Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar
Templat:Pindahke/Wikibuku Salinan versi final di Wikisource Bahasa Indonesia in diselesaikan pertama kali pada tanggal 12 September 2020 pukul 19.38 WIB.
Ditulis oleh Anta Samsara. Berkas PDF dari buku ini dapat diunduh di sini.
Naskah di bawah ini adalah berdasarkan edisi yang diterbitkan oleh Jagat Jiwa tahun 2018. Karena proses penyuntingan dan proofreading pada masing-masing publikasi, maka terdapat beberapa perbedaan kecil dalam hal redaksionalnya, meskipun tidak ada yang substansial, dengan yang diterbitkan oleh Jejak Kata Kita (2010) dan Elex Media (2013).
Sinopsis
suntingApa yang akan Anda lakukan jika suara-suara orang di sekitar Anda berubah menjadi suara-suara yang meneror Anda dengan kata-katanya yang merendahkan diri Anda setiap waktu? Ke mana Anda akan pergi di dunia yang penuh manusia ini jika satu-satunya yang ingin Anda hindari dan Anda harapkan pertolongannya adalah manusia itu sendiri?
Bagi Anta Samsara, sang penulis buku ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menyepi dengan mereka yang senasib di rumah sakit jiwa. Institusi yang merupakan bagian dari sistem yang membuatnya tak mudah untuk lepas dari hilir-mudik antara rumah dengan rumah sakit jiwa. Tapi sebagai manusia ia punya kekuatan yang tak dapat ditaklukkan oleh derita jiwa dan stigma, kekuatan dalam batinnya yang membuatnya bangkit dan membuatnya meraih suatu psikologi positif dalam kehidupan. Derita tak selalu berujung pada sengsara, tapi bisa mengarah pada kemenangan jiwa.
Halaman kutipan
suntingManusia tidak akan binasa oleh penderitaan. Namun ia dibinasakan oleh penderitaan yang tanpa makna. (Viktor Emil Frankl, pendiri Logoterapi)
Tanggapan atas Gelombang lautan jiwa
suntingMembaca memoar Anta Samsara membuat saya sangat terharu. Karena apa yang saya saksikan pada anak saya sudah terwakili pada kisah yang dibuat olehnya. Gaya bahasa dan rasa penasaran yang sangat tinggi untuk mempelajari lebih detail tentang skizofrenia menjadi benang merah yang dapat saya ambil sebagai pembelajaran untuk lebih memahami anak saya.
Yadi Suparyadi, orangtua dari orang dengan skizofrenia.
Memoar yang menyentuh karena lahir dari kedalaman jiwa yang tak mudah dipahami oleh kebanyakan orang yang tak pernah merasakannya.... Butuh keberanian, kejujuran dan ketekunan yang luar biasa untuk menuliskan psikomemoar seperti ini. Dan Anta Samsara sudah melakukannya dengan sangat baik. Anta Samsara telah berhasil melewati gelombang dahsyat lautan jiwa dan telah menjadikannya pribadi yang tangguh dan kreatif. Buku ini akan sangat bermanfaat terutama bagi para penderita skizofrenia, keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Tarjum, penulis psikomemoar bipolar Mengubah Mimpi Buruk menjadi Mimpi Indah.
Anta Samsara mencapai tahap demi tahap pengenalan terhadap diri sendiri serta [mengajak] pembaca untuk mengenali dunia psikotik dengan empatik dan bijak .... melalui buku ini, pembaca akan mencapai pemahaman tentang salah satu ungkapan filosofis, “Seseorang yang mengenal orang lain adalah individu yang bijak, sedangkan seseorang yang mengenal dirinya sendiri adalah individu yang tercerahkan.”
Bahril Hidayat, penulis trilogi psikomemoar Aku Sadar Aku Gila.
Secara umum, potensi gangguan kejiwaan dari ringan hingga berat, dapat terjadi pada diri setiap manusia. Penanganan psikiatrik dan psikologik untuk siapa saja pasti dapat membantu. Namun yang paling penting adalah bagaimana kita yang kebetulan berusaha terus menerus, mau membuka hati dan terbuka terhadap bantuan dan bekerja sama dengan para profesional untuk mendapatkan makna positif dari setiap pengalaman ‘bencana’ kehidupan seperti yang dialami sendiri oleh Anta Samsara dan banyak lagi orang yang juga merasakannya. Selamat atas terbitnya psikomemoar ini, semoga menggugah Anta-Anta yang lain untuk terus bergerak maju ke arah dan makna yang lebih baik.
Marga M. Maramis, psikiater di Surabaya.
Halaman persembahan
suntingUntuk orang dengan skizofrenia di seluruh dunia yang tak pernah berhenti berjuang melawan semua keadaan sulit yang dialaminya.
Sekuntum kata dari penulis - Melukiskan dua dunia
suntingBagi saya, menuliskan memoar tentang gangguan kejiwaan adalah laksana melukiskan dua dunia kepada para pembaca. Yang pertama adalah dunia di dalam diri, yang sifatnya sangat subyektif, misalnya pengalaman merasakan waham dan halusinasi. Sedangkan dunia yang kedua adalah dunia relasinya dengan lingkungan di luar dirinya, yaitu bagaimana ia menjalin dan menempatkan diri di antara orang-orang di sekitarnya. Karena seringkali kedua dunia itu saling bertautan, maka ini meniscayakan saya untuk menuturkan apa yang saya alami dalam memoar ini sebagai suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan, suatu yang saling berkelindan dengan ketat.
Apa yang saya tulis di dalam buku ini adalah potret dari kehidupan kejiwaan saya dan keluarga saya dalam beberapa masa dalam kehidupan kami. Beberapa di antaranya terasa sangat asing bagi saya saat ini, seolah-olah itu bukan bagian dari hidup saya lagi. Karena sekarang saya sudah merasa jauh lebih baik daripada dulu. Namun hampir seluruh gambaran yang diperikan dalam buku ini tidaklah dibuat dengan bias masa kini.
Perjalanan kehidupan saya yang ada dalam buku ini ditulis berdasarkan Dinten[1], buku harian saya. Sehingga apa yang terjadi pada suatu masa dituliskan berdasarkan pada apa yang ada dalam relung hati dan lubuk jiwa saya yang sedalam-dalamnya pada masa itu, termasuk dalam hal konflik intra-psikis, kekacauan dan kegalauan yang saya alami. Jika ada pemikiran yang menyela suatu narasi yang jelas-jelas merupakan sudut pandang pada waktu jauh setelahnya, maka akan dibubuhkan keterangan waktu agar hal itu tidak membingungkan pembaca.
Satu hal yang bergerak maju-mundur dalam psikomemoar saya adalah waktu saat suatu narasi dituturkan. Hendaknya waktu yang diterakan sebagai sub-judul sebuah bab (atau yang diimbuhkan sebagai pembuka paragraf pertama) dilihat sebagai acuan agar tidak salah paham. Karena hidup saya berkaitan dengan orang lain, maka terkadang ketika membicarakan orang tersebut, tanda waktu yang diberikan kadang-kadang ditarik jauh sebelum saya dilahirkan.
Semula, setelah kontrak dengan Penerbit Jejak Kata Kita (sebuah penerbit indie di Yogyakarta) berakhir pada penghujung tahun 2011 setelah selama setahun diterbitkan, saya ingin merevisi cara bertutur saya yang banyak menggunakan metode bertutur orang pertama dan mengubahnya menjadi berbentuk dialog, namun setelah saya pikir baik-baik itu sama artinya dengan mengubah keakuratan potret kejadian yang ada dalam buku ini.
Karena, seperti juga yang telah disinggung di atas, salah satu permasalahan yang ada ketika membuat psikomemoar adalah kita tak hanya melukiskan kejadian fisik yang kita alami, tapi juga bagaimana kondisi kejiwaan yang kita rasakan pada saat itu. Dan saya menemukan gaya dan keleluasaan dalam hal tersebut dengan menggunakan metode orang pertama. Alasan lainnya, karena apa yang saya buat di sini berdasarkan Dinten yang sebagian besar adalah narasi tuturan orang pertama, yang sangat jarang menuliskan dialog. Juga, saya tak dapat mengingat lagi secara detail dialog yang terjadi di masa silam hidup saya, berhubung demikian panjangnya waktu yang dicakup oleh psikomemoar ini, dan saya ada perasaan enggan untuk menganggitnya, dengan alasan yang tetap saya pertahankan, yaitu mempertahankan “potret” kenyataan yang setepat mungkin. Sehingga mempertahankan format buku ini seperti sebelumnya, berarti mempertahankan keakuratan “sosok jiwa” dari kejadian-kejadian di masa silam dalam hidup saya.
Bagaimanapun saya melakukan perubahan yang berarti bila dibandingkan dengan edisi perdana pada bab “Aku dan Jayabaya” yang berkaitan dengan waham saya dan banyak perubahan redaksional pada bab “Kisah tentang Jiwa Sehat” yang merupakan salah satu kisah titik balik yang kasat mata dalam hidup saya. (Sementara titik balik yang bersifat filosofis akan Anda temukan dalam bab lain.)
