Azab dan Sengsara  (1920)  oleh Merari Siregar
Bab 9: Penutup Kalam

Bagaimanakah hal Mariamin sesudah itu dan seterusnya?

Marilah kita masuki lagi rumah kecil yang di pinggir sungai itu. Hanya sekali ini saja lagi hendak dilukiskan apa yang kejadian di rurnah yang malang itu. Inilah yang penghabisan. Oleh sebab itu marilah kita ke sana. Itulah dia, di pinggir sungai! 0, bukan: itu pondok yang lain, ke hilir lagi.

Itulah dia tempat perumahan itu !

Pondok teratak yang tua itu sudah rebah, atap lalang itu pun hampir menjadi tanah, hanya tiang-tiang bambu itulah yang tinggal berserakserak di atas bumi. Tempat kesengsaraan itu sudah lenyap dari pemandangan mata, karena halaman dan belakang sudah ditutup oleh rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan yang menjalar. Perumahan yang sunyi itu sudahlah dilupakan oleh penduduk Sipirok, tetapi tempat itu takkan lenyap dari muka bumi ini, karena dia itu sudah terlukis dalam buku ini, terlukis dengan huruf, supaya dibaca oleh semua yang mempunyainya. Rumah itu sudah rebah, tempat itu sudah lengang, ke manakah yang mendiaminya?

Tempat anak gadis itu ada diketahui. Tetapi ke mana perginya si ibu dan anaknya yang seorang lagi itu? Itu hanya Allah yang mengetahuinya. Sekarang kita tinggalkan perumahan yang sial, sarang kemalangan itu. Kita ambillah jalan besar yang menuju ke kampung A, kampung Baginda Diatas, ayah Aminu'ddin itu.

Di situkah tinggalnya Mariamin sekarang? Tetapi janganlah dahulu kita terus ke kampung itu. Nah, ini satu simpang: sekarang kita harus menyimpang membelakang ke jalan besar.

Berhentilah, kita sudah tiba.

Sawah yang amat luas itu berganti kulit, sebagai dialas dengan bidai yang luas, karena waktunya mengerjakan sawah.

Langit yang terbentang di atas kepala itu amat bersih, tiada berawan. Warna langit yang hijau itu bertambah hening dan jernih, karena matahari itu baru lenyap dari puncak Gunung Sibualbuali yang permai itu. Angin yang lemah-lembut berembuslah akan menyegarkan dada orang tani yang susah payah itu dan sekarang sedang di tengah jalan pulang sawah ke rumah mereka.

Makin lama makin sunyi di luar kota, karena masing- masing telah meninggalkan pekerjaannya. Yang lebih lengang sekali, yaitu tempat kita berdiri ini. Seram bulu roma rasanya melihat ke kanan dan ke kiri, lebih- lebih bila dipikirkan, bahwa tempat itu kuburan, tempat perhentian manusia yang telah meninggalkan pekerjaannya di dunia ini. Orang tani bekerja, pulang ke rumah akan berhenti, dan besoknya bekerja kembali. Mereka itu laki-laki perempuan, berhenti di kuburan itu, bukan berhenti akan mengumpulkan kekuatan untuk pekerjaan esoknya, melainkan ... mereka itu berhenti, sambil menunggu akan kedatangan hari yang akhir.

Hidup Mariarnin, pokok cerita ini, telah habis, dan kesengsaraannya di dunia ini telah berkesudahan!

Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah ... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama lamanya. Nyawanya sudah bercerai dengan badan, daging dan tulang- tulang itu busuk menjadi tanah, akan tetapi arwah yang suci itu naik ke tempat yang maha mulia, yang disediakan Tuhan seru sekalian alam untuk umatnya yang percaya kepada-Nya. Maka di sanalah air mata itu kering karena suatu pun tak ada lagi yang menyusahkan hati. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.

SELESAI