Bidadari Binal (1950)
oleh M. d'Amor
66645Bidadari Binal1950M. d'Amor
TJILIK ROMAN'S 

Tjilik Roman's

Tetap disuka oleh Pamudi - Pamuda.

Terbit Tiap Tanggal 5 - 20
Kant: Redactie & Administratie
Posttrommel 63 - Djakarta.
DJULI

TAH. KA DUA 1950


WARTA REDAKSI.

AMICA telah sampe di medja Redaksi, sunggu satu penerbitan jang harus dapetken sambutan.

Pudjian tida perlu kerna tuan Pouw Kioe An sebgai penerbitnja ada mendjadi tanggungan buat isinja Amica.

Mudah-mudahan Amica penerbitan ka-dua aken menusul dengan dapetkan perhatian terlebih besar.

Buat itu kiriman dihaturkan trima kasih.

Redaksi.

WARTA TATA USAHA.

Dihaturkan trima kasi kapada Para Pembatja jang setia dan telah mengirimkan poswesel besarnja f. 24, buat Triwulan ka-Tiga, djuga kiriman tambahan besarnja ƒ. 6.—

Buat Para Langganan baru jang telah mengirimkan nangja akan dikirim berbareng 2 djilid jalah Detective Chiu dan Bidadari Binal.

Maaflah kalu kiriman untuk Para Pembatja Langganan baru ada terlambat, kerua banjaknja tambahan langganan baru jang kita harus urus dengan bergiliran.

Tata Usaha.

WARTA REDAKSI.

Molai dari Triwulan ka-ampat dan selandjatnja bagian pengarang, selaen tuan Njon Cheong-seng aken diperbantukan penulis2 terkenal antaranja tuan Tan Liep Poen.

Ditambahnja penulis-penulis terkenal aken mempuaskan para pembatja jang setia.

Redaksi


KEPADA „AIDA.“

Rangkaian hatiku ini kuhaturkan sebagai
kenangan-indah, dipangkuan'mu, taufan-cha-
jalku pernah beristirahat sesaat dalam tenang
dan damai, terlepas dari sibuk dan katjau.......

KEPADA „JEANNE.“

Kuhaturkan bunga-tjitraku ini, dengan pe-
nuh terima-kasih-rochani, dengan'mu, kami-
berdua diperdjoangkan di-front,,desa", tetupi
dapat lari dan insjaf. Diantara kabut, men-
dung, halimun, kite menembus sinar chandra-
suria.

KEPADA „KIM-SENG.“

Kuharapkan sudi melihat dibalik dirinja sen-
diri, mentjari keinsjafan dan kebenaran bukan
ditempat jang djauh tetapi pada diri-sedjati,
Sang-Aku.

M. d'AMOUR.

INTI - CHAJAL
Sebuah kata penghantar bagai JEANNE
Tjitra CHAIAL. M. d' Amour's Bidadari Binarl.



REVIEW & MORAL.

MANUSIA turun dari atas puhun inilah membawa nasibnja jang kian sulit dan kian senang, derita suka silih berganti Kiem Seng ditinggalkan mbulan inilah membawa kissah jang kian hari kian mendjadi rahasia: rahasia dalam rahasia jang ta'dapat digunting dua....... Ia mendjumpahkan Aida.
Agak gandjil bahwa Aida yang telah bersuami dan beranakkan dua ingin lari dari bargaskara, hingga perdjumpaan antara pelarian dua ini: satu dari mbulan, lain dari matahari: menimbukan gubahan asmara dalam sanubari masing-masing.
Jeanne, adinda Aida, merasa bertanggung djawab, sebagai saudara sepupu-sedada, merasa berwadjib sebagai wanita seperasaan-sepenanggungan, karenanja Jeanne telah mengambil langkah menghirau di tengah-tengah angkasa asmara rahasia pusparagam: mentjoba membatalkan pertukaran asmara antara Aida dan Kiem Seng itu. bahkan berhasrat Jeanne mengembalikkan kedua manusia itu kemasing-masing induk hatinja, ketengah-tengah pelukan liangsiem mereka itu.
Jeanne, bidadari binal, achir-achir mentjapai hasil dalam usahanja walaupun, siapa tahu? usaha Jeanne itu diluar garis kelaziman tatakrama kewanitaan. Ketiga itu achir-achir dapat pulang kembali kepangkuan kalbunja sendiri-menurut Monsieur d'Amour punja tehnik kata-kata ber-rhetorika dengan bahasa dan moral filsafah kemanusiaan jang penuh rahasia-rahasia asmara dendam itu.

BAIK KIRANJA DISINI KAMI memaparkan sedikit „inti chajal“ bajang-bajang „Bidadari Binal“; meski selajang pandang bagaikan Jeanne jang berdjuang dalam rahasia asmara dendam ini seperti terlukis dalam kalimat kissah itu, namun pada hakekatnja dialah, si Kiem Seng, jang perlu ditindjau lebih mendalam pula. Karena gara-gara Kiem Seng lah sampai timbul tjerita romans siku tiga.

Kiem Seng itu gerak-geriknja mengundjukan akan tekanan bathinnja, tekanan sexueel. . . . . . . Baginja sexueel ini merupakan peranan dalam adat-istiadat, karenanja, dia tidak bertindak begitu djauh atas diri nona Jeanne itu, meskipun dalam halnja Jeanne ataupun dalam halnja Aida, tekanan-tekanan tersebut menindih isi kalbunja.

Kiem Seng kurang berani, bahkan hilanglah sebagian ketabahannja menghadapi realiteit itu, bahwa tantangan harus dibalas tantangan, mau disambut dengan mau. . . . . . . Tetapi dasar Kiem Seng seorang seniman (penjair dan pelukis), maka dia lebih menjukai konflikt dalam ruangan bathinnja daripada merenangi lautan kenjataan, jang meminta risiko terlebih besar dan bebas. Tetapi kami berpendapat, bahwa sekali Kiem Seng mengambil risiko, mungkin risiko jang tidak reaal, tidak lepas daripada tekanan bathinnja. . . . . . .

Aida, njonja muda itupun, ternjata tertindih pula kalbunja dengan tekanan-tekanan bathin serupa si Kiem Seng. Baginja membuka isi rahasia hati kepada seorang seniman itu, mungkin dapat meringankan tekanan-tekanan itu. Meskipun demikian toh Aida serupa dengan Kiem Seng tidak bernjali tjukup besar, dan lebih menjukai romans jang masih bajang-bajang.

Kedua manusia jang tertekan bathin sexeelnja ini mungkin dapat terdjerumus kedjurang-djurang jang tidak dikehendakinja: biar mereka lari kekenjataan ataupun kechajalan belaka: karena kedua-duanja itu, terutama Kiem Seng, bergandolan dengan pendapatnja tentang moral itu jang sedikitpun tidak membebaskan diri mereka dari tekanan bathin jang sebenarnja.

 Datanglah achir-achirnja, bidadari binal. Selain Jeanne ini dapat menjampaikan rahasia-rahasia pertjintaan mereka itu lebih dekat kedunia kekenjataan; pun sedikitnja Jeanne dapat mengangkat sedikit bagian dari hal-hal jang bertumpuk-tindih sebagai rahasia asmara dendam itu dari ruangan kalbu dan chajal Kiem Seng.

 Entah, apakah Monsieur d'Amour masih mempunjai banjak rahasia pula jang digeramkan kedalam hati Jeanna, setelah gadis ini mentjium halimun diangkasa?

 Achirulkalam: dalam verbaliberalism *) tentang romans moral, liangsiem, sexueel (libido), bahasa dan kata-kata, tjukuplah Monsieur d'Amour menganjam tjerita „Bidadari Binal“ setjara remadja dan meresap.

GAN KANGSENG.

Surabaja, Tjihingbing, 1950.

  • ) „Bahasa tidak berundang-undang“. — MdA.

„Bidadari Binal”

M. d'AMOUR

Melati mekar mengharum,
Melepaskan rindu membangun,
Kupandang bibir bersenjum,
Terasa njawaku mengalun.

Pindjamkan daku bibirmu delima,
Bagai bingkisan ramah-tamah,
Kenangan djumpa tidak terduga,
Tanda melepaskan riang dahaga.

Kesuma bibirmu menawan rawan,
Matamu berkilau laksana intan,
Sekedjab kupandang, tertahan bimbang,
Djauh kukenang, rindu berkembang.

Oh, Jeanne, bidadari binal,
Dengan senjummu nakal brandal,
Melepas ilham, menahan chajal,
Mendjadi kisah tidak terkenal.

Malino. 3 Februari 1950.



1. TUHAN.
Oh, Tuhanku, mentjari diKau,
Adalah terutama keinginanKu,
Tetapi pahamkan keinginan Mu,
Melebihi dari kekuatan hamba Mu,

Aku tahu, Tuhan hiburan,
Bagai hati jang ketjetjeran,
Djika dikau dapat kupandang,
Sebagai kawan, handai taulan,

Aku akan bersembahjang,
Siang dan malam......

Menjalahnja dari sinar kasihMu,
Dapat menerangi kagelapan malamku.

LARI dari bulan, Kim-seng kehilangan bintang Dalam gelap malam, Kim-seng kehilangan segala ilham dan paham.

Ia tidak tahu apa jang ditjari, ia tetap mentjari-tjari.

Ia tidak ketemu, karena jang ditjari ia tidak tahu.

Sebetulnja apa jang ditjari olehnja?

Demi Allah, njata ia kehilangan dirinja sendiri.

Ia kehilangan hati, kehilangan djiwa, kehilangan segala apa.

Seakan-akan Kim-seng telah tamat,tjeriteranja, tetapi ia tetap hidup dan bernjawa.

Dalam hidupnja jang djenaka, ia bersenda, ia tertawa, menabung suka, menimbun gembirah, tetapi dalam itu semua, ia hilang rasa......

Kim-seng tidak tahu mengapa ia tertawa......?

Kadang-kadang ia tertawa, dengan air mata meluap disumberan mata......

Ia tidak pula tergoda derita, hidupnja telah kosong dan hampa......

Dalam bersenjumnja, ia tahu ia mendjadi lelutjon dunia, diatas panggung dunia, dalam satu sandiwara raja, tetapi didalangi oleh siapa?

Oleh Tuhan?

Tidak, ia melawan......!

Djika Tuhan mendalangi tonil dunianja, dan manusia mendjadi pelakunja?

Mengapa sehebat itu derita kehidupannja? Ia, Kim-seng, sebagai hamba dunia, sebagai Machluk Allah?

Djika demikian, 'mana keadilan?

Umpamanja, ia mendalangi dirinja sendiri?

Mengapa sekedjam itu mendalangi kehidupannja sendiri?

Kim-seng tidak mengerti, dan tidak dapat ia paksa mentjari...... pahamnja jang aseli.

Kim-seng tidak hendak menangis dalam beban derita menghimpit dirinja, apa guna menangis?

Air mata tidak tjukup banjak mendjadikan bandjir jang hanjutkan dia dari telaga dukanja, melemparkan dia di danau jang lepah, supaja ia merdeka dan bebas......

Ia pun tidak hendak mentjari hiburan, apa arti hiburan?

Hiburan hanja mendjustai kebeneran, datangnja hiburan hanja sekedjeban... Hiburan adalah semata-mata melepaskan duka dalam lupa......

Penjakit tidak dapat sembuh hanja dilupakan.

Kim-seng bingung, tetapi ia bersenjum.......

Kim-seng sebetulnja mimpi disiang hari. Menunggu datangnja auto dari Ban Huat Hin di Djalan Rumbia, jg dipesan sedari pagi, dalam sendiri dan merasa sunji-sepih, ia melondjorkan kaki didua korsi......

Melamun dalam melamun, mandjakan perasahannja jang limbung, Kim-seng bawa ilhamnja melajang kekampung-kampung, kebetulan bertemu dengan kawan Ho Eng-djie jang ia kenal baik sekali......

Kenangkan Ho Eng-djie sungguh merupakan satu hiburan.....

Datangkan lamunan dari kawan itu, tidak lain akan ketemu arak dan pantun......

Dengan sedikit arak ada terlahir pantun² indah. Dengan banjak arak; akan mendegung banjak pantun² djenaka, kadang²...... hilang djiwa filsafatnja.

Kim-seng memanggil datang berapa kenangan..... dalam mimpinja......

Ia tertawa sendirinja...... dalam pulasnja, dikala ia melihat kawan Ho Siansing itu pentil Guitar, dengan tjelana pendek dan kaus kutang, menjanji dengan merdeka... Tidak perduli orang mau mendengar atau tidak... Ho Eng-djie menjanji untuk dirinja sendiri, untuk dunia jang mempunjai telingah, Djika manusia kupingnja pekak, tidak berlobang mendengar pantun, tidak usa ia memasang mikrofoonnja... Ia tidak memaksa... Batu Giok tidak guna dilemparkan kepada... babi......

Ingat kepada semua itu, membawa mimpinja ke Djalan Diponegoro, Kim-seng tertawa dengan tidak tentu.

Suara pantun membisiki telingahnja.......

Sipala pala nadjina,
Natamparang lantang lalo,
Kuna sombalang,
Konteng makkale-kalea.

Djika hendak aku beladjar,
Akan kupelajari segarah jang dalam
Diatas laut membuka lajar.
Dengan bidukku jang sendirian.

„Ja, hendak kupelajari laut merdeka” kata Kim-seng dalam ngigonja „dengan perahu tidak berkawan, dengan sendirian membawa kenangan, bukankah ini tudjuan kehidupan?”

Djawaban datang dari... Klaxon auto...... diluar Hotel.

Seperti mendengar suara Sirene; suara alarm diwaktu ada bahaja udara dalam suasana perang, Kim-seng bangun dengan gragapan:.... Lontjat dari korsi-korsinja sambil melihat lontjeng.....

Djam mengutarakan pukul 11 lebih 3 menuut...

„Pesawat akan sampai di Mandai, djika tidak terlambat, kira-kira djam setengah satu” katanja pada dirinja sendiri, seperti hendak mentjari kepastian.:....

Lalu ia lari mentjari tasehnja, dan ketemukan selembar telegram. Dibatjanja lagi sekali melepaskan sangsi.

PESAWAT BERANGKAT DJAM 9.30 DARI
MOROKREMBANGAN STOP PAPAK DI
MANDAI DJAM 12.30 DJIKA SUDI
JEANNE.

„Djika sudi” Kim-seng ulangkan kata-kata ini dengan satu senjuman „dua kata-kata jang tidak perlu ditelegramkan: Sudi atau tidak sudi mesti kupapak 'ngkaau, Jeanne jang nakal”.

Maidai, lapangan terbang di Makassar.

Kim-seng sampai di Mandai pukui 12.20. Ia seorang jang selamanja correct dalam segala hal. Ia selamanja mendahului tidak perna terbelakang. Ia lebih suka menunggu setengah djam dari pada terlambat satu menuut......

Pesawat dari Surabaja sampai djam 12.48, terlambat 18 detik. menurut Kim-seng. Kim-seng melihat dari djurusan Restaurant dengan siapa Jeanne datang?

Sendirian? Ia merasa sangsi, apa Jeanne, begitu berani?

Penumpang turun meliwati Douana untuk dipereksa barang-barang bagage dan sebagainja...

Semua datang, lelaki prempuan, tua muda, ketjil besar, segala bangsa, hanja jang satu tidak, ialah jang Kim-seng tungguh......

Ditjari dengan mata terbuka lebar-lebar, ditjari dari satu medja ke lain medja dari Restaurant Mandai, tidak ada satu jang bertjorak Jeanne.

Kim-seng merasa aneh? Ada halangan apa sudah terdjadi?

Kim-seng batja lagi telegramnja, dan bunji telegram tetap seperti apa jang ia pernah batja berkali-kali.......

Ia penasaran sekali dan duduk lagi. Kim-seng tjoba tenangkan perasahannja jang rintju. Ia panggil pelajan dan minta disediakan makanan (Rijstafel). Kim-seng berpendapat, djika ia sudah makan, mungkin perasahannja lebih tenang dan damai, supaja dapat pikirkan apa² lebih djauh...

Sampai sebegitu djauh, ia belum pernah datangkan pikirannja untuk menanjah dikantoor K.L.M. di Mandai itu? Ia anggap tidak ada perlunja, karena mereka semua tentu tidak tahu siapa Jeanne?

Pikiran Kim-seng gampang katjau, tetapi lekas pula berkitjau......

Ia makan dengan senang, tidak buru², dengan pelahan, dengan berpendapat, sampai dihotel mungkin lain telegram jang berbunji:

SORRY SAJA TIDAK BISA DATANG KARENA
SAKIT.... HATI
JEANNE.

Bagaimana Kim-seng dapat ilham djenaka ini ia sendiri tidak tahu, beginilah sadjah pendapatnja dalam lamunannja jang merdeka.

Lalu Kim-seng kembali ke taxinja dan suru Sopir antarkan kembali ke Makassar.

Dalam auto, terus Kim-seng melamun... Pikirannja melajang entah ke awan mana? Ia selamanja bimbang dan tahu tidak ada tjita² dapat dilaksanakan menurut plan. Ia tjoba pikirkan satu garis pandjang, tetapi dibentur oleh maunja nasib dan hilang dalam bajang-bajang......

Melepaskan senggang selama perdjalanan Mandai-Makassar (18 K.m.) Kim-seng balik² lembaran dagboeknja (diary), dan dapatkan sebua sjair jang ia tulis untuk kawannja Chairul Anwar jang telah meninggalkan kawan-kawannja dan dunia jang indah......

Tidak terasa ia bertemu dirinja sendiri membatja sjairnja sendiri......

Maka ia membatja lagi sekali :.......

UNTUK KAWANKU CHAIRUL ANWAR

Dikala ngkau masih hidup,
Taktahu bagaimana...... hidup?
Kesana kesini bagai dinista,
Tiada seotang pandang mata.
Oh, Chairul kawan sastra!

Sjair-sadjakmu keleleran,
Sedikit kawan menghargakan,
Tjita-tjitamu dipandang murah,
Bahkan, seperti tidak ada......
Oh, Anwar kawan seperdjoangan.

Seratus sjair ngkau tulis,
Orang batja dengan meringis,
Hidupmu miskin dan melarat,
Tiada insani sudi melihat.
Oh, Chairul kawan sepena.

Hendak mengemis kesian nasib,
Hendak mentjuri taksampai hati,
Mendjual sjair harga terhina,
Tidak tjukup setengah nafka.
Oh, Anwar kawan sedjiwa.

Kawannja pandang dia gila,
Walaupun ilhamnja penuh tjita,
Ja, mau dikata apa?
Demikian tjorak adat manusia.
Oh, Chairul kawan kesian.

Sesudah ngkau menutup mata,
Baru kawan tergesah-gesah,
Seperti mendusin dari mimpi,
Kehilangan seorang kawan sedjati.
Oh, Chairul Anwar, Rest in Peace.

Menulis sendiri, ter-irus sendiri perasahannja, demikian Kim-seng......

Kadang-kadang bagaikan gali lobang untuk masuk sendiri kekubur...........

Ia menulis hal Chairul Anwar, tetapi ia merasa ia sendiri Chairul Anwar......

Malah, sudah senang Chairul Anwar telah mengaso, telah hilang tanggung djawab kewadjiban manusia, sudah lunas, sudah selesai perintah, segala hukum negara kehidupannja...... Tetapi dia (Kim-seng) masih kumpal kampil, masih djadi badut, masih djadi pelaku...... djadi tontonan orang gila dalam dunia gila......

Kim-seng lalu kaget sendirinja dengan pendapatnja sendiri.....-

Tidak, ia belum mau dipandang dalam golongan manusia-gila. la hendak mendjadi manusia sampurna...... la mesti dapat sampurna sebelum pulang kepada tiada..... Djika kehidupan itu fana, ia hendak tinggalkan bingkisan apa-apa sebelum ia meninggalkan dunianja....... Kim-seng boleh fana, tetapi pekerdjaannja, riwajatnja, sampurna dan tidak sampurnanja harus mendjadi „apa-apa” dalam sisa. Ia boleh mati, djiwanja boleh gentajangan ke Kamaloka, ke Sjorga...... atau kedjeblos ke Noraka. Raganja boleh djadi diguerelia oleh tjatjing..... tetapi „Kim-seng sebagai Kim-seng” mesti tetap ada, untuk anak, tjutju, bujut...... turunan, kawan-lawan, semua manusia jang ada......

Dalam melamun jang bukan-bukan, auto telah berhenti dimuka Hotel Empress......

la setengah tidur, setengah melek...... lompat turun kehilangan...... tenang......

Dengan tindakan serampangan, ia mentjari kamarnja.....

Kamarnja sendiri ia liwati dan tjoba hendak masuk kamar orang lain, tiga pintu lebih djauh...

Seorang pelayan kebetulan lewat „Tuan mau kemana?”

Kim-seng pandang Pelajan itu dengan djenaka, „kawan, aku hendak ke kamar sendiri, apa kiranja ngkau keberatan?”

Pelajan Bakri hairan, hanja menundjukkan tangan ke nomer kamar...... Kim-seng menengok keatas...... Kim-seng bersenjum. Menghampiri Pelajan itu, lepaskan selembar uang kertas dari serupia...... dan ”Terima kasih kawan, njata aku rada edan......”

Pelajan berserih, dan Kim-seng mentjari kamarnja sendiri..... -

Kim-seng masuk dengan merdeka, tiba-tiba ia melihat apa-apa ditempat tidur, kaget dan gelapan, lalu keluar dan mengira kembali ia salah masuk... Tetapi diluar kamar, ia lihat nomer kamarnja sendiri... Tidak bisa ia salah masuk......

Ia masuk kembali.

Seorang nona jang tadi ta lihat pulas ditempat tidurnja sudah bangkit. Ia lihat satu kofer besar dan satu tasch ketjil dengan label dari Bagage K.L.M.

Nona itu tetap duduk dengan tenang, tidak kaget dan hanja pandang dia jang seperti hilang kwasa atas diri sendiri......

Kim-seng sendiri merasa hairan jang orang lain tidak merasa hairan......

„Maaf nona, apa nona tidak merasa, kita sekarang berada dalam satu kamar?” menanjak Kim-seng.

„Tidak” djawabnja sinona dengan pendek.

Kim-seng pandang nona itu dari atas kebawa dan seperti dapat perasaan aneh. Tetapi ia tidak dapat petjahkan keanehannja itu.

„Nona, lagi sekali saja minta maaf, nona salah masuk, dan ini kamar saja...... ” katanja dengan berdiri tegak dengan maksud hendak menunggu djawaban supaja satu keruwetan dapat diselesaikan......

„Tidak” djawabnja nona itu sama ringkasnja seperti jang pertama.

Kim-seng digampar dengan dua djawaban „Tidak” rada kesima, sebagai boxer jang dapat satu tondjokan telak......

„Nona, saja jang mempunjai kamar ini, dan saja sudah tinggal disini 9 bulan. Dan saja minta dengan hormat, supaja nona meninggalkan kamar ini”.

„Tidak” djawabnja si-siotjia dengan tetap.

Kim-seng kepukul sama hebatnja djika ia dikrojok tiga raksaksa. Dalam hati lagi rintju, ditambah segala rintju jang seperti dibuat-buat. Kim-seng merasa mabok dan mimpi. Ia tjoba mundar mandir diruangan kamar, supaja mendapat pikiran terang......

Nona itu pun bangun dari duduknja, buka badju luarnja karena ia mulai merasa gerah. Kamudian ia teken bel kamar untuk memanggil pelajan... Semua ini diawaskan oleh Kim-seng dengan penuh keheran-heranan. Lakunja nona itu seperti dalam rumahnja sendiri......

Terdengar suara ketokan pintu......

„Ngko Kim-seng" kata nona itu dengan suara merdu. ,,Apa sudi mintakan saja satu botol Orange Crush, saja aos sekali".

