Amerta: Berkala Arkeologi 3/Bab 3
Bab III
BEBERAPA HASIL PERJALANAN
1. Garis Pantai Sriwijaya (lihat peta).
a. Palembang
Telaah Coedẻs ”Le royaume de Çrîvijaya” dalam B.E.F.E.O. XVIII th. 1918 telah membuka halaman baru di dalam sejarah negeri kita, yaitu dengan diketahuinya bahwa sejak abad ke-7 ada kerajaan yang bernama Sriwijaya dan yang berpusat di Palembang. Telaah Moens ”Çrîvijaya, Yavaen Katâha” dalam T.B.G. LXXVII th. 1937 sangat memperkecil peranan Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Dikemukakan bahwa pusat kerajaan itu letaknya di semenanjung Malaka, lalu untuk sementara di Palembang, dan kemudian di daerah Muaratakus.
Bagaimanapun juga, mengingat bahwa di daerah Palembang didapatkan peninggalan-peninggalan tertua, seperti arca Buddha dari Bukit Siguntang (langgam Amarawati, antara abad ke-2 dan ke-5 Masehi), prasasti Kedukan Bukit dari th. 683 M, prasasti Talangtuo dari th. 684 M, dan banyak lagi sebagainya, maka tak dapat tidak Palembang harus mempunyai kedudukan sangat penting dalam sejarah Sriwijaya, sekalipun misalnya tidak sebagai ibu kota. Hal ini hanya dapat difahami, jika letak Palembang strategis besar artinya. Oleh karena jaman dahulu hubungan antar-pulau dan dengan luar negeri hanya dapat dilakukan dengan pelayaran, maka untuk memegang peranan penting Palembang harus terletak di tepi pantai dan sebaliknya menjadi kunci untuk bagian rute utama dalam lalu lintas laut.
Telaah Obdeyn ”De oude Zeehandelsweg door de Straat van Malaka in Verband met de Geomorfologie der Selat-eilende” dalam T.A.G. 2e Reeks, dl. LIX 1942 telah membuka perspectief baru mengenai kerajaan Sriwijaya dan letak Palembang. Meskipun hasilnya tidak seluruhnya dapat kami setujui, telaah itu memberi petunjuk yang sangat berharga ke arah mana kami harus berusaha untuk menyelidiki garis pantai Sriwijaya itu. Dan berdasarkan atas peta geologi serta peninjauan dari udara dapatlah kini dengan mendekati kepastian kami tentukan jalannya garis pantai itu dengan alasan-alasan yang cukup kuat.
Garis pantai yang tertera pada peta terlampir sesungguhnya adalah garis-garis perbatasan antara tanah-tanah tua (tertier dan lebih tua lagi) dan tanah-tanah muda (terutama sekali alluvium). Tanah alluvium ini adalah hasil pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai dari pegunungan ke pantai. Jadi sebelum lumpur pengendapan ini menjadi lajur-lajur dataran rendah yang memisahkan tanah tertier tadi dari laut, pantainya harus menyusur garis perbatasan itu. Tinggallah sekarang ditentukan bilamana pengendapan-pengendapan itu mulai menjadi daratan-daratan rendah yang mengubah garis pantainya tadi. Berdasarkan atas bahan bahan sejarah dan kecepatan pengendapan sekarang di muara Batang Hari, dikirakan oleh Obdeyn umur daratan rendah alluvium itu ± 2.000 tahun. Oleh karena geomorfologi sukar sekali menentukan sesuatunya dengan ketelitian 1000 tahun, maka menurut Verstappen umur 2.000 tahun itu haruslah umur yang paling muda. Lebih muda lagi tak mungkinlah.
Dalam disertasinya "Jakarta Bay" Verstappen berhasil menentukan bahwa umur dataran rendah pantai utara Jawa Barat : 5.000 tahun. Meskipun jangka waktu ini mungkin sekali agak terlalu luas, namun nampak benar perbedaannya dengan 2.000 tahun hasil Obdeyn. Obdeyn melakukan perhitungannya berdasarkan pengendapan ke satu arah (liniaire annslibbing), sedangkan Verstappen dengan mengingat bahwa pengendapan juga membawa akibat pergantian arah mengalirnya sungai, berdasarkan perhitungannya atas luas pengendapan (aanslibbing in oppervlaktematen). Scharusnya, agar lebih teliti lagi, perhitungan dikerjakan dengan ukuran-ukuran kubik, tetapi ini tidak mungkin dijalankan.
Satu kesukaran lagi yang dikemukakan oleh Verstappen ialah kenyataan, bahwa di dalam zaman holosen laut mencapai permukaan yang setinggi-tingginya kira-kira 5.000 tahun yang lalu, sebelum itu permukaan laut semakin naik, sejak mencapai permukaan yang terendah selama zaman-zaman es (pleistosen), sedangkan sesudah itu air laut turun lagi beberapa meter atau tanahnya naik beberapa meter. Dengan kenyataan ini maka tentunya masuk akal untuk mengatakan bahwa justru 5.000 tahun yang lalu itulah mulai terjadi dataran rendah di sepanjang pantai, karena Sundaplat telah tergenang air sama sekali dan laut menjorok ke dalam daratan sejauh-jauhnya Gadi kira-kira sampai garis perbatasan tertiair dan alluvium). Jika demikian halnya, maka timbullah pertanyaan, ke manakah lumpur yang diendapkan selama waktu antara 5.000 tahun yang lalu dan 2.000 tahun yang lalu?.
Sementara itu Verstappen sendiri lebih condong untuk mengambil jalan tengahnya, yaitu bahwa pembentukan dataran-dataran alluvium di tepi Laut Jawa pada umumnya dimulai antara 5.000 dan 2.000 tahun yang lalu. Dapat ditambahkan bahwa di tepi pantai dahulu Teluk Jakarta ada ditemukan benda-benda neolithicum. Kalau kita mengingat bahwa neolithicum di negeri kita kira-kira berasal dari tahun 1.500 sebelum Masehi (Von Heine Geldern dIl), maka jalan tengah tadi itulah yang agaknya paling mendekati kebenaran.
Pengendapan lumpur Air Musi mula-mula terjadi di dekat Sekayu sekarang, dan kemudian berangsur-angsur ke timur. Baru kemudian sekalilah pantai antara Palembang-Jambi diperlebar dengan lajur tanah datar alluvium. Dan inilah, ialah bahwa dalam zaman Sriwijaya abad ke-7 Palembang tentunya masih di tepi pantai, hal yang terpenting bagi ilmu purbakala dan sejarah kuno!
Tanah tertier di belakang Palembang, yang merupakan jazirah dengan diapit oleh lembah Air Musi dan lembah Sungai Teluktanggulang, adalah tanah neogen (tertiair muda) yang dalam masa akhir pliosen-awal pleistosen melipat. Dalam zaman plestosen jazirah ini diliputi oleh vulkanischetuffen. Tanah tua ini terdiri atas 'lateriet" yang berwarna merah dengan banyak alang-alang, sedangkan oleh pembuatan-pembuatan ladang hutannya yang semula sudah hilang kecuali di lembah-dembah sungai. Kedua hal inilah sangat mempermudah peninjauan dari udara untuk menentukan batas dari tanah-tanah muda yang warnanya hitam dan rindaing hutannya dengan tumbuh-tumbuhan rawa yang semakin rendah letaknya semakin jarang. Di tempat-tempat yang terendah bahkan adanya hanya air saja.
Di Palembang tanah tua ini lambat laun melandai dan 'tenggelam" dalam dataran pengendapan yang muda ini. Dari udara nampaklah jelas, dimana tanah tua itu mulai tenggelam di Palembang, ialah di sebelah barat menara air, kira-kira di tempat Gereja Ayam di Jalan Merdeka.