Perubahan lainnya telah dilakukan untuk memperbaiki ketepatan kosakata yang terserak di dalam buku ini. Misalnya saja, karena halusinasi saya hampir selalu berkaitan dengan organ pendengaran, maka pada tempat-tempat tertentu dalam buku ini, saya membedakan antara “bunyi” yang sepadan dengan sound dalam Bahasa Inggris untuk menggambarkan bunyi yang bukan wicara (seperti bunyi pukulan di dinding) dan “suara” yang sepadan dengan voice untuk menggambarkan suara-suara dalam halusinasi yang berbentuk wicara manusia. Walaupun itu tak selalu dengan teguh dipertahankan jika memang narasi tidak membingungkan untuk membedakan keduanya.
Dalam buku ini saya masih tetap mempertahankan nama-nama yang disamarkan seperti pada edisi perdana, karena saya takut hal itu berimbas ke dalam masalah hukum. Saya terlanjur menggunakan nama “Anta Samsara” ketika menulis dan sedang daring (online), sehingga nama itu juga tetap saya pertahankan. Dua kejadian buruk yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri, yang menimpa kawan-kawan satu bangsal ketika saya dirawat di dua institusi yang berbeda, masih saya sembunyikan dan tidak saya tampilkan di sini. Karena saya menghargai hubungan baik antara kedua institusi itu dengan Perhimpunan Jiwa Sehat, tempat saya bekerja sekarang.
Draft awal buku ini lahir pada tahun 2008, dan saya mengucapkan selaksa terima kasih kepada yang telah membaca draft awal tersebut dan memberikan tanggapannya demi perbaikan pada naskahnya: Rana Sampurna (waktu itu mahasiswa FKUI, Jakarta), Siti Sarah (waktu itu mahasiswa magister psikologi Unpad, Bandung), Tantri Widyarti Utami (Dosen di Akper Marzoeki Mahdi, Bogor), dan Yeni Rosa Damayanti ketua umum Perhimpunan Jiwa Sehat, Jakarta).
Ketika draft finalnya tertuntaskan pada tahun 2010, sesaat sebelum terbit, dr. Eka Viora, SpKJ memberikan tanggapannya yang positif pula, sekaligus memberikan tulisan berupa artikel tentang skizofrenia yang kemudian menjadi semacam pascawacana pada edisi perdana buku ini. Ia yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur medik RSJ Soeharto Heerdjan memberikan dukungannya yang lain terhadap buku saya dengan menyelenggarakan peluncuran psikomemoar ini di Auditorium rumah sakit itu pada perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada bulan Oktober 2010.
Pada edisi kedua buku ini, dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K), yang merupakan psikiater senior dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM telah menuliskan Pengantarnya untuk memoar ini, sebagai ganti dari pascawacana dr. Eka Viora. Pada suatu kesempatan bedah buku ini di departemennya di FKUI, ia memberikan kajian yang menarik tentang buku saya, dan saya tak dapat menahankan tawaran saya kepadanya untuk menuliskan “sesuatu” bagi buku edisi kedua ini, setelah melihat dr. Eka Viora, pada masa-masa penyuntingan edisi kedua buku ini telah menempati pos jabatannya yang baru di luar kesehatan jiwa sebagai kepala pusat intelegensia Kementerian Kesehatan RI (Walaupun kami senantiasa berharap ia kembali ke ranah jiwa yang dicintainya itu); dan dengan demikian – dengan tidak mengurangi penghargaan terhadapnya – saya harus mencari seseorang yang lain. Dan saya pada waktu itu langsung tahu jawabannya, yaitu, tentu saja, dr. Suryo Dharmono dari FKUI. Atas kesediaan dan jasa mereka berdua, saya mengucapkan terima kasih saya yang tanpa batas.
Saya juga menghaturkan berlimpah terima kasih kepada mereka yang telah memberikan resensi, baik secara lisan maupun tertulis (di bedah buku, email, blog, dan SMS) terhadap buku ini ketika diterbitkan pertama kali oleh Jejak Kata Kita, Yogyakarta. Ucapan terima kasih yang luas dan tak bertepi saya sampaikan kepada Bagus Utomo, ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, dan Tarjum Sahmad, blogger terkemuka dan penulis psikomemoar bipolar Mengubah Mimpi Buruk menjadi Mimpi Indah, yang telah tanpa pamrih senantiasa mempromosikan buku saya di mana pun mereka berada.
Juga kepada kawan-kawan sesama aktivis kesehatan jiwa dalam lingkung institusi apapun, terutama Perhimpunan Jiwa Sehat (yang anggotanya terlampau banyak untuk disebutkan di sini), terutama Ibu Sri Mulyati dan Tifa Putri; serta sang konsumen kesehatan jiwa dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, yang pemikirannya gilang-cemerlang dan seringkali lebih pandai daripada psikiater, Suhari Bunadi -- dengan sama sekali tidak bermaksud mengabaikan yang lain -- yang semuanya senantiasa mendorong dan mengatakan tiada yang tak mungkin bagi orang yang mengalami masalah kejiwaan untuk mencapai apa pun, termasuk meraih mimpinya untuk menerbitkan buku dan melihat karyanya dibaca banyak orang. Ternyata berbeda raga tidak berarti berbeda asa!
Saya takkan pernah tahu bagaimana mengucapkan rasa terima kasih saya kepada dua dokter saya, dr. Fadhlina (Puskesmas Tebet) dan dr. Hervita Diatri, SpKJ(K) (Departemen Psikiatri FKUI-RSCM) yang senantiasa menyulut ulang bara berkarya dalam hidup ketika saya merasa “terhambat” dan tak tahu harus bercerita kepada siapa. Mungkin Anda telah terbiasa untuk menolong orang, tapi saya merasa luar biasa telah ditolong oleh Anda berdua!
Akhirnya, saya harus bersyukur kepada Tuhan, karena gerak tangan-Nya telah membuat kita semua bersua dan saling menjalin kebersamaan yang karib. Sehingga perjalanan hidup saya menemukan salah satu pengalaman puncaknya dengan menghidangkan buku ini kepada Anda semua.
Semoga buku ini dapat membukakan mata Anda, bahwa kami bukanlah makhluk dengan aib dan stigma karena skizofrenia, tapi adalah manusia yang utuh, yang juga harus dihargai dengan harkat dan martabat yang setara dengan manusia lain dalam kehidupan di muka bumi ini.
Semoga khazanah pengalaman saya dapat menyumbang sekelumit titik cerah pada perbendaharaan Anda tentang skizofrenia.
Selamat membaca!
Jakarta, akhir Maret 2012
(Anta Samsara)
Pengantar - Gelombang lautan jiwa: Upaya pencarian jati diri seorang dengan skizofrenia
suntingoleh dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K)[2]
“Aku terus kehilangan hal yang bermakna: hidupku, jiwaku, harapanku. Aku tak sanggup lagi menahan derita. Hidup ini terlampau berat untuk dilanjutkan. Dunia dan aku adalah dua kenyataan yang tak pernah saling memahami. Maka aku pun memutuskan untuk bunuh diri: aku menelan 27 butir Clozapine 25 miligram; dan juga semua diazepam 2 miligram yang aku punya, mungkin 60 butir, termasuk beberapa butir Risperidone yang masih tersisa. Namun aku sungguh kecewa, karena aku tak mati.”
Anta Samsara mengawali memoarnya dengan sepotong kisah tentang keputusasaan dan kehilangan makna hidup. Selanjutnya setapak demi setapak kita diajak olehnya untuk memasuki perjalanan hidupnya. Mulai dari dunia masa kanak kanak dan remaja yang berkembang seperti anak lain seusianya dengan sedikit catatan tentang kesukaannya terhadap teman imajinasi.
Memasuki akhir masa remaja dunia kehidupan Anta Samsara mulai berubah, dunia yang olehnya disebut sebagai kenyataan yang sulit dipahami. Kehidupan yang dikenalnya pelan-pelan mulai berganti wujud menjadi dunia yang asing. Orang-orang yang dikenalnya secara dekat mulai bersikap ganjil, menghina dan memusuhinya.
Anta hidup dalam ketakutan, menghindari situasi sosial, bersembunyi di dangau, berkelana mencari hunian yang aman, berpindah-pindah dari satu mesjid ke lain mesjid. Dalam ketakutan Anta merasa sendirian karena kenyataan yang dialaminya tidak dimengerti oleh orang lain, ibunya yang paling dekat dengannya pun tidak mampu memahami penderitaannya. Sampai suatu waktu Anta dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa, dan mendapat “label” sebagai pasien gangguan jiwa, berpindah-pindah dari satu rumah sakit jiwa ke rumah sakit jiwa lainnya, berkenalan dengan sekian banyak dokter, mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang berbeda-beda. Berkenalan dengan banyak pasien gangguan jiwa lain, mengamati dan mempelajari pengalaman hidup mereka, membandingkan dengan pengalaman hidupnya. Anta mencoba mencerna penjelasan dokter tentang berbagai fenomena hidup yang dialaminya.
