Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyonya Siti Munjiah

NYONYA SITI MUNJIAH

Lingkungan keluarga dan pendidikan di mana seseorang berada akan tercermin pada pribadi dan tingkah laku orang tersebut. Demikian juga halnya dengan Siti Munjiah. Siti Munjiah adalah puteri Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem Bidang Keagamaan Kesultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Anak Raden Kaji Lurah Hasyim semua berjumlah 8 orang, Siti Munjiah adalah anak keenam dari delapan bersaudara. Saudara kandung Siti Munjiah antara lain adalah K.H. Fakhruddin dan Ki Bagus Hadikusumo.

Lingkungan Siti Munjiah dibesarkan adalah masyarakat Kampung Kauman yang dikenal orang sebagai kampung santri, sehingga lingkungan ini memberi pengaruh terbentuknya jiwa dan pribadi anak-anak muda termasuk Siti Munjiah. Masyarakat Kampung Kauman membiasakan anak-anaknya dari kecil terpimpin dan terbina dalam belajar agama Islam baik di langgar atau di mesjid besar Yogyakarta. Kebiasaan sejak kecil dalam lingkungan muslim itu tampak dengan nyata pada Siti Munjiah yang tampil dalam Kongres Perempuan Pertama mewakili Aisyiyah.

Lahirnya pembaharuan Islam yang dipelopori Kiai Haji Ahmad Dahlan membuka wawasan baru dan memberikan pengetahuan yang lebih luas lagi terhadap generasi muda pada zamannya. Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah telah membawa pembaharuan pemikiran umat Islamyang selama ini masih tabu terhadap pengetahuan berasal dari orang-orang Barat. Kiai Haji Ahmad Dahlan menyiapkan generasi angkatan mudanya, khususnya wanita juga mau mengembangkan pembaharuan pikirannya. Karena itu Siti Munjiah diharapkan belajar agama di Madrasah Muslimat Muhammadiyah, sedang tiga orang lainnya yaitu Siti Umniah (ibunya Muhammad Darban), Siti Bariyah dan Siti Badilah Zuber diminta Kiai Haji Ahmad Dahlan untuk masuk ke sekolah umum, yaitu masuk HIS sekolah-sekolah Belanda. Dengan mernperoleh pengetahuan yang bersifat umum dan memperdalam ajaran agama Islam, maka apa yang diperoleh secara bersamaan dipindahkan untuk menggerakkan dan mengernbangkan Muhammadiyah khususnya bagian wanitanya.

Siti Munjiah berperawakan gemuk, agak tinggi, mukanya bundar, sedang kulitnya hitam manis. Dia suka senyum, bicaranya terus terang tetapi tuntas. Wataknya keras, kuat dalam memegang diri sebagai seorang muslimah. Siti Munjiah orang yang sederhana. Pada umumnya wanita ·itu suka memakai perhiasan kalung, gelang, cincin, tetapi Siti Munjiah tidak mau memakai perhiasan seperti kebanyakan wanita yang lain. Emas dan intan tak pernah dipakai tetapi disirnpan dalam bentuk uang. Prinsip disiplin dipegang teguh dan orangnya rajin. Apabila Siti Munjiah memirnpin rapat ia bersikap tegas, tepat bicaranya dan kritis. Siti Munjiah mernilih keterampilan khusus membaca Al Qur'an. Suaranya nyaring, demikian juga tajuitnya bagus. Dia banyak hafal ayat-ayat Al Qur'an.

Setelah dewasa Siti Munjiah menikah dengan Kiai Haji Ghozali dari Kauman. Perkawinannya kurang serasi, sehingga baru beberapa bulan terpaksa bercerai. Sejak hidup menjanda itu Siti Munjiah aktif mengisi waktunya untuk kepentingan organisasi Aisyiyah. Waktu itu Siti Munjiah masih satu rumah dengan Ki Bagus Hadikusumo. Menurut A. Djarnawi Hadikusumo kemenakan Munjiah, bibinya itu orang yang supel. Hubungannya dengan keluarga maupun sesama tetangganya sangat baik.