Kim-seng dalam bingungnja tetap mendjalankan kewadjiban.,,Oh, tentu...... tentu" katanja sambil membuka pintu dan ia minta dua botol Orange Crush... Ia sendiri pun keaosan, bukan karena panasnja hawa, tetapi... panasnja sang otak.

Waktu djongos berlalu Kim-seng baru mendusin bahua nona itu menjebutkan namanja „Ngko Kim-seng". Ia lalu menghampiri nona itu jg lagi membuka koffernja......

„Maaf lagi sekali nona jang aneh" katanja. Bagaimana nona tahu saja bernama Kim-seng?"

Nona itu pandang Kim-seng seperti djuga mau taksir model dan karakternja......

„Tentu saja tahu" djawabnja dengan aksinja jang bebas. ,,Djika tidak kenal itu nama Ngko Kim-seng, pelukis terkenal dan penjair jang romantisch, bagaimana saja datang di Makassar...?"

Kim-seng sekarang pegang batok kepalanja...

Ia kuatir dapat panas dengan mendadak, dan ia takut ia nanti mesti tetira ke Rumah-sakit Daddi (Rumah sakit Gila) untuk tentramkan senuwennja......

„Djadi nona datang untuk......?" Menanjak....... Kim-seng jang ketakutan......

„Ngko Kim-seng jang terhormat" menjambung nona itu dengan tidak buang tempo.

Kim-seng pergi mentjari katja, dan memandang dirinja sendiri. Ia dapatkan dirinja masih sampurna, dan belum...... gila.

„Mungkin di Makassar ada berapa nama Kim-seng...... dan nona salah Kim-seng...... bukan saja......" katanja......

Nona itu goleng kepala sambil berkata, ,,Saja tidak pernah bikin kesalahan Ngko Kim-seng, walaupun saja seorang manusia. Saja datang dari Surabaja ke Makassar, ada tjukup djauh untuk saja mentjari kesalahan...... Malah Ngko sendiri berbuat satu kesalahan besar......

„Saja......? Menanjak Kim-seng dengan kaget......

Dan pintu terketok...... Pelajan membawa dua botol Orange Crus, lalu dituangnja, dan diserahkan kepada mereka......

Urusan tinggal urusan, belum selesei tinggal belum selesei, tetapi peradatan harus terkemuka Kim-seng serahkan satu gelas untuk nona jang djenaka itu dan ia sendiri ambil satu gelas.... „Proos" kata Kim-seng......

Nona itu bersenjum sedikit. „Begitu semestinja......" kata ia sambil minum.....

Sesudah masing-masing basahkan tenggorokannja, conferentie dimulai lagi.

„Ngko berbuat kesalahan tidak datang papak saja, sedangkan Ngko sudah ditelegram" kata nona jang sangat bebas itu dengan suara jang sangat terlepas......

„Demi Allah, saja datang ke Mandai...... Saja baru datang dari Mandai, tetapi saja tidak datang papak nona, maafkan...... Saja menerima telegram dari Jeanne.......

„Saja Jeanne...... Jeanne Tan, Ngko Kim-seng” Menerangkan sitjantik dengan suara bulat......

Kim-seng dalam bingungnja...... tertawa.... dalam bingung.

„Nona jang nakal, saja kwatir saja tahu Jeanne lebih dari nona......” katanja dengan suara jg tegas. ,,Saja kenal Jeanne, bukan hanja dari mata ke mata, tetapi djuga dari hati ke hati, dan mungkin djiwa ke djiwa......

„Kesian...” kata si-djelita dengan tenang......

„Siapa jang harus dikesian......?” Menanjak Kim-seng dengan penasaran......

„Tidak lain dan tidak bukan, Ngko Kim-seng jang njata kehilangan paham...” katanja sambil mundar mandir..

„Astafirullah......” kata Kim-seng jang dengan tidak tahu dari mana datangnja telah samber segala perkataan sesambatan sekenanja. Saja minta dengan sangat, nona tidak bikin kalut keadaan dunia jang sudah kalut. Sebetulnja siapa nona? Dengan maksud apa kedatangan nona di Makassar? Ada sangkut menjangkut apa nona dengan itu nama Jeanne? Mengapa nona begitu berani datang sendiri dari Surabaja ke Makassar? Mengapa nona mentjari itu nama Kim-seng? Ada hubungan apa itu nama Kim-seng dengan nona sendiri?”

Sesudah madjukan semua pertanjakan itu, Kim-seng seperti hilang akal, dengan penuh keringat ia lalu duduk diatas bangku dengan napas sengal-sengal......

„Djangan senuw Ngko jang berbudi. Segala apa dapat diurus dengan damai” katanja. Saja tetap Jeanne Tan, dan saja tidak dapat merobahkan nama saja djadi lain selainnja Jeanne Tan!

„Saja datang di Makassar untuk mentjari Ngko Kim-seng, karena...... surat-surat pertjintaan ini” Sambil berkata begitu ia keluarkan segebung surat-surat dan taro dimedja. Kim-seng hendak berkata, tetapi distop olehnja, ia belum habis memberi djawaban dari semua pertanjakannja. ,,Saja berani datang seorang diri dari Surabaja ke Makassar, karena saja jakin di Makassar saja terdjamin...... Saja mentjari nama Ngko Kim-seng dialah tudjuan maksud kedatangan saja...... Sekeian......”

Suasana dalam kamar itu lalu mendjadi sunji...

Keadaan begitu sepih, hingga suara ketokan lontjeng terdengar njata......

„Djika nona...... adalah Jeanne Tan, siapa...... itu Jeanne Tan jang lain...” Menanja Kim-seng...

„Dialah Ntji saja iang ketiga Aida Tan”.

„Aida...... Aida...... Aida”. Ia mengulangkan nama itu berkali-kali. „Tetapi, bagaimana ia memake nama Jeanne Tan”.

„Ia sengadja memake nama saja, karena ia sudah tidak merdeka lagi. Ngko tentu tahu Ntji saja Aida sudah menika dan sudah mempunjai dua anak...... Ia sengadja memake nama saja, Jeanne, supaja lebih merdeka ia melandjutkan perhubungannja dengan Ngko Kim-seng... Apa sekarang Ngko belum paham?”

„Sekarang mana Aida?” menanjak Kim-seng dengan tandes.......

„Ia tidak dapat datang” menerangkan Jeanne.

„Dan mengapa kau jang datang?” Mendesek Kim-seng...

„Saja datang mewakilkan Ntji Aida” djawabnja dengan ringkas......

„Mewakilkan? Nona jang baik dan manis, apa sudi kau terangkan, apa kau mengarti artinja kata-kata jang kau utjapkan......?”

„Saja tjukup paham, dari apa jang Ngko sendiri belum dapat memahamkan... Saja sudah berusia 19 tahun, kluaran sekolah menengah tinggi, sudah batja ratusan buku filosofie, romans, detective, film dan sebagainja......”

Kim-seng sekali ini garok-garok kepalanja seperti ia kehilangan kepalanja.

„Kau tahu nona Jeanne jang binal, saja tjintakan Aida?” ia terangkan......

„Kau tahu djuga tentunja, Aida tjintakan saja dengan seluruh djiwanja...?” Dengan terus terang Kim-seng menerangkan......

Jeanne djawab dengan anggukan jang tenang....

„Dan......” Menanjak Kim-seng....

„Satu dosa jang besar, satu dosa jang tidak mempunjai nama, satu dosa jang mesum......”

Memutuskan Jeanne......

Kim-seng pandang Jeanne dengan penuh perhatian.

Kata-kata jang diutjapkan itu, dikeluarkan sebagai suara hakim jang mendjatuhkan hukum. Begitu pasti dan begitu tadjam, seakan-akan tidak ada pleidooi dapat meringankan dosa persakitan. Tekenan perkataan penghabisan bagaikan martil jang telah djatokan ketokan sebagai putusan jang tidak dapat dirobahnja lagi......

„Tetapi nona Jeanne, manusia dihidupkan diatas dunia, harus memikul dan menderita segala dosa. Dan tjinta jang sutji, saling menjinta dengan sama kemauan untuk merasakan dan tjitjipi madunja kehidupan, itu bukan dosa jg mesum...”

Jeanne bersenjum...

„Pleidooi Ngko Kim-seng tidak tepat. Djika manusia didjelmakan kedunia mesti berdosa, djadinja tiap2 manusia itu wadjib dan harus membuat kedjahatan, karena memang manusia itu mesti berdosa. Salah Ngko pelukis...... Manusia dilahirkan mungkin didjadjal dengan serbuan dosa, tetapi tidak mesti berdosa......! Manusia didjelmakan kemuka bumi mungkin dilatih dengan training dosa jang maha hebat, tetapi tidak mesti manusia itu...... Menumpuk dosa......! Manusia harus lari dari dosa, terutama dosa jang mesum...... Djika tidak dapat lari, pilihlah dosa jang lebih ringan. Bukan seperti kerbou gila terus menjerbu, tidak perduli djurang jang dalam atau sungai jang ketjil...... Djangan tjari mati sebelum adjal......”.

Kim-seng, seorang jang pandai dengan lukisan dan penanja, tetapi sekali ini ditjetjer oleh kata-kata jang keluarnja seperti brondongan mertjon (petasan) rasa kwalahan menerimanja, apalagi menolaknja......

„Baiklah“ kata Kim-seng sesudah lama seperti tidur, seperti mimpi, lalu sedar dengan tiba-tiba. „Hal itu kita rundingkan lain kali...... Tetapi sekarang ini harus diatur. Saja nanti mintakan lain kamar......”.

„Lain kamar?” kata Jeanne dengan heran......

„Ja, tentu kita tidak dapat tinggal dalam satu kamar. Kau tentu tida hendak tjiptakan lain schandal, bahua saja...... tinggal dengan seorang dibawah umur...... Oh, Jeanne, djangan djebloskan saja kedalam dosa......”.

„Dosa......?”" mengulangkan Jeanne dengan satu senjuman mengedjek......

„Ja, dosa...... Dan saja bisa dihukum tiga, enam dan sepuluh tahun...... Oh, nona jang baik, kau tentu tidak suka lihat saja tambah tua dalam pendjara..... atau mati dibelakang trali. besi?”

„Rupanja Ngko Kim-seng, takut berbuat satu dosa, tetapi berani berbuat lain dosa jang lebih... mesum, Bagaimana?”

Kim-seng sekali ini terdorong kesatu podjok....

Ia kedjepit ditembok kehidupan pesagi tiga......

„Saja kurang paham......” kata Kim-seng jang setengah menjerah.

„Baik. Berani hendak melarikan seorang isteri jang sudah kawin? Berani hendak serbu seorang Ibu jang sudah mempunjakan dua anak? Berani merusakan satu rumah tangga, dan bisa bikin satu keluarga brantakan? Berant mendjadi alap-alap ister1 orang lain dengan tidak takut bebrapa akibat dan kehilapan sang suami apabila datang murka jang tidak dapat dikendalikan? Berani menghadapi hukum dunia, sebagai seorang jang membawa minggat seorang isteri, seorang Ibu, seorang njonja rumah? Beranit menentang hukum Alam jang menjebutkan. „Tidak ada kehinaan dan dosa lebih mesum dari pada merusak isteri orang lain”, berani menentang salah satu dari 10 larangan Tuhan dari Igama Kristen, sedang kalau tidak salah..... Ngko sendiri seorang Katholiek...”

Kembali Kim-seng diudjani susunan kata-kata jang dirasakan olehnja sebagat peluruh mitralieur jang keluarnja „non-stop” dant „zonder pardon”.

Achirnja Kaim-seng angkat tangan „Nona Jeanne jang pintar, saja tidak the apa saja mesti berbuat. Saja serahkan kendali pemerentahan dalam tangan paduka nona” katanja setengah membanjol dan setengah meradjuk......

„Begitu miestinja.....” kata Jeanne dengan senjum kemenangan pertama. „Saja tadi sudah memberi tahukan kepada kwasa hotel, bahua saja...... adalah Njonja The Kim-seng”.

Kim-seng jang sudah menjerah dengan zonder sjarat lompat kembali dari korsinja dimana baru sadjah ia hendak mengaso dan mentjari ketenangan dalam satu korsi besar.

„Njonja The Kim-seng?” Menanjak Kim-seng,

„Ja. Saja diminta datang menurut surat-suratmu, saja telah datang menurut permintaanmu...... Saja seorang isteri jang menurut kata, Suami jang bingung?” kata Jeanne dengan suara lagu djenaka......

„Tunggu dulu nona jang banjak akal. Sampai saat ini saja belum paham, apa maksud kedatangan nona ke Makassar......?”

„Jeanne tidak lantas djawab, tetapi ia djalan puteri dimana Kim-seng berdiri, sambil pandang ia dari atas kebawah dan dari bawah keatas.....

„Saja kurang paham. Ngko Kim-seng seorang pelukis jang stellingnja telah kagumkan ratusan dan mungkin ribuan penggemar gambar. Sebagai penjair, Ngko Kim-sneg telah ajun ribuan pembatja mungkin puluan ribu atau ratusan ribu... ...atau lebih. Pemuda dan pemudi diajun perasahannja dengan kata-kata jang berbunga. Hati jang tenang diajun pulang pergi hingga binal...... Puteri dapur jang tadinja hanja memain dengan tjiansi dan ulek-ulek, kemudian lompat ke Modiste dan Maison de Beaute beladjar genit...... Ngko Kim-seng mengaku, „tidak paham” dalam satu urusan jang begini...... ketjil......Ach, Ngko Kim-seng seperti tjoba main sandiwara tidak dengan penonton......”.

Kim-seng sekali ini ia mangap (buka mulutnja lebar-lebar). Untung tidak ada laler!

Sekarang djadi gilirannja pandang Jeanne dan tjoba-tjoba lukiskan si-tjantik dan tjarik karakternja jang kukway (mudjidjad). Kim-seng tjoba taksir-taksir dalam susunan sjairnja, bagaimana dapat susukan kata-kata-indah dari karakternja satu bidadari jang...... mendahului djeman......

Tetapi pensilnja kaku penanja puntul...... Tidak ada lukisan dapat ia lukiskan, tidak ada sjair dapat ia tuliskan...... Mendadak ia djadi bisu, dan ketemu djalan buntu......

„Biar bagaimana djuga, ini tidak bisa djadi”, katanja Kim-seng jang memutuskan......

„Apa jang tidak mungkin......?” Menanjak Jeanne dengan tenang, dan tidak pernah kelihatan berobah pada paras mukanja......

„Kau dengan saja tinggal dalam satu kamar. Kita tidak ada perhubungan sama sekali......”. Kamudian sambil melirik dengan aksi-djenaka, „Nona, djangan tjiptakan Black-out dalam udara terang dan tidak ada perang atau serangan udara......”.

„Kaau misalnja Aida jang datang, apa jang kau berbua tuan Penjair?” menanjak Jeanne.

„Kita saling menjinta, menjinta dengan sutji. Kita berhak bersatu dan mentjari persatuan......”.

„Tjoong isteri orang lain, merusak rumah tangga orang lain, bawa lari satu Ibu dari anaknja, apa kau anggap itu...... Hak? Dari mana kau dapat srobot perkataan „Hak” jang kau sebutkan itu......”.

Kim-eng njata hilang akal sama sekali. Dengan setengah meringis ia menanjak:

„Nona apa sekarang ini saja diverbaal?” menanjak ia.

„Djangan lari dari pokok. Djawab pertanjakan saja, Nglo pelukis” mendesak Jeanne.

Kim-seng sekali ini berdiri dikakinja sendiri......

Sungguh ketjewa ia mengala terus, dan ia merasa haknja terus dipermainkan sebagai djantan......

„Djika Aida jang datang, atau saja maksudkan Jeanne'ku jng kutjinta, sudah pasti ia tinggal disini. Saja ambil hak ini sebagai manusia.....”.

„Baek sekali, dan saja wakilnja Aida, dan saja..... Jeanne Tan jang kau minta datangnja kemari. Jeanne Tan jang kau tjinta dan kau tulis surat-surat jang romantisch. Dan saja lebih merdeka dari Aida. Aida sudah kawin, sudah mempunjai dua anak, sudah mempunjai rumah tangga...... Tetapi saja tetap bebas. Kita akan tinggal disini, bersama, djika kau menolak...... Djika kau masih kepala batu, saja nanti keluar dari sini, tetapi besok...... Harian Oost Indonesie Bode dan Indonesia Timur di Front page (pagina depan) dengan leter-leter besar, „SCHANDAL JANG DJENAKA”...... Akan menggemparkan dunia Negara Indonesia Timur......”

II. INSAN.

Dikala kutjoba...... melupakan,
Segala peristiwa dimasa silam,
Supaja hilang dalam bajangan,
Musna dibawa gumpalan awan.

Tetapi sitjantik melawan pandang,
Asmara rochani takdapat disimpan,
Hilang di-alam masuk kebadan......
Dengan sinaran bulan dan bintang,
Riwapat lampau hendak dilupakan,
Kisah jang baru menari berdendang.

Penggoda menjala takdapat padam,
Asmara hilang, asmara datang......

Siapa Jeanne, siapa Kim-seng dan siapa Aida?

Mengapa ada Romans-gandjil pesagi-tiţa?

Mentjari puntja kisah, kita harus mundur djauh....

The Kim-seng, seorang muda berusia 45 tahun. Bukan kliru zet atau tjitak pembatja, Kim-Seng berumur empat puluh lima tahun muda kata bukan muda usia.

Pekerdjaannja sebagai pelukis, speciaal melukis ketjantikan dunia...... Alam, kembang dan perempuan......

Disamping kepandeian memainkan pensil dan brush, ia pun pandai bersilat dengan pena. Ia seorang penjair, jang sjairnja semata-mata membongkar rahsia Alam, rahsia kembang dan rahsia hati perempuan.....

Umumnja, tidak ada pelukis (betul-betul pelukis) dan penjair (betul-betul penjair) jang tidak beridung belang alias...... Don-Juan......

Mungkin ada satu atau dua...... jang boleh dikihimkan ke gredja atau Gunung Himalaya untuk bertapa......

Kim-seng dalam usia hampir setengah abad, selagi manusia lain, sudah kubar dirikan rumah tangga jang beruntung, adalah sipelukis tetap kumpal-kampil.

Tidak ada girang pernah dirasakan lebih girang, seperti pernah dirasakan oleh Kim-seng dalam madu kehidupannja......

Tetapi tidak ada derita lebih derita, seperti pernah dialunkan dalam gelombang kehidupannja seperti jang pernah dirasakan olehnja......

Beruntung dan tjelaka, datang bergiliran dengan teratur, seperti terputarnja waktu, malam dan pagi.

Pipi sudah mulai kriput, rambut sudah mulai bertechnicolor, tetapi selalu orang ketemukan ia bulak-balik dalam Bachelor's paradise......

Sebentar punja gandengan, satu, dua kadang-kadang hampir tiga, dilain waktu sebatang kara, satupun...... tiada 100% merdeka!!!

Dalam krisis hebat, sering Kim-seng kepingin mati.

Dunia jang seluas dunia ia rasakan sempit dan rasa dirinja terhimpit......

Tetapi djika rindu dan patah-hatinja sudah mulai ringan, kembali ia tjinta pada kehidupan...... life is the Sweet love is the sweetestet thing in the world.

Kalau boleh ia kepingin hidup 1000 tahun......

*

Sebagai pelukis, ia seorang gandjil.

Djika ia menggambar, ia tidak mau perdulikan maunja...... aturan. Ia melukis apabila ilhamnja berbisik. Ia tidak mau diperenta, walaupun ia dibajar 5000 rupiah untuk salah satu gambarnja. Tetapi djika „gilanja” datang, ia mengeram berhari-hari, kadang-kadang tidak ketemu matahari...... dan betja...... seminggu dua minggu. Selagi ia ngotot tidak perduli ada Bom-Atoom meledak dikupingnja......

Suhu Tan Liep-poen bohwat dengan tjara „kukwaynja” Kim-seng.

Oom Koo-Tjong kadang-kadang pegang dada, dan Bung Kwie-Beng tinggal ketawa......

Ngko Giok-Sien lebih bisa pahamkan, „sepak-terdjangnja” si-Kim-seng, rupanja maafnja Ngko Kapasari ini...... rada ringan dan mura.

Ngko Sing-liong djangan ditanjak, ia selalu repot dengan, „rekening²” dari Cunarnja. Ia selalu angkat pundak dan goleng kepala...... basta. Diam itu mas.....

Mas atau perak, Ngko Kang-seng tidak bisa diam...... Ia bisa lebih banjak bitjara dari Radio (bukan Radio rusak loo), tetapi bisa lebih diam dari orang gagu, djika datang musim sepi...... Tentang urusannja pelukis Kim-seng, Ngko Kang-seng tjuma bisa godeg-godeg dengan senjum simpulnja...... Sambil mengelah nafas ia tentu berkata „the great lover and the great love story”.

Ngko Liong-hien di Malang dan Ngko Tek-Kwie di Djakarta Raja, tentunja sipitkan mata dan „Neutraal” dalam urusan the great lover „Kim-seng” . Kawan pelukis ini kurang kenal padanja...... Onbekend.

Anak Agung Choon-Khui djangan diadjak berun- ding lagi, beliau sudah gojang-gojang kaki di......Hollywoodnja sendiri...... di Bali. Pensilnja sudah disimpan di lemari besi. Djika ditanjak tentang Monsieur Kim-seng tentunja ia djawab dengan cable-talk „Sudah lama kuhilang pandang dari dia”.....

Sebagai penjair, kita tidak tahu masukan Kim-seng dalam klas apa?

Dalam klas sastra...... sjairnja berbauh terlalu „Amour-amouran......”

Mpek, Ntjik, Ntjik, Wak, djangan disuru batja, rambutnja, bisa berdiri...... Journalist rambut putih jang bathinnja sudah „Sutji-prawira” banjak anak tjutju djuga djangan disuru menimbang sjairnja si „Don-Juan” bisa klabakan tjari katja-matanja......jang hilang.

Sjair jang ditulis oleh Kim-seng, meskipun umurnja sudah di-puhun kelapa, tetapi...... romantischnja...... masih bisa berpatju-patjuan dengan penjair² muda jang umurnja baru belasan tahun......

Djika ditanjak oleh Ngko Kang-seng, mengapa ia masih menulis sjair-sjair jang romantisch dan terlalu tjubat-tjubit, bukan menulis sjair jang dalam artinja, seperti hal Kebenaran, kebathinan, filosofie, kebedjikan dan sebagainja......

Kim-seng hanja goleng kepala dan djawab. .„Saja menulis dengan djiwa, bukan dengan pena...”

Ngko Kang-seng djadi bingung, dan ia tjoba-tjoba beladjar menulis dengan djiwa, tetapi ia puter-kajoon sampai disegala peloksok Surabaja, djiwa itu... tidak dapat diketemukan... Achirnja ia berpendapat „Kim-seng orang gila”..

Demikian kwaliteit dan mentaliteit Kim-seng, pelukis dan penjair.

*

Lari dari hidup, Kim-seng hendak mentjari hidup.

Ia bukan takut mati, tetapi ia selamanja penasaran, dan ingin melihat apa djadi dengan lain „great story”nja......

Ia seperti ingin mengetahui berapa tinggi ia membubung awan, dan berapa dalam ia karam didjurang.....

Gagal dan gagal, sudah djadi penjakit, „hari-hari” bagainja. Djusrtu penjakit itu memang sengadja seperti ditjari-tjari......

Ia sendiri tidak dapat pahamkan tjorak nasibnja, mengapa ia selalu beruntung dapatkan segala apa jang djadi impiannja setjara muluk-muluk, lalu terbang tinggi-tinggi, dan sesudah memuntjak...... tiba²djatuh...... kedasar bumi jang paling dalam.