"Beberapa dokter berbicara mengenai halusinasi. Apakah semua kejadian yang kualami adalah halusinasi? Aku berkata dalam diriku: Tidak! Semuanya tampak begitu nyata! Tidak mungkin itu semua hanya halusinasi! Aku menampik segalanya. Akan tetapi aku kembali ke rumah dengan keragu-raguan. Mana yang benar: pendapatku atau pendapat dokter? Apakah pengalaman hidup seseorang dapat dinilai secara ilmiah?”
Label gangguan jiwa juga membuat Anta kehilangan sebagian hak untuk memutuskan dan memilih cara hidup yang dia ingini. Atas kehendak orang tua dan saudara saudaranya Anta terpaksa menjalani berbagai upaya penyembuhan mistik, dukun, kyai, dan menjalani perawatan di pondok-pondok petirahan. Anta melihat dan mengalami pengobatan yang tidak wajar dan seringkali merupakan hal yang menyakitkan menyaksikan perlakuan atas diri orang orang dengan gangguan jiwa yang dirawat di petirahan. Anta berusaha untuk menemani, memberikan perhatian dan kasih sayang pada sesama pasien gangguan jiwa yang dirawat di petirahan:
“...saya memberinya selimut dan bantal agar ia bisa tidur lebih nyaman. Saya memberinya losion anti nyamuk .... Saya juga memberinya roti berisi meises dan kue rasa strawberry. Namun apa mau dikata, saat saya tidur, Pak J mengambil paksa selimut dan bantalnya. Esok harinya Pak J menanyakan apakah saya memberikan selimut dan bantal kepadanya. Saya mengiyakan. Ia mengatakan agar jangan memberikannya selimut dan bantal lagi. Ia berujar, “Semalam juga saya siram, biar basah” ....”.
Anta tidak mampu memahami sikap dan perilaku mereka yang mengaku para penyembuh gangguan jiwa. Tidak bisa mengerti mengapa orang yang sudah menderita masih perlu mendapat siksaan, dan mengapa dia dilarang memberikan bantuan. Anta juga tidak paham ketika di petirahan Pak Kyai tidak memberikan penjelasan apapun tentang kondisi sakitnya dan berapa lama dia harus menjalani pengobatan. Dia tidak boleh meminum obat dari psikiater, yang selama ini membantunya mengatasi halusinasi dan gangguan tidurnya. Setiap hari disuruhnya meminum air kelapa. Tidak ada pengobatan lain selain minum air kelapa dan ia harus mengikuti.
Banyak yang ia tidak pahami tentang tata cara orang memberikan pertolongan terhadap orang orang yang menderita gangguan jiwa. Bagaimana mungkin para “penolong” itu menetapkan tindakan pertolongannya tanpa mendialogkan pada mereka yang akan “ditolongnya”. Para dokter menetapkan diagnosis dan memberikan pengobatan, para dukun dan Kyai mengenali roh-roh jahat dan mengusirnya, semuanya dilakukan dengan sangat sedikit melibatkan orang orang yang “ditolongnya”.
Gelombang Lautan Jiwa, ditulis oleh Anta Samsara berdasarkan pada buku hariannya, sesungguhnya lebih terlihat sebagai kisah pencarian jati diri dari seorang yang hidup dengan skizofrenia. Sebuah perenungan yang jeli tentang perjalanan hidup yang nyaris tidak masuk akal. Kenyataan hidup yang tiba tiba berubah menjadi asing dan menakutkan, dan dia harus menghadapi sendirian, karena tidak ada seorangpun yang mau memahami “dunia ganjilnya”.
Anta Samsara mengajak kita untuk menemani dirinya menjalani lakon hidupnya, memahami dunia skizofrenia yang asing, sepi dan menakutkan. Secara bertahap sejalan dengan penerimaan Anta terhadap kenyataan hidupnya, kita pun diajak untuk memahami dunia skizofrenia yang digelutinya.
Dalam banyak kesempatan Anta memperlihatkan perlawanan dan gugatan terhadap perlakuan yang tidak adil, stigma, diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang dengan skizofrenia. Semuanya disampaikan dengan ungkapan yang santun, jernih, tanpa mengandung dendam ataupun kemarahan.
Sungguh, Gelombang Lautan Jiwa, adalah sebuah buku yang sangat layak menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk semakin jernih memahami kehidupan orang-orang dengan skizofrenia.
Psikomemoar Gelombang Lautan Jiwa
suntingMaut gagal menjemputku - 4 Agustus 2007
suntingAku bangun dari maut dalam ruangan yang bersekat. Kakakku memandang kepadaku. Ternyata semua yang ada di dunia masih ada. Ini rumah sakit umum dan aku kecewa, karena aku tak mati.
Pikiranku sebelum aku di sini sangatlah tertekan; merasa tak punya masa depan. Skizofreniaku tak kunjung sembuh. Kakak pertamaku, yang sedang memandangku, sebelumnya memarahiku, karena ia-lah yang selalu menanggung biaya pengobatan penyakitku.
Aku terus kehilangan hal yang bermakna: hidupku, jiwaku, harapanku. Aku tak sanggup lagi menahan derita. Hidup ini terlampau berat untuk dilanjutkan.
Dunia dan aku adalah dua kenyataan yang tak pernah saling memahami. Maka aku pun memutuskan untuk bunuh diri: aku menelan 27 butir Clozapine 25 miligram; dan juga semua diazepam 2 miligram yang aku punya, mungkin 60 butir, termasuk beberapa butir Risperidone yang masih tersisa. Namun aku sungguh kecewa, karena aku tak mati.
Di sampingku berbaring seorang penderita diabetes akut. Kakinya kudung sebelah. Dan betapa mengerikan kakinya yang sebelah lagi, karena berlubang besar di bagian bawah telapak kakinya. Seorang lelaki muda, mungkin anaknya, setia menungguinya.
Namun apakah saudaraku akan tetap setia seperti itu setelah aku mencoba bunuh diri? Aku tak yakin lagi. Ia jengkel melihatku sebelum ini. Dan mungkin di hari setelah aku keluar dari rumah sakit umum ini, aku akan dicampakkan di jalanan. Sama halnya seperti yang pernah kulihat di kampungku. Mereka dibiarkan ditertawakan. Dikejar-kejar dan dicela. Mungkin tanpa keluarga aku akan seperti itu. Aku akan kembali menjadi gelandangan psikotik, yang berkelana dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Seperti dulu.
Di rumah sakit ini, yang kelak kuketahui sebagai Bangsal Teratai RSUD Bekasi, aku terus-menerus tak sadarkan diri. Aku hanya sedikit tahu tentang dokter dan penjengukku. Bahkan aku tak tahu kapan aku pulang. Tahu-tahu sudah di rumah.
Kakak ketigaku, yang rumahnya menjadi tempat aku pulang, kelak banyak bercerita. Bahwa pada malam hari pada tanggal 4 Agustus 2007 ia melihat mulutku berbusa. Ia curiga bahwa aku kebanyakan minum obat. Ia mencoba memanggil mantri tempat biasa aku berobat. Namun ia tak ada karena sedang bertugas di rumah sakitnya. Ia segera menelepon kakakku yang di Tangerang (yang juga perempuan) dan memutuskan bahwa pada pagi harinya kami harus berangkat ke rumah sakit umum, untuk merawatku.
Di RSUD Bekasi aku dirawat selama empat hari. Yang paling terpatri dalam ingatanku adalah suntikan-suntikan dan bubur yang pahit rasanya. Sekat-sekat dan suara orang-orang yang berbicara. Rumah sakit yang sibuk. Rumah sakit yang tetap mengurungku dalam derita kehidupan dunia.
Aku letih sekali, aku ingin istirahat di pangkuan Tuhan. Namun Tuhan begitu keji karena tak mengizinkanku....
Dalam lindap kandungan - 1978-1979
suntingAyahku hanyalah seorang guru, dan di tahun 1970-an gajinya tak seberapa. Ibuku tidak menginginkan kelahiran anaknya yang ke-5, karena hal itu akan semakin memperberat beban keluarga. Oleh karena itu, ketika ia tahu bahwa ia hamil anaknya yang ke-5, segera ia bertanya kepada tetangga:“Apakah yang harus saya lakukan untuk menggugurkan kandungan saya?” Dan seorang tetangga menyarankan agar ibuku meminum anggur botolan.
Ibuku menurutinya, ia membeli satu botol anggur, sedikit demi sedikit ia meminumnya. Akhirnya ia menghabiskan satu botol. Ia merasa lega, usia kandungannya yang masih satu bulan akan segera keluar fetusnya. Ia menanti dan menanti. Namun alangkah kagetnya ia, karena kandungannya terus tumbuh! Dalam kehamilannya ia merasa begitu tersiksa. Ia enggan makan dan hanya mau minum. Seringkali ia betah tidak makan selama satu atau dua hari. Suatu keadaan yang kelak digambarkannya kelak sebagai tapa (Sunda: bertapa).
Ayahku selalu membujuknya untuk makan sebagaimana mestinya dan mencoba menawarkan makanan enak di warung makan terdekat yang harganya dapat ia jangkau. Namun ibuku tak berselera. Ia tetap saja jarang makan, hingga usia kandungannya sembilan bulan: saat kelahiran anaknya.
