Contoh Seorang Demokrat

Majalah Tempo, 03 Desember 1977.


DI cuaca buruk bulan Maret 1809 seorang lelaki tua nampak mengendarai kuda—dari kota Washington. Umurnya 66 tahun, tapi tubuhnya yang jangkung masih gagah—cukup kuat untuk terlonjak tegak di atas pelana selama 8 jam. Ia melintasi salju yang merintangi pandang. Ia seharusnya naik kereta tadi. Tapi begitu buruk dan roda kereta itu berkali-kali selip. Dan ia tak sabar lagi. Lain cepat-cepat pulang. Masa jabatannya telah selesai. Ia adalah Thomas Jefferson. Ia baru saja rampung sebagai Presiden setelah 8 tahun memerintah.

Sebenarnya ia dapat dipilih kembali. Ia penulis utama Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang termasyhur. Ia pemikir dan tokoh politik terkemuka bagi negeri yang baru itu. Dan ia punya prestasi yang cukup mengesankan sebagai administrator selama jadi kepala negara. Maka, apa sulitnya untuk menduduki jabatan terhormat buat ketiga kalinya? Namun ia menolak. Ia meninggalkan ibukota dengan rasa mau ke kampung halamannya di pedalaman, di Monticello.

Juga dengan rasa gembira. Dan ini nampak ketika Presiden penggantinya, James Madison, dilantik. Apabila dalam kemeriahan itu Kepala Negara yang baru tampak pucat dan gemetar, sebaliknya Jefferson tampak santai dan enak.

Malam harinya, waktu pesta dansa pelantikan, Jefferson datang. Padahal sejak isterinya meninggal 40 tahun sebelumnya, ia tak pernah nongol ke pesta. Tapi malam itu ia berdansa dengan riang. Ketika sementara tamu bertanya kenapa ia begitu tampak berbahagia, sedangkan Presiden yang baru tampak pucat, Jefferson menjawab: "Beban ini telah lepas dari pundak saya, dan dia kini yang mendapatkannya." Sejak hari itu ia memang merasa bebas dari apa yang disebutnya sendiri sebagai "borgol kekuasaan" ....

Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol. Lebih banyak melihatnya sebagai gelang emas yang (alangkah nikmatnya!) bisa bikin orang rapi Jefferson adalah demokrat sampai ke sumsum. Di tahun 1811 ia menulis: tak pernah saya dapat membayangkan, bagaimana suatu makhluk yang berakal dia dapat menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang dipakainya atas orang lain." Menjelang ia pulang ke Monticello ia menulis dengan gaya tab kepada para tetangganya yang bermaksud menyambut: "Bolehkah saya bertanya, di hadapan seluruh dunia, sapi siapa yang saya pernah ambil, atau siapa yang telah saya rampas haknya, siapa yang telah saya tindas, atau siapa yang telah ia terima uang suapnya sehingga mata saya jadi tertutup?"

Penulis biografinya yang bagus, Fawn M. Brodie, dalam Thomas Jefferson, Artimate History (1975) mengomentari pertanyaan itu seakan-akan Jefferson tengah diserang dengan kecaman. Mungkin benar dalam arti bahwa ia sendiri tengah mengadili dirinya, seraya mengingat kembali singgasana yang baru dilepasnya itu. masa ia memerintah memang begitu sederhana. Seorang Senator malah pernah mengira orang yang berjas panjang coklat dengan sepatu tanpa hak itu adalah seang pelayan—padahal itulah sang Presiden. Puteri-puterinya sendiri tahu keadaan keuangan sang ayah yang sedang jadi kepala negara itu: hutangnya meningkat, karena kegemarannya menjamu orang, tanpa menjadi korup.

Tapi di segi lain, laki-laki ini bukannya tanpa kelemahan. Dalam masa menduda, ia hubungannya yang tertentu dengan budak wanitanya yang cantik, Sally Heings. Di masa muda ia pernah dibisik-bisikkan mau menggoda seorang isteri teman. Dan waktu di Paris, ia pernah jatuh cinta kepada isteri seorarg lain—serta menulis surat cinta panjang yang sangat bagusnya.

Mungkin karena menyadari bahwa dirinya bukan di luar dosa itulah, Jefferson, meninggalkan sesuatu yang ternyata memang berharga bagi orang Amerika beberapa generasi kemudian: satu ide tentang kekuasaan dan batas manusia, dan juga satu contoh perbuatan yang sejati. Maka ia berhasil menyeberang abad, ia melihat ke "depan bersama sejarah, ia tidak dikutuk.