Oleh karena tanah tua ini berbukit-bukit kecil (lereng-lerengnya disebut "talang", seperti Talang Betutu, Talang Jawa, dsb.),maka dapat diharapkan bahwa di sana-sini timbul beberapa puncak dengan lapisan-lapisan pleistosen di atas dataran tanah muda itu.
Di dataran muda ini dapat dibedakan "renah" dan "lebak", Renah ialah lereng-lereng (punggung-punggung) yang beberapa meter tingginya di tepi sungai sekarang atau bekas lewat sungai dahulu. Lebak adalah bagian-bagian rendah di antara renah-renah dan di antara renah dan talang.
Tempat-tempat kuno tentunya harus dicari di atas talang-talang, dan khususnya di tempat tanah tua ini melandai ke tanah muda, juga di mana puncak-puncak bukit dengan tanah pleistosennya timbul di atas dataran ("pulau-pulau kuno"). Adapun tempat-tempat kediaman yang lebih muda terdapatnya di atas renah-renah, satu-satunya tempat kering di antara rawa-rawa, kecuali pulau-pulau tadi itu. Pulau-pulau semacam ini nampak jelas sekali dari udara di sebelah timur Kayu Agung (dekat Lebak Deling di Desa Pangkalanlampam) yang terdiri atas timbulan "granit" beserta dengan tanah pleistosen.
Kesimpulan ini dapat cocok dengan hasil penyelidikan di darat. Demikianlah maka Bukit Siguntang, Kedukan Bukit, kelompok Geding Suro, Candi Angsoka, dan Telaga Batu terletak di atas tanah-tanah tua. Batu Amparpun tempatnya, meskipun di tepi Musi yang sekarang, ada di atas tanah tua, yaitu di atas pulau dengan tanah pleistosen yang sudah ada sebelum berbentuk dataran alluvium. Dengan ini maka ternyata bahwa Palembang sekarang letaknya sebagian di talang dan sebagian di pulau. Bagaimana dahulunya? Di ujung jazirah atau di pulau di depan jazirah seperti Singapura sekarang? Kalau jazirah itu berakhir di sebelah barat menara air, sedangkan di timurnya ada tempat-tempat kuno (tempat peninggalan purbakala), maka ada tiga kemungkinan untuk menggambarkan keadaan Palembang di abad ke-7:
- ujung jazirah pantainya berliku-liku dengan ujung-ujungnya yang jauh menjorok ke laut.
- di muka jazirah ada beberapa pulau yang sendiri-sendiri.
- pulau-pulau ini telah bersambung dengan ujung jazirah.
Tidak mustahil, bahwa sebuah peta kota Palembang dan sekitarnya di mana dinyatakan dengan teliti sekali garis-garis tingginya (dengan antara ½ m misalnya) dapat memberi petunjuk ke arah kepastian (peta demikian telah kami minta Sdr. Saleh usahakan ke Kotapraja atau P.U.). Kesimpulan di atas dapatlah kiranya memberi keterangan mengapa di Palembang Ulu tidak ada peninggalan-peninggalan purbakala. Hanya "Gunung Mahmiru" (Mahameru) pantas mendapat perhatian.
b. Jambi
Dengan hasil-hasil di atas ini maka dapatlah kini dengan jalan analogi dan berdasarkan peta geologi ditarik kesimpulan tentang garis pantai daerah Jambi. Di sini laut dahulu sangat jauh menjorok ke dalam daratan sekarang, sedangkan "Teluk Jambi" itu dari luar dilindungi oleh berbagai pulau (timbulan-timbulan tanah neogen-pleistosen seperti di sebelah timur laut Kayu Agung, Palembang). Akan tetapi teluk ini tidak sedalam dugaan Obdeyn yang menyatakan bahwapun Muara Tebo (yang diidentifikasikan olehnya dengan Cho-po dsb) terletak di pinggir laut. Dugaan ini bertentangan benar dengan bahan-bahan geologi yang menyatakan bahwa daerah Tebo adalah tanah neogen-pleistosen, sehingga dari sudut geomorfologi mustahillah di sini ada laut di dalam zaman sejarah.
Suatu keberatan lagi yang dapat dikemukakan terhadap rekonstruksi Obdeyn ialah, bahwa di dalam zaman sejarah (bahkan sampai ± tahun 1.400!) Bangka-Belitung masih menjadi satu jazirah dengan Riau-Lingga-Malaka. Menurut Verstappen tak dapat tidak dewasa itu laut antara Bangka dan Riau tentu sudah ada. Tetapi pulau-pulau Riau-Lingga memang masih bergandeng dengan Semenanjung Malaka.
Menurutkan Obdeyn atau tidak, sangat penting bagi ilmu purbakala dan sejarah kuno ialah bahwa dalam zaman Sriwijaya, Singapura belum ada artinya. Maka peranan Singapura sekarang sebagai pelabuhan antara yang harus "dengan sendirinya" disinggahi dalam jalan pelayaran antara India dan Tiongkok dan antara kedua negara itu dan Indonesia, dahulunya dipegang oleh Jambi (Melayu?) dan atau Palembang (Sriwijaya?). Dalam segi ini maka dapatlah kita fahami, bahwa untuk hegemoni atas lautan yang demikian pentingnya itu kedua pelabuhan tadi harus ada dalam satu tangan!
c. Lokasi Beberapa Tempat Kepurbakalaan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dengan pengetahuan geomorfologi daerah Palembang dapat ditentukan tempat-tempat di mana dapat diharapkan adanya peninggalan-peninggalan purbakala. Demikianlah tempat-tempat kuno adanya di atas talang dekat perbatasan dengan tanah muda, sedangkan tempat-tempat yang lebih muda harus dicari di atas renah-renah. Tegasnya di tempat-tempat yang agak tinggi di dekat pantai. Sewaktu sebagian terbesar dari tanah datar sekarang masih berupa laut (sesuai benar dengan kerajaan yang didasarkan atas kekuatan maritim dan perdagangan). Demikianlah nyatanya di Bukit Siguntang, Kedukan Bukit, Telaga Batu, Batu Ampar, dan sebagainya. Pun Solok Sipin dekat Jambi ternyata demikian letaknya.
Oleh karena jalan itu berubah-ubah, sedangkan sampai kini jalan air adalah yang utama bagi daerah Palembang dan Jambi, maka jika ada tempat di tepi sungai (adi di atas tanah muda) yang mempunyai peninggalan purbakala di dekatnya, harus diambil kesimpulan bahwa tempat itu telah "berpindah" mendekati "Jalan raya".
Demikianlah misalnya terbukti di Muara Jambi, yang kini terletak di tepi Batang Hari. Peninggalan-peninggalan purbakala terdapatnya di sebelah utara dusun, beberapa jauh dari tepi sungai di atas tanah yang lebih tinggi. Menilik peta geologi, maka nyata benar bahwa "di belakang" Muara Jambi ada punggung tanah tua. Dan pada lereng inilah kira-kira letaknya Candi Tinggi, Candi Gumpung, dan Astano yang kami kunjungi (nyata benar letak yang tinggi ini misalnya di Astano. Dari dusun kami naik sampan melalui rawa-rawa yang airnya berasal dari Batang Hari yang dewasa itu sedang tinggi. Sampan berhenti di lereng bukit, kami naik ke atas dan tibalah kami di Astano).
Di Jambi kami mendengar, bahwa di Simpang dan Muara Sabak ada pula peninggalan-peninggalan purbakala. Tempat-tempat itu kini letaknya di tepi sungai di dataran rendah alluvium. Apa sifat kepurbakalaan itu masih harus diteliti lebih dulu. Akan tetapi dengan pengetahuan kita tentang peta geologi dan letak Muara Jambi, maka pun di sini kita harus menarik kesimpulan yang sama. Kedua tempat itu telah berpindah dari pulau atau renah ke tepi sungai.