Tiap² gagal ia ingin mati, dan tiap² ingin mati...... ia kepingin hidup.

Demikian hantjur lebur dalam romansnja jang penghabisan, romans jang serakah, Kim-seng dapatkan dirinja sendiri...... hanja berdua dengan bajangannja, alias sebatang karang diatas bumi jang rata....

Kim-seng seorang manusia jang biasa diumpak-umpak, biasa senang dalam segala ada......

Ditjium pagi sore, dimandja-mandjakan siang malam...... Selalu lihat senjuman girang dikiri kanan, lalu konjong² dilemparkan kesatu dunia, „piatu”. Amboi kesian, seakan-akan Kim-seng itu mendjadi djantan penghabisan, mendjadi manusia terachir, dunia lantas djadi kosong melompong. Apa artinja hidup dengan tiada, „dia”— „dia” dan „dia”.....

Gagal diboycot oleh isteri-isterinja?!? (Hhe-hm, Kim-seng ada punja berapa njonja, bung?) Kim-seng rasakan seperti ia kehilangan langit dan bumi, bulan dan matahari......

Ia rasakan seperti dunia berhenti terputar......

Angin berhenti berkisur......

Langit seperti diantara rubuh dan tidak, bumi bagaikan ambles dan runjam......

Matahari seperti meradjuk, hilang dari muka alam.

Bulan mogok, dan tidak mau djual aju lagi dimalam sepih......

Dalam fantasienja Kim-seng melihat dirinja sendiri, diri itu marah kepadanja...... Seperti ada suaranja sendiri, kata² jang keluar dari mulutnja sendiri, mentjatji dia dengan zenuw jang tidak tertahan, dan tuduh Kim-seng sebagai manusia jang hilang sampurna, tidak tahu diri, tidak kenal djuntrung......

Sudah rasakan beruntung, seraka hendak membubung gunung, memuntjak awan, memetjah mendung...

Sudah hidup kelebi-lebihan dalam kemaduan-hidup djasmani rochani, lahir bathin, masih belum mau menerima, Oh, manusia jang kurang penerimah, tidak berterima kasih Allah....

Pendeknja, Kim-seng dikrojok oleh dirinja sendiri......

Ia kepingin lari, tetapi kemana hendak lari?

Bumi dan langit tidak berpintu, dunia hanja bagai bola jang bunder, kemana ia hendak lari, disana-sana djuga ia berdiri...... Ia tidak dapat lari dari dunia, katjuali djika ia mau lari dari hidup......

Oh, tidak, Kim-seng bukan pengetjut. Tetapi mentjari mati dengan maunja sendiri...... Tidak, ia takut...... kisahnja tidak berbuntut.....

Achirnja Kim-seng hilang² diseluruh Sulawesi Selatan.

Malino, dunia jang sepih. Tjikoro, dusun jang sunji, Rantepau, pegunungan jang bersih. Semua itu hanja djadi hiburan samentara......

Hiburan palsu, hiburan tjitra......

Kamudian Kim-seng lari ke Surabaja, pulang kandang......

Di Surabaja ia kepingin panggil pulang kenang-kenangannja dimasa jang silam, dikala ia masih anak², masih duduk dibangku sekolah, masih mandja kepada ibu bapa, masih muda remadja, gembirah, merdeka...... tidak kenal takut, tidak berpikir pandjang......

Di Surabaja ia menginap di Hotel Sarkies Embong Malang......

Seperti biasa, dalam ngelujurnja ia bawa perkakas melukisnja dan tentu djuga mesin-tulisnja.

Kim-seng berpendapat, sekali ini Surabaja mendjadi......„obat”.

Dulu, 25 tahun dulu Kim-seng lari dari Kota Buaja kampung halamannja itu karena disana, ia terpleset, ia terplanting, ia rubuh...... dalam kehidupan dan dalam roman......

Ia kawin bukan maunja romans, tetapi maunja kewadjiban dan „Hauw” .

Sebagai seorang Timur, ia harus djalankan, „Bakti” dalam arti djudjur, djika ia hendak menuntut kehidupan jang machmur......

Menjerah kepada nasib, njata ia dipermainkan nasib......

Hidup dalam satu iketan perkawinan tidak berdasar tjinta, gabungan rumah tangga kering dan tawar, seperti sajur asem kurang...... garam.

4 tahun ia terbelenggu dalam pendjara-kewadjibannja dan ia paham, ia tidak boleh menungguh untuk melihat kuburan jang akan datang papak dirinja......

Ia berontak......

Ia mentjari merdeka.....

Ia hendak mentjari tudjuan hati, ia hendak mentjari maunja ilham, ia hendak mandjakan segala lamunannja......

Ia mau „hidup” dalam satu „kehidupan”: dimana djiwa-merdeka...... dapat „hidup”.

Tetapi dimana ada kehidupan, disana „penggoda”: ......hidup.

Kim-seng tinggal di Hotel Sarkies, bukan senang karena ia tinggal disatu hotel besar. Tetapi ia hendak mentjari sepih, djauh dari kawan-kawan, djauh dari klas pergaulannja......

Di Hotel Sarkies tentu ia tidak ketemu banjak orang Tionghoa, umumnja disana ada tinggal orang Indonesia klas atas dan Blanda dari tingkatan kelas satu......

Kim-seng bukan kepingin dianggap Insan klas „satu”, tetapi kuntji-kemauannja adalah hendak lari ... dari ramai.

Ia dapat satu kamar merdeka disajap kiri, menghadap lapangan jang terang......

Kim-seng girang, disini mungkin ia dapat melepaskan diri djauh² dari segala kenangan, dan djauh pula dari serbuan kawan² jang tentunja...... menganggu dia dan seret dia...... mentjari keramaian kota......

Tiap pagi, ia duduk minum kopie dimuka kamar sambil membatja buku.......

Sorenja ia duduk minum teh sambil membatja koran......

Djarang ia melihat kanan kiri, ia tidak hendak perhatikan orang lain, dan tidak hendak menarik perhatian orang pula.

Tiga hari, tidak ada satu kedjadian jang menjangkut dengan dirinja......

la djarang keluar, dan djika keluar selalu memake katja-mata-hitam, melepaskan perhatian orang mengenali dia.....

Pendeknya Kim-seng datang ke Surabaja setjara icognito......

Hanja dimedja makan, ia kebentur ...... bukan dengan tiang..... tetapi dengan pandangan mata jang agak....membakar.....

Disebelah dimana ia duduk makan ada duduk seorang njonja muda......

Sama-sama sendirian dan duduk tidak berdjauan, mungkin pula tjara sunji dari Kim-seng, telah menarik perhatian orang lain.

Njonja itu satu² kali tjoba melirik.......

Lirikan jang sungguh kadang² membawa pengaruh. Dengan tidak tahu ditarik dari magneet berapa kuat, Kim-seng pun melirik.......

Dua pasang mata beradu.....

Mereka bukan saling tjuri melihat atau melirik, maka dikala mereka kebentrok, mereka sama² mempunjai satu „pikiran", mereka tidak mau dikatakan mentjuri pandang.....

Sama² memandang untuk berapa detikan seconde, lalu sinjonja melepaskan pandangannja, dan Kim-seng memandang berapa saat lagi lalu melepaskan tudjuan matanja.....

Kim-seng seperti sudah pernah lihat njonja muda itu, entah kapan, entah dimana....

Sinaran mata jang memandang dia itu seperti banjak berkata, walaupun sebetulnja tidak ada maksud hendak berkata......

Sinarnja mata jang mempunjai banjak tjeritera.....

Sinaran mata jang terang dan guram, diantara kering dan basa.... Gontjangan bunderan-hitam di tengah-tengah seperti takdapat sesaat pun terdiam....... Selalu bergojang, mengundjukan djiwanja tidak tentram......

Dalam pandangan jang tidak bermaksud, Kim-seng seakan-akan membatja suatu kisah jang tersembunji......

Mata itu tidak berkata langsung padanja, dan tidak maksud mentjari dia, itu hanja satu pandangan biasa...... Tetapi Kim-seng rasanja berani bertaro..... potong kepala...... bahua njonja muda itu ada menjimpan satu gunung api didalam dadanja, laba jang berontak dan hendak tumpah...... tetapi tidah dapat terlepas.

Njonja itu tetap tenang dan hendak sembunjikan gontjangan djiwanja......

Tatkala sitjantik menarik diri dari „pertemuan saling pandang” itu dilakukan begitu rupa, seperti habis memandang habis kisah......

Sebetulnja, djika pandangan mata sudah menembus dari satu ke lain sebelah, tidak dapat habis...... tidak dengan ada......„apa-apa”.

Kim-seng tidak terasa dalam makannja, ia keluarkan buku gambar jang selalu dibawahnja, dan dengan satu tjoretan jang tjepat, ia telah dapat tjuri satu lukisan provile jang tegas dan njata......

Kim-seng seperti hendak berkata-kata dengan gambarnja itu......

„Djika dapat aku disempatkan memandang sinaran matanja lima menit sadjah” ia berkata seorang diri....

Kim-seng ingin mentjari tahu siapa dia, dikamar mana ia tinggal......?

Adakah ia sendirian......?

Dikala ia melepaskan perhatian, memandang gambar jang baru dilukis jang meminta lebih banjak perhatian, ia kaget tatkala ia menengok, njonja muda itu sudah hilang......

Kim-seng mulai risi dan gatel.

Hilang tenang dan seperti bimbang.

Ia mesti tahu, siapa dia dan betapa dia?

Ha-hai...... mengapa mesti? Dengan tjiptakan satu perkataan. „Mesti” mengundjuk pasti, Kim-seng mulai keluar kembali „kepala batunja”, satu penjakit lama jang selalu datang kembali dan datang kembali.

Sehabis bersantab, Kiem-seng lalu pergi ka ruangan meroko, duduk disana dengan lepaskan pandangannja ke seluruh podjok, tetapi jang ditjari tidak terdapat......

Ia lalu berputar disemua kamar dalam hotel itu, dan tidak tertjapai maksudnja, njonja jang tjantik itu...... tidak ada.

„Penggoda dalam selajang pandang” katanja Kim-seng dalam hati sambil djalan kembali kekamarnja....

Tiba-tiba matanja dapat memandang...... njonja muda itu lagi duduk batja surat kabar dikamar sebelahnja.......

Helaas, njata ia bertetangga......

Kim-seng dalam Don-Juannja, bukan seorang jang pandai berkenalan......

Ia rada kaku dalam perkenalan pertama. Malu-malu seperti perawan kolot, dan banjak „seedji” (sungkan) seperti djedjaka udik (desa).

Ia mentjari tidak untuk diserbu dengan „spontaan”!

Rupanja ia sudah puas asal „si burung murai” sudah diketemukan sarangnja......

*

Mulai hari itu seperti ada perkenalan bathin antara dua tetangga kamar itu......

Djika kebetulan sama-sama duduk diluar, atau sama² tjari kesempetan jang sama dalam waktu jang sama, mereka saling menengok, tetapi seperti sudah tjukup berkata-kata dengan selirikan mata dan selajang pandangan......

Njonja itu tidak bersendirian, dari satu hari kemlain hari, Kim-seng mengarti ia sudah mempunjai dua anak jang mungil......

Djika sudah mempunjai anak, tentu ia sudah mempunjai suami......?

„Satu suami jang beruntung” kata Kim-seng dalam hati. „Tetapi apa sebetulnja mereka hidup beruntung?”

Kim-seng bertanja djawab sendirinja, menurut pendapatnja, menurut pertimbangannja, dan ia boleh merasa puas dengan pikirannja sendiri.....

Djika ia bersuami, siapa suaminja dan mana suaminja?

Kim-seng sudah menunggu delapan hari, jang disebutkan, „Suami” itu tidak pernah menggambarkan dirinja...... Bagaimana tjoraknja, bagaimana modelnja, bagaimana tjantik dan tegapnja......?

Achirnja Kim-seng djadi tjemas....

Dizaman pantjaroba ini segala kedjadian mungkin terdjadi......

Dalam masa perang segala kemustahilan tidak mustahil......

Apa bisa djadi suaminja mendjadi korban dalam.... akibat peperangan...... ia telah menghabiskan kewadjibannja sebagai manusia......

„Kesian...... sungguh kesian” kata Kim-seng.

„Djika sekedjam itu masih telah menimpa kepada dirinja”.

Dengan kata-kata ini njata sekali ada rasa sympathi tumpah dari hati Kim-seng terhadap tetangga jang tidak dikenalnja itu......

Tanda sympathi, mengundjukan rasa.... sajang....

Dan, mereka belum berkenalan......

Kedua belah fihak itu bukan „orang kuno” meskipun usianja bukan muda-muda lagi. Tetapi satu kuli mereka sudah undjukkan satu dasar jang angku mereka masing-masing takut menarik kembali sifat-sifatnja itu......

Mereka menunggu perobahan suasana. Siapa tahu ada sesuatu kedjadian, nanti memetjahkan persahabatan „dingin” itu...

Jang satu tahan harga, jang lain tahan harga, wel, dua-dua dapat harga tinggi, dan boleh merasa puas dengan...... saling sepih.

Kim-seng mentjari sunji, njata hilang sunji.... karena tjuma satu...... njonja muda jang mendjadi tetangga hampir 10 hari, tetapi tidak saling mengenalkan diri....

*

Dari satu kawan ke lain kawan, orang mulai tahu Kim-seng datang di Surabaja......

Diantara sahabat karif ada teritung Kang-Hoo jang mentjari dalam berapa kali kundjungan dengan sia-sia....

Dalam penasaran, hilang tempo, hilang ongkos betja, hilang sabar, Kang-hoo melihat disebelah kamarnja Kim-seng ada seorang njonja muda jang rupanja melepaskan perhatian...

Perhatian harus disambut dengan perhatian...

Kang-hoo jang brandal lalu menghampiri njonja itu...

„Maaf njonja” kata Kang-hoo dengan hormat.

„Apa Ngko Kim-seng jang tinggal disebelah kamar njonja, sewa kamar hotel tjuma untuk dikuntji?”

Njonja muda itu pandang sitetan dengar, aneh...Kata-katanja tidak hormat, meski tjaranja tjukup hormat... Ia tidak dapat mendjawab, karena ia sendiri tidak mengarti bagaimana mesti mendjawab......

Rupanja rasa sangsi dan aneh dari njonja muda itu dapat ditangkap oleh Kang-hoo jang selalu paham tentang segala gerak-gerik orang. Maka dengan satu senjuman bingung, ia lalu memanggut-manggut berapa kali.

„Maafkan njonja jang baik” katanja. Barusan, karena hilang control saja telah berondong njonja dengan kata² jang tidak mestinja saja keluarkan......Maksud saja, tidak mestinja saja hadapkan kepada njonja......”

Njonja muda itu bersenjum ja mestinja tidah semestinja djawabnja. „Dan apa saja bisa berbuat apa-apa......?”

„Oh, ja, banjak terima kasih sebelumnja......” kata Kang-hoo dengan girang. „Apa njonja sudi sampaikan amanat saja, bahua djuga sebentar malam ia datang, saja minta ia tunggu kedatangan saja, dan tidak keluar lagi. Saja Kang-hoo”.

„Baiklah......” kata njonja itu. „Saja nanti sampaikan.....”

Kang-hoo mengarti bahua pembitjaraan sudah selesai, maka dengan memanggut ia lalu hendak berlalu...... tetapi ia kembali menengok dan menanja......

„Apa sungguh njonja akan menjampaikan amanat saja ini?” katanja.

„Tentu sungguh” djawabnja dengan satu senjuman saderhana......

„Apa njonja berani......?”

„Ada alasan apa saja tidak berani menjampaikan......?” katanja dengan memandang tadjam......

„Oh, ja......lagi sekali terima kasih, terima kasih banjak sekali......”.

„Trima kasih djangan terlalu diobral, Ngko Kang Hoo” kata njonja muda itu.

Kang-hoo berlalu dengan lenggangnja jang pandjang......

Kim-seng kembali sekira djam 7 sore.

Belakangan tiap-tiap pulang dari mana sadja, Kim-seng perlu ngalongok ke kamar sebelah, saolah-olah takut jang disebelah hilang musna disamber oleh Djin atau Seitan.

Ia lihat pintu terbuka, dan orangnja tiada......

Orangnja didalam kamar, atau berkeliaran diluar dengan anak-anaknja, hal ini belum sampai sebegitu djauh mendjadi programma perhatiannja Kim-seng.

Kim-seng lalu duduk dikorsi luar kamar, seperti djuga hendak menawan angin, padahal tentu maksudnja supaja ia bisa meluaskan perhatiannja kekamar sebelah......

Supaja djangan kelihatan menunggu apa-apa, ia membawa selembar koran aksi dibatjanja, padahal diwaktu malam, Kim-seng tidak dapat membatja......

Dikamar masuk dengan tidak tenang......

Kim-seng tidak menengok atau takut kepergok djika dengan tiada sebab ia menengok, tetapi ia seperti mengarti, malam itu si-njonja muda agak kurang tentrem. Semua ini bisa masuk dalam akalnja Kim-seng, karena ia buka lebar-lebar ruang perhatiannja terhadap tetangga jang tjantik itu......

Njata njonja kamar sebelah itu lalu berputusan dan menghampiri Kim-seng......

Kim-seng karena kaget terpaku dikorsinja, dan baru bisa berdiri untuk menghormat sesudah dua tiga detik kamudian....

„Ngko......” katanja dengan suara jang sesunggunja merdu, bagaikan burung murai jang lagi berkitjau. „Tadi ada seorang tetamu datang mentjari. Dan ia berpesan kepada saja, dimintanja dengan hormat Ngko tidak pergi lagi, karena Ngko itu bakal datang sebentar lagi......”.

Kim-seng diserbuh tjara demikian, bingung dan membisu...... Tetapi lalu tjepat ia dapat mengewasai dirinja kembali.......

Dengan satu manggutan ia mendjawab.„Terima kasih nona......” berkata Kim-seng......

„Saja bukan nona lagi, mungkin Ngko mengerti....” katanja......

Kim-seng kedjeblos......

Sambil mesem ia membetulkan kesalahannja. „Oh, ja, minta maaf banjak-banjak......”.

„Untuk kesalahan ketjil tidak perlu dengan maaf banjak. Terlalu banjak” katanja......

Ketemu batunja......

Djika orang main schaak..... ketemu tandingan..... Ada harapan hebat dan seruh......

„Kurang adjar...... kurang adjar......”. Treak satu suara, jang bukan lain jalah Kang-hoo sambil menghampiri dengan tindakan garang.......

Sebetulnja njonja muda itu hendak menarik diri, tetapi karena kebetulan datangnja tetamu, ia tidak boleh meninggalkan dulu.

Sambil bersenjum ia berkata pada njonja itu. „Saja tahu njonja tentunja lagi bekuhkan Ngko Kim-seng supaja tidak ngalajap lagi...... Hm, tukang ngelajap” katanja sambil ngelirik pada sang kawan...... „Oh, ja, mari kuperkenalkan...... Ardjuna kolot The Kim-seng, Pelukis idioot dan penjair-edan” lalu menengok pada njonja muda itu.

„Nona...... Eh, njonja......”

Njonja itu bersenjum „Jeanne Tan......”.

„Oh, ja...... Jeanne Tan...... Bidadari dari Kediri” kamudian ia berbisik djenaka...... „Maaf zus, saja sudah lihat didaftar-daftar kamar” lalu ia perkenalkan dirinja sendiri. „Hamba, The Kang-hoo, Wartawan-liar...... Kami berdua, bersaudara, sama she (Fam — Nama turunan) tetapi lain ibu dan lain bapa.......”

„Jeanne Tan tertawa ketjil dan...... njonja Jeanne jang tertawa, Kim-seng jang kelihatan girang dan segar......

Ja, pembatja, djika kesuma tjinta sudah melukai isi dada, segala sunji djadi ramai, segala duka djadi suka......

„Maaf Ngko-ngko, saja mendapat panggilan dari kewadjiban lain...... mendjaga anak-anak. Mereka mesti tidur......” kata Jeanne jang minta diri......

„Sajang...... kesian......” kata Kang-hoo.

„Mengapa sajang, mengapa kesian?” menanjak Jeanne sambil bersenjum......

„Njonja ada seorang jang beruntung dan tidak beruntung” kata Kang-hoo,

Kim-seng tinggal sunji, belum ada kesempetan menjerbuh......

Semua lowongan disrobot oleh Kang-hoo...... setjara Arek-Surabaja......

„Beruntung dan tidak beruntung?” mengulangkan Jeanne dengan aksinja jang saderhana tetapi menarik......

„Beruntung karena mendapat kornia dari Allah” kata Kang-hoo beruntung karena njonja sudah hilang merdeka......”.

„Thanks......” kata Jeanne sambil berlalu.

„You are welcome......” kata Kang-hoo dengan mendjura aksi „Good night and pleasant dream......”.

„Okay, I'll dream of you...... both” Jeanne menghilang dan tutup pintu......

Kim-seng kemekmak melihat tjaranja Kang-hoo..... dan sambutan si „Bidadari”.

*

„Kau terlalu brandal Kang-hoo” kata Kim-seng „sepuluh hari tinggal sebelah menjebelah...... kitabelum kenal......”.

Kang-hoo tertawa dibikin-bikin......

„Kau...... Kuntju gila......” kata Kang-hoo. „Pertjuma kau djadi Arek-Surabaja......? Arek Surabaja model kuno...... Dekat dengan perempuan, tidak lekas mentjari perkenalan, itu namanja sial paling sial dalam dunia......”"

Kim-seng goleng kepala Kang-hoo, „kau tidak boleh persamakan dia dengan jang lain......”.

Kang-hoo pandang kawannja Kim-seng dengan djenaka. „Oh, sekarang saja paham Ngko penjair...Kau kembali terpleset...... Wel, sikat...... habis perkara, djangan banjak tjerewet.....”

„Stt.” kata Kim-seng jang menahan kata-katanja Kang-hoo jang terlalu merdeka.......„djangan kau lupa, dia isteri orang......”.

Kang-hoo pegang dadanja sendiri......

„Djika seorang taro daging diatas medja, apa dapat dipersalahkan kutjing, djika ia srobot daging itu” katanja sang kawan jang sangat brandal. „Djika seorang suami, begitu goblok, taro dan tinggalkan isterinja jang tjantik dan...... bebas, disatu hotel sendirian apa kau persalahkan. Si-alap-alap djika ia...... samber...... anak-ajam itu?” ia berkata sambil mundar-mandir dan paling achir ia hampiri dan tepok pundaknja........„Djangan belaga djadi pendita, Sjorga tidak dojan kau...... Bung”.

Keduanja lalu sama-sama tertawa......

Sisa pembitjaraan adalah masing-masing bongkar-bongkaran pengalaman selama djaman kalut ini.....

*

Sesudah malam itu pertemuan selandjutnja mereka saling beramah-tamah, tetapi mereka tetap sebagai bangsa Tionghoa, lelaki dan perempuan tidak dapat terlalu merdeka, walaupun zaman dan pendidikan telah membebaskan mereka sama, sekali dari adat istiadat kuno.

Sebagai bangsa Timur, mereka belum berani terlalu liar menggunakan kesempetan zaman...... mentjari pergaulan dalam tempo jang pendek...... dengan masing-masing tjoba menroblosi garis demarcatie masing-masing......

Mereka tetap bermalu-maluan......

Dalam pertemuan pagi, selalu saling memberi selamat pagi...... Diwaktu berpisa malam, mereka saling mengantarkan kata². „Selamat malam atau selamat tidur”......

Kim-seng belum merdeka untuk memake slogan² jang lain, misalnja. „Mimpi molek, djangan kesasar terlalu djauh dipulau mimpi......” dan sebagainja......

Dengan begitu Jeanne Tan dapat melihatnja..... apa dan siapa Kim-seng itu......