Waktu bersekolah di Madrasah Muslimat Muhammadiyah kecakapan Siti Munjiah sudah tampak. Dia tergolong murid yang pandai, lancar bicaranya. Bakatnya semakin berkembang setelah mendapat gemblengan dari K.H. Ahmad Dahlan. Ia duduk dalam kepengurusan Aisyiyah. Harapan K.H. Ahmad Dahlan dapat terwujud, karena Siti Munjiah tampil sebagai pemuka Aisyiyah dengan kemampuannya yang dapat dibanggakan.

Sebagai pengurus Aisyiyah Siti Munjiah aktif mengikuti rapat-rapat dan berdakwah ke berbagai daerah antara lain ke Jawa Timur, Jawa Tengah dan juga ke Jawa Barat. Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk keperluan organisasi baik Aisyiyah maupun organisasi-organisasi perjuangan wanita lain pada zamannya.

Apabila ada permintaan ceramah dalam rangka ulang tahun suatu organisasi wanita kepada Aisyiyah, maka Siti Munjiah yang dikirim untuk menyampaikan ceramah tersebut. Hal ini sering dilakukan oleh Siti Munjiah pada Ubelium (Milad), Wanito Taman Siswo. Wanito Utomo, Jong Java dan sebagainya. Apabila ia berpidato dalam organisasi Aisyiyah, ia menggunakan bahasa Jawa tetapi pada organisasi di luar itu dipakainya bahasa Indonesia.

Siti Munjiah dikenal pandai berpidato. Dalam menyampaikan pidato selalu tepat mengena sasarannya karena disesuaikan dengan peserta yang hadir. Berkat kepandaiannya itu orang tak jemu-jemunya mengikuti apa yang disampaikan. Pidatonya disampaikan dengan gaya yang khas, dan sangat menarik para pendengarnya. Topik-topik menarik yang diminta dalam pidatonya itu antara lain masalah wanita berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini jarang orang lain memiliki kemampuan menyampaikan secara jelas tentang hukum Islam. Bagi Siti Munjiah hal ini telah banyak dipelajari sejak remaja dalam asuhan tokoh-tokoh Muhammadiyah baik Kiai Haji Ahmad Dahlan maupun gemblengan dari kakak-kakaknya sendiri.

Hubungannya yang supel dengan tidak membedakan kekayaan dan keyakinan lain menyebabkan kehadirannya dalam berbagai organisasi diterima dengan senang hati. Walaupun Siti Munjiah sejak kecil melaksanakan ajaran Islam dengan penuh ketekunan, namun dalam menyampaikan ceramah tak pernah menyinggung orang yang berpaham lain. Di sinilah kepandaian Siti Munjiah sebagai seorang tokoh organisasi dalam Aisyiyah. Kecakapannya menyampaikan ceramah membawa organisasi Aisyiyah dikenal dengan baik oleh organisasi wanita lainnya. Kesempatan yang baik itu dimanfaatkan oleh Siti Munjiah untuk memasukkan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama Islam. Karena itu tidak mengherankan jika pada Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 Siti Munjiah duduk dalam deretan pimpinan kongres mewakili Aisyiyah.

Isi pidato Siti Munjiah pada Kongres Perempuan Pertama, antara lain dikatakan bahwa bangsa Indonesia khususnya kaum perempuannya telah mulai sadar dan bangun dari tidurya yang nyenyak. Derap perjuangan telah menggema di hati kaum perempuan. Ia menggambarkan bahwa matahari telah terbit menyinari sehingga membawa kebangkitan bagi kaum perempuan dengan diselenggarakannya kongres itu.

Menurut Siti Munjiah Kongres Perempuan Pertama dinilai benar-benar sangat penting artinya karena umumnya para utusan telah menyisihkan waktunya untuk hadir dalam kongres dengan tidak meninggalkan urusan suami, anak, saudara, rumah, pekerjaan dan lain-lain. Mereka datang menghadiri rapat besar itu untuk merundingkan beberapa keperluan guna hidup bersama. Dengan diadakannya kongres tersebut dikatakan oleh Siti Munjiah sebagai suatu peristiwa yang tinggi nilainya, karena secara langsung memberi keuntungan yang besar dan menambah banyak kenalan. Walaupun besar manfaatnya, namun secara jujur dikatakan bahwa ditilik dari persiapannya, penyelenggaraan kongres masih banyak kekurangannya.