Dari peta geologi nyata bahwa Muara Sabak letaknya dekat tanah tertier (pulau di Teluk Jambi), dan bahwa di sini ada tiga buah pulau. Mengingat bahwa menurut Ptolemaeus (lihat Krom. H-J gesch. 1931 halaman 60) ada 3 pulau Sabadeibai yang oleh Krom dilokalisasikan di "Sumatra's Zuid-Oos-kust" sedangkan 'Wanner wij in deibai weder het gewone dwîpa in zijn Prâkrit-vorm vertegen woordigd mogen denken, houden wij Saba als eigenlijken plaatsnaam over", maka timbullah pertanyaan apakah tidak ketiga pulau di teluk Jambi itulah yang dimaksudkan? Dapatkah pula "Zâbag" dari berita Arab itu diidentifikasikan dengan (Muara) Sâbak sekarang (jadi tidak dengan Têbo seperti pendapat Obdeyn)?
Pertanyaan-pertanyaan ini barulah dapat dijawab kiranya dengan penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut, baik dari penelaahan lagi sumber-sumber sejarah yang bersangkutan maupun dengan penggalian di tempat.
Satu hal lagi yang dapat dihubungkan dengan soal pindahnya kota mendekati sungai ialah berita yang kami terima sehari sebelum meninggalkan Palembang bahwa di dekat Kayu Agung ada benda-benda purbakala ditemukan. Di peta geologi nyata bahwa Kayu Agung letaknya di tepi tanah tertier. Maka temuan kepurbakalaan di situ, meskipun belum dapat ditentukan bagaimana sifatnya, hanyalah memperkuat dugaan-dugaan yang telah dikemukakan di atas.
Akhirnya sepatah kata tentang Kota-Kapur di Bangka dan Karang Brahi di dekat Bangko. Melihat rekonstruksi garis pantai Sriwijaya dan kedudukan Sriwijaya sebagai pusat kekuatan maritiem, maka sudah selayaknyalah di berbagai tempat dekat "jalan raya" ada daerah-daerah yang dikuasai guna menjamin keselamatan pusat tadi. Dengan demikian maka dapat kita bayangkan, bahwa Bangka harus menjadi "pelindung" jalan laut, sedangkan Karang Brahi harus menjamin jalan darat antara Palembang/Jambi dan Minangkabau (sampai kini jalan darat ini penting sekali untuk hubungan timur dan barat Sumatra).
2. Rumah Bari Palembang
Kesan pertama-tama yang kami peroleh dari museum ini, yang didirikan atas inisiatif Dr. F.M. Schnitger beberapa tahun sebelum pecah Perang Dunia II, ialah bahwa keadaannya sangat kurang terpelihara. Bahwa ada batu purbakala di halamannya, yang sekarang masih dipergunakan untuk mengasah pisau, menidakperlukan lagi penjelasan lebih lanjut mengenai keadaan yang mengecewakan itu. Memang adanya sekarang sungguh tidak sepadan benar dengan pentingnya benda-benda purbakala dari zaman Sriwijaya dan Kesultanan Palembang yang dipercayakan kepada asuhan museum ini! Pagar halaman tinggal sisa-sisa saja, sehingga setiap orang dan binatang dapat keluar masuk dengan sekehendaknya. Rumput di halaman sudah menutupi sebagian dari arca-arca dan fragmen-fragmen, rupanya sudah beberapa bulan belum dipotong. Di kolong museum terdapat berbagai macam batu, sebagian telah hampir seluruhnya terpendam dalam tanah. Tidak mustahil bahwa batu-batu itu adalah benda-benda purbakala!
Demikianlah keadaan museum yang satu-satunya di Sumatra Selatan itu! Hal yang menyedihkan ini telah kami bicarakan dengan Walikota Palembang. Minat yang diperlihatkan beliau memberi harapan baik. Soalnya ialah bahwa Kota Praja tidak cukup keuangannya untuk mengurus museum itu sebagaimana mustinya dan layaknya. Mengingat arti pentingnya Rumah Bari ini, subsidi dari Pusat kami pandang sebagai keharusan. Maka subsidi itu kami janjikan akan kami pertimbangkan dan mintakan di Pusat (Jawatan Kebudayaan) setelah kami menerima keterangan lengkap mengenai pengeluaran dan penerimaan Rumah Bari itu. Untuk hubungan dan hal-hal selanjutnya akan kami urus lebih lanjut melalui Sdr. Saleh dari Perwakilan Jawatan Kebudayaan di Sumatra Selatan. Pun pelaksanaan dan syarat-syarat untuk subsidi itu harus dibicarakan.
Pada hemat kami, yang pertama-tama minta perhatian sepenuhnya ialah arca-arca dan fragmen-fragmen, yang kini diserahkan sama sekali kepada hujan panas dan sebagainya di halaman. Fragmen-fragmen terang dapat dimasukkan ke dalam, dan jika disusun berderet di lantai sepanjang baturan lantai yang tinggi, maka kecuali terlindung mereka dapat kiranya menghias interiornya pula.
Adapun arca-arca sulitlah untuk dimasukkan ke dalam rumah. Lagi pula halaman museum akan "gundul" sama sekali jika tak ada sesuatunya di situ. Maka untuk sementara tidak usahlah di pindahkan. Hanya menjadi syarat mutlak bagi keselamatan arca-arca itu ialah pemeliharaan yang sebaik-baiknya. Arca Budha. langgam Amarawati yang berasal dari Bukit Siguntang itu misalnya, kini telah diliputi oleh lumut dan lapuk, sehingga rupanya seperti orang berpenyakit panu! Tak perlulah lagi penjelasan bahwa yang demikian itu sangat merugikan keindahannya.
Kekurangan yang penting sekali pula ialah bahwa di Rumah Bari tidak ada inventaris, pun tidak ada orangnya yang pengetahuannya dapat menjadi "pengganti inventaris". Demikianlah di halaman ada setumpukan batu-batu kuno yang tertimbun tak karuan. Tak ada orang yang dapat mengatakan batu-batu apakah itu, dan keterangan hanya terbatas kepada "memang dari dulu sudah begitu", Ketika kami bongkar batu-batu itu, ternyata bahwa di dalam timbunan itu ada tiga buah yang bertulisan:
- Jaya Siddhayâ (tra)
- Jaya Siddhayâ (tra) sarvasa (tva)
- Jaya siddhayâtra sarvasatva.
Menurut Schnitger (The Archaeology of Hindoo Sumatra, hal.1) dari Telaga Batu ada ditemukan kira-kira 30 buah batu "siddhayātra", tetapi kecuali 3 buah yang kami dapatkan kembali itu tak adalah bekas-bekasnya jua dari yang lain (di Telaga Batu sendiri tidak ada dan di museum pun tidak).
Sebuah batu bersurat lagi tak dapat kami temukan, ialah sebagian dari batu bersurat asal dari Bukit Siguntang, yang mungkin sekali berasal dari ± tahun 700 M. (lih. Prasasti Indonesia II No. 1a).