Pertemuan jang lain, siang, lohor, petang...... kadang-kadang tjukup sadjah dengan senjuman..

Senjuman membawa brigade kata-kata...... jang njata.

Mata membakar, bibir mengedjek, hati kepanasan...

Diwaktu makan, mereka sering djuga sebrangkan berapa kata² jang tidak penting dan tidak berarti, misalnja...... Soupnja rada tawar, daging biefstiek terlalu keras dan sebagainja......

Satu-satu kali djika kebetulan dekat sama habis, Kim-seng menunggu dan antarkan Jeanne sampai dikamarnja...... Ia sendiri lalu kembali kekamarnja sendiri, atau kadang² ia keluar untuk urusannja sendiri......

Pergaulan jang rapat belum terbuka peluang jang betul bebas......

Kim-seng terlalu banjak malu-malu, maka djuga Jeanne perwataskan kemerdekaannja......

Tidak boleh perempuan hendak melebih kebrandalan lelaki...... Djika djantan kurang srobotan, kepaksa perempuan jang srobotan djadi pura-pura alim......

Dua hari sekali, djika Kim-seng pulang dari luar, sering ia membawa apa-apa dan kirimkan itu kepada Jeanne, dengan alesan untuk „anak-anak”......

Mengapa ada perhatian jang sebesar itu, dan mengapa begitu memerlukan......?” kata Jeanne sesudah menghaturkan terima kasih......

„Perhatian itu ketjil sadjah” kata Kim-seng. „Dan ini bisa ditimbangkan dengan ketjilnja benda jang kubawa...... Djangan dibesar-besaran apa jang tidak berarti......”.

„Tiap-tiap pemberian harus dihargakan dan di djundjung......” kata Jeanne......

„Djika barang itu beharga......” kata Kim-seng.......

„Apa jang sebetulnja dibilang, „berharga besar” dan „berharga ketjil”? Pemberian itu sama sadjah artinja...... Maksud pemberian itu sutji, bukan......! Dan maksud jang sutji tidak boleh di-ukur dengan lahir, dalam ukuran besar-ketjil, berharga dan tidak berharga...... Rochani pemberiannja itu jang ber- harga, bukan djasmani bendanja...... Djika maksud pemberian itu sungguh sutji, tentu diterimanja seribu kali sutji......”.

Kim-seng golengkan kepalanja, mendengar kata² jang keluar dengan rapi tidak dengan teratur......

„Pertjakapan njonja amat saderhana, tetapi menembus di-ulu rasa......” Katanja jang memudji,dengan sesungguhnja memudji......

„Buku-buku mengadjar saja ber-beo (Beo, nama burung jang pandai bertjakap-tjakap) terutama sjair² Ngko sendiri......” katanja......

„Njonja suka membatja sjair...... ?” Katanja Kim- seng....

„Sjair jang baik, saja suka batja, karena sjair jang baik masuk dalam djiwa...... Sjair Ngko banjak kali susah dimengarti, tetapi djika pembatjanja jakin, dan membatja dengan teliti...... Tentu dapat menangkap sari-sarinja jang...... bersi......” Menerangkan Jeanne dengan sungguh......

„Ach, njonja memudji terlalu tinggi, saja kwatir dari awan putih saja djato ke dasar bumi......”

*

III. TJINTA.

Sunji berdenging djiwa meraju,
Ditiup lagu puputan rindu,
Hanjut sukma dipelabuan ratu,
Disana kudjumpa dengan Sang-Aku.

Aku merantau didunia sunji,
Hendak merdeka dalam sendiri,
Ingin kutjitjipi hidup sedjati,
Dimana rochani mengatasi djasmani,
Disetengah djalan kupandang puteri,
Tapa'ku gugur, kutjari mimpi......

Lari mendjauhi iketan Maya,
Kudipelok penggoda djenaka......

DJIKA mereka dapat sempat berkata-kata, mereka tidak saling dekat-mendekat......

Jang satu duduk didepan kamarnja, jang lain duduk pula dimuka kamarnja sendiri....

Kata² jang diutjapkan dengan suara pelahan dan halus, banjakkali kurang didengar satu dengan lain, minta pengulangan jang djelas......

Berkata djauh² diantara djarak 2-3 meter, tjukup membuai djiwa masing-masing......

Sunjinja Kim-seng seperti hilang, lesuhnja Jeanne seperti terbang ke-awan...

„Ngko Kim-seng tentunja mempunjai satu rumah tangga jang beruntung, manis dan bermadu?” menanjak Jeanne.......

„Ja......” kata Kim-seng sesudah kaget sekedjab.

„Dalam impian”.

„Apa jang ngko maksudkan......?”

„Maafkan saja njonja......”.

„Jeanne, kalau suka......” memotong Jeanne dengan bebas.

„Oh, ja, maafkan saia Jeanne djika mesti saja berkata terus terang. Mestinja dengan kesempetan jang saja dapat, saja hidup dalam madunja kehidupan...... Tetapi njata dewi kebruntungan kurang kekal membahagiai saja...... Kebruntungan saja hanja dalam impian, tiap-tiap saja bangun dari mimpi, saja ketemukan lembah kehidupan jang sangat pahit...... Saja ingin mentjari ketenangan hidup, supaja tidak banjak menumpuk dosa, tetapi tidak dapat saja disempatkan......”

„Dosa......?” menanjak Jeanne dengan aneh, karena perkataan agaknja lari ke kalimat lain.

„Ja, Jeanne jang baik, tiap² djiwa merdeka tentu mentjari goda dan menggoda...... Tiap² goda tentu mendapat nista dosa...... Tumpukan dosa tentunja akan membawa manusia kedjurang noraka...... Oh, Allah, saja tida hendak memasuki pendjara dosa, djika dapat saja membebaskan djiwa......” Katanja Kim-seng.

„Ngko ingin djadi pendita rupanja....?” Menanjak Jeanne sambil memantjing pandang.

„Tidak, saja ingin djadi manusia... ...tetapi djangan terlalu kotor dalam dosa, dan djangan terlalu bersih dalam asuhan djiwa......”.

Lalu keduanja berdiam lama, sunji disekitar hotel, djustru keadaan sudah dekat djauh malam......

Dua tiga kali Kim-seng memandang Jeanne, tetapi jang dipandang lagi tunduk dalam lamunan mengantuk......

„Jeanne rupanja hidup dalam tenang, sungguh datangkan rasa mengiri kepada orang jang selalu hidup bimbang” kata Kim-seng......

Jeanne memandang Kim-seng dengan gontjangan kaget......

„Saja tenang, apa betul? Apa begitu dalam pandangan......?” menanjak Jeanne dengan tidak mengarti......

„Begitulah dalam pandangan saja jang tidak bebas” kata Kim-seng....

Jeanne bersenjum. „Sekarang pandanglah saja dengan bebas, dan pertimbangkan tjorak kehidupan saja, djika Ngko suka......”.

Kim-seng disempatkan memandang...... Kesempetan jang dulu ia tjari, tetapi ia takut meminta......

Tetapi kini ia dapatkan itu dengan ditawarkannja.....

Tidakah aneh tjeritera tooneel dunia......?

*

„Boleh kiranja saja mengharap apa-apa dari kau, Jeanne?” menanjak Kim-seng.

„Tentu boleh” djawabnja „sekiranja dapat saja berikan dari apa jang kekwasaan dan hak saja dapat memberikan......”.

Kim-seng undjukan satu gambar, jang ia telah mentjuri melukis, sebelum mereka saling berkenalan ...... Ia hanja ingin supaja ia dapat melukiskan sinaran kedua matanja Jeanne jang ada mempunjai banjak „kisah” dalam gontjangannja......

Hanja 37 menuut, Kim-seng menghabiskan lukisan, „mata jang berkata” dari Jeanne.......

Jeanne agak bersiap-siap guna menjukupkan kewadjiban jang diharapkan oleh kawannja jang baru, jang ia tidak guna mungkir² lagi telah merampok banjak sekali perhatiannja.....

Sebelum ia merasa duduk benar, dengan satu kejakinan ia akan-duduk bebrapa djam sebagai model, adalah dalam waktu jang tidak terduga, Kim-seng telah menghaturkan banjak terima kasihnja......

„Sudah siap? Demikian tjepatnja?” kata Jeanne dengan kagum......

„Saja melukiskan djiwa, bukan raganja...... Saja akan mengorek isi-rochani, bukan hanja menggambar djasmani jang mudah dipandang......”.

„Lukisan ini sudah siap tetapi belum siap......” Menerangkan Kim-seng lebih djauh tatkala Jeanne terdiam dan hanja madjukan pertanjakan dengan pandangan mata. „Tetapi, djika misalnja saja mesti lari dari kau, dan saja akan pergi djauh...... djiwa dari sepasang mata itu sudah dapat saja tjuri...... Saja akan dapat menjelami seluruh djiwamu, karena selagi-lagi saja katakan, gerak-gerik mata berkata lebih merdeka dan terus terang dari kata² lida...... Mulut dapat berdjusta, tetapi mata tidak pernah..... Gontjangan hati menembus langsung kepada mata..... Apa kau paham Jeanne?”

Jeanne hanja djawab dengan menganggukan kepalanja....

Siang itu diwaktu Kim-seng berada dalam kamar, terdengar suara triakan anak-anak „Pappie...... pappie......”.

Kim-seng seperti disuru keluar atas perentah hatinja, dan dapatkan seorang jang banjak lebih muda dari ia, masuk dalam kamar sebelah dengan disambut oleh kedua anaknja dengan meria.

Seperti ada apa-apa djenaka bersenda dalam djiwanja, Kim-seng terdiam untuk bebrapa saat......

Tiga hari sesudah hari itu keadaan di Hotel Sarkies berobah, bukan seluruh hotel itu, tetapi dua kamar disajap kiri, dua kamar pembawa kisah......

Tiga hari itu tidak ada pertemuan antara dua tetangga dekat......

Tidak kelihatan Jeanne keluar, dan seperti ada tanda-tanda ia tidak hendak bertemu dengan Kim-seng......

Kim-seng merasa aneh, mengapa ia tidak diperkenalkan kepada suaminja......?

Kalau ia boleh memberi commentaar tentang suaminja Jeanne jang ia pandang dalam selajang pandang, ia adalah seorang djantan jang gaga, tjantik, aksi...... Badannja tegap dan gaga, dari suara tindakannja dan tjaranja ia bertindak, mengundjukan ia seorang jang berhati tetap dan kuat......

Dalam mentjuri lihat sekedjeban, Kim-seng tahu karakter suami itu tidak ringan...... Ia seorang mempunjai pendirian teguh, tidak mudah tergontjang, tidak sembarang salah djalan...... dan sedapatkan hendak berlaku correct dalam segala hal......

Menimbang semua ini, tambah mendatangkan apa jang aneh mendjadi lebih aneh......

Hari pertama, terlihat mereka, suami isteri keluar seperti selajaknja suami isteri. Dalam intipannja, mereka biasa sadjah...... Tidak ada tanda-tanda jang dapat ditjatat......

Tidak ada kelihatan gembirah, tidak pula kelihatan ketjelee......

Tidak ada gontjangan hangat, tidak pula ada gerak-gerik kelihatan dingin......

Kim-seng tidak tahu apa jang ia tahu......

Djalan berdua, tangan Jeanne menggandeng dan digandeng oleh suaminja......

Seperti tjaranja suami isteri, tidak modern tidak kuno......

Kedua anaknja ditinggalkan, dan memang biasa anak² itu ditinggalkan dikamarnja...... Rupanja kedua anaknja itu dapat didikan baik, didikan anak² dalam rumah, maka anak² itu pandai menurut perintah dan tidak susah didjalankan disciplin jang baik.

Waktu kedua orang tuanja keluar, anak-anak itu memberikan.„Daaag......” setjara biasa. Sambutan dari kedua ajah-bondanja pun menarik, dengan sejum dan gerak-gerik merdeka......

Ada banjak pertanjakan berontak di-otak Kim-seng, dan ia tidak dapat seleseikan itu......

Malamnja mereka pergi bioscoop kelihatannja. Anak-anaknja tetap ditinggal dengan seorang babu.... jang rupanja mendapat kepertjajaan penuh.....

Selama tiga hari itu ada rupa-rupa kedjadian jang Kim-seng pertimbangkan, tidak kelihatan apa-apa gandjil......

Lalu memandang lukisannja sendiri. „Sepasang mata bola”......

Ia lihat pada gambarannja itu, apa-apa jang bertentangan dengan...... kebeneran.....

Kim-seng banjak pahamkan filosofie kehidupan, tetapi sekali ini kahidupan mengudji filosofienja...... jang ketjetjeran. Ia kehilangan...... kendalian dan pertimbangan...... Apa jang ia lihat tidak bersatu paham dengan apa jang ia...... pikirkan...... Sedang pikiran dan pandangan adalah dari satu sumber, satu pokok, satu djiwa......

Kebeneran memang kadang-kadang gaib, tetapi ini lebih gaib dari kegaiban jang biasa diketemukan......

*

„Ah......” kata Kang-hoo dikala mereka berdjumpa disatu Restaurant di Tundjungan jalah di American Cafetaria. „Rupanja lesuh kawanku, den deman rindu mulai mengadu biru?”

Kim-seng bersenjum. „Djangan tjiptakan impian jang bukan-bukan......”.

Kang-hoo tertawa besar......

„Kau tertawa dalam bukan waktu tertawa” kata Kim-seng jang memprotest......

„Saja tertawakan seorang badut jang ingin bermain drama, atau seorang tragedien hendak membanjol......” kata Kang-hoo......

Kim-seng tidak mendjawab, karena pelajan menghampiri dan mereka pesan setjara iseng², Garnalensla, Croqeutjes dan Vruchten Ice-Cream dengan slagroom......

„Sudah berapa djauh kau madju?” Men„”anjak Kang-hoo jang terus menjerbuh......

„Djangan salah terkah” kata Kim-seng sambil terus menulis dan lalu serahkan palajan ordernja.....

„Saja heran, sungguh heran, seribu heran” kata Kang-hoo, „jang seorang pemalu sebagai kau dapat satu sebutan „The great lover”? Dalam romans kau belaga djadi pendita, kau tidak laku dimata wanita jang hendak mentjari udara-merdeka...... Wanita perlu dikitik-kitik hatinja, pemudi perlu disinggung² perasahannja, perempuan perlu di tjubit² djiwanja dan kalau perlu berlaku sedikit „kurang adjar” dengan tjara main tjolek-tjolek...... atau kalau berani, menjerobot dengan idung......”.

Kim-seng pandang Kang-hoo mulai mengatjo dalam kata-katanja......

„Saja harap kau tidak mabok Ngko Kang-hoo?” kata Kim-seng......

„Sorry Ngko Sam-pek” katanja...„Saja tetap waras, normaal, sehat, dan saja berkata sebagai manusia jang mengikuti djedjak zaman pantjaroba...... Zaman beralih, musim bertukar, dan kau...... Arek-Surabaja gila...... tidak boleh gunakan systeem 30 tahun dulu, malu takut Ntjim dan Wak...... Djalan dengan wanita, takut djalan distraat ramai, perlu menghilang ke Kupang Gunung atau dipinggir pantai Udjung. Djeman kuno sudah kuno, Ngko Penjair...... Kalau mau djadi dewa pergilah ke Gunung Willis, djangan tinggal dikota berlaga alim...... atau pura-pura djadi hweesio......”.

Kim-seng pandang Kang-hoo betul-betul kumat, tetapi ia tahu kawan ini bangsa dobrakan. Arek- Surabaja djeman serbuan...... Deviesnja selalu menjerbuh dan tidak ada waktu menungguh......

„Suami Jeanne datang, sudah dua hari......” kata Kim-seng jang tjoba pantjing pertimbangannja Ngko Journalist jang liar itu......

„Datang suami, kawan disebelah patah hati......?” Kang-hoo mengedjek sambil melewek.

„Djangan terlalu kesusuh......” kata Kim-seng......

„Dan kau sudah berkenalan dengan Paduka jang mulia suami njonja tetangga itu?” Memotong Kang-hoo......

„Belum, dan Jeanne tidak memperkenalkan......”djawabnja Kim-seng......

Kang-hoo tertawa....

„Tidak ada manusia goblok sebagai kau, Ngko tukang gambar. Menjerbuh sendiri, beladjar kenal, beladjar djenaka...... rubuhkan dua-duanja. Sekali berani mandi djangan kepalang basah......” Meneruskan Kang-hoo.

„Saja tidak ada hati......” kata Kim-seng.....

Kang-hoo lalu manggut-manggut tatkala ia berkata.....

„Saja tahu pendirianmu. Djika kau kenal-suaminja, kau tidak dapat serbuh isterinja. Ja, ja, kau hendak pura-pura tidak tahu siapa suaminja dan betapa suaminja...... Atau mungkin kau dipengaru oleh perasaan minderwaardigheidskomplex..... Takut kalah dalam pandang, takut ketjewa dalam pertandingan...... Ja atau ja? Djangan mungkir dan djangan pura-pura! Saja banjak lebih muda dari kau, tetapi saja pandai melihat djauh......”

Kim-seng goleng kepala......

Ia sama sekali tidak dapat kesempetan berkata, semua waktu diborong oleh Kang-hoo..... sendiri..... Terus ia sadjah jang berdalang, Kim-seng hanja djadi penonton......

Tidak ada satu apa jang ia dapat dari Kang-hoo, tetapi sungguh begitu, kata² jang bersilat sering bongkar rahsia......

Ia paham, ia banjak ditelandjangi oleh kawannja itu......

Ja sendiri tidak berani mengupas dirinja sendiri sampai begitu.......

*

Hari-keempat kembali suasana berobah......

Dikala pelajan membawa kopie pagi, sengadja ia mau nekat, seperti jang diandjurkan oleh kawannja, ia duduk diluar kamar......

Ia melirik Jeanne pun duduk dimuka kamarnja....

„Selamat pagi, Ngko penjair......” kata Jeanne, dan perkataan ini tidak sekali ia duga sesudah tiga hari sunji. Dalam telinga Kim-seng suara itu seperti bisikan bidadari jang tidak tahu dari mana sjorganja.

Dengan gelagapan ia mendjawab......

„Oh, selamat pagi dan selamat minum kopie......” djawabnja......

Jeanne bersenjum......

„Selama tiga hari Ngko nampak sunji dan hilang-hilang? Rupanja banjak ritju......” menanjak Jeanne......

Kim-seng sekarang baru paham, apa arti keduaniaan......?

Selama tiga hari, ia rasakan sunji dari fihak sang tetangga, sekarang tetangganja jang manis itu tuduh ia selama tiga hari itu sunji-sepih dan hilang-hilang. Bagaimana ia mesti djawab, ia sendiri tidak tahu......

Seolah-olah ia telah djadi bisu dengan mendadak....

„Banjak keluar atau banjak menggambar?” Menerdjang pula Jeanne dengan kata-katanja sedangkan serbuannja jang pertama belum dapat ditangkisnja. „Banjak menulis sjair, karena mungkin ada inspiratie dalam sunji jang mahir......?”

Sunji jang mahir?” mengulangkan Kim-seng dalam kamar hatinja sendiri, „perkataan apa itu? Sunji jang sumbang! Sunji jang bersuara palsu?

Kim-seng garuk-garuk kepalanja, walaupun dikepala itu tidak ada kutu, dan sebetulnja tidak ada rasa gatel......

Kim-seng ada mempunjai dua adat aneh, jang bertentangan satu dengan lain......

Banjak kali ia sangsi, tetapi datang satu waktu...kepala batu jang betul-betul...... kepala batu. Banjak ia menerimah dan mengalah, dikala ia mesti menjerah atau „apa boleh buat”. Tetapi djika datang ia lagi budeng, segala pilar langit ia tubruk....

Rupanja ia buntu djalan dalam sangsi dan mengalahnja......

Ia masuk kedalam kamar, keluar kembali dengan membawa satu gambar jang ia belun habis melukis dan sepotong kertas......

Ia menghampiri Jeanne, dengan maksud, ia hendak menjerbuh...... berkenalan dengan suaminja, dan ia hendak...... Ia sendiri tidak tahu, „Hendak apa?

„Boleh saja menganggu?” katanja sambil mengambil korsi disebelahnja dan duduk...... Sebagai jang pertama kali selama kenal, Kim-seng berani liwati garis demarcatienja dan berada digaris Jeanne......

„Selamanja boleh......” sambutan Jeanne dengan manis.

„Boleh saja duduk?” kata Kim-seng jang sudah duduk......

Jeanne tertawa sekali ini...... „Ngko sudah duduk bukan?” katanja dengan manis budi. „Djangan memakai upatjara, kita boleh saling pandang seperti kawan lama......”

„Terima kasih......” kata Kim-seng jang mau main njelonong, mau tukar siasat, supaja hilang nama edjekannja Kang-hoo.....„Arek Surabaja kuno”.....

Kim-seng „Arek Surabaja sedjati” masa mesti kalah...... galak dengan jang muda-muda...... jang baru berapa hari melihat dunia, dan masih berbauh bawang......

Jeanne pandang gambarnja dengan tenang......

„Begini rupanja tjorak paras saja?” berkata ia setengah kepada dirinja sendiri.

„Tjantik dan menarik, djelita dan merdeka......” kata Kim-seng jang menjambung.

„Ah, pudjian djangan kelebihan...... Pelukis pandai melukis, paras saja tidak setjantik ini, tetapi karena warna dan pandainja penggambar, segala sesuatu ditambah dan dikurangi, maka kelihatan sampurna dalam segala......”.

„Tidak boleh nona Jeanne” kata Kim-seng.

„Mengapa tidak panggil saja Chen Siaochieh......” kata Jeanne sambil bersenjum „Siotjia jang sudah beranak dua......?”

„Pelukis harus djudjur dalam lukisannja...... Dan seorang pelukis tidak dapat berpura-pura...... Apa jang dipandangnja adalah itu terdjelmah dalam lukisnja. Tidak dapat saja menambakan tjantik atau mengurangkan molek...... Djika tjantik tetap tjantik, dan apa jang dibilang tjantik...... tidak hanja tjoraknja, tetapi seninja...... seni-djiwa...... Tiap² paras ada mempunjakan seni-seni terpisa dari pembawaan ketjantikannja...... Seni itu tidak dapat dilanggarnja...... Seni itu aseli...... Tidak dapat kita lari dari garis jang telah digarisi......”.

„Tetapi saja tahu, saja tidak setjantik gambar jang terlukis......?” menerangkan Jeanne sambil memandang dengan teliti gambarnja......

„Njonja tidak dapat memandang paras njonja sendiri......” kata Kim-seng.

„Tentu dapat, perempuan setiap hari berias, selalu main mata dengan katja, selalu bergenit dengan tjermin......” berdjenaka Jeanne dengan kata-katanja.....

„Tidak, katja bukan timbangan rasa...... Katja tidak boleh terlalu dipertjaja” Kim-seng menerangkan......

„Djika katja tidak dapat menerangkan djelas, habis kepada siapa kita meminta djawab untuk mengetahui diri sendiri......?” menanjak Jeanne......

„Kepada seorang lain, kepada mata orang lain....”.

„Mata orang kadang² salah. Jang membentji dan jang menjukai berlainan pendapat......”.

„Tidak Jeanne, mereka tentu sama pendapat, hanja mungkin selesai pendapatannja, djika salah seorang tidak berlaku setulus hati......”.

„Bagaimana mengetahui, siapa tulus dan siapa tidak tulus......?” Menanjak Jeanne dengan sungguh......

„Gambar...... Gambar tidak dapat mendjustai kebeneran.....” memastikan Kim-seng.

Jeanne pandang Kim-seng sebentar, dan lalu memandang kembali pada gambarnja sendiri itu.

„Djika gambar misalnja tidak tjukup?” Menanjak Jeanne dengan bebas......