Siti Munjiah yang mewakili Aisyiyah mengatakan dalam persidangan bahwa pertemuan sebagaimana diselenggarakan saat itu telah lama dipikirkan oleh Aisyiyah. Aisyiyah mengharapkan suatu pertemuan untuk bertamah-tamah bersama kaum perempuan Indonesia. Pertemuan itu diperlukan untuk membicarakan kepentingan bersama. Karena itu Siti Munjiah menyatakan syukurnya kepada Tuhan karena cita-dta yang telah lama dipikirkan itu dapat terwujud. Selanjutnya ia berharap agar gerakan yang diselenggarakan hari itu terus dipelihara untuk menambah usahanya, dan harus sanggup memberantas dan menghadapi segala rintangan yang ada. Kaum perempuan diharapkan dapat dipertinggi derajatnya yaitu dengan jalan menepati segala sesuatu kewajiban yang bertalian dengan kaum perempuan.

Siti Munjiah mengingatkan kepada peserta kongres bahwa setiap cita-cita yang tinggi dan mulia hanya mungkin dapat dicapai dengan bekerja keras, penuh kesabaran dan tawakal. Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengekalkan barisan persaudaraan dengan kokoh, karena setan selalu berusaha kuat memecah persatuan yang kokoh itu. Untuk mengatasi segala godaan setan yang berusaha memecah persatuan itu antara lain dengan jalan.

  1. Rajin mencari pengalaman dengan tidak memilih-milih ilmu pengetahuan dan memperluas pandangan.
  2. Bekerja dengan penuh kesabaran yang berarti tidak jemu-jemunya melakukan sesuatu dengan cerdik dan berhati-hati.

Semuanya itu hendaknya dikerjakan dengan sungguh-sungguh disertai kebijaksanaan. Selanjutnya Siti Munjiah mengatakan dalam pidatonya bahwa dalam usaha melakukan pekerjaan hendaklah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh disertai kebijaksanaan dan kesucian. Mengenai kemuliaan dan kederajatan menurut Siti Muhjiah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu tinggi budinya, banyak ilmunya, dan baik kelakuannya. Menurut pendapat lama bangsa Indonesia dikatakan bahwa perempuan itu makhluk Tuhan yang paling rendah dan sering dipandang seperti hewan. Karena itu sudah selayaknya kaum perempuan wajib menurut dan setia apa saja yang diperintahkan oleh orang lelaki.

Siti Munjiah menggambarkan dalam pidatonya bahwa orang-orang perempuan baik di Jepang, Cina, Hindustan dan di Tanah Arab diperlakukan semena-mena, dirampas haknya. Bahkan wanita di Tanah Arab dipandang lebih rendah daripada hewan peliharaannya. Banyak anak perempuan yang baru lahir dibunuh dan diperlakukan secara kejam.

Siti Munjiah melontarkan permasalahan yang terdapat pada masyarakat umumnya waktu itu, yaitu banyaknya perceraian antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini dapat terjadi karena adanya perkawinan paksa dari orang tua. Umumnya anak yang akan dikawinkan tidak perlu ditanya dan bahkan mereka tidak saling mengenal antara si perempuan sebagai calon isteri dengan calon suaminya. Menurut Siti Munjiah hal semacam itu harus mulai ditinggalkan. Kebiasaan semacam ini menyebabkan suami dengan seenaknya meninggalkan isteri dan mencari perempuan lain yang disenanginya. Mereka ingin menuruti kehendak hatinya, karena perkawinannya hanyalah sekedar menuruti kehendak orang tuanya saja. Kenyataan ini merupakan kepincangan yang menimpa kaum wanita pada umumnya. Semua itu menurut Siti Munjiah akibat dari perlakuan dan penindasan orang-orang Barat. Kaum perempuan berpikir bahwa yang menyebabkan haknya dihina itu karena bodoh. Maka menurut Siti Munjiah orang perempuan haruslah bersekolah, bangkit dan bergerak menuntut hak sama dengan laki-laki.

Apabila orang perempuan mau memperluas pengetahuan, maka tidak akan terjadi nasib seperti itu. Menurut pengamatan Siti Munjlah bahwa saat itu juga sudah banyak orang pandai, tetapi mereka tidak dapat menggunakan kepandaiannya itu, bahkan mereka berlebih-lebihan. Sebagaimana dikemukakan dalam sidang kongres perempuan itu bahwa telah banyak orang perempuan yang berlebih-lebihan melebihi dari kodratnya. Hal ini kiranya perlu dipertanyakan apakah sudah sesuai dengan sifat perempuan. Pandangan ini merupakan lontaran pemikiran Siti Munjiah yang disampaikan atas sumbangan pemikiran Aisyiyah yang perlu direnungkan seperlunya khususnya pimpinan-pimpinan organisasi wanita yang hadir dalam kongres tersebut.