Mengenai isi museum sendiri dapat dikemukakan bahwa sebagian terbesar yang memenuhi lemari-lemari kaca (terutama dari zaman kesultanan dan lebih muda lagi), kini sudah tidak ada. Menurut keterangan, barang-barang itu telah diambil kembali oleh yang empunya. Di antara benda-benda kuno yang masih ada, yang semuanya terkumpul di atas meja dalam suatu bilik, ada beberapa yang penting sekali, misalnya kepala arca Buddha istimewa (dari perunggu), arca Bodhisattwa (?) dari perunggu pula, arca Buddha dari batu dan sebuah arca dari kayu yang belum kami kenal. Patung ini ditemukan di sungai Musi di dekat Kertapati, akan tetapi usianya sangat sukar ditentukan. Bila benda itu sebenarnya adalah patung, terdapatnya ini sangat penting sebab mungkin ada perhubungan dengan patung yang terdapat di Vietnam Selatan yang sekarang disimpan di Museum Saigon. Akan tetapi patung dari Sungai Musi ini hanya kira-kira 50 cm tingginya, yaitu jauh lebih kecil daripada patung kayu dari Vietnam dan terutama pada patung kayu Palembang itu, terdapat suatu lubang bersegi panjang di bagian bawah perutnya yang mungkin sekali digunakan untuk merekatkannya pada haluan perahu. Mungkin penyelidikan macam kayu patung ini dapat memberi sekedar penjelasan tentang asalnya.
Kemudian terdapat juga beberapa gambar-gambar yang digunting dari lembaran emas yang tipis sekali. Guntingan-guntingan ini besar sekali persamaannya dengan gambaran-gambaran emas yang telah terdapat di Claket (Malang) yang sekarang ada di Museum Jakarta (Lih. OV 1928 pl. 8 bagian bawah).
Ada pula sekumpulan kira-kira 20 kepeng Tionghoa dari beberapa zaman.
Niên-Hao (nama pemerintahan Kaisar Tionghoa) dan huruf lain yang disebut di atasnya (dengan mengabaikan beberapa biji yang terlalu rusak atau dobel) adalah sebagai berikut: - K'ai Yuan T'ung pao
Dari zaman Dinasti T'ang (abad ke VII - ke X) atau Masa "Lima Dinasti" abad ke X. - Ching Te Yüan pao
1004 - 1008 Dinasti Sung (huruf biasa) - Hsiang (Fu) T'ung pao
11008 - 1016 Dinasti Sung (huruf biasa) - Huang Sung T'ung pao
1038 - 1040 Dinasti Sung (huruf biasa) - Huang Sung T'ung pao
1038 - 1040 Dinasti Sung (huruf materai) - Chih P'ing Yüan pao
1064 - 1067 Dinasti Sung (huruf materai) - Chih P'ing Yuan pao
1064 - 1067 Dinasti Sung (huruf biasa) - Yüan (Feng) T'üng pao
1078 - 1086 Dinasti Sung (huruf biasa) atau Yuan (Yu) T'ung pao 1086 - 1094 Dinasti Sung (huruf biasa) - Shao (Shêng) Yüan pao
1094 - 1098 Dinasti Sung (huruf materai) - Ta Kuan T'ung pao
1107 - 1110 Dinasti Sung (huruf biasa) - Chêng Ho T'ung pao
1111 - 1118 Dinasti Sung (huruf biasa) - K'ai Hsi T'ung pao
tahun = 1205 Dinasti Sung Selatan (huruf biasa) - Huang Sung Yüan pao
tahun = 1255 Dinasti Sung Selatan (huruf biasa)
Seperti dapat dilihat dari daftar ini semua kepeng itu berasal dari zaman Dinasti Sung, kecuali yang pertama yang lebih tua. Hal ini tidak berarti bahwa kepeng itu dibawa ke Palembang pada tahun yang ditulis di atasnya. Akan tetapi tidak adanya kepeng dari Dinasti Yuan, Ming atau Ch'ing diantaranya, adalah suatu petunjuk bahwa kepeng-kepeng itu (kalau semuanya diketemukan di suatu tempat, yang kami tidak tahu dan barangkali tidak dapat ditentukan), tentu dikumpulkan sebelum Dinasti Ming, yaitu sebelum abad yang ke XV sekurang-kurangnya, barangkali pada permulaan zaman Dinasti Yian yaitu pada penghabisan abad ke XIII.
Sebagai penutup bagian yang penuh kekecewaan ini dapatlah dikemukakan satu hal lagi. Di halaman depan markas tentara terdapat sebuah kepala arca prehistori dari Pasemah. Bahwa ditempatkan di sana sebagai "penghias" dapatiah difahami, meskipun lebih tepatlah untuk menyimpannya di Rumah Bari. Akan tetapi sungguhlah mengecewakan bahwa penghargaannya terlalu berlebihan. Kepala itu telah disemen dan dicat, sehingga sifatnya sebagai benda purbakala rusak sama sekali! Satu tugas lagi bagi penyelenggara Rumah Bari nantinya, untuk menolong arca itu dari keadaannya yang tidak semestinya!
3. Bukit Siguntang
Bukit Siguntang adalah suatu nama dan tempat yang sangat terkenal (antara lain dari Sejarah Melayu) dalam tradisi daerah Palembang (lain halnya dengan Bukit Siguntang di daerah Muara Tebo, di mana juga didapatkan tempat suci, tetapi yang masih harus diselidiki lebih dahulu).
Mengenai arti kata Siguntang, kami peroleh keterangan dari Sdr. Budenani bahwa dalam bahasa Palembang lama guntang (kata kerjanya: nguntang) berarti mengapung, terapung-apung, jadi siGuntang = Yang terapung-apung. Keterangan ini sungguh menarik perhatian. Bukit Siguntang adalah puncak yang paling tinggi di dekat Palembang. Dari udara nampak jelas, bahwa lereng timurnya sangat curam, sedangkan di mukanya ada dataran tinggi yang setelah beberapa jauh agak rata kemudian melandai ke laut. Sebaliknya lereng Baratnya tidak curam melainkan melandai kearah Sungai Musi.
Jika kita bayangkan keadaan Palembang dalam zaman Sriwijaya, sewaktu kota itu terletak di tepi pantai, maka mungkinlah sekali bahwa dilihat dari laut seakan-akan bukit itu (dengan lereng curamnya yang menghadap ke laut) terapung di atas air! Maka mungkinkah sekarang, bahwa arca Buddha langgam Amarawati yang lebih dari 3 meter tingginya itu dahulu menghias puncak Bukit Siguntang, sebagai kebanggaan dan "tanda penyeru" bahwa orang telah sampai di tempat suci dan pusat agama Buddha?
Dimana sebenarnya arca Buddha itu didapatkan tak dapat kami ketahui. Demikian pula mengenai benda-benda lain yang berasal dari sini. Meskipun bukit itu telah beberapa kali diselidiki oleh Schnitger dan lain-lain dan satu kali oleh Dinas Purbakala yang tidak menghasilkan sesuatu apa (secara sepintas lalu), namun kami tidak dapat tahu di bagian mana sajakah penggalian telah dilakukan. Inilah kami anggap pekerjaan sia-sia, yang sungguh kami sayangkan, karena tidak disertai dokumentasi lengkap. Penyelidikan yang pernah dilakukan hanya ada artinya bagi sipenyelidik itu sendiri! Jika sekarang akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut, maka berarti bahwa bukit seluruhnya harus digali! Dan peninjauan kami ke sana memang menimbulkan hasrat untuk menyelidikinya lebih lanjut lagi dan lebih seksama.
Keinginan ini terutama timbul oleh kemajuan pengetahuan kita tentang arti Bukit Siguntang dan Palembang di dalam sejarah. Di atas bukit itu, selain kuburan-kuburan baru, terdapat pula dua makam yang keramat. Yang pertama adalah Makam Ratu Sekandar Alam atau Iskandar Zulkarnain, yang aneh sekali tidak membujur utara-selatan sebagaimana lazimnya makam islam melainkan arahnya barat-timur. Sebaliknya kuburan yang kedua, dari Tuan Puteri atau Puteri Cina atau Puteri Cempa, arahnya benar. Pada nisannya ada pertulisan, rupa-rupanya dari cat hitam, tetapi sayang sekali tak dapat kami baca oleh karena nisannya terlalu dekat kepada dinding cungkupnya. Lagi pula tempatnya agak gelap dan tulisannya sudah kabur.
