Apakah Batjaan Tjabul/Hamka
Hamka
Adalah lebih tepat djika perbintjangan malam ini kita katakan pertukaran fikiran dan perpaduannja kembali daripada dinamakan debat. Sebab ada beberapa soal dimana saja sefikiran dan dapat bertemu dengan Saudara Takdir akan tetapi dalam beberapa hal ada pula persimpangan fikiran dan pada achirnja ada pula pertemuan kembali.
Saja tertarik sekali membatja pokok² pikiran dari Saudara Takdir jang telah disampaikan terlebih dulu pada saja dan demikian pula kata pengantarnja jang diberikan pada malam ini. Meskipun Saudara Takdir mengatakan, bahwa penjelidikannja tentang hal ini tidak begitu luas dan beliau hanja mengambil soal² nilai dalam masa dua tahun ini, akan tetapi saja kira dalam hal ini beliau itu telah memenuhi permintaan kita itu. Banjak jang serupa dengan pendapat kami dan ada pula jang menjimpang.
Diantara pendapat kami jang sama, ialah bahwasanja buku tjabul dan madjalah tjabul hanjalah satu ranting sadja daripada satu pohon jang besar, jaitu krisis etik jang ada sekarang dalam seluruh masjarakat. Atau hanjalah satu gedjala jang pasti dan mesti timbul dalam keadaan masjarakat jang tak tentu arahnja sebagai sekarang ini. Dan dengan menjebut kata masjarakat, tidak ada lagi jang terketjuali: Masjarakat, sedjak dari jang paling atas sampai kepada jang paling bawah. Dan kalau dikadji-kadji lagi, bolehlah dikatakan bahwa air ini telah keruh sedjak dari hulunja. Kaju besar mendjadi mati puntjaknja, sebab uratnja sendiri telah putus dibawah. Rumah seluruhnja telah tjondong, sebab sendinja tergandjak.
Dalam masjarakat seperti ini, orang ketjil bertambah terhimpit. Orang besar bertambah besar. Polisi Susila menjapu bersih perempuan latjur ditepi djalan, menahannja dalam pendjara buat 3 atau 4 hari, untuk dikeluarkan kembali meneruskan pelatjurannja, dan tangkap lagi, dan lepaskan lagi. Tetapi tidak ada jang berani menangkap pelatjuran dalam gedung² besar. Untuk tuan² besar pelatjuran dilegalisir! Kalau ada orang besar hendak pergi turne kesuatu daerah, didaerah telah ada jang menjiapkannja terlebih dahulu. Maka buku² dan madjalah² tjabul adalah satu gedjala sadja daripada kekatjauan moral dan etik ini.
Sefaham pula saja dengan Sdr. Takdir tentang memberi definisi tjabul jang amat relatif itu. Inilah soal jang njata, padahal tidak dapat ditundjukkan. Lebih banjak berhukum kepada hati sanubari, kepada kemurnian batin daripada kepada otak. Djika sekiranja seorang penulis buku tjabul dihadapkan kemuka pengadilan, maka djaksa jang mendakwa dapatlah meregang-regang undang² sehingga jang tidak tjabul atau kurang tjabul, boleh mendjadi terhukum tjabul. Sebaliknja seorang pokrol jang tjerdik, dapat pula mengorak segala buhur undang² itu, sehingga tidak ada jang tjabul 1agi. Seorang jang bertelandjang bulat dimuka hukum, oleh djaksa dapat dituduh sebagai pelanggar susila; dan oleh seorang pokrol jang pintar dapat dibela setjara wetenschap, bahwa orang itu adalah orang jang paling djudjur, karena kembali kepada pemberian alam jang aseli.