Selanjutnya Siti Munjiah juga melontarkan permasalahan perceraian karena sebagaimana telah disebut di muka bahwa keadaan waktu itu benar-benar memprihatinkan. Hal ini akibat terjadinya kawin paksa. Kemauan kedua orang tua merupakan Ukuran terjadinya hubungan perkawinan, sedang anak-anaknya tidak tahu-menahu bahwa mereka akan menjadi mempelai sebagaimana dikehendaki oleh orang tuanya.

Kritiknya yang tajam yaitu adanya perlakuan hawa nafsu orang-orang yang dengan sengaja mendirikan pemandian dimana antara laki-laki dan perempuan mandi bersama-sama dengan pakaian yang merangsang seperti dilakukan orang-orang Barat. Semua pakaian yang model-model yang terus berganti-ganti kadang-kadang melanggar keharusan yang dipakai perempuan. Mereka berpakaian tidak menutup auratnya, yang atas diturunkan dan yang bawah dinaikkan, bahkan lengan bajunya tidak menjadi soal walaupun tidak menutup auratnya. Keadaan semacam ini benar-benar diminta oleh Siti Munjiah supaya para pemimpin organisasi memperhatikan budaya dan mode-mode semacam itu dan jangan sampai menjalar kepada perempuan bangsa Indonesia. Kawin cerai pun telah melanda dalam kehidupan rumah tangga bangsa-bangsa Barat. Hal ini menurut Siti Munjiah merupakan kewajiban yang berat bagi pemimpin-pemimpin organisasi, karena keadaan semacam itu harus diamati benar-benar, dan tidak boleh diabaikannya. Permasalahan-permasalahan yang kecil pun tidak boleh dibiarkan sehinggamenimbulkan kerusakan pada kaum perempuan Indonesia.

Walaupun bangsa kita telah mempunyai adat istiadat dan kesusilaan yang halus namun masuknya budaya Barat akan besar pengaruhnya bagi budaya kita. Besarnya pengaruh itu membuat mereka berpendapat bahwa budaya Barat itu molek, indah, berkilau-kilau dan sebagainya, maka bila sampai pada pendapat yang demikian itu tergelincirlah bangsa kita itu. Mereka yang baru tenggelam dan tergila-gila terhadap budaya Barat itu menganggapnya apa yang dimiliki jelek, hina-dina dan tidak menarik.

Menurut Siti Munjiah kebudayaan yang berasal dari Barat itu bukanlah seluruhnya tidak baik, tetapi ada pula yang perlu diambil, mana yang baik dan pantas ditiru, sedang yang sekiranya tidak baik harus dihindarkan. Semuanya itu harus dilakukan seleksi secara cermat, tenang dan dipertimbangkan dengan pikiran yang sehat. Pengetahuan dari Barat tidaklah semuanya diambil alih secara utuh oleh bangsa kita. Apa yang kita kehendaki dan belum tercapai hendaklah terus diusahakan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan cara ini berarti dapat mempertinggi derajat bangsa. Namun apa yang terdapat pada bangsa Indonesia menurut pengamatan Siti Munjiah hal-hal yang kurang berharga sering ditirunya. Siti Munjiah berharap supaya hal-hal itu menjadi tuntunan bagi bangsa Indonesia untuk tidak putus-putusnya mencari ilmu pengetahuan walaupun dengan jerih payah. Dalam hal mencari ilmu perempuan Indonesia diharapkan tidak takut karena berusia lanjut dan takut terhadap tantangan yang menghadangnya. Kaum perempuan Indonesia harus dengan hati teguh terus berusaha agar tidak menjadi bangsa yang rendah dan miskin.

Di samping uraian di muka Siti Munjiah dalam pidatonya juga mengungkap perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam. Dalam menyampaikan pendapatnya itu diterangkan pula bahwa tidaklah berarti para peserta kongres harus mengikuti agama Islam, tetapi hal ini diserahkan kepada pribadi masing-masing. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam hukum Islam disebutkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan ini tidaklah berarti bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari kaum perempuan. Perempuan dan laki-laki Islam itu masing-masing berhak maju, tetapi kemajuan itu menurut batas-batas tertentu.