Yang lebih menarik perhatian kami ialah terdapatnya banyak batu-batu bata kuno yang bertebaran di mana-mana, sedangkan di beberapa tempat ada yang masih berhubungan seperti bekas-bekas tembok. Di berbagai tempat ada bukit-bukit kecil yang mungkin sekali menandakan setumpukan sisa-sisa bangunan (ataukah timbunan tanah bekas penggalian?? - dan inilah yang kami takutkan!).
Penyelidikan nantinya baiklah sekali kiranya didahului oleh pemetaan (kaarttering) yang teliti, dengan garis tinggi antara ½ m. Menurut kira-kira Sdr. Basoeki yang telah berpengalaman melakukan pekerjaan demikian, pemetaan Bukit Siguntang akan makan waktu tidak kurang lebih dari sebulan.
4. Batu Ampar
Batu Ampar letaknya di tepi Air Musi sekarang, bahkan batu-batunya yang disebut dengan nama itu hanya terlihat waktu air sungai surut, namun tanahnya adalah tua, dan berasal dari zaman pleistosen dengan banyak tuf, jadi merupakan sebuah pulau sebelum terjadi dataran rendah alluvium.
Menurut cerita maka batu-batu itu yang bentuknya kira-kira empatsegi, dahulunya adalah karung-karung beras yang dilemparkan oleh seorang nakhoda. Dari dongeng ini dapatlah kiranya dilihat suatu ingatan akan adanya pelabuhan di sini. Memang batu-batu dan sisa-sisa tembok di dekatnya menunjukkan ke arah ini. Nampaknya sisa-sisa "pelabuhan" itu sangat tua, dan berasal dari pelabuhan sungai, jadi sewaktu dataran rendah alluvium telah terbentuk dari Air Musi sudah mengalir di situ. Oleh karena liku-liku sungai berpindah dari hulu ke hilir, maka jika pelabuhan itu berasal dari zaman sebelum Air Musi berlalu di situ, sisa-sisa tadi harus sudah lenyap.
Di belakang pelabuhan ini tanahnya agak tinggi (pulaunya yang tersebut tadi). Di sini terdapat beberapa makam yang pun tidak terlalu tua: Tetapi didekatnya banyak batu-batu yang lebih besar ukurannya dari batu-batu kuburan, dan lebih tua umurnya. Mungkin sekali hal ini menunjukkan adanya bangunan-bangunan yang lebih tua (sewaktu tanah ini masih menjadi pulau). Memang bangunan-bangunan di atas timbulan pleistosen demikian itu dapat sekali masih saja bertahan, berlawanan dengan sisa-sisa pelabuhan tadi.
Satu dan lain hal harus ditentukan oleh penggalian yang sistimatis di tempat itu.
5. Candi Angsoka
Tempat ini oleh yang namanya saja sudah menarik perhatian kami ("candi dan a(ng) soka). Lebih-lebih oleh karena Schnitger di sana telah mendapatkan beberapa batu makara. (The Archaelogy of Hindoo Sumatra, hal. 2).
Candi Angsoka adalah suatu bukit yang tanahnya tua sekali (talang). Di atas ada sebuah keramat yang dikatakan orang kuburan "Amangkurat", hal mana tidak cocok dengan peta Westenenk (Jawa I, 1921, hal. 7). Pada tiang cungkup keramat ini ada dipasangkan sebuah simbar-sudut dari batu yang menilik ukirannya mungkin menunjuk ke abad XI atau XII. Antara keramat ini dan jalan raya (Jalan Jenderal Soedirman) ada lagi kuburan, entah dari siapa, yang nisannya dari kayu berukiran indah. Antara kedua makam ini ada dua potong batu besar yang dengan penyelidikan teliti tidak mengandung sesuatu petunjuk.
Meskipun dikatakan orang bahwa tak ada lagi peninggalan kuno lainnya, ternyata bahwa di dalam tegal alang-alang yang meliputi lapangan selebihnya terdapat banyak sekali batu-batu bata lama, tersebar di mana-mana. Ada pula kami temukan batu-batu bata yang masih berhubungan di dalam tanah, dan yang nampak benar sisa-sisa tembok.
Mengingat akan letaknya di atas tanah tua dan namanya yang sangat ganjil, pula makara-makara dan simbar yang didapatkan, maka sama sekali tidak mustahil bahwa keramat itu didirikan atas sisa-sisa kepurbakalaan yang lebih tua lagi. Penggalian yang seksama dan sistematis mungkin dapat memberi sesuatu hasil.
6. Muara Jambi
Sebagaimana telah diuraikan di atas (lokalisasi tempat kepurbakalaan) maka Muara Jambi letaknya, meskipun kini di tepi Batang Hari, dahulu di pantai. Nama melayu untuk sungai kecil yang mengalir di dekat dusun, memberikan dugaan-dugaan yang meluas. Pertama kita ingat akan Melayu dalam zaman Sriwijaya. Kedua akan ”Pamalayu” zaman Singhasari. ”Batu-batu catur” yang ada di dusun, yang lapik teratainya menunjukkan langgam Singhasari, sangat memberi kecondongan untuk menghubungkan Muara Jambi dengan Melayu itu. Lebih-lebih oleh karena letak dusun ini seakan-akan menjadi pangkalan untuk menuju ke pedalaman (arca Amoghapaça di Rambahan yang berasal dari zaman Kertanegara!).
Kesimpulan-kesimpulan yang agak memuaskan tentu saja barulah diperoleh dengan penyelidikan yang mendalam lagi meluas, dengan disertai penggalian-penggalian yang sistematis. Hasrat untuk melakukan penyelidikan penggalian di Muara Jambi lebih diperkuat, oleh karena nampak benar bahwa di sekitar Candi Tinggi terdapat banyak bukit kecil yang menunjukkan adanya sesuatu yang terpendam, sedangkan batu-batu bata terserak di mana-mana, kadang-kadang berkelompok atau masih berhubungan. Schnitger telah mencoba memberikan denah daerah sekitar candi itu (Hindoe audheden aan de Batang Hari), akan tetapi nyata benar bahwa penyelidikannya hanya dilakukan sekedar untuk mendapatkan kesan saja.
Pun lubang-lubang yang digalinya di Tinggi, Gumpung, dan Astano (juga di lain tempat) memberi kesan akan ”schatgraverij” belaka, tidak teratur, tidak seksama, dan juga tidak dipertanggungjawabkan (tanpa dokumentasi). Maka usaha Schnitger itu sungguh mengecewakan. Lebih berartilah bagi kami penyelidikan Adam (Oudheden te Jambi, dalam O.V. 1921) yang meskipun tidak lengkap, bermanfaat sekali untuk penyelidik-penyelidik kemudian.
7. Solok Sipin (Jambi)
Dari Solok ada ditemukan 4 makara yang besar sekali (lebih besar daripada makara candi yang terbesar!) di antaranya satu mempunyai angka-tahun 986 Ç, yaitu 1064 M. Pun didapatkan sebuah arca Buddha yang langgamnya sangat tua (Gupta? Lih, juga Bosch, Het Bronzen Boeddhabeld van Celebes’ Westkust, dalam T.B.G. LXXIII, 1933 hal. 500). Masih berdiri di dusun itu ialah sebuah stupa yang langgamnya juga sangat tua (menunjukkan ke Jawa Tengah). Semuanya ini memberi kepastian bahwa di Solok terdapat kepurbakalaan yang sangat penting, dan oleh karenanya sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut. Pun di dalam hutan, di mana menurut keterangan orang sana didapatkan stupa itu, kami jumpai banyak bukit kecil yang mengandung batu-batu lama. Bahkan ada pula batu-batu bata yang masih berhubungan.