Di Barat, ditempat pemandian umum, bolehlah perempuan memakai pakaian Bikini, dan kalau ada jang lebih dahsjat lagi daripada Bikini, mau djuga orang memakainja. Dan bila keluar dari tempat mandi umum itu, kalau dipakai djuga, mungkin ditangkap polisi. Sebab ukuran pakaian bukan ukuran moral, melainkan ukuran tempat sadja. Tetapi dikampung-kampung, — dan Negara kita ini terdiri dari kampung², kekuatan kita adalah dalam kampung —, didesa jang masih djauh dari apa jang kita sekarang disini ini menamainja kemadjuan modern, terbuka sadja bahu sedikit atau betis sedikit, sudah „menjalah”. Sebab kehidupan kota adalah individualisme, dan kehidupan desa adalah „sehina-semalu”.
Apakah jang dikatakan buku, madjalah atau tulisan tjabul?
Kalau jang dikatakan tjabul itu adalah senda-gurau tjinta jang terang-terangan, sexologi jang terang-terangan, maka buku² nenek mojang kita seperti buku Asmaragama sebagai suatu buku dari keagamaan Hindu jang dipandang sutji, Hikajat-hikajat Melaju Lama dan Djawa Lama, bahkan dalam peladjaran Djawa Kuno di S.M.A., terdapat kalimat² jang terang-terangan tjabul, sampai waktu membitjarakan tentang kata² jang demikian itu ada jang tidak tahan dan dia lalu keluar sadja.
Oleh sebab itu, apakah kita pada malam ini hendak membitjarakan soal definisi tjabul? Sampai menggalinja keurat akarnja, sehingga habis tidak bertemu lagi? Atau adakah kita sekarang ini hendak mengadji masjarakat jang tengah terombang-ambing, terutama masjarakat pemuda kita dan anak-anak kita, anak saja dan anak Tuan? Jang kedua, apakah kita sekarang akan mengadji usaha membanteras butahuruf dikampung dan desa, dimana didjaman pendjadjah dulu baru 7½ % dari penduduk jang dapat membatja, dan setelah butahuruf itu dapat dibasmi, hanja buku² dan madjalah jang menimbulkan nafsu sjahwat jang dapat mereka batja?
Disini saja mulai sedikit menjatakan hal jang berlainan daripada pendapat Saudara Sutan Takdir. Didalam stellingnja beliau, djuga didalam perkataannja tadi, beliau mengatakan, bahwa dengan tersiarnja buku² atau madjalah² tjabul itu, masjarakat belum tentu mendjadi tjabul. Beliau mengemukakan alasan² seperti keadaan di Paris dan lain². Tetapi satu hal, ialah tentang anak² tidak dikatakannja. Murid² kita, anak² kita dan pemuda² kita rusak, Saudara-saudara! Tidak usah ditanjakan kepada seorang psycholoog atau kepada dokter², tetapi tanjakan sadja kepada guru², bagaimana kemunduran pendidikan dan hasil-hasil udjian anak² kita. Tanjakanlah betapa banjaknja pemuda-pemudi jang sedang dalam usia pantjaroba jang terlantar peladjarannja, djatuh udjian dan eksamennja, lalai memperhatikan peladjaran jang akan menentukan nasibnja dibelakang hari. Salah satu sebabnja ialah karena batjaan tjabul dan ditambah lagi oleh jang lain², misalnja, — dan ini jang berbahaja lagi —, ialah film jang mirip² tjabul. Ini jang berbahaja.
Kalau sekiranja Saudara Takdir mengakui adanja krisis etik didjaman sekarang ditanah air kita jang masih muda ini, tidakkah mungkin Saudara Takdir sampai kepada kesimpulan bahwasanja sangat besarnja tersiar buku dan madjalah demikian, adalah akibat daripada telah sangat meradjalelanja ketjabulan dalam masjarakat.