„Sjair......” kata Kim-seng. „Sjair dapat membongkar rahsia, djika dibatjanja dengan timbang rasa jang, sutji......”.

„MATA JANG BERKATA BANJAK” demikian tulisan dibawah gambar jang dibatjanja oleh Jeanne dengan suara ditenggorokan...... Lalu ia membatja sjairnja......

MATA JANG BERKATA BANJAK........

Sunji tidak bersendiri,
Melamun tidak bingung,
Mata memandang djauh,
Menembus langit kelabu,
Dimata tergambar hati,

Sepih disisih djantung.
Sepasang mata bola,
Merdeka dan berdjenaka,
Mata berkata banjak,
Rahasia djiwa terbuka,
Bibirmu takbersenjum,
Tetapi mata tertawa.....

Mata dan hati,
Tiada harmonie,
Hati diam djiwa tenang,
Gontjangan mata melawan......
Mata membuka rahsia,
Rahsia dikuburan dada.......

Dalam gerak-gerik merdeka,
Penuh riang gembirah,
Mata pun turut tertawa,
Tertawa dengan air mata......
Pandanglah dan pandanglah,
Mata ingin djelasan dertia.

Beruntung dan tjelaka,
Terbajang njata dimata,
Dalam gelisah derita,
Selagi dikau belaga djenaka,
Mata takdapat berdjusta,
Dimata timbul kisah merdeka.

Kemauan pantjaindra,
Adalah hukum djiwa......

„Sjair” berkawan „gambar” membongar „rahsia”!

Sambil pandang Kim-seng, tukang dobrak rahsia dibelakang dada, Jeanne berkata:

„Njata kehidupan itu punuh dengan segala kisah” katanja „dibelakang kehidupan, dibelakang pandangan mata, dibelakang timbangan raga...... ada banjak apa-apa penuh dengan badean dan rahsia......”.

Kim-seng hanja memandang, membiarkan Jeanne melandjutkan kata-katanja......

„Saja menika dalam usia muda, melawan susunan tjita-tjita. jang pernah saja rantjangkan diwaktu lulus dari sekolah rendah” katanja lebih djauh......„Tatkala saja menghabiskan sekolah menengah, saja bertjita-tjita hendak mendjadi djuru-rawat...... Saja amat menjukai pekerdjaan itu, karena saja tahu itu satu pekerdjaan sutji. Menghiburkan.orang jang susah, sakit dan menderita...... Menghiburkan lain orang ada satu kegirangan jang agung. Tetapi penggoda datang...... Dia datang mengitik-ngitik perlintasan usia dewasa....... Wanita sudah tjukup katanja, sampai disekolah menengah...... Tidak perlu tinggi² sekolah, karena tidak mesti mendjadi kewadjiban wanita untuk bekerdja mentjari nafkah..... Saja kepaksa menika...... .”

„Karena maunja orang tua, mendjalankan bakti dan hormat keluarga......?” memotong Kim-seng.....

„Ja, itu mesti...... Kita bangsa Timur, lelaki dan perempuan, memang tidak dapat lari dari kewadjiban......”.

„Ngko salah, perkawinan saja tidak ada paksaan orang tua. Hutjin dan Butjin saja membebaskan saja, apa mau saja, apa kata saja dalam sepakterdjang saja dalam usia dewasa...... Saja sendiri tergoda, saja sendiri gugurkan tjita-tjita jang mulia itu, dan datangkan seselan jang tidak dapat saja rebutkan kembali. Saja tergoda oleh tjinta sebelum saja, paham betul arti tjinta...... Saja pikir, dalam perkawinan itu penuh dengan segala bahagia dan impian² djenaka...... Njata dugaan saja keliru. Saja dapatkan segala gembirah dan segala bahagia, hanja dalam impian belaka...... Kebeneran hanja kosong dan hampa. Saja telah mendjadi bodo, dalam merdeka saja mentjari djebakan untuk didjadjah......”.

Terdapat sinaran mata jang guram pada matanja Jeanne tatkala ia berhenti sebentar dalam penuturannja.

„Ja, apa jang mendjadi programma kehidupan, harus didjalankan dengan penuh ketertiban...... Saja mendjadi seorang isteri, kamudian mendjadi seorang ibu, tetapi, tjita-tjita merdeka dalam alam merdeka, saja merasa terbelenggu”. Jeanne mengelah napas.

„Sebetulnja saja amat tidak berbudi dengan memprotest penderitaan sematjam ini. Saja merasa ini ada satu tjatjat jang tidak baik, dan kurang penerima saja sebagai perempuan...... Saja tidak hidup kurang, segala sesuatu ditjukupi dan kelebihan...... Tjorak kehidupan penuh kegumilangan, dan maaf djika saja agak menjombongkan, kita tidak hidup dalam kemiskinan...... Mengapa, saja selalu...... tersiksa? Tidak baik sekali prempuan sebagai saja, sungguh saja sesalkan diri sendiri dengan adat saja jang kurang penerima. Djangan orang mentjelah saja, saja sendiri paham jang diri saja harus ditjelah...... Bagaimana seorang bisa merasa tidak beruntung dalam beruntung? Ini pun seringkali datangkan bingung......”.

Jeanne berhenti lagi seperti hendak mentjari peloang waktu sekedjaban.

Jeanne memandang Kim-seng seakan-akan ia menantang pertanjakan......

Kim-seng paham ini dan ia berkata......

„Kawin dengan pilihan hati, bukan maunja kewadjiban bakti, tentunja kamu hidup dengan saling kasih......?”

„Ja, begitu mestinja...... Tidak ada djalan lain, tidak ada tjorak lain...... Itu sudah mesti begitu. Kita tidak pernah berkelahi, tetapi mungkin karena tidak ada tjakar-tjakaran dalam perkawinan, tjinta mendjadi tawar dan tidak ada kehangatan. Kita makin renggang dan makin renggang. Iketan djiwa tidak menguntji mati. Longgar dan terlepas. Tidak ada rasa girang bertemu, tidak ada rasa derita berpisa...... Apa artinja gabungan djiwa sematjem ini. Kita lebih banjak bersaudara dari pada bersuami isteri...... Kita masih-sama-sama belum tua...... kita masih tjukup muda untuk gembirah, tetapi tjorak kegembirahan kita sudah lama musna...... Saja merasa sunji, mungkin dia djuga...... Tidak ada tali jang mengikat pertalian perkawinan kita...... Tidak ada semangat, tidak ada api, tidak ada serbuan jang extreem satu dengan lain...... Kita sama2 sabar dan terlalu sabar...... Dia bekerdja dan bekerdja, saja dimana dan dimana. Dia datang untuk kewadjiban, dan saja menerima dia sebagai suami dan kewadjiban...... Dulu, sebelum politioneele actie, kita masih serumah di Kediri, kehidupan pun tetap seperti minjak dengan air...... Tidak ada kedjenakaan, tidak ada pertengkaran.... Tidak ada suara tertawa riang. tidak ada air mata mengalir kerana salah paham dan hilang paham...... Tidak ada tjemburuh, tidak ada marah, tidak ada sakit hati...... Dengarlah, Ngko, dengarlah...... Bagaimana sesuatu kehidupan dalam perkawinan dapat „hidup” dengan tidak ada semua ini......? Saja tidak tahu kemana saja mesti mendapatkan diri saja...... Apa sendiri saja sadja harus berkelakar, membanjol, mentjari tertawa......? Atau saja membanting-banting badan, marah, menangis, supaja terbit reaksi dalam susunan kehidupan? Tentu tidak mungkin bukan..... Ach, kesian, saja tidak persalahkan dia...... dalam hal ini. Ia pun tidak dapat berpura-pura gembirah dan djenaka..... Pendeknja, kita sama² dingin, sama² bekuh...... Kita hanja hidup karena mesti hidup...... Kita dapat hidup karena kita masih bernapas...... Sebetulnja hidup kita tidak hidup...... Tidak ada kehidupan dalam kehidupan...... Apa artinja hidup......?”

Jeanne menghabiskan kisahnja dengan penasaran kelihatannja, kamudian sambil memandang Kim-seng, ia serahkan kembali gambar dan sjair, lalu bangkit dan berkata. „Maafkan saja, saja tidak berkwasa atas diri sendiri” ia lalu masuk kedalam......

Kim-seng pandang sang gambar dan batja sang sjair......

„Kamu meritju hati jang sedang ritju, kamu membongkar kisah jang pahit dalam tjorak kehidupan jang manis...... Mengapa aku djumpakan „siritju-ritju?

*

Kim-seng ingat kawan jang djauh......

Dalam menderita taufan dan kiamat kehidupan, Kim-seng bertjampur gaul tjukup lama dangan Ho Eng-djie, seorang djuru filsafat jang berdiri sendiri.

Gagal persatukan Arak dengan Tauhid, Ho Eng-djie tetap bersifat dengan pantunnja......

Diantara pantun² jang tidak terlalu „mabok”, Kim-seng dapatkan apa-apa jang berharga......

Sukku garrimmi linoa,
Kuring kuringmi donia,
Tarra ringoa,
Tattalingri sirinti.

Penjakit dunia sudah tjukup,
Kekosongan telah lama mereres,
Sjarat dari loba dan tama,
Timbul meluasnja dengki hati......

Dimana manusia masih bersedjarah, disana perasaan loba dan tama tetap meradjalela......

Inilah penjakit dunia dan penjakit manusia, kata Ho Eng-Djie......

Almathum Hadji Jusuf, Guru besar dari Selajar Sulawesi Selatan, pernah berkata:

Segala lahir jang tidak mempunjai bathin, akan musna binasa.

Bathin jang tidak mempunjai lahir akan rugi musna...

Lahir dan bathin pada waktu ini rusak dan hantjur.

Semua akan rusak dan hilang, dikala Kebeneran besar datang.

Kebeneran akan dapat tertjapai oleh kita, apabila kita dapat hilangkan segala pengetahuan lahir kita, baik pengetahuan pantjaindra maupun pengetahuan bathin......

Djika kita dapat insjaf hal kebeneran, jang benar akan melihat njata segala tjorak Noraka djahanam....

Djika kita jakin bermain-main dengan kebeneran, tentu kebeneran akan sering datang bertamu......

Banjak orang tidak dapat melihat barang jang berlindung jalah kebeneran....

Waktu bumi diganti dengan bumi lain, pantjaindra dengan pantjaindra lain, kosong dengan kosong lain, jang rusak dengan tidak rusak, jang kidam (baka) dengan lain kidam, disitulah datang kebeneran jang menerangi bahua segala apa...... runjam.

Waktu langit digulung dengan bumi, maka segala apa jang ada akan dihantjurkan......

Kebeneran akan datang sesudah habis kebeneran....

*

Kim-seng djadi mabok......

Ia hendak mentjari Kebeneran dan ingin persatukan Kebeneran dengan Jeanne......

Tetapi njata dua-dua kutjar-katjir......

Dalam djiwa Jeanne, dalam kehidupannja jang gaib, ada pertempuran hebat antara pantjaindra dan susila bathinnja......

Ia tidak dapat merasakan kebrutungan, karena ia tidak paham arti kebeneran......

Ia tidak dapat mendekati kebeneran, karena kehidupannja mendjauhi segala kebeneran......

Ia tidak beruntung dalam bathinnja, selagi pantjaindranja dimandja-mandjakan dengan keberuntungan lahir......

Jeanne tidak menijari kesenangan lahir, karena itu ia tidak dapat merasakan genderangnja pantjaindra dalam mentjapai kenikmatan dunia......

Jeanne hidup dalam tjita-tjita, dan senantiasa hendak merdeka......

Kehidupannja jang sekarang tidak terhimpit, tetapi tidak ada kontak jang bikin ia kontak kepada kehidupannja......

Hidupnja seperti minjak dan air, tidak dapat bersatu......

Karena tidak ada persatuan, maka hidupnja terasa kosong dan tandas......

Tidak ada kesibukan tidak dapat menjiptakan kesenangan......

Tidak ada taufan, laut tenang tidak ada artinja.....

Kim-seng kepingin, seperti perintah kewadjiban dan perintah hati, dapat persembahkan satu „Kebeneran“ jang njata kepada Jeanne......

Kekosongannja hendak diisi, sunjinja hendak diramaikan......

Tetapi ia tidak boleh terlalu fanatiek dalam memberi hiburan, karena ia sendiri bersatu padu dalam perdjoangannja Jeanne...... Djika ia neutraal dan tidak berkesana sini, mungkin pendapatnja lebih sehat......

Tidak boleh tidak, Kim-seng mesti mengakui, bahua sekarang ini...... Kim-seng sudah djato.

Bagaimana ia dapat mengisi kebeneran?

Apakah perbuatannja akan sesuai dengan kebeneran......?

Achirnja Kim-seng mabok kebeneran......

*

Pada satu pagi, dilain harinja, Jeanne duduk dimuka kamarnja. Tatkala Kim-seng keluar duduk minum kopie, Jeanne berkata:

„Sorry, Ngko Kim-seng“" katanja. „Kemaren saja lupa diri, menganggu Ngko dengan membongkar rahsia kehidupan saja, jang tidak pantas saja tjeritakan, hanja menggangu sadjah perasaan orang......”

„Oh, tidak sekali. Bahkan saja girang, djika saja dapat berbuat apa-apa, misalnja......” kata Kim-seng.

„Ngko sendiri dalam derita, bagaimana Ngko dapat menghiburkan orang lain?” menerdjang Jeanne....

„Tentu dapat, djika sama mau, jang menghiburi dan jang dihiburi......”.

Jeanne bersenjum...... „Ngko tentunja tidak selamanja akan tinggal bersendiri...... ?”

Kim-seng memandang......

„Apa Ngko tidak hendak kawin lagi, melepaskan sunji, sendiri dan...... sedih?” menanjak Jeanne dengan berani......

Kim-sneg goleng kepala. „Saja tidak tahu......” katanja Kim-seng.„Saja takut, tetapi saja tahu saja masih hidup......”

IV. RINDU.

Kasih harus dibelih,
Dengan djiwa dan hati,
Tjinta takdapat datang,

Karena hanja dipandang.....
Djangan kasihmu merindu,
Karena takut kau menjerbuh,
Kamu sendiri ajal madju,
Lalu timbul penjakit dikalbu,
Salahmu, oh, salahmu......
Dapat madu menukar ampedu......

Musnakan rindu dari sisimu,
Kasih minta tenaga tindju,
Siapa berani bobol benteng kalbu,
'Kau 'kan menang tjinta nan sungguh.

Api tjinta sudah membakar dua kamar Hotel Sarkies.

Sudah ada pepata kuno sedari djeman kuno, djangan main-main api, nanti membakar djari. Tetapi tjaranja Jeanne dan Kim-seng bermain api, bukan membakar hanja djari, tetapi hati...... seluruh hati, djasmani rochani......

Saling control dalam perkenalan, sampai 10 hari pura-pura djadi padri dan Non, tetapi sekali meledak terbit kebakaran besar......

Kedua belah fihak tahu apa jang „boleh” dan „tidak boleh”. Mereka sering bitjarakan hal dosa dan perbuatan-perbuatan terlarang......

Tetapi manusia hanja tjuma bisa omong kosong...

Apa jang tidak disetudjui oleh mulut, diam-diam dari belakang...... menjerobot......

Djeman sudah beroba dengan segala nama „pantjaroba”, dan otak manusia pun...... berpantjaroba.

Dunia makin tua makin bopo.....

Makin banjak gredja, makin banjak misdjid, main banjak pura, pagoda, klenteng...... Tetapi manusia makin biadab......

Perbuatan-perbuatan jang tidak tertulis dalam riwajat bangsa-bangsa jang masih liar dihutan-hutan belukar...... dilakukan dengan pikiran dingin..... oleh manusia² sopan di dunia sopan........

Bijbel makin banjak dibatja, Quoraan makin meluap diseluruh peloksok dunia, kitab-kitab Nabi Musa, Nabi Daud, Laotze, Khongtze dan sebagainja......meradjalela ditoko-toko buku sampai dipendjual barang-barang loa alias rombengan......

Tetapi kesopanan manusia tetap makin rombengan..........

Makin banjak batja kitab-kitab sutji, makin tua hukum alam, hukum dunia, hukum nabi, Hukum Allah, hukum Noraka, makin berani melanggar...... Apa mungkin dalam kitab? itu, ada hukum dan ada peledooinja...... Misalnja sesuatu kedjahatan bisa ditebus dengan sembahjang...... digredja, diklenteng, di misdjid, pagoda, dipura, dilangit?

Atau seperti ada pribahasa: Hukum undang² ditulis untuk dilanggar......

Apa hukum igama itu demikian pula..............?

Disutji-sutjikan, dipudja-pudjakan......... untuk dilanggarnja......

Demikian dunia dan masjarakat menuntut satu tjorak jang serupa......

Apa jang djadi tjatjat dunia akan mendjadi tjatjat sociaal, dan apa jang djadi borok masjarakat akan djadi borok rumah tangga.....

Tjinta... ..djustru mendjadi gudangnja dosa................

Melanggar dosa tjinta memang berat dan enteng. Tetapi sebelum datang hukum, buah terlarangnja terlalu manis. Kalau tidak masa Ada kedjeblos dengan Eva, dan masa manusia sekarang menerima segala akibatnja...... menurut sedjarah igama......

Datangnja tjinta lebih berapi djika ditahan²......

Apa jang „tidak boleh” lebih banjak datangkan kebakaran dari apa jang.... biasa merdeka.

Jeanne dan Kim-seng setengah² mundur...... dalam sepak-terdjangnja, karena ada itu undang² „Tidak boleh”. Tetapi djustru mundur² tidak teratur, lalu datang serbuan bukan dari pintu depan......

Kim-seng tidak dapat melawan lagi triakan hatinja jang berkata. „Saja tjintakan Jeanne”.

Jeanne tidak bisa bekuhkan lagi perasahannja dan tjoba terus; berpura-pura, karena irama sanubarinja terus dendangkan ia lagu. „I love you, Kim seng Darling.”

Rochani-tjinta sudah saling menjebrang, tetapi djasmani tetap mempertahankan, belum berani saling menjerbuh......

Dalam pertemuan selandjutnja, kata² tidak merdeka lagi keluarnja......

Mereka saling malu², karena hati lebih banjak berkata dari lida.......

Djika mereka sama² diam sebagai intermezzo diwaktu bertjakap², sebetulnja kedua hati saling berkata..... Tetapi semua hanja masih dihati, belon meledak diluar dada...... Kulit dada masih mempunjai pertahanan kuat, menahan serbuan datang dan keluar.....

Kadang² sebagai hiburan mereka saling tertawa, dan sama² tidak mengarti pula mengapa mereka tertawa.......

Mungkin jang satu saling menunggu dari jang lain, tetapi kedua-duanja tetap membisu melepaskan terdjangan pertama......

Tjinta adalah sebagai anak pana, djika belum dilepaskan dari gendewanja, tentu sadjah belum melukai lawan..... dan belum resmi arti penjerangan...

Apa jang kini dirasakan oleh masing² adalah fantasie bikinan hati, belum lihat darah, karena belum ada hati jang dilukai oleh tadjamnja...... panah Amor .....

Tjinta harus didjual dan dibelih......

Didjual dengan hati dan dibelih dengan djiwa......

Tidak ada jual belih, tentu tidak ada pergabungan....

Pada satu pagi, (segala awal selalu datang diwaktu pagi), pagi jang segar......

„Batapa senangnja sebagai Ngko Kim-seng” kata Jeanne. „Hidup terbang kesana sini, dengan merdeka.....”

„Senang........? kata Kim-seng sambil ulangkan perkataan.

„Ja, senangnja sebagai orang jang merdeka......” menegaskan Jeanne......

„Senang.........?” mengulangkan Kim-seng lagi sekali. „Betapa senangku kau katakan, tetapi saja...... selalu berkata betapa senangmu Jeanne, dengan anak, dengan suami, dengan rumah tangga...... dengan segala tenang, dalam pandangan mata”.

„Apa artinja semua itu, seperti kau sendiri tahu....” kata Jeanne .....

„Ja, demikianlah dengan...... senangku, jang kau namakan senang belum tentu senang kurasakan..... Hidupku saja rasakan seperti tidak ada apa-apa...... Kosong, bajang² hampa, tjitra...... Saja terasa kadang-kadang seperti lajang² jang terbang karena angin, kamudian..... limbung karena hawa udara... kosong”.

Kim-seng mengupas nasibnja sendiri, tetapi Jeanne jang mengelah nafas pandjang......

Tidak ada kepuasan dalam ini dunia, manusia didjelmakan kemuka bumi memang djadi pelaku..... Manusia selalu mentjari fantasie, takut mendekati kebeneran...... Dengan tidak melampaui kebeneran, orang tidak dapat bertemu kesampurnaan......

Letak kesampurnaan adalah diudjung kebeneran...

Letak kebeneran adalah dalam kejakinan kehidupan....

Kehidupan harus ditjinta, barulah kehidupan akan mentjinta....

Kehidupan harus didjundjung, barulah kehidupan akan mendjundjung....

Apabila orang permainkan kehidupan, sudah pasti kehidupan akan permainkan manusia......

Ja, betul seperti kata seorang penjinta kebeneran, bahua...... kebeneran akan dapat mengenali kita dan dapat menemui kita, djika kita sungguh² hendak mentjari dia......

Dimana sebetulnja kebeneran harus ditjari?

Dimana-mana......

Terutama dalam diri kita sendiri......

Kebeneran tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dapat di-intip oleh hati, tidak dapat ditimbang oleh rasa....

Kebeneran adalah teka-teki jang harus ditjari-tjari.....

Kadang-kadang orang mengukur kebeneran apabila mereka hidup dalam kebruntungan......

Padahal sebetulnja, mereka bukan ketemu kebeneran, tetapi menista kebeneran......

Orang baru repot meraba-raba kebeneran apabila datang derita, datang tjelaka, datang sengsara......

Ja, disini letaknja kebeneran jang benar.....

Tetapi orang dapat mendekati kebeneran, terutama menjelami kebeneran, teristimewa persatukan djiwa dengan kebeneran.....

Kebeneran sebetulnja ada diwaktu kita beruntung, kita tenang, kita hidup mewa, terutama kita lagi membubung puntjak dunia....... Tetapi dikala itu, manusia melupakan kebeneran, sama sekali tidak masuk dalam djiwanja, bahua kebeneranlah jang mentjiptakan semua kebruntungan, segala kesenangan, dan segala kemewaan jang dirasakan dalam madjunja kehidupan......

Dalam kemanisan orang tidak terasa didampingi kebeneran, karena kebeneran mendjadi impian, kata manusia......

Dalam kepahitan orang mentjari kebeneran, karena orang hendak mentjari pegangan, orang hendak mentjari keadilan, mengapa ada derita, dan lalu timbul kata-kata, kebeneran itu...... pahit.

Sebetulnja sama sekali tidak begitu.....

Kebeneran itu manis...... diantara manis dan pahit....

Kebeneran itu sampurna...... diantara sampurna dan tidak sampurna......

Orang jang sesambat, orang jang mengeluh, orang jang mentjari hiburan dengan budjukan madat, arak, prempuan, harta dan sebagainja, orang itu sebetulnja masih djauh.... mengenali kebeneran......

Kebeneran tidak dapat kita ketemukan hanja dengan kata², dengan gembar-gembor, tetapi siapa jang betul-betul mengaku...... telah dapat pahamkan kebeneran, sudah tidak ada derita lagi dalam kehidupannja......

Kemelaratan, kesukeran, kesusaan dan kesengsaraan, sebetulnja bukan derita djika tidak dirasakan derita oleh lahir dan djasmani...... Rochani dan bathin, tetep biasa, diantara kaja dan miskin, orang berpangkat atau rakjat murba. Kebeneran hanja berwudjud kebeneran, djika manusia tida lari dari djiwanja sendiri......