Memang menilik besarnya makara-makara yang berasal dari Solok itu, maka jika makara itu tadinya menghias suatu bangunan, bangunannya harus jauh lebih besar daripada Prambanan atau Borobudur!.
8. Piagam di Mandiangin (Sorolangun)
Sebagaimana telah dinyatakan dalam laporan harian, piagam ini telah patah-patah menjadi 8 keping, diantaranya satu telah hilang. Rekonstruksi piagam ini menunjukkan bahwa keping yang ke-5 yang hilang. Pembacaan di tempat tak dapat dilakukan dengan sempurna karena sempitnya waktu. Foto-foto yang dibuat ternyata tidak memungkinkan pembacaan seluruhnya. Untunglah masih ada salinan tulisan itu. Salinan ini tak dapat kami percaya betul-betul, namun dapat pula membantu pembacaan foto yang kurang memuaskan itu.
Hasil penelitian lebih lanjut berdasar atas bahan-bahan yang tidak sempurna itu adalah untuk sementara sebagai berikut:
Piagam ini diberikan oleh Kanjeng Sultan Ratu dari Palembang kepada Ki Dipati Murttana pada tahun 1729 A.J. = 1802 M. Isinya sebagian terbesar persis sama dengan piagam yang diberikan oleh Sultan Ratu itu kepada Dipati Rupit dan yang didapatkan di Rawas (untuk ini lihat Brandes, Nogeenige Javaansche piagems etc . . . . . . . . dalam T.B.G. XXXI, 1886).
Karena persamaan itu dapatlah dengan membandingkan kedua piagam tadi keping ke-5 dari Mandiangin diketahui pula isinya.
Adapun yang diuraikan dalam piagam itu ialah mengenai hutang-piutang yang disebabkan oleh perdagangan, judi, sabung ayam, antara orang-orang Palembang dan penduduk desa. Bila ada orang melanggar hukum maka ditentukan orang itu akan dikirim oleh "prawatin" ke Palembang. Pencuri harus mengembalikan barang curiannya kepada yang empunya dalam jumlah/harga yang digandakan, sedangkan ia harus melakukan kerja paksa.
Menarik perhatian pula ialah aturan, bahwa anak-anak yang bungkuk, kerdil, kembar, atau mempunyai keanehan lain lagi, harus diserahkan kepada Sultan.
9. Daerah Pasemah
a. Megalithikum.
- Keban:
Di dusun ini terdapat 2 buah batu yang dipahat, tetapi bentuknya tidak jelas. Sebuah di antaranya berbentuk teras bersusun tiga. Teras bawah berbentuk persegi empat, yang tengah berisi delapan dan yang atas berbentuk lingkaran. Di atas lingkaran ini terletak pecahan-pecahan batu yang diikat pada "batu teras" ini dengan tali rotan.
Batu-batu ini dibungkus dalam kain putih panjangnya sembilan depa dan di letakkan dalam Rumah-Dewa, yaitu rumah kecil di atas tiang yang tingginya kl. 2 m. Rumah ini oleh penduduk dusun disebut juga "Tapak Ngawak", yang berarti "tempat tinggal yang pertama kali dari Dewa". Bentuk langit-langit sebagai lingkaran dan atap dibuat dari pada alang-alang. Keseluruhan rumah ini menyerupai bentuk "sanggah kemulan" (rumah pemujaan roh nenek moyang) di Bali.
Menurut Jurai-tua, maka batu-batu ini dipergunakan sebagai "senjata pertanian" atas perintah wali-wali yang berdiam di hutan di dekat dusun. Sehabis "nogal" (masa menanam benih padi) batu-batu ini di turunkan dari Rumah-Dewa dan di mandikan dengan air yang dicampur dengan jeruk nipis dan minyak. Setelah batu di mandikan dan berganti kain pembungkus baru, diadakan selamatan oleh penduduk di surau dusun. Menurut cerita turun-menurun batu-batu ini berasal dari 2 ekor macan kumbang yang berganti rupa batu, setelah oleh penduduk berhasil ditangkap dengan 2 lembar kain putih.
Karang indah:
Arca orang naik gajah dinamakan penduduk "Putri". Menurut cerita arca ini asal mulanya seorang adik perempuan si Pait Lidah yang dikutuknya menjadi batu.
Kepala arca yang terlepas dari badannya, sekarang sudah dilekatkan kembali pada badannya dengan semen. Di tempat arca ini dua tahun yang lalu telah dibuat oleh penduduk sebuah perumahan. Jadi ternyata bahwa arca masih dipelihara baik-baik dan dipuja-puja pada waktu orang mempunyai keinginan akan sesuatu.
Tinggihari:
Dari kompleks megalith yang terutama harus diperhatikan ialah batu berdiri (menhir) yang diukir. Menhir ini ketika diselidiki oleh Tombrink, Westenenk, dan v.d. Hoop tertelentang di tanah (terjatuh). Pada saat ini menhir telah didirikan kembali. Dalam mengupas gambar-gambar pahatan pada menhir oleh ketiga orang tersebut di atas tadi rupa-rupanya tidak terlihat atau kurang diperhatikan hal sebagai berikut ini: di atas bahu gambar orang masih terlihat dengan jelas dua belah kaki yang besar dari orang yang sikapnya berjongkok. Lutut-lututnya tampak jelas. Kedua belah tangan melekat pada betis. Pantat sebelah kiri ditahan oleh mulut "buaya". Badan (romp) dan kepala orang yang berjongkok ini tidak ada. Rupa-rupanya bagian-bagian tubuh ini patah, ketika menhir jatuh, sebab dataran atas menhir tidak rata (mungkin bekas-bekas "breuk").
Arca-arca dan menhir semuanya terletak di tepi jalan Pulau Pinang ke Tinggihari. Menurut keterangan dari orang-orang yang pernah meninjau sendiri, maka di kiri kanan jalan tersebut, di tengah-tengah hutan dan alang-alang, masih ada lagi kl. 6 buah arca/megalith yang belum diselidiki.
Tanjungara:
Dua bilik batu (steenkamares) yang pernah digali oleh de Bie, pada saat ini tertimbun kembali di dalam tanah. Sebelum penyelidikan dilakukan di sini atas perintah pamong-praja, oleh penduduk telah dibuka sebuah bilik (oleh de Bie kamar ini disebut kamar B).
Keadaan dinding bilik ini pada umumnya basah dan gambar-gambar masih tampak. Keadaan-nya sebagai berikut:
- dinding belakang: kering; gambar agak terang.
- dinding sebelah kiri: kering; gambar tak terang.
- dinding sebelah kanan: basah; tidak bergambar.
- dinding atas: basah; tidak bergambar.
De Bie ttidak memberi uraian tentang gambar-gambar dinding kamar B ini karena memang tidak terang lagi garis-garis dan pola-polanya, sehingga sukar/tidak mungkin dimengerti. Warna yang dipergunakan ialah kelabu, merah, kuning, hitam, dan putih.
Bilik kecil di belakang kamar B ini dapat dilihat dari lubang, yang persis dapat dilalui oleh badan orang. Lubang ini ada di sebelah kiri bawah dinding belakang (kalau menghadap dinding belakang).
Bilik lainnya (menurut de Bie: kamar A) tidak dibuka. Dinding-dinding kamar A ini juga bergambar dan dinding belakang yang paling terang gambarnya sekarang disimpan di Museum Jakarta oleh v.d. Hoop sejak tahun 1933.
Di sawah dusun (arah ke Gunung Dempo) tersebar batu-batu besar. Menurut keterangan, sebelum tahun 1914 orang-orang dusun diambil sumpahnya dengan disaksikan oleh batu-batu besar ini.