Sebab buku² itu tambah lama tambah laku, tambah disembunjikan dipinggir djalan, tambah laku, banjak pembelinja. Ini berdasarkan ilmu djiwa, kalau tidak ada pengaruh itu, maka tidak akan banjak jang membatjanja. Saja sendiri tidak membatja, karena tidak ada jang menarik soal pertjabulan itu, akan tetapi bila ada sesuatu jang menarik, tentu saja akan membatjanja sebagai manusia biasa.
Saudara Takdir tadi mengatakan, anak² diserahkan orang tuanja dari desa² ke-kota², dengan sendirinja pendjagaannja kurang atau sama sekali tidak ada, lebih² kaiau mereka itu diserahkan pada asrama², jang belum begitu teratur itu, mereka banjak menemukan persimpangan djalan. Tanjakanlah bagaimana kemunduran pendidikan, tanjakanlah betapa banjaknja pemuda² jang sedang usia pantjaroba jang terlantar peladjarannja, djatuh udjian dan eksamennja, lalai memperhatikan peladjaran jang akan menentukan nasibnja dibelakang hari, salah suatu sebabnja ialah karena batjaan tjabul, maka terdjadi apa jang terdjadi. Lebih² dirumah, tidak ada kuasa orang tua, karena katanja djaman bebas.
Kegagalan dan keruntuhan hidup, baik bagi pemuda, apatah lagi bagi pemudi. Kalau Saudara Takdir melihat bahwa masjarakat tidaklah bertambah tjabul karena itu, tentu Saudara Takdir djuga sefaham dengan saja, bahwa buku² dan madjalah seperti demikian, lebih banjak dapat mendjeremuskan daripada menjelamatkan. Selandjutnja didalam pokok pikiran No. 6 Saudara Takdir menjatakan, bahwasanja dalam penjelidikan ilmu djiwa dan ilmu masjarakat, djelas benar ada ketjenderungan orang berpendapat, bahwa tekanan dan paksaan etik tertentu jang terlampau keras dalam pendidikan akan berakibat penjakit² pribadi dan masjarakat jang lebih berbahaja bagi individu dan masjarakat.
Kalimat ini dapat saja setudjui, akan tetapi udjung dari kalimat ini tidaklah sama pendapat saja dengan Saudara Takdir. Udjung kalimat ini adalah:
„Demikian dalam banjak hal kita sekarang menghadapi perseregangan antara nilai² etik jang dihasilkan oleh penjelidikan ilmu djiwa, ilmu masjarakat dan ilmu kebudajaan dengan nilai² etik agama”.
Saja merasa tidaklah demikian halnja.
Agama menentukan kebenaran dan penjelidikan manusia; dengan ilmu djiwa, ilmu masjarakat dan ilmu kebudajaan, bahkan segala tjabang ilmu, ialah mentjari kebenaran. Hasil dari pada penjelidikan jang sedjati, pasti bertemu dengan hukum agama jang sedjati.
Kita mengambil misal, tentang suatu perhubungan kelamin diantara seorang laki² dengan seorang perempuan jang berdasar hanja kepada kenafsuan belaka — sebutlah vrije liefde, atau kini disinjalir pula suatu sebutan „laksana meneguk segelas air” — jang tidak timbul daripada rasa tanggung djawab jang sutji, mengakibatkan kalau beranak, tidak ada tanggung djawab kepada anak. Ilmu djiwa jang sangat modern pun menundjukkan timbulnja „rasa rendah diri” pada anak jang lahir daripada hubungan jang tidak sutji diantara seorang laki² dengan seorang perempuan. Karena ingin jang lebih sutji itu adalah satu diantara instinct manusia. Baik mensutjikan hubungan itu dengan geredja, atau penghulu atau wali, atau burgerlijke stand. Mendirikan rumahtangga dan kekeluargaan, pendidikan anak dan memeliharanja sampai dapat tegak sendiri, adalah salah satu tabiat dari manusia untuk memelihara turunan. Maka datanglah agama, memberi nama hubungan jang sutji itu dengan nikah dan memberi nama hubungan jang tidak sutji itu dengan zina. Kita tidak mau menjelidiki bagaimana ini dalam hubungan ilmu djiwa; dan zina itu satu tjontoh. Ketika penjelidikan2 ilmu pengetahuan udjudnja mendjadi kenjataan sebenarnja dengan agama tidak ada perselisihan. Saja djuga membatja bagaimana kalau dinegara Timur atau dinegara Islam jang pada waktu achir2 ini telah bangun dan seperti djuga halnja di-negara2 Barat seperti negeri Inggeris, bagaimana kaum geredja itu melihat dengan tidak membuta pada perkembangan2 ilmu pengetahuan, misalnja sadja, apakah teori Malthus itu betul ? Mereka tidak serampangan, oleh karena penjelidikan manusia itu relatif sifatnja : kata si Anu begitu, kata si Anu begini !
