Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960  (1993) 
Tim Penyusun Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960
Bab I - Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

... Lalu bicara tentang masa depan bangsa
Memadukan harapan dan mimpi sedeibana
Dengan jiwa merantau Minanglcahan,
Keberanian Bugis, kelugasan Batak,
Kearifan Jawa, keluwesan Bali,
Ketegaran Aceh, dan keanggunan Manado

(Budianta, "Nyanyian Seorang Urban")

Sajak Eka Budianta, "Nyanyian Seorang Urban" yang mengawali tulisan ini menunjukkan betapa kayanya Nusantara kita. Kekayaan itu tidak hanya terdapat pada alam, tetapi juga berupa kekayaan budaya, seperti yang dengan jelas dinyatakan dalam sajak Eka Budianta.

Budaya Indonesia yang kompleks dan majemuk itu mengakibatkan pengenalan terhadap manusia Indonesia tidak akan pernah lengkap dan selesai karena manusia Indonesia itu sendiri selalu berubah dan berkembang. Namun, itu tidak berarti manusia Indonesia tidak dapat dikenali. Ada beberapa sarana yang dapat digunakan untuk mengenal manusia Indonesia, di antaranya sastra; dalam buku ini diangkat salah satu genre sastra, yaitu puisi, sebagai sarana pengenal manusia Indonesia.

Sebagai suatu produk budaya, puisi tentu tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan yang terdapat dalam suatu masyarakat. Setiap karya sastra selalu menghadirkan kehidupan manusia karena pada dasarnya tiap karya sastra itu berisi obsesi sastrawan tentang kehidupan dan dalam kehidupan selalu hadir manusia. Dengan demikian, puisi dapat dipandang sebagai salah satu sarana pengenalan manusia Indonesia. Sementara itu, di sisi lain sastra dapat pula dipandang sebagai cermin kehidupan,sebagai tanggapan terhadap kehidupan, dan pula sebagai penilaian terhadap kehidupan. Oleh karena itu, puisi merefleksikan kehidupan, dan berarti pula menampilkan citra manusia tertentu.

Sesungguhnya berbagai upaya telah dilakukan orang dalam rangka mengenali manusia Indonesia. Misalnya saja, Mochtar Lubis (1977) membicarakan manusia Indonesia dari sudut pandang sosial budaya, Toety Herati Noerhadi (1984) membicarakan manusia dari sudut pandang filsafat, Nugroho Notosusanto (1976) mengungkapkan manusia Indonesia dari pandangan sejarah, dan Ajip Rosidi (1984) dan Marbangun Hardjowirogo (1983) menampilkan manusia Sunda dan manusia Jawa dari sudut filsafat dan sastra.

Buku ini akan mencoba mengungkapkan citra manusia Indonesia yang terdapat dalam puisi Indonesia modern periode tahun 1920—1960. Sebelum melangkah lebih lanjut, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa batasan yang digunakan dalam buku ini. Pertama, kata citra diartikan sebagai ’kesan mental atau bayangan yang ditimbulkan oleh kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa, puisi, dan drama’. Dengan demikian, Citra Manusia dalam Puisi Indonesia Modern diartikan sebagai ’kesan mental, bayangan, atau gambaran manusia yang ada dalam puisi Indonesia modern’.{

Selanjutnya, puisi Indonesia modern dibatasi sebagai puisi asli berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia, dan beraksara Latin, yang dalam sastra Indonesia diawali oleh sajak "Tanah Air" karya Yamin (1920). Dengan batasan itu, puisi terjemahan dan puisi yang ditulis oleh penyair Indonesia dalam bahasa asing atau daerah tidak diambil sebagai bahan penulisan buku ini.

Penentuan kurun waktu puisi Indonesia modern periode 1920—1960 lebih didasarkan pada pertimbangan praktis, yaitu keterjangkauan pengerjaan dan waktu yang tersedia untuk penulisan buku ini. Jadi, penentuan kurun waktu di sini sama sekali tidak bertolak dari periodisasi dalam sejarah sastra Indonesia modern karena periodisasi itu sendiri amat beragam dan mengandung banyak masalah.