Malam itu Ibu Seh bermimpi. Ia hendak mengambil air di sumur, lalu ia menurunkan ember timbaan. Setelah ember timbaan tercelup ke air, ia mengeretnya agar naik. Namun ember itu tersangkut, dan tak dapat lepas. Ia mengakalinya dengan berbagai cara, namun hal itu tak dapat juga dapat membebaskannya. Ia berusaha semakin keras, namun hal itu juga tak berhasil. Ember itu tetap tersangkut.
Lalu ia terbangun dan bertanya-tanya pertanda apakah gerangan mimpinya itu. Ia bukanlah dukun beranak biasa. Ia adalah seorang yang waskita. Ia tahu bahwa satu hal buruk akan terjadi pada esok hari.
* * *
Yayan yang masih berusia delapan tahun bertanya kepada Ayah: “Ayah untuk apa Ayah memanggil taksi? Ayah mau pergi ke mana?”
Namun Ayah tak memedulikannya dan melewatinya. Ia pergi ke kamar depan dan memapah Ibu yang sedang meringis kesakitan. Ia memayang Ibu ke dalam taksi dan menyuruh Yayan masuk ke mobil. Anak-anak yang lain telah mengerti apa yang terjadi karena mereka sudah cukup dewasa. Dan mereka tinggal di rumah. Hanya Yayan yang ikut.
Di dalam perjalanan, pandangan Yayan berganti-ganti antara melihat Ibu dan menikmati pemandangan di perjalanan. Ia tak tahu mengapa Ibu meringis kesakitan. Namun ia cukup senang, karena itulah untuk pertama kalinya ia naik taksi untuk pergi ke suatu tempat.
Ayah, Yayan dan Ibu tiba di tempat tujuan, yaitu di rumah Ibu Seh. Ibu segera dibaringkan di tempat tidur. Ayah segera membayar taksi dan sesegera itu pula taksi itu pergi. Yayan memandang hingga taksi itu menghilang di kelokan. Sebagai seorang anak ia begitu sedih karena hanya dapat menikmati kenyamanan taksi untuk beberapa menit saja. Namun kini perhatian beralih ke ibunya. Ibu Seh, sang dukun beranak itu, menyuruh Ayah dan Yayan menunggu di luar. Ia menutup pintu rapat-rapat bagi mereka, karena mereka adalah lelaki, dan ini adalah urusan perempuan.
Ibu Seh adalah dukun anak yang berpengalaman. Ia sudah hapal benar tata cara membantu kelahiran anak dari seorang ibu. Maka sang bayi pun lahir dengan selamat. Sang orok menangis keras-keras. Semua termasuk Ayah yang ada di luar tertawa senang. “Ia lelaki dan sehat”, kata Ibu Seh kepada Ayah. Ibu Seh lebih gembira lagi, sebab mimpinya tidak terbukti, itu hanyalah bunga tidur belaka.
Akan tetapi tunggu dulu, bayinya selamat, namun ari-arinya menyangkut di liang peranakan. Muka Ibu Seh pucat pasi. Ia mengusahakan segala cara agar ari-ari itu keluar. Namun ia tetap gagal.
Pendarahan Ibu sangat parah, dan tindakan lain harus dilakukan. Ia mengambil berbagai keris pusaka yang dimilikinya. Ia berdoa kepada Yang Maha Kuasa, agar Tuhan menyelamatkan nyawa sang ibu. Ia merapalkan jampi-jampi kesaktiannya. Ia memohon kepada Tuhan agar memakbulkan permintaannya. Ia memohon agar semua makhluk jahat menyingkir dari tempatnya. Lalu berseru, “Ke marilah mendekat, hai semua malaikat!”
Dan setelah berkutat selama beberapa puluh menit, akhirnya semua dapat bernafas lega, karena Ibu selamat, walaupun ia mengalami pendarahan yang hebat. Inilah kiranya arti dari mimpinya itu.
Pada tanggal 2 April 1979, aku lahir ke dunia. Dalam kandungan aku adalah anak yang tak diinginkan. Namun bagaimana setelah aku lahir? Apakah ibu akan menolak aku dan memberikannya kepada orang lain?
Korek api dan sahabatku - 1984-1998
suntingMasa kanak-kanak dan remajaku adalah masa yang sarat paradoks. Ketika berumur 5 tahun, keluarga kami, yang tadinya tinggal di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, pindah ke Daerah Sunter, Jakarta Utara. Mengontrak di Perumahan Sekretariat Negara.
Masih tertanam jelas dalam ingatanku, bagaimana perikehidupan kami di sana. Rumah kami terletak di tengah deretan rumah lainnya dengan cat berwarna kuning gading. Tidak seperti kebanyakan rumah sekarang, rumah kami memiliki bak penampungan air di depan rumah (bagian belakang rumah kami hanya dipakai untuk menjemur pakaian). Ada banyak kursi di muka rumah, sebab anggota keluarga kami bertambah.
Ayah kami gajinya membaik karena ia kini juga menjadi kepala sekolah sebuah SMP swasta selain mengajar di sebuah SMP negeri pada siang hingga sore harinya. Orang tua kami memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak paman kami yang lebih tidak mampu dan seorang anak angkat yang konon mengalami penyiksaan oleh adik orang tuanya (paman dan bibinya) setelah orang tuanya meninggal dunia.
Masih segar dalam ingatanku, gang panjang berbatu yang memintas di muka rumah kami yang membujur dari timur ke barat. Gang yang menjadi tempat kami, aku dan para anak tetangga, berlari berkejar-kejaran atau main galasin.
Di tepi perumahan itu ada jalan aspal yang luas dan bagus, tempat kami dapat bersepeda dengan leluasa. Kendaraan bermotor yang melintasi jalan itu pada waktu itu tidaklah terlampau banyak. Kadang-kadang kami pergi menonton sepak bola yang dimainkan oleh para remaja, termasuk juga kakak-kakakku, di lapangan di muka komplek kami. Kami juga biasa mengadu layang-layang di lapangan itu pada pagi atau siang hari; atau asyik menyerok ikan yang hidup di parit di sekeliling komplek. Sehabis magrib, kami tak bisa bermain, sebab kami mengaji dengan bimbingan ustadz setempat. Setelah itu kami menonton televisi di rumah masing-masing. Walaupun aku selalu saja jatuh tertidur sebelum acara berakhir. Karena aku terlalu penat dan selalu menolak tidur siang.
Pada tahun 1985 aku dimasukkan ke sebuah taman kanak-kanak yang bernama Taman Nyiur yang berada di dekat komplek. Di sana ada banyak kawan juga. Walaupun guruku sering melaporkan keganjilan perilakuku kepada ibuku: aku tak pernah berkerumun di sekitar bola seperti anak-anak lain ketika bermain sepakbola. Dan aku tak pernah merebut mainan anak lain walaupun aku menginginkannya. Aku juga anak yang suka menghindar jika ada anak-anak yang berkelahi. Meskipun demikian dari Buku Laporan Pendidikan yang kubaca ketika telah remaja jelas tertulis bahwa ada kemajuan dalam sikapku selama mengikuti pendidikan di TK itu. Yaitu semula dari pendiam menjadi aktif, semula pemalu menjadi pemberani.
Guru-guru tidak pernah meragukan kecerdasanku, karena katanya aku cepat sekali menyerap pelajaran. Bahkan aku sudah membaca koran Pos Kota bagian karikatural (Koran Doyok) semenjak TK. Karena hasil lukisanku cukup baik, maka aku sering diikutsertakan dalam perlombaan di luar sekolah, walaupun aku tak pernah menang[3]. Pada akhir tahun, aku, dengan dibantu seorang guru, membuat kerajinan dari karton dan kertas manila untuk dipamerkan kepada orang tua siswa pada akhir tahun ajaran.
Pada waktu SD Kelas 1 Caturwulan 2, kami sekeluarga pindah lagi ke Bekasi karena Ayah menginginkan rumah milik sendiri dan bukan rumah kontrakan. Kami tinggal di Kecamatan Babelan, di sebuah perumahan. Orang tua kami harus mencicil kredit rumah setiap bulannya. Untuk menutupi kekurangan uang keluarga, ibuku berjualan gado-gado.
Aku tetap bermain dengan anak-anak tetangga walaupun aku adalah anak yang paling pendiam. Dan pada suatu hari terjadilah suatu peristiwa, yang tadinya tak kusangka, akan mengubah hidupku selamanya.
Waktu itu rumah tipe 21 belum berpenghuni dan baru saja selesai dibangun. Aku dan dua anak tetangga yang bernama Rahmat dan Ading bermain korek api. Kami masing-masing menyalakan korek api, lalu dibuang ke peturasan. Menyalakan lagi sebatang korek api lalu dibuang lagi. Begitu seterusnya.
Ketika sedang asyiknya bermain, tiba-tiba ibuku datang dan memanggilku, “Hei, Anta, jangan bermain korek api! Kemarikan koreknya!” Ia merebut korek api itu dari tanganku, lalu berkata lagi, “Ayo sekarang pulang ke rumah!”
Aku percaya ibuku adalah seorang yang baik, dan aku menurutinya. Namun, sesampainya di rumah, ayah dan ibuku memarahiku habis-habisan karena ternyata sebagai seorang anak sekolah, aku tak tahu akan bahaya kebakaran.