Saja dapat menundjukkan dalil2 jang lain, bahwasanja agama jang sebenarnja dan ilmu pengetahuan jang sebenarnja, adalah berpadu dalam satu hakikat. Tetapi bukan disini tempatnja. Maka hasil penjelidikan ilmu pengetahuan, tentang djiwa, tentang masjarakat dan tentang kebudajaan itu, dengan sendirinja adalah mempertinggi mutu agama. Dan kalau sekiranja penjelidik2 itu tahu dan insjaf, bahwa pekerdjaannja dan penjelidikannja adalah mendapat bantuan moral daripada agama, nistjaja akan lebih merasa berbahagialah dalam usahanja.
Jang mengatjau balaukan keadaan pada masa ini bukanlah agama dan bukan hasil penjelidikan jang paling modern dalam ilmu djiwa, ilmu masjarakat atau ilmu kebudajaan; jang menjebabkan kekatjau-balauan itn, sehingga seakan2 timbul pertentangan, ialah dua sebab. Pertama, kedjahilan dan kesempitanfaham orang2 atau golongan jang mengakui dirinja kaum agama, penguasa agama dan kepala agama. Dia hapal ajat2 dari kitab2 sutji, tetapi tidak mengetahui perkembangan ilmu djiwa, masjarakat dan budaja, sehingga dipaksanja masjarakat itu supaja tunduk kepada jang dibatjanja, menurut jang difikirkannja; maka banjaklah orang jang lari daripada jang tunduk. Jang kedua ialah kesombongan dan keangkuhan orang2 jang mengakui dirinja tjerdik pandai, intelektuil, ahli ilmu djiwa, psycholoog, filosoof dan lain2 dan merasa bangga dengan buku jang dibatjanja dan telah merasa, bahwa itulah hakikat kebenaran, lalu berkata: „Ah, itu tjuma agama!”
Kaum agama jang demikian kian lama kian kuranglah pengikutnja. Orang jang berfikir kian lama kian banjaklah pengikutnja orang bodoh².
Dan psycholoog dan filosoof jang demikian, adalah duduk dalam „istana gading dipuntjak bukit”, dapat menghitung segala jang kedjadian dihadapan matanja, tetapi tidak dapat berbuat apa². Dia mendjadi serba ragu karena ilmunja.
Maka akan berbahagialah kita djika keduanja djangan bersimpang djalan sebagai sekarang. Jang satu menudju kelembah kedjahilan dan jang satu mendaki bukit menudju istana gading! Melainkan bertemu! Agama dipikirkan dengan ilmu dan ilmu diberi djiwa dengan agama.
Saja djuga menampak perobahan struktur masjarakat, sebagaimana dikatakan Saudara Takdir tadi, dari susunan desa kekota, dari susunan lama kepada jang baru. Tetapi ada satu hal jang harus kita tilik pula, jaitu bahwa kita di Indonesia mempunjai beban jang sepuluh kali lebih berat daripada Eropah. Apa jang kita lihat sekarang, adalah udjung daripada jang telah berlaku 300 atau 500 tahun jang lalu. Ini jang lebih berat. Djadi apakah kerdja kita? Kita jang bertanggung djawab, kita jang mendirikan negara, apakah kita akan melihat sadja air itu lalu? Djadi mesti begini, mesti begini, sebab ini sudah begini! Apakah kita mesti ikut sadja kemana kita akan dialirkannja? Sedangkan kita jang bertanggung djawab?