Sementara itu, perlu pula ditambahkan bahwa pada tahun 1920-an berkembang puisi Indonesia modern dengan penyair yang terkemuka antara lain Mohammad Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi. Sajak-sajak para penyair tersebut menunjukkan kebaruan pada zamannya, yang segi pengungkapan estetiknya berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa berikutnya, yaitu antara tahun 1930—1940 muncul lebih banyak lagi penyair; yang terutama antara lain Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, I.E. Tatengkeng, Rifai Ali, A. Hasjmy, dan Samadi. Penyair lain yang terkenal pada masa itu antara lain Asmara Hadi, Intojo, Or. Mandank, A.M. Daeng Mijala, M.R. Dajoh. Masa antara tahun 1940—1960 antara lain diisi oleh penyair Chairil Anwar, Sitor Situmorang, W.S. Rendra, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Balfas, Maria Amin, Toto Sudarto Bachtiar, P. Sengojo, Muhammad Ali, dan Harijadi S. Hartowardojo.

Sebagai upaya mengenali manusia Indonesia melalui puisi Indonesia modern, tulisan ini akan menggunakan pendekatan antroposentris, yaitu pendekatan yang berpangkal pada manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan tematik, karena seperti telah disebut di muka, buku ini akan mencoba mengenali citra manusia Indonesia. Dalam rangka mengenali manusia Indonesia itu, persoalan-persoalan yang dapat dikatakan selalu "abadi" melingkari kehidupan manusia adalah persoalan-persoalan yang lahir karena adanya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhan akan melahirkan citra manusia yang religius, sementara hubungan manusia dengan masyarakat akan membentuk manusia yang berwatak sosial. Dapat juga timbul manusia yang tidak religius dan tidak sosial dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan masyarakat, atau bahkan beberapa nuansa di antara manusia yang religius dan sosial dan manusia yang bukan religius dan bukan sosial. Semua itu akan tampak dalam puisi Indonesia modern periode 1920—1960 yang akan dibicarakan nanti.

Sementara itu, perlu dikemukakan bahwa upaya mengenali sosok manusia Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dapat dikatakan bahwa usaha mencari sosok, mencari bentuk manusia Indonesia telah dimulai jauh sebelum Indonesia secara politis menyatakan diri merdeka. Mohammad Yamin, salah seorang tokoh pergerakan nasional, melalui sajaknya "Tanah Air" yang ditulis pada tahun 1920 mengemukakan pandangan dan wawasannya tentang tanah air. Wawasan tanah air Mohammad Yamin dalam sajaknya itu masih terbatas pada Pulau Sumatra. Baru pada proklamasi 17 Agustus 1945 batas geografis wilayah Indonesia secara politis menjadi jelas, yaitu meliputi semua wilayah bekas jajahan Hindia Belanda.

Apabila secara politis wilayah geografis Indonesia dapat dinyatakan dengan tegas batas-batasnya, secara kultural batasan budaya Indonesia lebih sulit dirumuskan. Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 memang telah berhasil mencanangkan salah satu tonggak kebudayaan nasional, yaitu dengan mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan meresmikannya sebagai bahasa Indonesia. Akan tetapi, bentuk-bentuk kebudayaan nasional lain, seperti pandangan hidup, pola pikir, bentuk-bentuk kesenian dan arsitektur yang khas Indonesia masih merupakan perjalanan panjang yang mencari identitas dirinya.

Perjalanan panjang mencari identitas diri dalam penampilan dan perwujudan kebudayaan nasional itulah yang antara lain mewarnai polemik kebudayaan yang berlangsung pada tahun 1930-an antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dapat dipahami apabila polemik antara kedua tokoh itu berlangsung gencar karena perumusan kebudayaan nasional memang bukan hal yang gampang. Apalagi, pandangan budaya kedua tokoh polemik itu saling bertentangan. Sanusi Pane berkeyakinan bahwa Indonesia yang akan datang akan berjaya kembali seperti pada zaman Majapahit kalau bangsa Indonesia berorientasi kepada budaya Timur. Sebaliknya, Alisjahbana beranggapan bahwa bangsa Indonesia yang modern dan gemilang akan tercapai apabila kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat.