Sejak lahir di dunia antara laki-laki dan perempuan sudah berbeda dalam kodratnya masing-masing. Misalnya laki-laki dikodratkan badannya lebih kuat dari perempuan, dengan demikian laki-laki dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih berat, sedangkan perempuan badannya lebih lemah. Perempuan pun mempunyai kewajiban tersendiri yang tidak dapat dikerjakan oleh orang laki-laki misalnya hamil, melahirkan, menyusui dan memelihara serta mendidik. Karena itu tidaklah tercela laki-laki yang tidak dapat melakukan kewajiban perempuan, demikian pula sebaliknya perempuan tidak dapat mengerjakan pekerjaan laki-laki. Hal ini memang sudah kodratnya masing-masing.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan. berdasarkan kodratnya itu sebagaimana digambarkan oleh Siti Munjiah bagaikan burung dan harimau. Burung dapat terbang tinggi, tetapi tidak dapat menggigit dan menelan kuat-kuat seperti harimau. Demikian pula sebaliknya. Keduanya bukanlah hal yang cela apabila tidak dapat saling melakukan tugas satu dengan lainnya, karena hal ini telah sesuai dengan kodratnya. Yang satu memiliki kelebihan dari yang lain, namun juga ada kekurangannya apabila dibandingkan dengan yang lain.

Orang perempuan memiliki kewajiban menanggung keselamatan bersama. Ini suatu tugas yang sangat berat, apalagi bila diberi tambahan beban lagi berarti menyiksa diri. Hal semacam ini diminta Siti Munjiah mendapat pemikiran yang sebaik-baiknya. Dalam hal demikian tidaklah diartikan bahwa harimau lebih tinggi dari burung, tetapi itu adalah suatu hal yang wajar karena sesuai dengan kodratnya. Seorang sastrawan mempunyai pendapat lain lagi tentang perempuan. Menurut pendapat sastrawan, perempuan itu disebutnya sebagai bunga dunia. Bunga yang dianggap pelik dan permai itu seharusnya ditaruh dalam vas tempat yang indah di atas meja yang mengkilat dan indah. Sepantasnya bunga yang indah itu diletakkan di sembarang tempat. Apabila menjadi demikian itu tidaklah ada harganya.

Kewajiban orang perempuan dan laki-laki sebagai dikatakan Siti Munjiah keduanya sama-sama menuntut ilmu pengetahuan dan mengamalkannya. Dalam hal kebajikan keduanya sama saja, haknya tidak boleh dikurangi terlebihlebih pula dalam arti melakukan agamanya.

Sebagai seorang muslimah yang sejak remaja telah mendalami hukum-hukum agama Islam, Siti Munjiah mengungkapkan juga mengapa dalam agama Islam sampai terjadi boleh bermadu bagi laki-laki dan juga ada thalag. Hal ini dikembalikan dalam jawabannya apakah ada suatu kebajikan dan penghargaan apabila orang perempuan hanya dijadikan permainan laki-laki. Lebih baik dikawini daripada hanya diperlakukan demikian.

Siti Munjiah telah berhati-hati dalam menyampaikan pidatonya itu agar semuanya merasa tidak tersinggung. Pembicaraannya tentang bermadu bagi laki-laki bukanlah berarti bahwa ia menggerakkan permaduan dan juga tidak pula menghancurkan pikiran lelaki yang sedang bermadu. Ungkapannya itu karena adanya pertanyaan dan dakwaan dari luar yang sering dilontarkan kepada orang-orang yang beragama Islam. Seolah-olah agama Islam merendahkan derajat perempuan sebab Islam memperkenankan bermadu dan bahwa thalag ada pada tangan laki-laki.