“Sudah, mulai besok, tidak perlu lagi bermain dengan anak tetangga! Semuanya nakal-nakal!”, begitu kata ayahku.
Aku adalah anak yang penurut dan tak banyak bicara. Maka aku pun mematuhi kata-kata mereka. Sejak saat itu aku berdiam di dalam rumah. Aku hanya keluar rumah jika ke sekolah atau disuruh membeli sesuatu di warung.
Dengan kekuatan imajinasiku, aku pun mengubah segala bentuk benda menjadi permainanku. Sapu lidi kubuat menjadi kuda-kudaan; kasur yang sedang tak dipakai kubuat menjadi bergelung dan aku tinggal menjadi manusia gua di dalamnya; wadah permen dari kaleng kuberi busa di dalamnya, dan kubuat menjadi koper tempat penyimpan benda-benda, aku membayangkan diriku adalah agen rahasia yang membawa senjata dalam koper ke manapun aku pergi.
Ayah-ibuku memujiku: aku adalah anak yang mudah diatur. Sangat penurut dan tidak menyusahkan orang tua. Orang tuaku makin menyayangiku. Oleh karena itu, aku makin betah di rumah. Bagi orang lain, rumah itu sumpek dan membosankan. Tapi bagiku, rumah adalah dunia imajinasi luas yang tak terperikan.
Perlahan-lahan aku mulai melupakan tetangga-tetanggaku. Mereka pudar bersama waktu...
* * *
Tahun demi tahun berlalu. Aku menjadi terbiasa berkurung diri di dalam rumah. Di sekolah aku punya banyak teman. Tapi di rumah, temanku hanyalah imajinasiku. Masih segar dalam ingatanku, bagaimana imajinasi begitu menguasaiku sehingga setiap berbaring di kamar, aku melakonkan imajinasi itu. Jika mereka tertawa aku ikut bergembira, jika mereka bersedih aku ikut menangis. Imajinasiku adalah hidupku. Kami tak dapat terpisahkan lagi. Walaupun mungkin tak ada yang tahu bahwa aku bertingkah begitu, karena pelakonan itu kulakukan saat aku sendirian.
Salah satu orang yang mengritikku adalah ibu dari teman sekelasku waktu SMP (anaknya itu bernama Sahil). Ia sering berteriak di jalanan di samping rumahku, menyuruh agar aku pergi ke luar rumah dan bermain bersama anak-anak lain. Namun imajinasi adalah kawan setiaku. Mereka tak pernah menyakiti hati seperti halnya manusia; kami tak pernah berkelahi. Kami menjalani segalanya bersama-sama.
Aku takkan keluar dan berteman dengan manusia dan meninggalkan mereka. Itu tindakan bodoh. Aku takkan pernah menghianati mereka. Tidak. Tidak mungkin. Aku jarang belajar, dalam arti mempelajari apa yang diajarkan di sekolah. Namun aku tak mengerti mengapa nilai-nilai raporku demikian baik. Bahkan hingga kelas 3 SMP aku adalah juara kelas yang tak pernah terkalahkan. Dua hal rajin yang harus kuakui adalah aku banyak membaca sembarang buku dan menonton berita di televisi.
Harta karun pertama yang tiada tara nilainya yang kutemui di rumahku adalah Ensiklopedi Indonesia suntingan Hassan Shadily milik ayahku. Sayang sekali bukunya hilang dua jilid (volume 4 dan 5). Melalui buku itu antara lain aku mengetahui ada penulis yang bernama Pramoedya Ananta Toer (dalam lema “Bukan Pasar Malam” dan “Keluarga Gerilya”), yang kusadari ketika aku Kelas 2 SMP (tahun 1993), satu nama yang tak pernah disebut dalam pelajaran sastra Indonesia di sekolahku pada waktu itu. Ternyata dengan membaca buku non-pelajaran sekolah, aku menemukan hal baru.
Maka aku pun makin asyik. Dan itu artinya aku semakin khusyuk diam di rumah. Krisis tingkah laku Yayan, yang merupakan kakak keempatku, ketika aku duduk di bangku SMP, membuat berkurung diri menjadi sebuah pembenaran. Yayan terjerat dalam lingkungan pergaulan yang akrab dengan alkohol, ganja dan obat-obatan terlarang. Orang tuaku ingin agar aku tak seperti Yayan, yang pemabuk dan sulit diatur, sehingga ia tak pernah lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang ia masuki. Ia bergadang tiap malam dan seringkali pulang dalam keadaan terhuyung-huyung. Ayah-Ibuku ingin agar aku diam di rumah sehingga tidak terpengaruh oleh lingkungan.
Pertentangan tajam antara Ayah dan Ibu di satu pihak dengan Yayan di pihak lain adalah hal yang menjadi makanan sehari-hari. Bayangan akan tindakan Ayah yang keras (yang salah satunya adalah dengan melempar gelas dan menampar) untuk mendisiplinkan anaknya itu terjadi hampir tiap hari. Sebagai seorang yang baru beranjak remaja aku tak bisa apa-apa. Hanya bisa terpekur menyesali kehidupan keluargaku yang tiba-tiba menjadikan rumah bukan sebagai tempat yang nyaman untuk ditinggali.
Walaupun kelak, bertahun-tahun kemudian, Yayan mengatakan amat menyesali perbuatan yang ia lakukan waktu itu, namun tak pelak lagi masa itu adalah masa pembenaran terhadap tindakan berkurung diri di dalam rumah, yang mematri kepribadianku sehingga menjadi sesuatu yang ajek, tak dapat dirubah lagi. Aku yang pendiam dan penyendiri adalah sesuatu yang telah menjadi kokoh dan tak teruntuhkan lagi, yang berlanjut hingga masa dewasa.
Anehnya, dalam pergaulan di sekolah aku adalah anak yang disukai. Bahkan aku aktif dalam beberapa ekstrakurikuler, seperti Pramuka, Pencak Silat, dan juga menjadi Pengurus OSIS sewaktu di SMP (dan juga kemudian di SMU). Dua dunia yang demikian berbeda itu kadang-kadang sangat membingungkan aku. Namun aku lebih sering tak peduli. Buat apa dipersoalkan?
Aku banyak membuang waktu dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh sekolah. Sebagai anggota Pramuka, aku menjadi seorang anggota yang rajin mewakili sekolah untuk mengikuti kegiatan perlombaan berupa perkemahan dan lain sebagainya. Dalam ekstrakurikuler Pencak Silat, aku, bersama kawan-kawan sekolahku sering mengadakan pertunjukan jika ada acara di daerah kami, termasuk di hadapan Bupati Bekasi waktu itu.
Namun pada akhir tahun Kelas 2 SMP aku mengundurkan diri dari kegiatan Kepramukaan; dan akhirnya juga dari kegiatan Pencak Silat. Karena perasaanku yang tertekan di rumah telah menyebabkan diriku mudah jatuh sakit. Aku saat itu adalah seorang remaja yang lemah secara fisik dan labil secara mental.
Anak-anak tetangga di sekitar rumahku semakin menganggap diriku aneh karena tidak mau bergaul seperti halnya anak-anak sebaya di lingkungan itu. Bagi mereka, walau begitu buruknya lingkungan bukan menjadi alasan bagi seorang anak untuk menghadapi dunia sosial yang luas dan tanpa batas. Namun aku tak mau orang tuaku menjadi semakin susah. Aku tetap berkurung diri di dalam rumah, karena aku ingin melihat senyuman yang menghiasi wajah orang tuaku. Aku ingin orang tuaku bahagia. Bukankah tidak ada tindakan yang paling mulia di dunia ini selain membahagiakan kedua orang tua?
Seorang anak yang memperhatikan diriku secara seksama mulai menggelariku dengan sebutan anak ganjil, karena perilakuku yang aneh; tak mau keluar rumah dan berkawan dengan tetangga.
* * *
Pada tahun 1995 aku lulus SMP dan mendaftar di sebuah SMU di Sumedang karena ayahku telah pensiun dan ingin beristirahat di perkampungan. Tindakan itu juga digunakan Ayah untuk menghindarkan Yayan dari lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap dirinya.
Aku mendaftar di SMU dengan dipuji, karena NEM(Nilai Ebtanas Murni)-ku 47, jauh di atas syarat penerimaan siswa baru di sekolah itu yang Cuma 39,5. Aku tak merasa tersanjung, karena nilai itu lebih kuanggap akibat mukjizat daripada hasil belajar kerasku. Hingga kelas 3 SMP aku masih saja seorang yang enggan mempelajari pelajaran di sekolah. Yang banyak kubaca justru buku-buku yang tidak jelas kaitannya dengan pelajaran di sekolah.
Namun SMU adalah dunia baru. Lagipula ini Sumedang, daerah Priangan yang indah dan bukan Jabotabek yang liar. Di sini aku terkesan dengan keramahan orang-orangnya. Sama sekali lain dengan perikehidupan di Jabotabek yang hidup masing-masing dan saling tak peduli. Aku menyadari kesalahanku. Aku mulai ingin berubah. Terlebih-lebih aku kini memiliki seorang sahabat yang ramah dan amat menyenangkan.