Jeanne dan Kim-seng lari dari kebeneran, hilang paham dan hilang perasahan...... Apa jang ditjapainja, dipandang sebagai bukan mestinja...... Jang ditjita-tjitakan selamanja apa jang tidak mungkin......

Jeanne mengundang segala kemustahilan, karena ia tidak mau menerima panggilan kebeneran jang sebenarnja. Manusia hidup dalam seraka, dan pertjaja bahua tjita-tjitanja merupakan puntja kebeneran, djika tjita-tjita itu tertjapai...... Manusia itu egoistisch dan mau menang sendiri. Tiap-tiap manusia hendak dirikan istana tjita-tjitanja, untuk kesenangannja sendiri, tidak perdulikan orang jang lain. Djika semua-semua berpendapat demikian, tentu kepuasaan tidak akan pernah datang...... Djika semua mau menang, siapa jang djadi petjundang.....

Jeanne kandas selagi susunan keinginan pantjaroba rapi dan tertib mempenuhi segala kewadjiban, tetapi Jeanne pandang kewadjiban itu menentangi permintaan djiwanja..... Karena ini Jeanne merasa tidak.....beruntung dan hendak mentjari...... beruntung......

Kim-seng dalam terbelenggu ingin merdeka..... Rasa terhimpit kanan kiri dikala ia hidup sebagai seorang suami jang punja banjak tanggungan. Tiap² djengkel dan marah, ia betriak kepada dirinja sendiri „Pabilakah dapat aku merdeka......”.

Şudah merdeka ia merasa sangat tjelaka......

Segala sesuatu didalam badannja berkelahi dan perang, masing² hendak tjari kemenangan...... Badan Kim-seng sebagai padang latihan, tempat orang...... beregoistisch......

Dalam melamunnja Kim-seng terkenang dengan sahabatnja jang telah meninggalkan dia, djalan dahulu ke langit bintang. O, dibalik awan bertachta di Baka indah, tempat istirahat apabila kewadjiban fana selesai...... disana merupakan Sjorga tjita, sjorga rochani......

Terhimpit rindu meledjit, Kim-seng mengiri dan tjemburu kepada kawannja jang tidak panggil²² dia diwaktu hendak berangkat...... Memandang kepada mega tidak terlihat tjitra hendaknja melambai-lambaikan djiwanja......

„Ah, sudah beruntung dia ditempat jang djauh, kawanku Chairul Anwar” kata Kim-seng jang mengela napas sendiri......

Kenangkan Chairul, ia lalu membawa pulang segala kenangan jang telah silam......

Di Djocja, dimasa bangkitnja semangat revolutie rakjat Indonesia...... Pemuda jang biasa malas-malas bangun tegak.... Lahir dan bathin penuh semangat....

Disepandjang Malioboro, Kim-seng sering bertemu Chairul Anwar, jang berglandangan diantara kawan² jang banjak......

Basuki Resobowo, pelukis jang terkenal, adalah mendjadi sahabatnja jang karif......

Kim-seng sering pula bersama dengan Chairul Anwar...... Kawan jang sudah tiada itu, selalu lemas dan tidak bersemangat dalam gerak djasmani...... „Chairul” kata Kim-seng. „Tjoba lihat pemuda² itu, gesit, gaga dan bersemangat, kau selalu mengantuk seakan-akan kurang tidur......”

Chairul Anwar tertawa sambil tepok pundak Kim-seng. „Kami dengan mereka, berlainan djiwa...... Mereka berdjiwa pahlawan, kami berdjiwa...... sastra dan seni. Kewadjiban mereka didepan, di front, membunuh dan terbunuh. Kewadjiban kami digaris belakang, membangun dan mungkin mengatjau......Tetapi tidak...... Kita djustru hendak bermalas-malasan, supaja ilham datang dengan bebas...... Seniman dan sastrawan tidak dapat menerima komando, kurang paham disiplin...... Kami mau merdeka, kami hendak merdeka dalam menulis dan melukis..... Kami boleh tidur seantero hari, boleh ngimpi setengah malam, lalu bermain dengan pena dan dawat....dikala mendusin djam 3 pagi...... Wahai, disana kita dihampiri inspiratie, atau kami dobrak inspiratie...... Sekali tulis, mungkin tak ada harga untuk nafka, tak banjak arti untuk perut, tetapi akan merupakan satu bingkisan dikala kita sudah tiada....”

„Ah, Chairul kawanku” katanja Kim-seng. „Dalam semuda usiamu kau perbintjangkan mati......mati jang masih djauh...... djauh sekali”.

Chairul Anwar pandang Kim-seng......

„Hai, Kim-seng, takut mati angkau rupanja?” kata Chairul Anwar......

„Kita tidak dapat lari dari mati” kata Kim-seng....

„Precies” memotong Chairul Anwar . „Kita tidak tahu kapan kita akan berangkat, mungkin besok, mungkin lagi setahun, mangkin lagi 10 tahun, dan aku ingin hidup lagi 1000 tahun. Tetapi djika Paduka jang mulia Malaekat Elmaut datang besok atau hari ini, kita tidak dapat teeken apel atau minta gratie...... Dikala ada komando berangkat, kita mesti berangkat...... Maka 'Bung, selagi hidup pergunakan kesempetan hidup...... Aku tidak pikirkan banjak apa-apa, makan apa, tidur dimana...... Selagi bernapas aku hendak bebas, aku tidak mau disuru ini dan itu...... Ha... ha... ha... ha... mengapa melantur djauh kami berdebat-debatan...... Rupanja djalanan Malioboro merupakan latihan mengasa otak......”.

Kedjadian itu jang sudah lama lalu, jalah kira² tahun 1945-1946-1947 di Djokdja, telah datang ada kenangan Kim-seng seperti baru terdjadi bebrapa hari sadjah......

Masih terbajang senjumnja Chairul Anwar jang bebas, tingka lakunja jang kadang² kelihatan tengik, tetapi Kim-seng tahu ia seorang jang „hidup” dalam sifat² sastranja......

Kenangkan Chairul Anwar terkenang pula salah satu sjairnia jang pada waktu itu seperti memukul dirinja sendiri......

Sjair Chairul Anwar itu adalah:

TJINTAKU DJAUH DIPULAU.

Tjintaku djauh dipulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melantjar, bulan memantjar,
Dileher kukalangkan oleh-oleh buat sipatjar,
Angin membantu, laut terang, tetapi terasa,
Aku tidak 'kan sampai padanja......

Diair jang tenang, diangin mendaju,
Diperasaan penghabisan segala meladju,
Adjal bertachta, sambil berkata:
„Tudjukan perahu kepangkuanku sadja”.

Amboi. Djalan sudah bertahun kutempuh,
Perahu jang bersama 'kan merapuh,
Mengapa Adjal memanggil dulu,
Sebelum sempat berpelok dengan tjintaku?!

Manisku djauh dipulau,
Kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

Kim-seng takut sjair kawannja Chairul Anwar itu akan menggarisi, takdir kehidupannja, dan disjair itu perahu tudjuannja akan melantjar......

Demikianlah lamunan pantun mengalun djantung......

*

Selagi itu Jeanne dalam sendiri, mentjari-tjari kenangan pedih......

Membongkar madjalah², seperti Jeanne mentjari apa-apa......

Sengadja mentjari, atau tidak sengadja mentjari....

Ia mendapatkan dua tiga, jang dibatjanja dengan tenang, Tenang dalam pandangan lahir, tetapi mata Jeanne tidak pernah tenang.....

DEKAT JANG DJAUH.

Di Hotel Sarkies, Surabaja kota,
Aku tinggal sebelah menjebelah,
Dengan seorang wanita djuwita,
Agung sifatnja, anaknja dua......

Banjak kali menular pandang,
Belum ada djodo perkenalan,
Sama angku dalam pergaulan,
Bertetangga dekat, tidak berkawan.

Tidak kuketahui dari mana,
Datang sympathie aneka warna,
Adatnja pendiam, lagaknja merdeka,
Menarik hatiku, raga dan djiwa.

Siapa gerangan sitjantik rawan,
Seperti hidup dalam kesepian,
Didunia ramai, hidup seorang,
Rahsia apa dibalik badan......?

Jeanne bersenjum......

Ia paham, siapa jang ditulis dan siapa jang menulis......

Hatinja merasa bahagia, dalam derita tersembunji dibalik dada, ada seorang jang turut merasa...... Ja, duka memang mendjadi kurang, djika ada orang lain turut merasakan......

Sebelum berkenalan, memang Jeanne ingin berkenalan. Sehari dua hari Kim-seng tiba, Jeanne tahu siapa dia......

Rasa sympathie datang dihari berikutnja, terutama karena melihat sifatnja Kim-seng seperti angku dan tidak banjak tingka......

Tetapi tentunja tidak perempuan mentjari kenal dahulu, mestinja djantan jang memulaikan...... Dekat 10 hari baru datang djodo perkenalan, gara²-nja Journalist Liar The Kang Hoo jang nakal......

Lalu Jeanne tahu, Kim-seng bukan seorang beruntung dalam kehidupannja......

Banjak hadapi taufan, kadang-kadang taufan jang dibikin sendiri......

Banjak datang Kiamat sebelum datang Kiamat jang sesungguhnja......

Ja, Kim-seng seakan-akan anggap segala derita, taufan dan kiamat, sebagai satu kebun bunga......Disana ia selalu dipantjing masuk atau sengadja masuk, dikebon bunga itu ada tersembunji rawa, dimana Kim-seng sering kadjeblos......

Jeanne tertawa sendirinja, djika ia pikirkan, mengapa ia bertemu Kim-seng, sependeritaan dan senasib......

Djika mereka sama² merdeka, tidakah lebih merdeka mereka saling menghiburi, tetapi Jeanne tahu.... ada tembok besar tegak mengandang..... Tidak boleh ia meliwati itu...... Tidak boleh dalam artian jang benar......

NANAS TULUNG-AGUNG.

Nanas Tulung-agung, nanas udjian,
Rasanja manis bukan buatan,
Terutama diberikan oleh prempuan,
Manisnja dua kali ditenggorokan.

Jang mengirimkan tjantik parasnja,
Jang dikirimkan manis rasanja,
Parasnja kupandang menikam Djiwa,
Manisnja kurasakan memikat lida.

Tetapi apaguna itu semua,
Kedua-duanja bukan kupunja,
Kuhanja memandang menelan luda,
Paras dan nanas tidak merdeka..

Hanja kupunjakan dalam mimpi,
Dalam mimpi kubebas mentjuri
Djiwa raganja dalam pelokan-kasih,
Sambil kuberbisik "I love thee".

Oh, djelita, bilakah impian membenarkan?
Gujon-gujon djadi sungguan,
Kalau ini dapat diberkahi Tuhan,
Rasanja mati tidak penasaran......

„Nanas Tulung-agung?” Jeanne ulangkan kata sjair. „Nanas mendjadi sjair......”.

Ja ingat, diwaktu ia mendapat oleh-oleh nanas Tulungagung jang manisnja mengilarkan lida, Jeanne ingat kepada kawan sebelah...... Sesudah dipotong baik-baik, ia mengirimkan tiga potong......

Helaas, njata Nanas pun dapat datangkan Ilhamnja......

Nanas jang manis digabung dengan paras jang tjantik......

Lalu dalam sjair timbul njanjian kasih, jang dengan mulut tidak dapat bersari......

„Djika dapat aku mendjadi nanas......” kata Jeanne, dan ia tidak berani meneruskan kata-kata itu, walaupun hanja didengar oleh Pantjaindranja sendiri......

Membalik-balik lembaran madjalah, kembali ia ketemu jang lebih tegas sasaran hati......

MARAH RUPANJA.

Paras mukanja guram sekali,
Seperti ada jang dibentjihi,
Ada sesuatu datangkan pedih,
Hingga berhari kelihatan sepih,
Adik, aku ingin menghiburi,
Tiada djalan dapat kutjari,
Diantara kita pagar berduri,
Djadi perintang sahabat sedjati.
Aku ingin melampiaskan sympathie,
Agar dukamu dapat kuringani,
Tetapi Oh, Dewi, belum kuberani,
Melepaskan langka, membebaskan hati.
Dukamu, ja, dukaku dua kali,
Hantjurmu membawa aku mati,
Djika benar kau luka dihati,
Idzinkan aku datang obati......

Dengan sjair-sjairnja Kim-seng, Jeanne paham bahwa tidak dengan kata-kata jang terluap dari lida. Jeanne sudah dapat mengintip isi-hati dari kawannja itu.

*

Kewadjiban Kim-seng di Surabaja telah selesai, ia harus kembali ke Makassar......

Dua hari sebelum Kim-seng berangkat suami Jeanne telah datang kembali...... Dengan tidak ada maksud jang aneh, sengadja seperti tidak disempatkan perkenalan antara suami dan kawan Jeanne itu....

Kebetulan sekali, ada perobahan pula, keluarga Jeanne pinda kesatu rumah disalah satu tempat. Ja, sebetulnja kalau Jeanne satu bulan dimuka sudah tiada tinggal lagi di Hotel, tentu kisah ini tidak terdjadi...... Tetapi ini sudah maunja kehidupan ― tidak ada tjeritera tentu tidak ada keramaian hidup, dan tidak ada jang gandjil², tidak ada kehidupan jang mudjidjad......

Pindanja Jeanne seakan-akan mendadak, hingga waktu Kim-seng berangkat dengan pesawat terbang ke Makassar, sama sekali ia tidak dapat memberi selamat tinggal, selainnja satu surat jang Jeanne berikan adres bukan...... dirumahnja sendiri.

Kim-seng berangkat dengan „djiwa” jang ketinggalan di Surabaja......

Apa jang tidak dapat diutjapkan oleh lida, Kim-seng sekarang menulis. Dengan surat² jang saderhana, pendek, ringkas dan gampang dimengarti, Kim-seng membongkar perasahan hati dalam keadaan jang terbatas......

Seperti paham apa jang mungkin dan tidak mungkin, Kim-seng menulis pahit² dalam surat...

Kasih-sajang jang meliputi keadaan mereka itu, bukan tjinta napsu dan serampangan, tetapi susunan kasih-sutji jang tidak berkahendak mentjari keuntungan dari bunganja...... Mereka hendak saling mengisi tempat jang kosong. Mereka hendak saling menghibur dan meramaikan tempat jang sepih......

D j i k a Jeanne betul-betul tidak merasa beruntung dalam kehidupannja, dan tidak dapat dirobahnja lagi, Kim-seng seakan-akan bersedia untuk melakukan satu kewadjiban sisa, memberuntungkan Jeanne dan membawa Jeanne ketempat jang di-tjita-tjitakan itu......

D j i k a Kim-seng selalu patah, rusak, dan hantjur kehidupannja, karena selalu tidak perna merasakan beruntung dalam riwajat-kehidupannja jang penuh dengan derita, Jeanne seakan-akan hendak mewadjibkan dirinja guna mengisi sisa kamar hati dari Kim-seng dan ingin supaja dapat mendjadi satu „isteri tjita-tjita” jang di-impi-impikan oleh penjair itu......

Tetapi sebelum djembatan-mas itu dibuka dengan resmi satu dengan lain, mereka hendak berunding matang-matang....

Mereka tidak hendak djadi batu sesalan dikamudian hari djika terdjadi apa-apa jang tidak mesti, Mereka hendak menghabiskan segala kisah jang lampau, mereka hendak memberikan segala tjatjat dosa...... Mereka harus bertemu dan bersatu dengan bersi, dengan djiwa jang rela ichlas...... Mereka bukan pergabungkan nasib dari permulaan jang bermula, tetapi satu permulaan dari penghabisan......Satu permulaan dari babak achir dengan sisa jang tidak terlalu pandjang...... Maka mereka telah timbang menimbang dengan perasaan jang dingin, bukan, dengan kesusuh dan pikiran panas....

Tetapi dingin atau panas, api tjinta tetap membakar......

Tjinta makin ditahan-tahan makin berapi......

Djika api sudah menerbitkan kebakaran besar.....?

*

V. MIMPI.

Ku-ingin hilup dalam mimpi,
Dalam mimpi merdeka mimpi,
Tiada tali, tiada kendali,
Apa kainginan dapat djadi.

Dalam mimpi bebas merdeka,
Merdeka meritju fatamorgana,
Dapat djadikan apa nan tiada,
Segala takmungkin dapat ditjipta,
Creatie-fantasie dalam tjinta,

Bertemu kebeneran dimuka mata.
Dalam mimpi dapat kupunjakan:
Tiap sitjantik dalam bajangan,
Tiap si-molek dalam pelukan,
Tiap simanis dalam tjiuman.

Surat-surat untuk Jeanne, dibuka oleh Jeanne, bukan oleh Jeanne!!

Surat-surat dengan "I love you" atau tidak dengan "I love you".

Pembatja tentu tidak bingung, Jeanne dan bukan Jeanne.

Maka surat-surat untuk Jeanne lalu dibuka oleh Jeanne, adik dari Jeanne jang mengaku Jeanne, dengan begini rahsia terbuka......

Jeanne dapat mengarti, bahua ntjinja terlibat dalam satu schandal-tjinta......

Jeanne jang mengaku Jeanne jang sebetulnja Aida, marah karena surat-suratnja dibuka dan dianggap telah dicensor oleh adiknja......

Adiknja marah pula, karena ntjinja (saudara tua-nja) telah berbuat satu perbuatan mesum, sebagai seorang isteri lakukan perhubungan haram dengan orang lain......

„Aku merdeka berbuat apa aku suka, dan diharap kau tidak tjampur halku......” kata Aida dengan marah-marah......

„Aida” kata Jeanne dengan tenang, „gunakan merdeka pada tempatnja.... Kau merdeka berbuat apa jang baik, tetapi sebagai manusia sampurna, kau tidak merdeka berbuat kedjahatan”.

„Kedjahatan? Apa jang kau artikan kedjahatan?” Menanjak Aida dengan bernapsu. „Aku mentjari apa jang aku tidak pernah dapatkan. Sebagai manusia aku mentjari kehidupan jang hidup”. Aku ingin „hidup” dan aku berhak untuk „Hidup”.

Jeanne pandang saudaranja dengan aneh......

Kata-katanja sangat dalam diartikannja......

Sebagai seorang gadis, jang djauh lebih muda usianja, Jeanne tidak banjak tahu sepak terdjang kehidupan...... Tetapi Jeanne hanja tahu satu „soal”. Ntjinja telah terpleset...... Sebagai satu isteri, beruntung atau tidak beruntung, ia tidak boleh tjemarkan namanja, tjemarkan kehormatannja, tjemarkan nama baiknja, dengan lakukan perhubungan jang tidak selajaknja dengan orang lain......

Dengan adanja hal ini, Ntji dan adik djadi berebutan menerima surat......

Tiap-tiap ada surat datang, terutama surat Expresse, mereka berdulu-duluan mengambil dari pos-loper......

„Sebagai satu gadis jang baik, kau tidak boleh membatja suratku......” kata Aida......

„Siapa bilang itu suratmu? Itu suratku? Kepada namaku...... ?” djawab Jeanne......

„Tetapi aku tahu itu bukan untukmu.”

Aida dan Jeanne bersaudara kandung dengan perbedaan umur 14 tahun......

Mereka bersaudara diantara 9 saudara lain......

Walaupun banjak perbedaan umur, Aida Jeanne saling menjinta sebagai saudara lebih dari jang lain.....

Paras kedua saudara itu sama tjantik, sama menarik, ja mungkin...... Jeanne kelihatan lebih berkembang, karena ia masih djauh lebih muda......

Djika mau dipertimbangkan karakter dari keduanja, boleh dikatakan hampir sama...... Sama diam, sama brandal, sama binal, sama kotjak...... sama djenaka......

Nekatnja pun sama, kepala batunja pun tidak beda......

Maklum, sekandung dan sebapa......

Soal surat-surat dari Makassar, merupakan tetap pertikaian jang ramai...... Kedua-duanja tidak mau saling mengala. Tetapi mereka, tetap pertahankan rahsianja satu dengan lain, dan Jeanne maskipun tetap hendak pertahankan Ntjinja dalam schandaal jang ia tahu tidak baik sekali, tetapi rahsia itu tidak botjor sampai kepada jang lain......

Bahkan ibunja sendiri, tidak dapat mengetahui hal ini......

„Aida” kata Jeanne. „Kau tidak boleh madju terlalu djauh. Kau harus mendjaga nama baikmu sendiri, dan kau sudah mempunjai dua anak......”.

Aida sambil bersenjum dalam djengkelnja pandang adiknja jang nakal „Jeanne, apa boleh aku minta, uruskan soalmu sendiri. Soalku biarlah mendjadi soalku......”.

Jeanne goleng kepala.„Tidak, soalmu tidak patut didiamkan......”

„Maumu?” menanjak Aida dengan aneh......

„Putuskan perhubunganmu, atau......?”. Kata Jeanne dengan pasti......

„Oh, rupanja kau berikan aku ultimatum...... Bagus sekali......” kata Aida dengan marah „Jeanne aku merdeka berbuat apa maunja hatiku...... Aku hendak hidup sebelumnja mati......”.

„Tidak...... kau tidak merdeka lagi”. Menerangkan Jeanne. „Kau seorang. isteri, seorang ibu, seorang njonja rumah. Kemerdekaanmu sudah......terbatas.......”

„Rupanja kau tjiptakan satu undang-undang baru? Sedari kapan adinda djelita?” Menanjak Aida dengan mengedjek......

„Ajunda djuwita, atau Ntjiku jang nakal” kata Jeanne dengan aksinja jang brandal.„Djika mesti....adalah aku jang harus menjambungkan ini. Aku merdeka, aku bebas......”.

Aida kaget, pandang Jeanne dengan mengarti dan tidak mengarti......

„Kau kenal Ngko Kim-seng rupanja?” Menanjak Aida......

„Tidak......” Djawab Jeanne dengan ringkas.

„Kau tahu, siapa dia dan apa dia......?” menanjak dan mendesak Aida.

„Siapa tidak tahu dia, The Kim-seng, pelukis jang nakal dan penjair jang brandal, jang buku-bukunja kau simpen sebagai mustika, lebih dari batu Giok jang kau paling sajang...... Ah, Aida, Ntjiku jang manis, aku bukan kanak-kanak lagi, aku sudah dewasa, dan lagi sekali aku katakan. Aku merdeka.....”

„Dia seorang jang bukan muda lagi, bukan djedjaka pula. Ia seorang jang sudah djatuh-bangun dalam lembah kehidupannja. Ia telah berusia 45 tahun, kau paham......?” Menerangkan Aida dengan pasti......

Jeanne bersenjum dengan segala keterangan itu.....

Aida tetap gelisah...... Kamudian dengan pasti Jeanne berkata. „Aku tahu apa jang aku mesti berbuat“ katanja.

Pengalaman datangkan paham,
Kesulitan membawa pengartian,
Tjinta tida ada penghabisan,
Semua adalah permulaan. . . . . .

Tiap Tjinta menjerbuh kehidupan,
Berarti awal perdjoangan,
Tjinta tida ada penghabisan,
Penghabisan hanja kematian,

Penghabisan dari fana,
Permulaan dari Baka. . . . . .

Kekalahan, kehantjuran, kegagalan,
Bukan dasar penghabisan,
Semua adalah permulaan. . . . . .

Bersenyumlah dalam kehantjuran,
Bekuhkan pahitnja penderitaan,
Tjinta tidak dengan kemusnaan,
Bukan tjinta tjita kehidupan. . . . . .

Demikian, seperti tirai telah membuka kisah dibabak pertama, Kim-seng diserbuh oleh Jeanne seperti telah ”diultimatumkan” olehnja. „Aku tahu apa jang aku nanti berbuat?“ dengan menjusul lain „Ultimatum“ dari Jeanne pada Kim-seng, djika ia menolak kedatangannja akan ada sensatie „Pagina-depan“ diharian Indonesia Timur dan Oost Indonesië Bode di Makassar. . . . . .