Tegurwangi:
Di daerah ini terdapat kelompok megalith yang oleh v.d. Hoop dinamakan "burial-place". Jenis-jenis megalith ialah: arca-arca orang, dolmen-dolmen, tiga batu berdiri, empat batu berdiri, batu-batu besar, dan peti-peti batu.
Menurut penyelidikan v.d. Hoop ada 5 buah peti batu, yang olehnya disebut "stone-cist Tegurwangi 9 - 10 - 11 - 12 - 13". Peti batu No. 9 - 11 - 12 penting sekali, karena di dalamnya pernah diketemukan manik-manik, pecahan-pecahan benda-benda perunggu, paku emas. Pada peti batu No. 11 diketemukan gambar pada salah satu dinding (menurut v.d. Hoop batu No. 15 dari stone-cist Tegurwangi 11).
Setelah diselidiki, maka yang masih tampak bekas-bekasnya ialah peti batu No. 9 - 10 - 11.
No. 9 masih tinggal beberapa pecahan dinding-dinding. Peti batu ini pernah dibongkar oleh controleur Batenburg serta isinya diambil.
No. 10 sebuah batu penutup peti hilang.
No. 11 di atas peti batu ini mengalir sebuah kali kecil. Rupa-rupanya beberapa dinding sisi hilang, sehingga batu penutupnya yang besar jatuh miring ke bawah.
No. 12 dan 13 lenyap sama sekali, sebab tidak diketemukan lagi sisa-sisanya.
Menurut keterangan kriyo (kepala dusun) beberapa tahun yang lalu ketika jalan diperbaiki, banyak dinding batu dari peti-peti ini terpakai.
Arca-arca orang yang besar-besar yang menurut Forbes, Westenenk, dan v.d. Hoop ada 4 buah; pada waktu ini tinggal 3 buah yang masih kelihatan. Menurut kriyo arca yang sebuah lagi terjatuh ke bawah, sebab letaknya di pinggir tanah yang longsor ke tempat Kali Siring Agong/Agung mengalir (kalau dilihat 111 - 147 v.d. Hoop, arca yang jatuh itu ialah arca yang di sebelah kanan sekali).
Belumai:
Dusun ini letaknya 5 km dari Pagaralam, menyimpang ke selatan dari jalan Kebanagung ke Tegurwangi. Menurut keterangan di dusun ini ada 3 buah megalith yang berupa arca orang, lesung batu, dan arca gajah.
Yang diselidiki hanya arca orang dan lesung batu, yang terletak kl. 500 m sebelah tenggara Dusun Belumai. Letak megalith-megalith ini berdekatan, tetapi arca gajah terletak masih ½ km lebih ke "ulu" dari lain-lainnya tadi. Megalith-megalith terletak di tengah-tengah tumbuhbuhan berduri yang setinggi orang, hingga sukar dicari kembali.
Arca orang: oleh penduduk dinamakan ”Ning Kuanci”. Seperti pada arca Pasemah sebagiannya, maka arca ini mata-matanya bulat, besar, menonjol keluar, hidungnya lebar, mulutnya tertawa lebar, bibir-bibirnya tebal. Alis-alisnya bersambung dan berbentuk ½ lingkaran di atas mata-matanya. Pipi-pipinya yang bulat menonjol pula. Keningnya rendah. Telinga-telinganya memanjang. Muka seluruhnya bundar.
Tutup kepala yang dipakainya rupa-rupanya sudah rusak. Yang tampak suatu model tutup kepala yang bagian tengahnya cekung. Bagian yang cekung ini melingkar, hingga tutup kepala seakan-akan dibagi dalam dua bagian.
Pada kedua belah bahunya dan pada kedua siku-sikunya dipakai benda-benda bulat (v.d. Hoop: "round disc” atau "round plates” perhatikan juga arca Karangindah yang memakainya pada lutut kiri dan arca Pulaupanggung pada kedua belah bahu-111-107).
Punggungnya mendukung sejenis benda berbentuk segi tiga yang sudut-sudutnya membulat, dengan sebuah sudutnya menuju ke bawah. Benda ini diikatkan pada punggung dengan tali lebar (?). Menurut penduduk benda ini dipersamakan dengan ”bulung” (bubu). Di bawah ”bulung” tampak ”slip” dari tunicanya (bandingkan dengan arca Pulaupanggung v.d. Hoop (111-107), yang ber ”slip” juga).
Pada tangannya sebelah kanan, di bawah rahang bawah kanan terdapat "sesuatu persegi” yang pinggirannya bercekung. Sikap arca membongkok kemuka, tingginya kl. 1.20 m, panjangnya 1.55 m, dan lebar punggung 0.85 m. Kedua belah kakinya tidak kelihatan (?).
Tidak jauh dari arca ini kl. 5 m arah timur laut ada 3 buah batu berdiri yang masing-masing tingginya kl. 1,50 m.
Lesung batu: terletak tidak jauh (kl. 25 m) dari arca orang ke arah barat-laut. Lesung ini merupakan lingkaran yang tidak rata, panjang terbesar 1,1 m lebar terbesar 0,90 m. Dataran atas dibagi 3 bagian oleh 3 garis (2 garis diantaranya menonjol di atas dataran atas) dan berlubang 3 buah (masing-masing lubang di satu bagian). Lubang-lubang lebarnya kl. 12 cm dan dalamnya kl. 18 cm.
Neolithikum
Bungamas:
Letak atelier neolith di antara jalan besar dan jalan kereta api, di atas sebuah ”heuverlrug”, sebelah tenggara dari jalan kereta api. Bekas tempat penggalian diberi tanda tiang rendah yang bersemen. Di dekat tanda ini di sana-sini masih diketemukan pecahan-pecahan neolith dan di jalan yang menuju ke Lubuklayang (3½ km dari Bungamas) banyaklah terdapat pecahan-pecahan neolith yang dipergunakan untuk mengeraskan jalan.
Di antara penduduk daerah Bungamas sampai sekarang masih banyak orang yang menyimpan neolith yang sudah diupam sebagai pusaka.
Palaeolithikum
Sungai Kikim dan Sungai Saling (anak Sungai Kikim)
Flake yang pertama diketemukan di jalan kereta api tersebut di atas di Bungamas, di antara batu-batu kali yang diangkut dari Sungai Saling. Penyelidikan dilanjutkan ke Dusun Lubuklayang di tepi Sungai Saling. Oleh karena air sudah berkurang, maka penyelidikan dapat dilakukan di dasar Sungai Saling. Di dasar sungai ini diketemukan beberapa jenis palaeolith. Penyelidikan selanjutnya di dasar Sungai Kikim, yang menghasilkan pula jenis-jenis palaeolith.
Adapun jenis bahan untuk membuat palaeolith-palaeolith ini ialah pada umumnya: kayu membatu (fosil hout) dan di antaranya tampak dengan terang dari jenis palm, karena serat-seratnya yang tebal. Selain itu ada juga jenis karang yang sudah ”verkiezeld” dan jenis chalcedoon.
Palaeolith-palaeolith ini tampak masih utuh, sehingga diduga bahwa tempat asalnya haruslah tidak jauh dari tempat penemuan.
Pusat bahan untuk membuat palaeolith tentunya pun di daerah sekitar Sungai Saling, sebab sungai ini alirannya ”mengiris” lapisan tanah antara lain:
lapisan Palembang atas | ||
lapisan Palembang tengah | ||
lapisan Palembang bawah | } | mengandung batu kapur |
lapisan Telisa | ||
lapisan batu kapur Baturaja | ||
lapisan (houthorizon) |
Palaeolith-palaeolith di Sungai Kikim mungkin berasal dari anak-anak sungai lain seperti Sungai Saling juga "mengiris" lapisan-lapisan bumi tersebut di atas.