Namanya Wahyudin. Kami satu kelas, walau ia lebih tua satu tahun. Wahyudin adalah seorang yang petah (talkative). Berbicara apa saja dengannya amatlah menyenangkan. Aku sering mengunjungi kost-annya, yang walaupun sempit, namun punya atmosfer emosi yang membuat kita ingin selalu menjalani hidup dengan penuh semangat.[4]
Ia bukanlah seorang murid yang pandai dan juga tidak bodoh. Secara intelektual ia adalah anak yang biasa-biasa saja dan bukan seorang yang istimewa. Namun kemampuannya untuk menggugah emosi orang lain tiada bandingannya. Ia pandai menyenangkan hati orang lain. Ia bagiku adalah seseorang yang menyelamatkanku dari jurang isolasi sosial. Lagipula ia adalah seorang yang bertingkah laku baik dan taat beragama, orang tuaku senang jika aku bergaul dengannya.
Ia menyukai politik dan karenanya tema itulah yang banyak kami perbincangkan ketika kami sedang mengobrol akrab. Di kamar kost-annya terdapat sebuah perpustakaan keluarga milik bapak semangnya. Dua di antaranya adalah biografi Sukarno hasil tulisan Cindy Adams (Penjambung Lidah Rakjat) dan Di Bawah Bendera Revolusi jilid yang pertama. Ia bukanlah seorang gemar membaca. Namun ia punya metode canggih untuk mengetahui isi buku. Ia pinjamkan bukunya kepadaku yang suka membaca. Lalu setelah selesai dibaca, ia akan bertanya dengan penasaran: “Apa isi buku itu?”. Maka sang pembaca pun menjawabnya dengan antusias.
Namun sayangnya ia tidak disukai oleh beberapa orang guru. Karena Bahasa Sundanya yang tak mengenal undak-usuk[5] dianggap sebagai tindakan yang kurang ajar. Walaupun sebenarnya ketika kutanya, ia mengaku bahwa itu hanyalah kebiasaan berbicara semata, ia tak bermaksud kasar.
Sikapnya yang sering mendahulukan ekstrakurikuler ketimbang belajar di kelas kelak kemudian menjadi ganjalan yang lain lagi baginya. Walaupun ia adalah orang yang mudah akrab, namun sejumlah guru itu tetap tidak menyukainya. Kecerdasan sosialnya mandul saat berhadapan dengan guru yang punya prinsip lain. Aku masih teringat akan kata-katanya ketika menanggapi hal ini: bahwa ia dan mereka adalah orang-orang yang tidak “satu ideologi”.
Apapun kekurangannya, Wahyudin adalah sahabat akrab pertama yang kukenal ketika aku memasuki SMU. Bahkan persahabatan itu berlanjut hingga tahun 2006 setelah aku beberapa tahun menderita skizofrenia. Ia adalah kawanku yang pertama kali tahu kalau aku menderita gangguan kejiwaan. Ia tak pernah mengejek atau menolak aku. Sebaliknya ia malah memberi aku semangat agar aku terus maju dan pantang mundur, jangan putus asa.
Persahabatan kami terputus ketika aku terpaksa untuk yang kesekian kalinya tinggal di daerah Jabotabek. Jauhnya jarak telah memisahkan kami. Sialnya lagi, buku alamat yang mencantumkan nomor telepon kakaknya, kontak satu-satunya untuk menghubunginya, hilang tak berbekas.
* * *
Seperti yang sudah kukatakan semula, hidupku sarat paradoks. Pada saat duduk di bangku Kelas 1 SMU Caturwulan 2, aku menderita penyakit kehilangan minat. Aku enggan bersekolah dan hanya mau tinggal di rumah. Aku jadi kesulitan untuk hadir secara penuh pada saat bersekolah; dan masalah kehadiran ini sudah mencapai tahap kronis, karena dalam satu caturwulan, aku bisa berminggu-minggu tidak sekolah. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.
Ibuku sangat khawatir, ia membawaku ke berbagai dokter dan tabib di daerah sekitar Sumedang. Namun mereka mengatakan bahwa aku sehat wal afiat. Lama kelamaan ibuku menjadi jengkel. Ia menyebut diriku sama dengan Yayan yang gagal bersekolah hingga tamat. Aku jadi amat murung. Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku, apalagi ibuku.
Akhirnya ibuku menelepon ke kakak pertamaku yang tinggal di Tangerang, dan kakakku itu menawarkan solusi agar aku dibawa ke paranormal. Pada waktu yang berlainan aku dibawa ke dua paranormal. Dan keduanya berkesimpulan sama: bahwa ada teluh yang ditujukan kepada ayahku. Namun karena aku yang lemah, maka akulah yang kena. Konon menurut kedua paranormal itu, teluh itu dikirim oleh salah seorang bibiku yang tidak menyukai sikap ayahku ketika menghadapi sebuah permasalahan keluarga. Apa masalah itu tidak relevan untuk dibicarakan di sini.
Salah satu dari paranormal itu melarangku untuk lekas-lekas kembali ke Sumedang dan bersekolah lagi. Karena katanya, “Bila kembali ke sana sekarang, kamu akan kena [teluh] lagi.” Maka aku pun diharuskan tinggal di luar Sumedang hingga teluh itu dicabut oleh dukun yang mengirimnya. Aku memilih tinggal di rumah kakakku yang pertama (di Tangerang) dan yang ketiga (di Bekasi). Keduanya perempuan yang telah menikah.
Aku menunggu dan menunggu, hingga pada suatu malam, aku dan ibuku secara bersamaan bermimpi bahwa ada ular belang yang merayap cepat ke luar rumah, turun ke selokan, lalu pergi lekas-lekas tanpa berhasil kami tangkap. Paranormal yang di Bekasi menyatakan bahwa teluhnya telah dicabut dan aku boleh kembali bersekolah di Sumedang lagi.
Bukanlah perkara yang menyenangkan masuk sekolah setelah 3 bulan absen. Aku merasa amat malu untuk bertemu kawan-kawan lagi. Aku mulai membayangkan bagaimana kawan-kawanku akan mengejek dan mencibir kepada diriku. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa tertekan. Wajah-wajah benci kawan-kawanku senantiasa melintas dalam otakku.
Aku berupaya untuk meyakinkan diriku agar tetap tegar, namun gagal. Akhirnya aku memutuskan untuk bertindak lain. Tindakan yang tak pernah kuceritakan kepada orang lain hingga bertahun-tahun kemudian. Pada malam yang sepi, saat semua orang telah terlelap, kukeluarkan satu kaplet Refagan dan kuminum satu-persatu. Waktu itu nenekku sedang sakit dan ia punya satu bungkus obat jantung. Aku pun meminum semuanya. Plastik pembungkusnya kugunting-gunting dan kucemplungkan ke dalam peturasan, lalu kusiram agar tak meninggalkan jejak. Lalu aku pun kembali ke tempat tidur. Untuk menantikan reaksinya.
Pada waktu dini hari aku bangun dan muntah-muntah. Kepalaku pusing tujuh keliling. Aku pergi ke kamar mandi dan muntah lebih banyak di sana. Aku diam terduduk di dekat bak. Dapat kurasakan jantungku berdegup dengan sangat cepat. Darah sangat jelas terasa peredarannya. Jemari kaki dan tanganku terasa kebas dan tak dapat merasakan apa yang kusentuh, walaupun aku menekannya kuat-kuat. Aku menerawang, pikiranku tak bisa diam. Dengan otakku aku meraba-raba: masa depan apa yang aku punya.
Mungkin Ibu benar, aku sama saja dengan Yayan. Aku seorang yang pemalas dan tak mampu menghadapi pelajaran di sekolah. Aku akan jadi pengangguran yang tidak tahu harus mengerjakan apa kelak jika aku dewasa nanti. Aku akan jadi seorang yang tidak berguna. Aku takkan jadi apa-apa. Aku hanya akan jadi parasit bagi keluarga. Tindakanku untuk membunuh diriku sudah pada arah yang benar. Hanya saja kali ini aku tidak berhasil. Mungkin aku akan mencobanya pada kali yang lain.
Namun pada sisi lain ada optimisme yang menyeruak dalam batinku. Yang semakin lama semakin bertambah kuat di dalam hatiku. Aku anak yang pintar, begitu kata hatiku. Aku dapat menjadi apapun yang aku mau. Karena orang lain kesulitan untuk menyaingiku walaupun mereka belajar keras. Batinku berkata lagi; Aku adalah anak yang unik dan bukan “anak ganjil” seperti yang dikatakan oleh tetanggaku dulu. Suara batin itu semakin kuat: Aku akan mampu menjadi pahlawan seperti yang sering kulakonkan bersama imajinasiku. Dan akhirnya, Aku akan berhasil dalam dua dunia: dunia imajinasi dan dunia nyata.
Mungkin Tuhanlah yang telah menyelamatkan aku. Esok harinya aku memang beristirahat karena memang aku tak dapat mengontrol gerakan motorikku. Namun beberapa hari setelah kejadian itu aku mulai masuk sekolah kembali. Apa yang tergambar dalam angan-anganku ternyata tidak benar. Kawan-kawanku ternyata menyambut secara antusias kembalinya diriku. Mereka dengan ramahnya bertanya: “Apa kabar?” mereka menyalamiku. Lalu kami pun bercanda dan tertawa bersama.