Nekatnja Jeanne njata tidak kepalang tanggung.

Mungkin nekat „istimewa“ ini tidak pernah ada dalam kisah. . . . . .

Kim-seng sama sekali hilang akal, dan. . . . . . dalam bingungnja, ia tidak dapat ketemukan lain. . . . . . akal.

Malam itu, Jeanne makan bersama dimedja makan.

Malamnja tidur bersama dalam satu. . . . . . kamar.

Jeanne tukar pakeian dengan merdeka, menukar jurk dengan housecoat, seperti djuga Kim-seng suaminja jang resmi, seperti djuga mereka sudah saling mengarti, sama² menetapi djandji. . . . . .

Kim-seng tjukup sopan untuk pandang semua itu melangkai „perwatasan“, tetapi ia tidak berkwasa melawan. Ia hanja meram, melepaskan matanja dari segala pandangan. . . . . .

„Siotjia“ kata Kim-seng achir-achir. . . . . . „Apa saja boleh bilang jang kau terlalu brandal. . . . . .“.

„Memang. . . . . .“ djawabnja Jeanne. . . . . .

„Saja pertjaja kau seorang gadis. . . . . .“.

Jeanne memotong dengan tjepat „100% Ngko jang nakal. Kalau tidak pertjaja, pereksakan dokter. . . . . .“.

Kim-seng telan luda. Dengan menjerbu, ia merasa diserbu. . . . . .

„Apa kau tjintakan saja?“ Menanjak Kim-seng dengan berani. . . . . .

„Kita baru bertemu, tjinta belum sempat bertamu“ katanja Jeanne.

„Apa kau tjintakan saja?“ Mengulang Kim-seng.

„Tidak. . . . . .“ djawabnja Jeanne. . . . . .

„Djika demikian, mengapa kau datang, tinggal sekamar dengan saja? Apa kau tidak kuatir. . . . . .? He-hm, djangan lupa, saja satu manusia biasa, bukan pendita Zusje. . . . . .“ kata Kim-seng dengan undjuk aksi brandal. . . . . .

„Saja datang sebagai wakilnja Aida, dan saja nanti berbuat seperti apa jang Aida berbuat, saja nanti djalankan segala rol jang akan dibawa oleh Aida. . . . . .“ kata Jeanne.

Kim-seng sekarang tertawa. Rupanja ia hendak main-komedie dalam komedienja. . . . . .

Ia tjoba bikin dirinja seperti satu Arek-Surabaja sebagaimana digambarkan oleh Kang-hoo.

„Oh, djika demikian, mengapa kau tidak berikan saja satu tjiuman. . . . . .?“ menanjak Kim-seng dengan tidak sungkan-sungkan, karena rupanja sudah kepalang. . . . . .

„Pardon, tidak ada prempuan datang tjium djantan. . . . . .“ kata Jeanne dengan angku. . . . . . „Kau tentu mengarti, Aida bukan perempuan jang. . . . . . murah“.

„Kalau begitu djantan akan datang tjium perempuan. . . . . .“ katanja Kim-seng jang lalu menghampiri. . . . . .

Jeanne tidak lari, dan tidak kelihatan djeri. . . . . .

Sudah kepalang Kim-seng madju.

Sudah kepalang Kim-seng menjerbu. Mundur lagi tentu, ia tidak mau. Sekali madju tetap madju, dan. . . . . . harus Vini Vide Vici.

Kim-seng pelok dan tjium Jeanne dengan tjara brandal. . . . . .

Jeanne manda tetapi tidak membalas. . . . . .

„Belum perfect. . . . . .“ kata Kim-seng. „Kau tidak membalas tjiumku, sebagai kekasihku, atau wakil kekasihku jang datang dalam djarak djauh, terbang dari Surabaja ke Makassar. . . . . .“.

Jeanne dengan tenang, tidak senjum tidak ketawa, tatkala ia berkata. „Saja tidak pikir, jang kau pernah tjium Aida, atau sedikitnja Aida pernah membalas tjiumanmu. . . . . .“.

„Bagaimana?“ Menanjak Kim-seng, „Saja kurang paham“.

„Djika kau tjium Aida seperti kau tjium wakilnja, saja tidak pikir jang Aida bisa djatoh hati padamu...... Kau bukan seorang jang muda, bukan seorang jang tjantik, bukan seorang jang aksi, dan bukan satu...... Ardjuna......”.

„Bagaimana?” mengulangkan Kim-seng. „Belum djuga aku paham”.

„Tjara menjiummu, maaf, setjara Cowboy liar, dan saja tidak mengarti Aida bisa tjintakan kau, djika dia tahu mentaliteitmu......”.

Kim-seng tertawa...... Rupanja aksi-brandalnja hendak diteruskan......

„Njata kau tidak puas, Siotjia jang sopan?” menanjak Kim-seng dengan buka besar² matanja......

„Saja ketjelee......” djawabnja Jeanne dengan ringkas.

„Dan, saja girang djika kau tidak teruskan niatmu jang gandjil. Besok, saja bisa atur kau pulang ke Surabaja, malam ini kita bisa atur lain kamar...... Djangan terlalu berani main api...... Kau seorang gadis Timur, djangan terlalu...... mabur”.

Jeanne pandang Kim-seng dengan tidak berkedip.

„Apa kau bilang?” Menanjak Kim-seng dengan aksi tetap srobotan......

„Tjukup djauh saja datang dari Surabaja ke Makassar, dan saja tidak akan pulang, sebelum kewadjiban saja selesei...... Selamat malam”.

Jeanne lemparkan dirinja ditempat tidur, dan lampu dipadamkan, hingga Kim-seng hampir bertriak.... karena kaget.

Malam jang kelam......

Paginja, dikala Jeanne bangun, ia dapatkan Kim-seng tidur diatas dua korsi dengan meringkuk.

Aku senang mimpi,
Ingin beladjar mimpi,
Karena mimpi molek,
Mimpi itu menarik......

Dalam mimpi segala mungkin,
Mimpi penuh dengan ketjantikan,
Dalam mimpi, aku kawin,
Dengan bidadari dikajangan......

Betapa moleknja mimpi,
Siapa tak-ingin mimpi,
Melamun dalam sendiri,
Mimpi menjusun kasih.

Tetapi Amboi, mimpiku sekarang,
Melihat djin, melihat saitan,
Semua bidadari berubah ketakutan,
Didekati kabur kalang kabutan......

Kini kutjari kebeneran,
Karena kebeneran ja kebeneran,
Apa masa―apa zaman,
Kebeneran tetap digaris depan,
Impian penuh ketjantikan,
Tetapi impian adalah kedjustaan.
Sekali ini kumimpi kepahitan,
Karena bidadari kesetanan.....

Apa boleh buat,
Ini satu peladjaran,
Siapa lebih kuat,
Impian dan Kebeneran?
Kepahitan dalam mimpi,
Kanisan di-Kebeneran-Sutji!

„Hai, suami Cowboy” kata Jeanne jang membangunkan.„Fadjar telah menjingsing”.

Kim-seng jang masih ngantuk merasa djengkel.

„Tinggalkan aku sendirian. Bini. Aku masih kepingin mimpi......”.

Jeanne tidak perduli apa djawaban, ia buka semua djendela, dan ia hendak pula buka pintu, hingga dengan gelagapan...... Kim-seng kepaksa bangun......

„Oh, Tuhan......” kata Kim-seng seorang diri.

„Apa ini jang dinamakan impian ?”

„Mau ketemu Allah Minggu di gredja” kata Jeanne. „Mau ketemu mimpi, malam nanti, djika matahari sudah sembunji. Kini mari, bangun, lelaki......”.

VI. GELAP.

Ku-ingin mentjari penerangan,
Sesudah lama diselubung kegelapan,
Aku ingin bertemu kebeneran,
Melepaskan diri dari kekalutan.

Gelap, gelap, gelap gelita,
Tak'ada sesuatu kupandang njata,
Diriku sendiri taktahu dimana,
Hilang jakin, hilang rasa,
Disisiku kosong, disisiku hampa,
Hanja terdengar suara tertawa,
Tertawa edjekan dari pantjaindra.

Dalam kegelapan, hilang paham,
Dalam penerangan, hilang ketertiban,
Njata tetap hilang kesampurnaan,
Hidupku didunia fana sebagai insan.

Djika Kim-seng tidak dapat mendjundjung Jeanne, jang telah pertarokan dirinja, sebagai hidangan diatas medja, manusia bisa persalahkan Kim-seng, terutama Kang-hoo, si-wartawan liar......

Apa kurang dengan Jeanne?

Tjantiknja, boleh dikurangkan, jalah kira² sama tjantik dengan Aida.

Djika sama tjantik, tentunja Jeanne lebih tjantik....

Jeanne lebih muda, Jeanne lebih gembira, Jeanne lebih merdeka.

Berbedah 14 tahun, bukan satu langka usia jang pendek......

Aida banjak kelihatan sunji dalam gerak-geriknja walaupun tetap bebas, tetapi sudah tentu Jeanne lebih bebas dan lepas.

Aksi Aida tentu agak terbelenggu karena, usianja sudah lewat 30 tahun...... Belum tua, tetapi sudah melampaui usia anak-anak, atau sedikitnja usia remadja, usia gadis gembirah.

Sebagai seorang gadis jang baru berusia 19 tahun, adalah Jeanne lagi mendarat di-usia jang berhahaja (Dangerous age). Dalam usia beginilah gadis-gadis binal bikin sedjarah.

Dalam usia sebagai Jeanne, adalah merupakan satu usia mas, dalam mana lagi hangat-hangatnja tjiptakan segala kemustahilan. Mempunjakan segala kebranian. Membubung segala kegaiban dan tidak ada pertimbangan bertentangan. Tiap² tjita-tjitanja didjadikan menurut maunja sang hati, tidak perlu ada pertimbangan dua kali......

Selain itu, makin lama dipandang, makin njata Aida dan Jeanne hampir serupa dalam tjorak parasnja......

Tjuma persamaan itu tidak njata, karena perbedaan usia......

Bisa datang pertimbangan jang tertib sesudah orang memandang dengan hati, dengan ajunan semangat, dengan djiwa jang mulai menembus keluar dari raga......

Tetapi Kim-seng bukannja seorang Don-Juan tjap Brandal-Liar......

Kim-seng tetap memegang djandji hati, memegang disciplin jang sudah ditetapkan oleh djandji-djiwa terhadap Aida. Datangnja Jeanne tidak dapat merobahkan djiwa jang sudah disusun setjara samar oleh mereka berdua dikala mereka djadi tetangga......

Perdjandjian dalam sama paham, tidak resmi dan belum formeel, tetapi...... Kim-seng pandang, bahua tiap-tiap satu putusan akan merupakan satu naska jang tidak boleh dirobah......

Djandji dengan surat, atau djandji dengan kontrak, itu hanja mengundjukan betapa rusaknja manusia mulai terlalu pintar akan bertjurang. Tetapi djandji hati adalah tetap djandji aseli......

Tidak perduli apa dan kenapa dengan Aida, adalah tetap Aida jang dipudja, bukan Jeanne jang sekarang...... menjerah, karena hendak menolong saudaranja, hendak melepaskan schandaal, hendak melepaskan kemesuman dan kekotoran dalam masjarakat manusia......

Pergaulan antara Kim-seng dan Jeanne, tetap mendjadi pergaulan dalam merdekanja, bersatu kamar sebagai suami isteri ditulisan buku Hotel, Mereka tidak saling merapat, dan tidak saling mentjari kauntungan dari segala kesempetan......

Tidak ada manusia mungkin dapat pertjaja......

Hanja boleh djadi hanja Tuhan dapat memberi keterangan jang benar.....

Tetapi kebeneran dari Tuhan tidak dapat langsung disampaikan kepada manusia......

Demikian, suami isteri itu tetap menerima dalam keadaannja jang pintjang...... Jeanne tidur ditempat tidur, dan Kim-seng meringkuk dikorsi......

Bagaimana Kim-seng mimpi? Bagaimana Kim-seng mengeluh, itulah dirasakan oleh dirinja sadjah. Tidak ada protest, karena itu sudah diniat......

Lowongan tempat tidur, tetap diberikan oleh Jeanne dengan niatnja jang pasti, ia hendak berkorban untuk saudaranja...... Tetapi Kim-seng terlalu sopan hendak mentjari kauntungan dari kesempetan itu......

Sampai sebegitu djauh, Kim-seng tetap merasa bingung dengan keinginan Jeanne......?

Apa kehendak jang sebenarnja?

Apa tjuma karena hendak menolong saudaranja, Jeanne bersedia berkurban begitu besar?

Djika Kim-seng bukan Kim-seng, apa tidak djadi sesalan untuk Jeanne, jang nistjaja, akan terusak kehidupannja jang bakal datang....

Kim-seng tidak pertjaja bahua Jeanne tjintakan dia......

Tidak ada tanda tjinta disinaran mata......

Satu-satunja jang Kim-seng tidak dapatkan pada Jeanne, adalah sinaran mata gadis itu kosong dalam binalnja. Pada mata Aida terlihat satu sinaran agung, melepas, memberikan apa-apa kepada hati disebrang. memberikan djembatan untuk djiwa dapat bertemu, seperti ada pelangi mas menjambung dari satu kelain sebelah......

Tetapi sinaran mata ini tidak ada sama sekali pada Jeanne......

Sinaran matanja Jeanne sama manisnja dengan sinaran matanja Aidah, kadang² terlihat lebih berkilauan, tetapi dalam menjalanja, tidak ada api......Tidak ada api jang membawa hangat, mendatangkan panas, dan mengirimkan sorotan ke lain sebrang......

Tetapi dengan pelahan dan pasti, Kim-seng pandang Jeanne lebih tjantik dan lebih tjantik. Djiwanja makin hidup dan lebih hidup. Gerak-geriknja tamba djelita dan lebih menarik rasa......

Ahai, apa Kim-seng sudah djato? Lupa kepada Aida?

Tidak...... atau...... Belum.

Kim-seng tidak dapat membohongi dirinja sendiri...... Jeanne ibarat kembang, manusia siapa tidak menjukai kembang dan tidak mendjundjung kembang?

Apa jang tjantik tentu mendjadi makanan mata, dan apa jang eilok tentu djadi sensaman djiwa......

Demikian Jeanne terhadap Kim-seng, tidak perduli apa dia dan siapa dia?

Bagaimana dengan Jeanne......?

Jeanne seperti sudah berputusan pasti, ia hendak pelajari segara jang ganas dalam biduknja jang bersendiri...... Ia tahu pasti, ia bakal ditelan lautan, dikala datang taufan dan badai jang garang......

Ia akan menjerah kepada segala kebuasan Alam, atau menjerah kepada segala kebuasan manusia......

Jeanne heran bahua itu...... tidak datang.

Sebagai satu manusia, Jeanne pandang Kim-seng sebagai satu manusia jang liar...... Sedikitnja kesopanannja tidak tebal, akan ia dapat pertahankan prikamanusiaannja...... Djika Kim-seng ada mempunjai liang-sim tebal, tentunja Kim-seng tidak akan menggoda Aida, atau menerima binalnja Aida......

Dengan timbangan ini, ia tahu bahua ia tidak bakal terlepas dari satu kemesuman.

Njata, datangnja Jeanne ke Makassar, sudah nekat betul, dan sudah „pas” betul......

Tetapi tjorak Kim-seng bukan Kim-seng dalam impiannja...... Bukan Srigala-liar jang lalu hendak menerkam korbannja apabila mendapat kesempetan,dan kesempetan telah diberikan seluas-luasnja......Tidak akan ada kesempetan lain jang satu lelaki pernah dapatkan seperti jang telah didapatkan oleh Kim-seng pada waktu itu......

Jeanne tidak terlalu menantang akan menerima segala akibat jang ia tidak dapat bajangan dengan benar. Jeanne bersedia menerima segala kemungkinan, bukan karena ia seorang gadis tjentil jang hendak mentjari pengalaman dari dewasaannja...... Siapa jang kenal Jeanne, dari masih dibangku sekolah rendah, kamudian di sekolah menengah, Jeanne ada seorang gadis jang pandai mendjaga kehormatan. tidak sembarangan, tidak banjak kelajapan, sebagai kebanjakan gadis-gadis jang modern......

Jeanne, berani, merdeka, bersemangat, bebas......tetapi...... tidak genit.

Dengan pelahan dan tentu, Kim-seng merupakan berlainan dari apa jang semula diduga. Jeanne tidak lekas ketarik atau lekas djato hati, tetapi ia mulai hormat kepada Kim-seng, dan ia merasa bahua Kim-seng pantas dihormati......

Selalu berdua dan tetap berdua, dalam djiwa jang tidak bersatu, sudah tentu mereka tidak merasa „dirumah” dalam kamarnja...... Biarpun sudah mulai ada paham dalam pendirian keduanja, tetapi tetap mereka asing dalam pergaulannja. Belum ada kata² persahabatan, karena belum terlahir perasahan persahabatnja itu......

Semata-mata untuk adat-istiadat, Kim-seng tawarkan ke bioscoop.

Tawaran itu diterima baik dengan tidak banjak tjerewet.

Mereka tidak pergi djauh², disebelah Empress Hotel ada Empress Theater jang baek......

Orang luar, tidak dapat menduga, bahua mereka ada pasangan jang gandjil......

Mereka tidak banjak berkata-kata, selainnja kata seperlunja, tentang keadaan kota dan sebagainja, tetapi paras mereka tenang dan tertawa, penuh gembirah kelihatannja, hingga njata mereka tjukup pandai dalam beraksi sandiwara.....

Sesudah bioscoop mereka pergi makan apa² di Empress Restaurant diatas loteng Bioscoop...... sebagai selingan „Makan Hotel”.

Raga agak mendekat, tetapi djiwa tetap mendjauh......

Diwaktu siang hari, Kim-seng keluar dalam kewadjibannja mentjari apa-apa, dan Jeanne tinggal dirumah sebagai isteri jang baik.....

Diwaktu Kim-seng menulis atau mengambar, Jeanne tetap tidak menganggu. Kadang² tawarkan apa² jang diterima dengan saderhana oleh Kim-seng djika memang perlu dan mesti.....

Pelajan dan kwasa Hotel pandang mereka itu, sebagai pasangan jang bisa dibuat mengiri...... Sopan santun, saling hormat, tjuma agak pintjang dalam usia, djustru ini mendjadi satu pertimbangan sutji, bahua iketan kasih mereka terbit dari budi jang tinggi.......

Jeanne kurang menjukai membatja buku² Melaju. Tjuma satu dua kali membatja sjair Kim-seng jang romantisch, diwaktu ia tahu bahua antara Ntjinja dan penjair itu ada hubungan tidak selajaknja, dan..... selain itu, adalah membatja surat² Kim-seng jang amat teratur bunjinja, tidak terlalu romantisch, sopan, tetapi masuk dihati......

Satu hari tatkala Kim-seng pergi keluar, kebetulan masih berada dimesin tulisnja, Jeanne dapat batja susunan Sjair jang ia batja dengan ketarik......

KEHIDUPAN!

Aku ingin tertawa dalam duka,
Aku ingin menangis dalam suka,
Dalam kehidupan suka dan duka,
Taklain meritju penggoda djenaka.

Hilang harapan dalam penderitaan,
Senjum girang dalam kemanisan,
Lekas dan lambat ’kan datang giliran,
Susa dan senang senantiasa bergantian.

Bertenanglah dalam duka-nista,
Bersabarlah menjambut serbuan meria,
Djika datang keadaan sebaliknja,
Gontjangan djiwa tak’kan terasa.

Girang dan sedih adalah sama,
Suka dan duka satu keluarga,
Djika pahit-manis terasa serupa,
Barulah kehidupan aman-bahagia.

Jeanne membatja ini terbajang paras Kim-seng...

Sjair ini merupakan penerangan, mengapa Kim-seng selalu dapat menahan sesuatu gontjangan dikala ia mendapat serangan......

Ia mulai paham, Kim-seng telah menjelami suatu pengalaman hidup dalam banjak kepahitan diantara banjak kemanisan, dan kini Kim-seng tjoba akan persatukan pahit dan manis dalam satu rasa......

Datangnja sympathie Jeanne mulai melipat ganda......

Waktu Kim-seng kembali, dan sesudah makan tengahari, dalam kamar Jeanne membuka kata²......

„Saja telah mentjuri batja sjair Ngko jang masih melengket dimesin tulis......” kata Jeanne.....

„Kau tidak mentjuri, karena sjair itu tidak tersembunji.....” kata Kim-seng.

„Dalam sjair itu terdapat keinsjafan jang sampurna sebagai manusia...... Ngko rupanja sudah djalan djauh dalam lembah kebathinan......” kata Jeanne.....

Melihat pokok bitjara, Kim-seng ketarik......

„Rupanja dalam usia jang muda kau menjukai isi kebeneran?” menanjak Kim-seng......

„Ah, tidak......” kata Jeanne jang tidak hendak lari djauh dari tudjuan perkataannja. „Menurut sjair Ngko, njata Ngko seorang jang banjak insjaf...... Maka, apa Ngko tidak satu² kali tjoba berhening, mengheningkan tjipta, apa ada perbuatan Ngko jang tidak sesuai dengan keinsjafan......?”

Kim-seng merasa terpukul......

„Terhadapmu jang kau maksudkan?” Menanjak Kim-seng jang hendak madju langsung, tidak usa mengambil djalan belok-belok......

„Tentu bukan terhadap saja” kata Jeanne sambil memandang. „Terhadap Aida, saudara saja......”.

Djika dipandang menurut pandangan mata, keadaan mereka seperti berkata-kata dalam susunan madu. Jeanne tengkurup ditempat tidur, dan Kim-seng duduk didjubin tegel jang litjin...... dalam suasana jang indah......Kim-seng tidak lekas mendjawab perkataan Jeanne itu......

„Aida sudah kawin. Sudah mempunjai dua anak jang sangat ditjinta oleh kedua ibu bapanja......”kata Jeanne dengan pelahan......

„Tetapi hidup Aida tidak beruntung, tidak mendapat berkah dari tjita-hatinja.....” Memotong Kim-seng.

Jeanne dengan tjepat memotong kembali. Baiklah, tetapi saja akan pulangkan kata² sjair Ngko Kim-seng sendiri. Djika Aida tidak merasakan beruntung dan tidak merasa terberkah, itulah oleh karena mereka hilang dan lari dari keinsjafan......Aida hendak minta lebih dari apa jang telah didapatnja. Aida dan suaminja mempersatukan hidupnja menurut kamauannja sendiri...... Sesudah kawin 14 tahun, lalu datang sesalan karena merasa tidak beruntung, apa Ngko bisa menerima alasan jang demikian? Menurut pendapat saja, itu hanja penggoda, dimana manusia tidak bisa bedakan apa jang dinamakan manis dan pahit, suka dan duka...... Mereka tidak hendak mentjari paham, seperti dahulu dikala mereka mentjari paham dalam persatuannja............. Aida dan suaminja sama2 hilang budi, dan Ngko Kim-seng selama dalam revoutie kehidupan mereka itu, tidak boleh Ngko tjiptakan provoeatie, kemudian Ngko djadi pentjuri.....".

Kim-seng didongengkan oleh Jeanne, seperti ia berada dalam gredja, dibatjakan bijbel oleh seorang padri....... dibatjakan Quraan oleh seorang Ulama.

Dalam paham jang tidak paham, Kim-seng datang kan satu pertimbangan... bahua Jeanne berkata di atas kebenaran......

Memandang Jeanne, jang begitu muda, jang begitu manis, tidak pantas ia dapat berkata begitu rupa, sebagai djuga seorang tua jang mempunyai banjak pengalaman dalam derita......

