata segala hal. Dan oleh karena ia ketahui juga bahwa yang belakangan ini tak mungkin baginya, maka diambilnya jalan pembagian kerja, pengkhususan, dan kerjasama secara besar-besaran dan kecil-kecilan. Tidak saja ahli purbakala untuk itu mengkhususkan diri terhadap sesuatu negeri atau daerah kebudayaan, tetapi juga di dalam lingkungan yang sudah kecil itu. Pada arkeologi Indonesia umpamanya pekerjaannya sudah sangat terlalu luas untuk satu orang. Maka untuk Indonesia adalah ahli prehistori, ahli purbakala Indonesia Hindu, ahli bangunan kuno, ahli ikonografi yang khusus menguraikan dan menafsirkan patung-patung, ahli keramologi yang mempelajari barang-barang tembikar. Begitu juga harus ada ahli-ahli khusus untuk kepurbakalaan Islam, Tionghoa, dan Eropa, mata uang kuno, dan sebagainya. Ada kalanya kita mempunyai juga ahli-ahli itu, tetapi mereka hanya seorang diri saja dan tidak mendapatkan gantinya. Juga seharusnya ada ahli-ahli khusus untuk daerah-daerah yang sampai kini kurang mendapatkan perhatian daripada Jawa dan Bali misalnya, seperti bagian timur dari Indonesia.

Dengan demikian maka kelihatannya pengertian arkeologi dan ahli arkeologi terpecah menjadi banyak potongan yang tak berhubungan. Namun hubungan itu ada juga. Barangkali dapat kita katakan, bahwa segala apa yang bersifat ahli arkeologi dan ilmunya ditentukan oleh dua faktor: satu fihak penyelidikan sisa-sisa dari masa silam (kepurbakalaan), di lain fihak penyelidikan masa silam itu sendiri (purbakala). Atau bahwa semuanya itu bergerak di antara faktor-faktor tersebut itu seperti di antara dua kutub yang tarik menarik. Orang mempelajari benda-benda kuno guna mengenal masa silam, orang mempelajari masa silam berdasarkan benda-benda kuno.

Bangsa Indonesia yang telah sudi mempelajari purbakala pun dari negeri sendiri hingga kini hanya beberapa orang saja: Prof. Hoesein Djajadiningrat mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan Islam di samping pekerjaannya yang lain dalam berbagai lapangan: Prof. Poerbatjaraka mempelajari kepurbakalaan Jawa Hindu di samping kesusasteraan kuno. Bupati Mojokerto dahulu R.A.A. Kramadjaja Adinegara, berbagai tahun berselang sewaktu tahun-tahun pertama dari Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala dahulu) menjadi tokoh-tokoh terkenal antara lain: sebagai orang yang mendirikan museum di kabupatennya. Dalam tahun-tahun kemudian tampillah P.A.A. Mangkoenagoro VII sebagai pelindung yang kuat dari penyelidikan purbakala di daerah kerajaannya.

Baiklah sekarang pemuda-pemuda Indonesia merenungkan bahwa anjuran Goethe: ”Apa yang kau waris dari nenekmoyangmu, kejarlah itu agar engkau juga memilikinya”, berlaku juga untuk perbendaharaan kebudayaan kuno mereka sendiri. Jika mereka tidak berusaha dengan segala tenaga untuk memilikinya maka kekayaan itu akan menjadi milik kerohanian dari orang-orang lain yang telah mencurahkan tenaganya, seperti orang India, Belanda, dan lain-lain lagi orang asing, tetapi bukan dari bangsa Indonesia yang dengan serentak dapat menjadikan masa silam itu masa silam mereka sendiri. Mudah-mudahan lebih banyaklah, jauh lebih banyak lagi orangnya dari segala pelosok di Indonesia. Semoga mereka pergunakanlah kesempatan yang diberikan kepada mereka itu. Sekaranglah tiba saatnya bahwa arkeologi Indonesia mempunyai kemungkinan untuk menjadi ilmu pengetahuan nasional, perbendaharaan Indonesia dari seni dan sejarah menjadi milik kebudayaan nasional. Pemuda-pemuda Indonesia, ikutlah serta untuk melanjutkan garis-garis dan meletakkan hubungan-hubungan antara masa silam, yang pun bagi saudara masih hidup dan masa depan yang hidup di dalam dan oleh karena saudara!

A.J.B.K.