Aku senang sekali, gambaran batinku tidak terbukti. Aku telah kembali bersekolah dan siap berprestasi lagi. Sama halnya seperti ketika di TK, SD dan SMP. “Aku akan jadi juara kelas,” begitu ucap batinku.
Kehidupan sosialku dengan para tetangga membaik. Karena di daerah Sumedang orang saling mengunjungi. Lagipula aku sangat terbantu dengan kemampuan ayahku dalam mencari sahabat, walaupun kadang-kadang aku tak selalu setuju dengan caranya. Ayahku gemar bermain kartu, dan dengan cara itulah ia mencari sahabat. Meski ayahku sudah tak dapat dibilang muda lagi. Namun ia tetap kuat bergadang semalam suntuk hanya untuk bermain kartu bersama para sahabat-sahabatnya. Aku yakin, orang yang mengenal ayahku sewaktu pertama kali pindah ke Sumedang lebih banyak daripada orang yang mengenal Yayan.
Aku ingin menjadi seperti ayahku, punya banyak kawan.Walaupun aku tidak suka bermain kartu. Aku tidak ingin menjadi pendiam lagi. Aku ingin aktif secara sosial. Jika ada tetangga yang datang ke rumah, aku menyapanya dengan ramah. Kami pun mengobrol dengan akrab tentang segala hal, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga masalah kenegaraan.
Para tetangga pun menyambutnya dengan senang hati dan menganggapku sebagai anak yang ramah. Walaupun demikian adalah hal yang sukar untuk menghilangkan kebiasaan berkurung diri di dalam rumah dan keluar untuk bermain dengan anak tetangga. Aku sudah satu dasawarsa lebih tak melakukannya. Namun aku masih mencoba ramah dan mengobrol dengan para tetangga jika kebetulan aku lewat di depan rumah mereka dan mereka ada di luar. Aku hampir tidak pernah memasuki rumah tetangga, dan jika mengobrol, aku di luar saja.
Keadaan semakin membaik, dan aku senang karena ada kemajuan. Hal ini berlangsung hingga aku lulus SMU, hingga aku ke Jabotabek lagi, untuk mencari pekerjaan. Karena aku telah lulus ujian di STT-Telkom namun orang tuaku tak mampu untuk membiayaiku.
Bagaimanapun aku meninggalkan Sumedang dengan satu keyakinan: bahwa aku mampu mengubah kepribadianku sepenuhnya. Aku adalah manusia yang ramah secara sosial.
Gerbang gangguan jiwa - 1998-1999
suntingAku lulus SMU ketika berusia 19 tahun, rata- rata lebih tua satu tahun dibandingkan usia kawan-kawanku (walaupun ada juga yang sama). Hal ini terjadi karena aku masuk SD pada usia 7 tahun. Ayah yang guru dulu berkata, jika seseorang mulai masuk SD, maka ia harus siap secara mental, dan kesiapan mental sewaktu memasuki SD itu menurut Ayah dicapai pada usia 7 tahun.
Segera setelah lulus SMU aku segera ke Bekasi, ke rumah kakak ketigaku. Aku melamar pekerjaan ke sana ke mari. Aku hampir saja mendapatkan sebuah pekerjaan di pabrik. Namun aku memutuskan untuk tidak melanjutkan proses wawancara yang akan kulakukan karena kupikir bekerja di pabrik tidaklah cocok dengan diriku.
Pada suatu hari datanglah telepon dari kakak pertamaku yang mengeluh bahwa pembantunya pulang kampung dan tidak kembali lagi. Dan adalah hal yang sulit waktu itu untuk mencari pembantu baru. Anak-anaknya jadi tidak ada yang menunggui di saat ia pergi mengajar di sekolahnya. Anaknya yang terbesar—yang bernama Mia—pada waktu itu masih kelas 5 SD; dan anaknya yang kedua dan ketiga—yang masing-masing bernama Fifi dan Angga—masih kelas satu SD dan TK.
Sebagai seorang adik yang menyayangi kakaknya, aku merasa kasihan. Maka aku pun berangkat ke Tangerang untuk menjaga anak-anak kakak pertamaku itu. Aku punya pikiran, tokh di Tangerang pun aku masih bisa melamar pekerjaan, sama seperti halnya di Bekasi. Aku pun pergi dengan maksud untuk menolong.
Kakakku menyambutku dengan gembira. Ia juga berterima kasih karena aku bersedia menunggui anak-anaknya. Anak-anak kakak pertamaku itu dekat secara emosional denganku. Bahkan hampir tiap malam (kecuali malam menjelang hari libur) aku membantu menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) mereka. Mereka memujiku karena aku telah berbaik hati membantu kesulitan mereka. Dan aku tersenyum, karena aku memang membantu mereka dengan tulus ikhlas, karena saking sayangnya aku kepada mereka.
Waktu pun berlalu dan tidak ada masalah yang berarti. Namun menjelang akhir tahun 1998 kakak iparku mulai menunjukkan sikap antipatinya kepadaku. Apa sebabnya tidak pernah kuketahui. Ia mulai dengan sengaja mendahak dan meludah di hadapanku. Mula-mula aku merasa biasa saja. Namun lama-kelamaan aku mulai tersinggung. Aku tidak terima.
Aku pergi melarikan diri ke Bekasi karena tidak tahan dengan sikapnya yang kasar. Aku menumpahkan segala perasaanku kepada kakak ketigaku, dan ia menyimak dengan penuh perhatian. Ia kemudian menelepon ke Tangerang dan bercerita apa adanya.
Kira–kira seminggu setelah kejadian itu, kakak pertamaku datang ke Bekasi dan menanyakan mengapa aku sampai pergi begitu saja. Kujawab dengan jujur bahwa aku tidak tahan dengan sikap suaminya. Ia berkata bahwa suaminya itu telah menitipkan permohonan maaf dan agar aku kembali ke Tangerang untuk menanyakannya langsung. Benar saja, saat aku datang ke Tangerang, kakak iparku itu memang meminta maaf dan ia berkata bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud apa-apa.
Minggu demi minggu berlalu tanpa terjadi apa-apa. Tapi kemudian kakak iparku mulai menunjukkan rasa tidak sukanya lagi. Ia mendahak dan meludah lagi di hadapanku. Ia dengan buruknya mengomentari diriku. Dan kali ini aku benar-benar tidak tahan. Aku pamit kepada kakakku dengan alasan sejujurnya. Aku mengatakan bahwa sebaiknya aku tinggal di Bekasi saja. Kali ini kakak pertamaku itu mengizinkan dan nampaknya ia memakluminya walaupun air matanya berlinang karena ternyata adiknya yang disayanginya tidak betah tinggal di rumahnya. Ia masih menginginkan aku ada di sana.
Ternyata tinggal di Bekasi pun aku tidak betah. Akibat trauma sosial dengan kakak iparku yang di Tangerang aku jadi menarik diri dari pergaulan sosial dengan para tetangga. Dan mereka mulai mengejekku sebagai orang yang tidak normal.
Kali ini aku menahan perasaan. Aku tidak bercerita kepada siapapun juga. Namun pada suatu hari ayah-ibuku datang secara bersamaan (Ayah biasanya hanya datang sendirian untuk mengambil pensiun di Bank Jabar Cabang Bekasi). Aku menumpahkan segala permasalahanku. Aku berkata aku ingin pulang ke Sumedang dan ingin beristirahat. Ayah-ibuku mengizinkanku. Maka aku pun pulang ke Sumedang.
Di Sumedang aku tidak dapat melupakan peristiwa di Bekasi. Perasaanku jadi amat tertekan. Aku jadi amat pendiam dan penyendiri. Bahkan aku tak mampu lagi untuk menceritakan perasaanku saat itu ketika ditanya oleh ibuku. Ibu khawatir aku sakit parah, namun ia bingung harus melakukan apa. Ia bertanya kepada saudara nenekku yang juga adalah seorang paranormal akan keadaanku. Katanya ada yang melancarkan teluh (parabun) karena tidak senang dengan kehidupan keluargaku yang tidak berkecukupan. Pengirimnya adalah tetangga di depan rumahku.
Aku masih ingin beristirahat dan menenangkan diri, namun Ayah dan Ibu memutuskan lain. Mereka menjual rumah kami yang luas dan nyaman itu. Karena mereka sudah tidak tahan dengan serangan klenik yang dilancarkan oleh orang lain (ini yang kedua kali, yang pertama pada saat aku sakit). Terlebih pada waktu itu Yayan berniat ingin bekerja dan di Jabotabek ia ingin tinggal di rumah sendiri dan bukan menyewa atau menumpang. Maka keputusan Ayah dan Ibu sudah bulat: kami harus pindah rumah.
Kami menjual rumah yang di Sumedang dan membeli sebuah rumah yang lebih kecil yang berlokasi di daerah Tambun, Bekasi tidak jauh dari rumah kakak ketigaku (walaupun rumah kakakku itu termasuk ke dalam wilayah Cibitung). Sayang sekali rumahnya tusuk sate. Namun karena kami tidak berhasil menemukan rumah yang lebih baik, maka kami pun cukup ikhlas untuk menempati rumah baru kami itu.