„Djika Ngko tjinta kepada Aida, hal ini tidak dapat dipersalahkan, tetapi sedikitnja Ngko harus berkesian kepada Aida...... Kesian kepada Aida, tidak hanja untuk dia sendiri, tetapi untuk kedua anaknja, untuk nama baiknja, untuk suaminja dan untuk rumah tangganja....... Berkesian kepada mereka, berarti Ngko berkesian sebagai seorang manusia jang insjaf dan paham kepada kebeneran. Ngko, saja jakin sesudah membatja sjair Ngko, dapat Ngko berbuat itu...... dengan tidak dipaksa. Biarlah paham mendjadi undang-undang......".

Kim-seng tetap membisu, malah ia sekarang tundukan kepalanja......

„Jeanne" kata Kim-seng dengan mendjundjung dibathin. „Njata kau satu bidadari.......".

Pintu terbuka........ Aida berdiri dengan taseh ketjil ditangan......

Kalau ada sepuluh gledeg, menjamber dalam samberan sekaligus, tentu tidak dirasakan begitu kaget, seperti tatkala Jeanne dan Kim-seng pandang Aida jang datangnja begitu tiba-tiba......

„Aida......” Treak Jeanne jang masih kesima......

„Jeanne...... Aida” kata Kim-seng jang agak gupuh......

„Beginilah djalannja tjeritera” kata Aida jang datang sabar, menutup pintu.„Selamat pengantenan, siotjia dan siangsing”.

Jeanne lompat dari tempat tidurnja dan Kim-seng berdiri hendak memberi keterangan, tetapi Aida sudah berkata lebih djauh.......

„Oh, Jeanne, rupanja begini kelakuanmu. Kau harus malu sebagai seorang gadis. Mentjari laki begini djauh, kamudian tinggal dalam satu kamar menjerahkan diri dengan setjara mesum...... Apa jang mama nanti bilang, dan bagaimana kau nodakan nama antero keluarga......” kata Aida.

„Saja terima segala risico karena perbuatan saja, dan saja girang berbuat ini untuk melepaskan satu schandaal......” kata Jeanne mengambil djalan pendek.

„Melepaskan satu schandaal dengan membuat lain schandaal jang lebih mesum. Pandai sekali kau berputar lida, adikku. Djangan lari dari kemesuman sendiri, dengan alasan hendak memberikan kemesuman orang lain. Gadis jang tidak punja malu......”

Aida berkata dengan marah......

Kim-seng berkata „Aida, sedikitnja kau harus sabar, dan berikan kesempatan Jeanne memberi keterangan......”.

„Keterangan? Keterangan apa lagi? Apa tidak tjukup dengan keterangan dari apa jang bisa dipandang oleh mata, dan bisa ditimbang oleh rasa. Kau berdua dalam satu kamar, sudah hampir satu minggu, ada keterangan apa lagi jang bisa diberikan?” Menanjak Aida......

Jeanne madju berapa tindak mendekati Ntjinja....

„Aida dengan maksud apa kau datang kemari? Apa dengan maksudmu jang semulah” menanjak Jeanne dengan menantang......

„Ada urusan apa itu dengan kau? Atau apa sudah gagal maksudmu dengan srobotanmu......?” membentak Aida......

„Djika kau hendak pandjangkan tjeritamu, saja kwatir kau akan menjesal......” kata Jeanne.....

„Djika ada sesalan adalah diriku sendiri jang menanggung sesalan itu, tidak ada sangkut menjangkut dengan kau...... Dan, aku bilang terus terang Jeanne, aku hendak mentjari hidup, dan satu-satunja orang jang bisa berikan aku „hidup” adalah dia...... Aku datang untuk dia, tidak perduli apa terdjadi......?”

Jeanne tidak hendak kepalang beraksi.......

„Ntji, djangan marah, djika keinsjafan tidak datang di Surabaja, saja harap keinsjfan mesti datang di Makassar...... Ntji tidak berhak punjakan dia, karena kau sudah bersuami, sudah mempunjai dua orang anak dan satu rumah tangga, jang tidak dapat dirusakan dengan begitu sadjah. Laginja, harap kau ketahui, kita sudah bersatu...... merdeka sama merdeka......”.

Aida datang dan berikan satu tamperan kepada Jeanne jang tidak melawan......

„Njata kau berani menentang aku, dan terlalu berani kau berlaku kurang adjar...... Kau tidak berhak punjakan dia, karena dia kepunjaanku...... Ngko Kim-seng” katanja Aida sambil memandang kepadanja...... „Bilanglah, kepada ini nona jang belum insjaf, bahua kau kepunjaanku, dan aku kepunjaanmu.....”

Kim-seng, sekali ini dalam selama hidupnja, ia bergumetar berhadapan dengan perempuan demam kehidupan!

„Aku telah insjaf Aida, dan aku harap kau insjaf. Aku tidak hendak menumpuk dosa dengan kau, dan aku harap kau tidak menumpuk dosa karena aku......Aku tjintakan Jeanne, karena dia merdeka......”.

Aida berdiri seperti patung.....

Ia terpukul begitu rupa, hingga ia mendadak djadi bisu......”.

Aida pandang Jeanne jang memandang dia dengananeh! Aida pandang Kim-seng jang pandang ia kembali dengan sinaran mata jang djato......

Kamudian...... ia angkat taschnja,dan keluar kembali......

Kim-seng lalu lari ke pintu dan menahan......

Jeanne menubruk dan memelok Aida......

„Kau hendak kemana, Aida......?” Menanjak Kim-seng dengan hati jang berarakan......

„Aku hendak lari. Aku hendak bersendiri dengan diriku...... Lepaskan aku......” katanja Aida dengan suara hantjur tetapi ia tidak menjerah.

„Tidak Aida, tidak Ntji...... Kita akan sama-sama pulang......” kata Jeanne dengan menangis....

„Sama-sama pulang? Betapa mustahil nona. Aku petjundang dan kau jang menang...... Aku jang pulang atau kau pulang, tidak bisa kita sama-sama pulang......” kata Aida dengan tetap......

„Tetapi...... biarlah kita atur malam ini, bagaimana kau kembali......” kata Kinm-seng.

„Terima kasih......” kata Aida „Aku kwatir, sebagai seorang perempuan jang sudah bersuami, mempunjai anak, dapat aku menguruskan diriku sendiri......”.

Aida berlalu dengan tindakan gaga.

*

Kim-seng dan Jeanne menguntit Aida, jang njata tinggal di Grand Hotel di Hoogepad.

Sore itu djuga, Aida telah dapat menguruskan ticket pesawat K.L.M. dan dengan tjara kebetulan sekali ia tertolong. Dengan pesawat djam 12.15 ia terbang ke Surabaja.......

VI. TERANG

Diatas awan bidawah awan,
Fikiran insan djauh melajang,
Diantara kosong dibalik awan,
Manusia bersenda dilangit bintang.

Djauh kelangit djauh kebumi,
Tiada sesuatu kanan dan kiri,
Hanja halimun dan mendung putih,
Tersenjum simpul diudara tinggi,
Disini keinsjaian datang sendiri,
Kesadaran dari kebeneran sutji.

Sesudah gelap datang terang,
Sesudah hudjan, tjuatja gemilang,
Manusia mabok dosa kehidupan,
Maboknja hilang datang kebeneran.

PESAWAT K.L.M. bawa terbang Aida dalam perdjoangannja jang kosong.

Pulang sebagai petjundang......

Menjusul hati jang hilang, hati jang hilang disrobot orang...... Menjusul kasih jang terdjandji, kasihnja jang sutji sudah tertjuri......

Dia, Kim-seng dalam diam dan agungnja, jang ia pertjaja 100 kali lebih dari pada dirinja sendiri, telah pukul ia hantjur dalam perdjalanannja jang salah... Tetapi dalam kesalahan jang pertama orang djarang paham salahnja......

Aida hendak mentjari kebeneran dari hatinja sendiri, hendak mentjari bebas dari deritanja jg sempit... Hendak mimpikan tjitranja dalam kehidupan jang mustahil. Telah diniatnja dengan pasti, ia meninggalkan segala sesuatu jang sutji, karena ia paham disana ia tidak bersenjum lagi... Biarlah ia terbangi mendung jang hitam, pelajari segara jang liar, asal ia dapat bersenda dengan satu kehidupan, seperti manusia lain berhak untuk hidup.

Dalam kesalahannja jang pertama, dalam usia jang mengambang, ia telah terpleset...... Sekali ini ia tidak akan terpleset lagi......

Aida bukan perempuan jang rakus lelaki... Sesudah suaminja adalah Kim-seng jang mentjuri djiwanja jang sutji... Ia telah tahu apa dan siapa Kim-seng, ia telah pastikan pertimbangannja tidak boleh keliru.....

Bukan sedjam dua djam ia berpikir, bukan sekali dua kali ia menimbang. Ia telah selenggarakan satu persidangan resmi dalam hatinja... Perdebatan seruh ia telah tjiptakan dalam permuswaratan pantjaindranja... Dengan suara hampir bulat, ia diharuskan berdjoang untuk mentjari hidup......

Ia terbang ke Makassar dalam dua tudjuan...

Kembalikan Jeanne dan insjafkan dia dari perbuatannja jang salah, gandjil dan mimpikan sesuatu jang tidak mungkin. Menangkan Kim-seng atau menangkan perdjoangannja jang telah teratur rapi guna mentjapai...... kehidupan jang datangkan hidup......

Helaas, tidak sedikitpun ia menjangka-njangka, ia dapatkan apa jang ia telah lihat......

Jeanne dan Kim-seng mendjadi satu......

Jeanne mengambil tempatnja jang resmi, dan Kim-seng dengan putusan jang tidak pernah ia sangka² rubuh dan kedjebak dalam perangkap adiknja......

Djika langit runtuh dan bumi ambles, Aida mungkin tidak rasakan sehebat ia dihantjurkan diwaktu itu......

Dalam gagalnja, dalam sedihnja dan dalam ketjelenja, ia ingin menangis dengan segala air mata jang bisa diperes... Tetapi, ia merasa terlalu sombong untuk kutjurkan air mata sebagai petjundang dihadapan orang2 jang petjundangi dia......

Ia pertahankan, ia simpan air mata itu, sehingga ia berada sendirian......

Dalam duka nestapa jang amat besar, sebagai petjundang jang njata-njata...... petjundang, dalam sendirian tiada berkawan, takdapat dinjatakan bagaimana Aida dapat...... berdiri......

Sombong dan angkunja, ia hendak memperlihatkan, ia dapat bersenjum dalam limbung, dan ia dapat tertawa...... selagi nasib-badan sebagai lajangan jang putus...... Taktahu akan djatuh dimana......

„Happy landing” atau salinan kasarnja „Selamat mendarat”, ia seruhkan kepada Jeanne dan Kim-seng, dua-dua penjerobot dan extremist dari perdjoangannja mentjari,,hidup”.

Langit mendung dan mengantarkan hudjan ketjil dikala Aida kembali dengan pesawat terbangnja jang kemaren djuga...... Dengan dia datang, dengan dia pulang...... dengan tangan kosong, hati kosong, djiwa kosong.....

Tatkala pesawat meninggalkan lapang-terbang Mandai, Makassar, Aida tidak tahu dimana hatinja ketjetjeran dan ketinggalan, tetapi itu sudah mestinja begitu, tidak dapat mendjadi lain...

Demikianlah manusia selalu mentjari-tjari apa jang ia tidak mesti dapat, atau kadang² memaksa mentjari... Lalu kamudian, djika ia tidak mendapat atau kehilangan apa jang ditjari dengan paksa, datang rasa ketjele dan penasaran karena ia telah kehilangan......

Ia belum sesunggunja mendapat, djika gagal mendapat, lalu merasa kehilangan, demikian manusia mentjari kesulitan dalam tidak ada, „apa²” sebetulnja......

*

Jeanne jang brutal, binal, nekat, jang telah berani hendak tjiptakan sensatie dalam avontuurnja... Hendak tjiptakan kegaiban dalam jg tidak semestinja... Berani hadapi segala kedjadian dan tanggung djawab jang paling gandjil dalam riwajat manusia... Njata bertemu Kebeneran jang Benar, Jeanne kesandung dengan hatinja sendiri......

Jeanne hilang kwasa atas diri dan hati, Jeanne hilang control atas kepala dan otaknja jang normaal. la seperti melihat aneka warna dalam tidak mengerti, seperti ia mimpikan berdjenis mimpi dari segala kemudjidjadan jang tiada nama dalam dunia...... nidrja dunia mimpi.

Jeanne paham ia berbuat benar. Tetapi ia tida tahu sampai berapa djauh kebeneran akan dapat membenarkan dirinja. Aida pulang dengan tenang dipaksa, padahal dihangati oleh angkara murka jang takdapat rela. Apa akan terdjadi dengan Aida, djika ia hilang control atas diri dan djiwanja?

Maksud keinginannja sudah bulat dan pasti, ia hendak kembalikan Aida pada kebeneran, walaupun dengan berbuat itu, ia akan berkurban seluruhnja, djiwa, raga, kehormatan, hati, dan segala sesuatu dalam dirinja......

Jeanne sekarang telah dapat kemenangan...... !

Ia telah bisa paksa Kim-seng mengaku pula, bahua mereka sudah bersatu dalam susunan, seperti kata pribahasa se-ija se-kata, setidak sebulan, gabungan kasih mati-matiaan......

Totaal kemenangan jang bulat...... 100% !!

Jeanne hendak melepaskan Aida dari tali jang ruwet mengikat, sekarang ia sendiri terdjiret......

Sesungguhnja ia belum paham akan kisahnja sendiri, ke plot mana dan tendenz mana ia bakal berdiri......

Semua babak seakan-akan ia sendiri jang mendjadi regiseurnja... Kim-seng hanja mendjadi pelaku, sebagai hero, sebagai djago, dan Aida sebagai tragediene, sebagai korban dari drama jg diatur olehnja......

Sekarang ia kehilangan tudjuan, ia tidak tahu bagaimana babak achir tjeritera, bagaimana climaxnja? Jeanne kandas setengah djalan, tidak kebentur gunung, tetapi kebentur liangsimnja jg nakal......

*

Kim-seng dengan ketawa jang bukan girang, menghampiri Jeanne sesudah berdjam-djam sama-sama bersendiri mentjari sepih......

„Wel, satu kewadjiban telah selesei......” katanja......

„Selesai dalam tidak selesai” djawab Jeanne dengan tidak menengok......

Kim-seng mundar-mandir dikamar dengan tidak bertudjuan, tindakannja tidak rata, mengundjukan hatinja tidak teratur... Jeanne mendekati.

„Ngko, rupanja datang sesalan besar dengan kehilangan Aida?” Menanjak Jeanne dengan langsung.

Kim-seng djawab dengan sunji „Ja”.

Lalu keduanja lama terdiam.

„Saja mesti berkata menurut suara hati, hatiku luka dan pedih”. Kata Kim-seng kamudian.

„Ja, saja girang Ngko berterus terang...” kata Jeanne dengan sedih.

Tetapi luka itu mungkin sembuh, karena keinsjafan jang sungguh. Aku hampir memesumi suatu penghidupan sutji, memesumi satu keluarga, mendjungdjung satu djiwa hanja untuk membinasakannja......” Kata Kim-seng dengan paras guram.

„Tuhan akan memberkahi Ngko Kim-seng, ini saja jakin” menghibur Jeanne.

Kim-seng dan Jeanne saling pandang lama, langsung, seakan-akan hendak mendjadjaki djiwa......

Jeanne berkata:

„Ngko perlu dengan seorang kawan. Ngko perlu dengan satu djiwa jang selalu didampingmu, hidupmu terlalu kosong dan limbung. Ngko Kim-seng. Apa ngko perlu dengan saja?” Menanja Jeanne dengan tadjam......

„Kisah kita sudah tamat, keinginanmu sudah tertjapai, kau mau apa lagi? Sudah habis?” kata Kim-seng......

„Apa ngko perlu dengan saja?” Mengulang Jeanne dengan pertanjakannja.......

Kim-seng mendekati dan pegang kedua pundak Jeanne... Jeanne, boleh aku bertanja dengan merdeka dan dapat djawaban sama merdekanja......?” menanjak ia......

Jeanne djawab hanja dengan memanggut.

„Adakah kau tjintakan saja?” Menanjak Kim-seng dengan langsung......

Jeanne kemekmek untuk semantara...Tidak dapat mendjawab dan tidak berani mendjawab... Tetapi achir-achir ia mendjawab plahan.,,Djika Ngko perlu dengan satu djiwa, sebagai pengganti kehilangan Aida, saja bersedia menggantikan tempatnja?”

„Apa kau tjintakan saja?” Menanjak Kim-seng dengan kaku......

Jeanne pandang Kim-seng dengan perasahan gelisah dan rusuh......

„Ja......” djawabnja dengan suara tidak lampias......

„Djusta” Triak Kim-seng dengan kalap Kau mendjustai aku, kau mendjustai dirimu...... Kau mendjustai duniamu... Mulut dan lida berkata tjinta, tetapi mata tidak bersinar asmara... Tidak Jeanne, aku tidak menerima derma kasih. Saja seorang djantan, saja tidak akan sengadja melukai hati perempuan, semata-mata hanja untuk kesenengan...... Saja tidak sudi melihat kedjustaan dalam susunan kasih dan sajang... djangan kau terus main komidi, kewadjiban sandiwaramu sudah habis...... Kau sudah bebas...... Pergilah kemana kau suka...... Dulu kau datang sebagai taufan, dan sekarang hilanglah sebagai taufan......"

Jeanne tidak tahan lagi remesan hatinja, ia menangis......!

„Ngko, saja minta Ngko bersumpa, berkata terus terang...... Apa ngko tjinta saja......?” menanjak Jeanne dengan suara sesenggukan......

„Menjesal sekali, tidak...” Djawab Kim-seng, dengan ringkas dan hangat.

„Ngko tidak perlu dengan saja sebagai wakil Aida......” Menanjak Jeanne......

„Terima kasih, tidak.....” djawab Kim-seng dengan sama ringkasnja......

„Rupanja, saja tidak ada tempat lagi disini, dan saja mesti kembali......” Menanjak Jeanne.

„Jeanne, kau datang tidak diundang, kau pulang tidak akan terhalang. Kau tetap merdeka, dan tidak terdjadjah......”

*

Besoknja Jeanne berangkat pulang dengan pesawat terbang. Kim-seng antarkan ia sampai di Mandai. Selama perdjalanan Makassar Mandai, dalam auto keduanja tidak berkata-kata, sunji sepih, seakan-akan sama kehilangan djiwa, kehilangan hati......

Tatkala pesawat dekat berangkat, penumpang untuk Surabaja dan Djakarta dipanggil ke pesawat, Kim-seng memberi tangannja sambil berkata: „Selamat merdeka, bidadari binal”.

„Au revoir, penjair brandal” kata Jeanne jang lalu pelok Kim-seng dan tjium ia dengan hangat sebagai pembajaran hutang......

Pesawat K.L.M. membawa Jeanne terbang, tinggalkan Kim-seng diatas bumi mimpi.

*

Malam itu, Kim-seng tidak tahu bagaimana mesti lewatkan djam-djam jang penuh sensatie selagi Jeanne hidup bersatu kamar dengan dia... Kim-seng rasakan lebih tenang tidur diatas korsi dari pada ditempat tidurnja......

Terbajang berbagai-bagai mimpi jang tidak pernah ada dalam kenjataan..... Tiga minggu Jeanne mendjadi kawan hidupnja... Bukan sebagai isteri, sebagai campagnon, tidak pernah ada apa-apa diantara raga dan djiwa... Masing-masing mendjaga kesopanan tidak dengan ketjewa... Saling hormat, saling mengindai dan saling mendjungdjung......

Berlaku sopan santun selagi djiwa mengalun. Mempertahankan napsu buta dimalam gelap gelita... Helaas, ini mengundjukan pengendalian jg tidak mudah dapat dipertjaja... Mereka sudah sama-sama liwati udjian jang amat hebat, mereka sudah dapat melepaskan diri dari krisis jang maha dahsjat......

Sekarang Kim-seng kehilangan.....

Hilangnja Jeanne, seperti hilangnja dunia dengan mendadak sontak......

Sebelum Jeanne datang, keadaan seperti biasa, aman dan tenang.

Lalu datang Jeanne, membawa taufan, gaib dan mudjidjad, banjak sensatie dan banjak fantasie, diluar dari garis programma... Sekarang Jeanne sudah pergi, keadaan sangat sunji......

Djam-djam malam, sehingga ajam djantan berkokok memanggil fadjar esoknja, seperti dilewatkan dalam sewindu oleh Kim-seng...... Sunji jang terlalu sunji, hingga Kim-seng kehilangan dirinja sendiri......

Besoknja ia minta tempat di K.L.M. dan dapatkan pesawat pagi......

Kim-seng berangkat ke Surabaja, kembali ke Surabaja, mentjari apa......?

Tatkala pesawat tinggalkan Mandai, ia kaget dan merasa gaib, mengapa ia ada di Moro Krembangan, datang kembali ke Surabaja......

Kim-seng tidak tahu hendak kemana......?

Lalu ia datang kekantor K.L.M. seperti tidak tahu disuru oleh siapa, menanjak dengan tidak berkwasa atas djiwanja, apa ia dapat menumpang pesawat jang kembali ke Makassar siang itu djuga......

Semua kegaiban, dengan semua kebetulan ketemu kebetulan......

Ada terdapat satu tempat jang baru sadjah penumpangnja cancel perdjalanannja......

Kim-seng naik kembali pesawat dan berangkat ke Makassar......

Diatas udara, ia tidak pertjaja bahua dirinja masih normaal... Tatkala Stewardes bawakan makanan, ia seperti melihat Jeanne pada parasnja Sama tinggi, sama kurus, hampir-hampir sama rupa...... Angku dan kurang bersenjum, demikian Stewardes itu......

„Thanks Jeanne” katanja Kim-seng dengan tidak terasa......

„Sorry Sir, how do you know my name is Jeanne?” (Maafkan tuan, bagaimana kau tahu nama saja Jeanne?”) Menanjak Stewardes itu...

„What is your name?” (Siapa namamu?) Menanjak Kim-seng dengan tidak mendusin......

„Jeanne Sir” djawabanja dengan ringkas......

„Jeanne......? Jeanne? Jeanne?” Sesambat Kim-seng lalu pandang nona itu......

Jeanne si-Stewardes hairan melihat penumpang itu dan menanjak kembali „Ada apa² jang salah tuan......?”

„Ja, semua salah, manusia salah, dunia salah... K.L.M. pun salah” kata Kim-seng tetapi tiba-tiba ia faham, bahua ia lagi ngatjo, maka ia lalu pan-dang nona-pelajan-pesawat terbang itu dan berkata „Oh, maafkan nona...... Jeanne, saja lagi mabok, saja lagi mimpi, saja lagi kehilangan diri......”

„Tidak apa, selamat mimpi di-udara tinggi” katanja jang mendadak djadi manis budi...„Rasanja saja ingin turut bersero dalam sang mimpi......” kamudian nona itu berlalu melajani jang lain......

Kim-seng lalu pegang kepalanja sendiri, dan ia tahu masih normaal......

Achirnja ia bersenjum, sambil mengela napas pandjang, „Saja kehilangan Jeanne, saja ketemu Jeanne...... tetapi biarlah satu „Great love story” sudah tammat dengan...... Jeanne......”

Kim-seng teruskan makan, dan makan selamanja djadi hiburan untuk samentara......

„Happy landing, Ngko Kim-seng” terdengar suara Jeanne bisiki telinganja, dan itu suara Jeanne.

Terbajang pula Aida tidak dengan kata-kata.

Kim-seng kaget dan......


T A M M A T.


Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)