Betapa mendalam dan intensnya upaya pencarian identitas kultural dalam perjalanan, sejarah bangsa Indonesia dapat dilihat dalam karya-karya sastra Indonesia modern pada awal pertumbuhannya. Mohammad Yamin melalui salah satu sajaknya, "Tanah Air", mengumandangkan pandangannya tentang tanah air yang dicita-citakan—seperti telah disebut di muka. Sutan Takdir Alisjahbana lewat sajaknya "Menuju ke Laut" mencetuskan gagasannya yang mengajak masyarakat memasuki alam modern. Hingga kini pun pencarian identitas nasional dalam ebudayaan masih menjadi obsesi para sastrawan, seperti antara lain tampak dalam sajak Eka Budianta yang dikutip di awal tulisan ini. Dengan demikian, kebudayaan nasional yang diharapkan agaknya adalah perpaduan puncak-puncak budaya daerah, seperti diamanatkan UUD 1945 dalam pasal tentang kebudayaan nasional, yang kemudian disuarakan kembali oleh penyair Eka Budianta pada tahun 1980-an.

Karena kebudayaan nasional Indonesia itu sendiri masih dalam proses panjang pencarian identitas dirinya, citra manusia yang hadir dalam puisi Indonesia modern diperkirakan juga akan diwarnai oleh proses itu. Artinya, citra manusia ndonesia yang ditemukan dalam puisi senantiasa akan bergeser dan berubah dari masa ke masa. Misalnya, citra manusia religius yang terdapat dalam puisi Indonesia 1920-an tentu tidak akan sama persis dengan citra manusia religius yang terdapat dalam puisi Indonesia tahun 1950-an atau 1960-an. Citra manusia yang hadir dalam puisi sedikit banyak akan ditentukan oleh pandangan hidup dan situasi zaman (termasuk situasi sosial budaya) yang dihadapi penyair. Dengan demikian, pergeseran zaman dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akan membias dalam karya sastranya, termasuk ke dalam puisinya. Oleh karena itu, citra manusia yang terdapat dalam periode sastra tertentu (hampir dapat dipastikan) berlainan dengan citra manusia yang terdapat dalam periode sastra berikutnya.

Gambaran citra manusia yang bervariasi yang terdapat dalam puisi Indonesia dari periode 1920 hingga 1960 secara tidak langsung akan memberikan bayangan betapa kompleksnya dan penuh dinamikanya masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin di dalam puisi itu. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang citra manusia Indonesia itu, dalam penulisan buku ini digunakan pendekatan tematik. Artinya, sajak-sajak yang akan dibicarakan dalam buku ini adalah sajak-sajak yang memberikan gambaran seperti apa sesungguhnya citra manusia Indonesia itu karena buku ini ditulis dengan tujuan dan harapan seperti itu. Untuk mempermudah memperoleh gambaran citra manusia itu akan dibahas sejumlah sajak yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan alam. Dari ribuan sajak yang ada pada tahun 1920—1960, dalam buku ini diambil lebih kurang 200 sajak sebagai sampel (lihat lampiran). Pemilihan sampel dilakukan secara acak dengan tetap memperhatikan pendekatan tematik yang telah dikemukakan di atas. Dari situ akan dapat digambarkan citra manusia Indonesia dari masa ke masa (dari 1920-an hingga 1960-an, misalnya) dan dapat pula diketahui apa dan bagaimana citra manusia Indonesia itu, misalnya dalam hal kualitas religiusitasnya.

Sebuah sajak dapat saja mengemukakan beberapa pola hubungan manusia sekaligus. Akan tetapi, untuk kepentingan penulisan ini hanya akan dilihat pola hubungan yang dominan. Perlu pula dikemukakan di sini bahwa semua sajak yang akan dibicarakan diambil dari Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 1920-an hingga 1940-an susunan Badudu, (1984) dan Wajah Indonesia dalam Sastra Indonesia: Puisi 1940—1960 susunan Pradopo, (1990). Patut pula dicatat bahwa untuk sementara puisi yang dibicarakan adalah puisi yang ditulis antara tahun 1920—1960. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap sajak-sajak sebelum tahun 1920 dan sesudah tahun 1960, dalam edisi mendatang lingkup puisi yang dibahas akan diperluas.