Mungkinkah bahwa di sekitar aliran sungai-sungai tersebut ada juga teras-teras sungai yang lama dan yang pernah merupakan nederzetting-nederzetting manusia purba masih harus diselidiki.
Typologi.
Menurut pendapat sementara dari H.R. van Heekeren palaeolith-palaeolith Sungai Saling dan Sungai Kikim typologis sama dengan palaeolith-palaeolith kebudayaan Pacitan, tetapi tidak identik.
Pembagian palaeolith-palaeolith yang sudah terang menurut jenisnya ialah sebagai berikut:
Chopper | : | 2 buah kecil |
Side-chopper | : | 3 buah |
Hand-axe | : | 1 buah |
Flake | : | 3 buah besar |
1 buah kecil. |
Jenis-jenis lainnya yang ditemukan termasuk a-typis; sebuah berupa batu teras (kernsteen) dan selanjutnya pecahan-pecahan.
Temuan palaeolith-palaeolith ini sungguh besar artinya bagi ilmu prehistori. Baru sekarang inilah terdapat kepastian, bahwa pun Sumatra telah memegang peranan di dalam zaman palaeolithikum.
Penyelidikan palaeolithikum yang dilakukan di Asia telah menghasilkan penemuan suatu "pebble-culture" (atau "chopper-celt") di Panyab ("Soan"), Burma ("Anythian"), Peking ("Choukou-tienian"), Siam ('Fingnoian"), Malaka ("Tampanian"), dan Indonesia ("Pacitanian").
Hiaat yang terdapat dalam penyebaran pebble-culture dari tanah darat Asia lewat Malaka ke Indonesia, sekarang telah terisi dengan diketemukan suatu pebble-culture yang baru di Sumatra Selatan. Besarlah kemungkinan bahwa pebble-culture di Sumatra ini dikemudian hari akan terkenal dengan istilah: Salingian.
10. Jepara (daerah Ranau)
Di sini ada didapatkan sisa-sisa sebuah candi dari batu, yang kini tersembunyi di antara pohon-pohon kopi dan hutan. Candi Jepara sudah lama dikenal (Inventaris no. 132 dalam O.V. 1914), tetapi penyelidikan yang sesungguhnya belum dilakukan. Pun Schnitger menyebutkan candi ini dalam Oudheidkundige vondsten in Palembang, bijlage C, hal 7 dan dalam The Archeology of Hindoo Sumatra, hal. 4. Tampang sisinya (profilering) dimuat dalam karangan Schnitger yang pertama tadi, plaat XI. Hanya pendapatnya bahwa yang tinggal dari candi itu hanyalah kaki candinya saja, adalah kurang benar. Sesungguhnyalah bagian terbesar dari kaki itu memang masih utuh (ukuran kira-kira 10 x 10 m), tetapi di antaranya dan di atasnya terdapat pula batu-batu yang lain bentuknya sehingga agaknya termasuk bilangan bagian candi yang lebih tinggi.
Candi Jepara memberi kesan yang jelas sekali, bahwa ia termasuk candi-candi yang tertua di Indonesia. Hiasan-hiasan hampir tidak ada pada batu-batunya, tetapi bentuknya (misalnya ada bingkai-bingkai setengah bulat dan sisi-genta atau oyiet) sangat mengingatkan kepada candi-candi Jawa Tengah atau candi-candi Jawa Timur yang tertua (misalnya Songgoriti, Gunung Gangsir, dan Sumbernanas).
Penyelidikan lebih lanjut mungkin dapat menentukan ada tidaknya hubungan candi ini dengan Sriwijaya. Pun letak di dekat prasasti Bawang (25 km) menimbulkan berbagai pertanyaan.
11. Prasasti Bawang (daerah Ranau)
Batu bersurat ini terdapat di dekat Dusun Simpang Sebelat kira-kira 13 km dari Liwa. Di sekitar batu itu terdapat pula batu pahatan (batu candi?) berserak-serak, yang mungkin berasal dari sebuah bangunan. Sayang sekali bahwa keadaan alam tidak memberi kesempatan untuk meneliti batu tersebut sebaik-baiknya, karena baru saja kami tiba di sana, hujan telah turun dengan lebatnya. Adapun pembacaan-pembacaan yang sudah lalu, yang masih menimbulkan keragu-raguan, didasarkan atas abklatsch yang tersimpan di Dinas Purbakala. Dan peninjauan rombongan kami sekali ini pun tidak membawa hasil yang diharapkan, karena keadaan tersebut di atas.
Tetapi ada juga beberapa hal yang sudah dapat kami kemukakan di sini. Diantaranya ialah angka tahunnya. Dari angka tahun itu yang terang dapat dibaca ialah angka ratusannya, ialah 9, sedangkan angka puluhan dan satuan tidak terang. Dengan demikian hanya dapat dikatakan bahwa pertulisan itu berasal dari abad ke-10 atau permulaan abad ke-11. Hal itu tidaklah bertentangan dengan huruf dari prasasti-prasasti Raja Sindok dan Erlangga.
Mengenai bahasanya juga belum dapat diberikan ketentuan. Ada beberapa perkataan yang dapat dianggap dari bahasa Melayu-Kuno, misalnya kata-kata sahutan satanah, di (beberapa kali) dan mungkin gelar samgat yuru. Tetapi anasir-anasir penanggalan terutama pemakaian wuku (wuku kuningan) mengingatkan kami kepada prasasti-prasasti Jawa Kuno.
Dalam prasasti itu dapat pula terbaca perkataan çri hayi. Perkataan hayi biasanya dipakai untuk kedudukan yang lebih rendah dari mahârâya. Karena itu maka mungkin sekali prasasti itu berasal dari seorang raja bawahan.
Akhirnya dapat ditambahkan di sini bahwa ada nama sebuah dusun yang dapat terbaca dalam prasasti itu, ialah ”Huyung Langit”. Hanya saja pada waktu ini masih belum dapat diusahakan untuk mendapatkan kembali nama itu di daerah sekitar prasasti tersebut.
12. Pertulisan Talang Padang ( Teluk Betung).
Batu bersurat ini letaknya agak jauh dari Talang Padang, yaitu di dusun Batu Bodil (nama sebuah megalith yang sebenarnya tidak sangat berupa senapan dan kira-kira berukuran 3x1x0,80 m). Dekat batu bedil inilah letaknya prasasti itu, rebah di atas tanah dengan muka yang bertulisan ke atas (apakah muka yang di bawah bertulisan juga tak dapat diketahui, tetapi agaknya tidak). Ukuran batu ini adalah 1,85 x 0,72 x 0,55 m. Huruf-hurufnya k.l. 5 cm tingginya, banyaknya 10 baris. Di bawah bagian yang bersurat itu ada suatu bunga teratai yang indah, serupa takhta-takhta teratai patung dewa.
Meskipun huruf-hurufnya besar, namun bagian tengah batunya sangat usang, sehingga sekar sekali pembacaannya. Dari apa yang sudah dapat terbaca di tempat, ternyata bahwa bahasa yang dipakai untuk prasasti adalah bahasa Sansekerta (di baris ke-1 terbaca Namo Bhagawate dan dibaris ke-10 Swâhâ). Angka tahun tak terdapat, akan tetapi bentuk hurufnya menunjukkan ke akhir abad IX atau awal abad X.
Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâ-hâ sebagai penutup memberi dugaan, bahwa pertulisan itu merupakan semacam mantera. Hanya sukar untuk ditentukan apakah agamanya Budha ataupun Siwa, mungkin sekali Budha. Kalau demikian maka ada harapan bahwa batu seluruhnya akan dapat dibaca, karena banyak mantera-mantera agama Budha (dinamakan dharani) yang ucapan-ucapannya serupa.