Saudara², kita sebagai manusia jang mempunjai pribadi, tidak boleh hanja menurutkan aliran kehendak sedjarah, tetapi wadjib berusaha menggalikan bandarannja dengan baik dan menjalurkannja.
Buku² dan madjalah² tjabul, menurut adat lama pusaka usang kita, menurut adat istiadat dikampung halaman kita dan seluruh bangsa Indonesia, baik menurut Islam ataupun Keristen, lebih2 Islam, baik ditanah Batak atau ditanah Minangkabau ataupun didaerah-daerah lain, maka kalau sampai menemui orang bertjabul, maka orang itu akan dipenggal lehernja. Melihat jang salah ini, apakah dengan sekaligus dapat kita putar kepada pikiran jang lain ? Apakah kita tidak akan kehilangan sari kita sebagai satu bangsa ? Saja tidak akan berbuat apa2 lagi kalau isteri saja dipegang orang lain, sebab saja sudah memegang isteri orang lain pula. Maka kalau isteri saja dipegang orang, saja biarkan sadja. Inilah jang sebenarnja djiwa jang bertentangan dengan keutamaan bangsa Indonesia jang sekarang ini. Disini timbul kekatjauan jang lebih besar, timbul buku2 tjabul. Dan inilah jang dimaksud oleh saja. Saudara dapat melihat bagaimana lakunja buku2 tjabul itu. Karangan kami dan Saudara Takdir terdesak oleh karenanja. Tidak sedikit orang untuk mentjari nafkahnja dengan mendjual karangan2 ataupun gambar2 tjabul. Djadi jang bertalian dengan kehidupan adalah pula untuk larisnja barang dagangannja itu, karena ingin lekas laku dan mendatangkan fulus.
Sebab itu, Saudara Ketua, tadi didalam kata pengantarnja Saudara Ketua mengatakan, bahwa orang2 jang sudah mengarang buku-buku tjabul, kami tidak akan bawa mendjadi anggota. Tentang ini kita belum sefaham, Saudara Ketua. Bagi saja, baiklah kita daftarkan kawan2 kita itu, jang mentjari penghidupannja dengan membuat buku2 tjabul. Mari kita adjak mereka bersama-sama memberi isi, memperbaiki keadaan masjarakat jang seperti sekarang ini. Mereka itu bukanlah orang lain, melainkan kawan2 kita djuga. Sjukurlah bahwa kita sendiri didalam O.P.I. merasakan adanja keperluan akan perpaduan tekad hendak mengabdi kepada Negara dan Bangsa menurut kesanggupan jang ada pada kita masing2. Dan dalam ichtiar jang lain, ada orang2 jang memikirkan kesulitan2 dengan adanja buku2 tjabul, pengarang2 batjaan tjabul. Sjukurlah kalau Pemerintah sendiri minta pendapat kita. Maka dengan djalan demikian, adanja kegagalan2 itu, hal mana saja sefaham djuga dengan Saudara Takdir, akan mendorong kita untuk mentjari djalan jang baru.
Sekian sadja debat saja, Saudara Ketua.
KETUA: Terima kasih saja utjapkan kepada Saudara Hamka. Saudara2 sekalian, dengan penuh perhatian kita telah mengikuti uraian atau sanggahan dari Saudara Hamka jang banjak mengandung ,,humor" itu, tetapi jang djuga djelas menindjaunja dari segi Agama.
Sekarang marilah kita mendengarkan sanggahan dari seorang seniman, jaitu Saudara Gajus Siagian.