Menurut Siti Munjiah ia membenarkan bahwa dalam ajaran agama Islam perempuan tidak memegang thalag. Itu sudah pada tempatnya, karena umumnya dikatakan sifat perempuan itu tergesa-gesa terhadap apa yang menjadi kehendaknya, kurang sabar dan tidak tahan, lemah, mudah sakit hati dan seterusnya. Menurut pengamatan Siti Munjiah, sering terjadi perempuan menentang suaminya meminta thalaq ketika itu juga. Masih beruntung apabila thalaq itu dimiliki oleh laki-laki yang bersifat sabar dan kuat pikirannya memegang thalag. Apabila keadaan demikian itu terus berlanjut, maka akan terjadi setiap minggu perceraian, dan penyesalan hati akan dialaminya oleh perempuan yang tergesa-gesa menuruti kemauannya. Dengan demikian berdasarkan ajaran Islam thalaq itu dimiliki oleh laki-laki, dan bukan perempuan. Walaupun thalaq itu dimiliki oleh laki-laki, tetapi tidak boleh berbuat semaunya sendiri, karena Tuhan tidak senang apabila ada orang laki-laki yang senang gegabah melepaskan thalaq kepada isterinya. Karena itu menurut agama Islam ditegaskan oleh Siti Munjiah bahwa laki-laki harus bijaksana melepaskan thalaq, sehingga karenanya tidak menyebabkan penghalang dalam kehidupan bersama suami isteri. Namun apabila telah ditimbang-timbang dengan seksama bahwa kehidupan suami-isteri itu tidak membawa manfaat dan bahagia maka tidak ada halangannya pihak perempuan meminta thalaq kepada suaminya dan suami pun harus meluluskannya.

Pada akhir pidatonya di hadapan peserta Kongres Perempuan Pertama itu Siti Munjiah sekali lagi menyerukan kuat-kuat kepada hadirin, terutama kepada pemimpin kaum perempuan yang hendak memperjuangkan kaumnya menjadi orang "mulia dan utama" diharapkan lebih teliti lagi serta seksama mempelajari sesuatu masalah, dan dapat menimbang mana yang baik dan mana yang jelek. Pandangannya itu diharapkan menjadi gerak lanjut "Kongres Perempuan Indonesia".

Setelah mengikuti isi pidato Siti Munjiah pada Kongres Perempuan Pertama di atas dapatlah kita ketahui bahwa masih banyak permasalahan perempuan yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh oleh segenap pimpinan organisasi. Siti Munjiah mengingatkan kepada para pimpinan organisasi wanita agar bangsa Indonesia berhati-hati dalam upaya menyerap budaya yang berasal dari Barat. Dia mengingatkan agar kaum wanita Indonesia tidak hanyut dan terjerumus kepada pengaruh negatif budaya Barat tersebut, dan diperjuangkan nasibnya lebih baik lagi untuk hari depannya.

Siti Munjiah adalah seorang pejuang kaumnya melalui organisasi Aisyiyah. Sebagian besar waktunya dipergunakan untuk aktif berorganisasi baik pada zaman penjajahan Belanda, zaman Jepang, dan dalam alam Indonesia merdeka. Sampai akhir hayatnya Siti Munjiah tidak pernah berhenti dari perjuangan. Perjuangannya berhenti pada saat menderita sakit kanker payudara hingga akhir hayatnya. Walaupun penderitaan akibat sakit itu benar-benar tidak tertahankan lagi, namun sebagai seorang muslimah yang taat melaksanakan perintah Allah, Siti Munjiah masih sempat mengatakan bahwa dengan sakit itu dirasakan nikmat dari Allah. Kata-katanya itu disampaikan Bapak Dalhar kepada Haji Djarnawi Hadikusumo.

Penderitaan Siti Munjiah semakin hari semakin berat. Saat Siti Munjiah sakit di Tasikmalaya, di sana sedang diselenggarakan Konferensi Aisyiyah. Salah satu sahabat dekat Siti Munjiah yang aktif dalam organisasi Aisyiyah adalah Badiyah Dahlan. Setelah Badiyah Dahlan mendengar bahwa Siti Munjiah dalam keadaan kritis, maka konferensi segera dibubarkan. Sebagian dari peserta pulang menyempatkan diri menengok Siti Munjiah. Suatu keuntungan bagi mereka karena sampai di Yogyakarta masih sempat menunggui Siti Munjiah menghembuskan napas yang penghabisan. Siti Munjiah wafat tahun 1955, jenazahnya disemayamkan di pemakaman belakang mesjid besar Yogyakarta. Semangat juang Siti Munjiah telah menjiwai generasi penerusnya sehingga gerak langkah Aisyiyah semakin mekar dan berkembang luas di seluruh pelosok tanah air Indonesia.