Penarikan diriku dari pergaulan sosial masih berlangsung. Dan para tetangga mulai mendahak, meludah dan bahkan memukul tembok untuk melampiaskan perasaan tidak sukanya kepadaku. Aku amat tersinggung dan jelas tidak terima. Aku membalas menendang tembok agar mereka tahu bahwa akupun dapat melawan.
Hari demi hari orang yang mendahak, meludah dan memukul tembok semakin banyak saja. Bahkan sembarang orang yang lewat pun mulai melakukannya. Mereka semua benci kepadaku. Dan aku benar-benar tidak terima, aku mulai meneriaki mereka. Namun bukannya mereda, mereka malah semakin meningkatkan intensitas perbuatan mereka. Aku terpojok. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Pada suatu siang, aku mendengar tetanggaku yang sedang berkerumun mengataiku. Aku terkejut betapa kasarnya kata-katanya.
“Gila kamu!”
“Sinting!”
“Manusia tolol!”
Aku tak mengerti mengapa mereka demikian kasar. Aku terpaku di tempat dudukku. Tak bergerak. Setiap aku menggeser dudukku mereka semakin keras berkata. Tepatlah kiranya perkiraanku, mereka telah bulat-bulat membenciku. Benci karena aku telah menarik diri secara sosial.
Malamnya aku tak bisa memejamkan mata. Aku terus-menerus memikirkan peristiwa itu. Mungkin ini memang kesalahanku. Mungkin kepribadianku memang buruk. Ayah-ibuku tak pernah mempermasalahkan kepribadianku. Tapi ternyata itu menjadi masalah besar bagi orang selain mereka.
Paginya kudengar mereka mengataiku lagi. Kali ini aku hanya diam di kamar. Suara mereka jelas sekali terdengar di telinga. Aku tak mungkin salah. Ayah semakin sibuk bermain kartu dan yang khawatir kepada diriku hanyalah Ibu, yang memang selalu menyayangiku dalam kondisi apapun juga. Yayan pada waktu itu telah bekerja sebagai Kamra (Keamanan Rakyat)[6], ia hanya memperhatikanku sekali-sekali.
Namun aku tak dapat menahan kejengkelanku kepada para tetangga yang kian hari kian kurang ajar. Aku pun mulai marah-marah. Aku menuding para tetanggaku telah bersekongkol untuk bersama-sama membenciku. Aku meluapkannya kepada Ibu yang memang selalu di rumah. Ketegangan di rumah kami meningkat. Yayan tidak suka dengan sikapku.
Ibu menjadi diam dan bingung menanggapiku karena menurutnya tidaklah begitu. Ia menasehatiku baik-baik bahwa sebenarnya tidak ada yang bermaksud buruk kepadaku. Namun aku tak percaya. Aku tetap yakin tetangga sekitar rumahku tidak menginginkanku ada di rumah kediaman kami. Aku berulangkali meninju pintu dan dinding sebagai balasan pelampiasan kekesalan kepada mereka. Sementara Ayah hanya menanggapi sesekali sambil asyik menghisap rokoknya.
Pada suatu hari aku berpikir keras akan apa yang harus kulakukan. Dan pada sore harinya aku menyimpulkan bahwa aku depresi karena sikap tetangga dan harus berobat ke psikiater di RSCM. Namun Yayan menghalangi dengan alasan bahwa psikiater itu mahal dan tindakanku hanyalah mengahambur-hamburkan uang. Emosiku tak dapat kubendung lagi. Aku memandang Yayan sebagai penghalang. Dan aku pun meninju mukanya keras-keras dengan tangan kananku. Setelah kejadian itu Yayan mengizinkan niatku.
Di Poli Psikiatri RSCM aku diwawancarai oleh seorang yang kemudian kukenal sebagai dokter muda Haznim. Aku mengungkapkan seluruh riwayat hidupku termasuk usaha bunuh diri ketika masih di SMU. Ia datang ke rumahku dan mewawancaraiku serta keluargaku. Beberapa hari kemudian aku disuruh datang lagi. Dan ternyata dokter muda Haznim tengah menempuh ujian psikiatri. Aku tidak pernah tahu apakah ia lulus dalam ujian itu atau tidak. Namun sang penguji mewawancaraiku. Aku bercerita semuanya namun hanya mengenai kepribadianku. Aku tidak menceritakan mengenai ketidaksukaan para tetangga kepadaku karena itu adalah masalah sosial dan bukan masalah kejiwaan. Penguji itu berkesimpulan bahwa aku menderita gangguan kepribadian. Tanpa menyebutkan gangguan kepribadian apa.
Aku diantar kembali ke Poli Psikiatri oleh dokter muda Haznim. Di sana, seorang dokter yang bernama Titis, memberiku resep. Kalau tidak salah resepnya adalah Iterax dan Artare.
Aku kembali dengan sedikit rasa lega di hati.
== Hantaman jiwa yang menghebat - 1999-2002 == Dapatlah kukatakan bahwa sejak kunjunganku ke RSCM itu aku sadar bahwa aku menderita gangguan kejiwaan. Maka sejak saat itu aku sesekali berobat di RSCM dan pernah sekali mencoba berobat di RSJ Grogol (sekarang RS Soeharto Heerdjan). Namun tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa aku harus minum obat secara teratur dan kontrol secara rutin. Juga tidak ada yang mengatakan secara jelas apa penyakitku.
Beberapa dokter berbicara mengenai halusinasi. Apakah semua kejadian yang kualami adalah halusinasi? Aku berkata dalam diriku: Tidak! Semuanya tampak begitu nyata! Tidak mungkin itu semua hanya halusinasi! Aku menampik segalanya. Akan tetapi aku kembali ke rumah dengan keragu-raguan: Mana yang benar: pendapatku atau pendapat dokter? Apakah pengalaman hidup seseorang dapat dinilai secara ilmiah?
Sementara itu traumaku lama-kelamaan menjelma menjadi ketakutan terhadap manusia. Aku jarang keluar rumah bukan lagi karena ingin berkurung diri tapi karena aku takut bertemu dengan orang lain. Bahkan jika aku naik bus aku harus duduk di pinggir jendela hanya untuk menghindari tatapan mata orang yang duduk di sebelahku. Aku masih saja marah-marah kepada Ibu; dan Yayan selalu tak setuju. Ia sering memarahiku, bahkan memukulku. Sementara Ayah hanya memperhatikan sesekali.
Siang menjadi saat neraka bagiku. Aku terkurung dalam gelombang suara tetangga. Mereka mendahak, meludah, mengejek, dan menertawakanku. Aku terpaku menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang bisa kulakukan. Kini aku berobat ke dokter jiwa, dan itu menjadi alasan bagi mereka untuk lebih keras mengataiku ‘gila’.
Aku takut untuk mengerjakan segala hal. Segala rutinitas seperti makan dan mandi menjadi terabaikan. Aku takut makan karena jika sendoknya berdenting dengan piring akan menyadarkan tetangga untuk berkata lebih keras. Demikian juga dengan mandi, bunyi siraman airnya membuat mereka lebih aktif dalam meluapkan rasa benci mereka.
Aku mulai jarang makan dan mandi. Aku hanya makan sekali sehari, pada saat magrib berlalu. (Sungguh, hal itu telah membuatku cukup untuk menderita penyakit tukak lambung). Aku pun hanya mandi dua hari sekali, saat badanku telah gatal-gatal.
Aku mulai betah bergadang semalam suntuk, karena pada saat malam para tetangga tidur semua dan mereka tidak punya kesempatan untuk mengejekku. Aku membaca buku-buku yang aku punya untuk melewatkan waktu pada saat bergadang itu.
Jika fajar mulai datang aku pun mulai gelisah. Karena tetangga kan kembali bangun dari tidurnya dan mulai meluapkan rasa bencinya. Aku mulai bingung dan mencari cara agar aku tak terlalu memperhatikan mereka. Lalu aku meminta Yayan untuk membelikanku radio dengan earphone-nya, agar suara tetangga tertutupi oleh suara radio itu.
Tapi hal itu kadang-kadang tak berhasil. Radio kecil terlalu minim suaranya untuk dapat menutupi suara tetangga. Sehingga suara dahak, ejekan, dan tertawaan mereka mengalahkan suara yang muncul dari earphone-ku.
Aku mulai tambah gelisah. Dan tetangga semakin keras mengejek. Seperti Iblis-iblis yang meluapkan dendamnya kepada manusia....
Ibu, jiwaku... - 2002
suntingIbuku mulai khawatir karena tingkah anehku tak jua hilang. Akhirnya atas saran seorang bibi di Ciamis aku berobat ke seorang paranormal di Purbalingga. Dan menurut analisa paranormal itu, ada makhluk halus yang menunggui rumah kami. Karena itu ia akan mengunjungi rumah kami untuk mengusir mahluk halus itu dan memasang pagar gaib agar makhluk halus itu tidak bisa masuk lagi ke dalam rumah, Ia membawaku ke Poli Jiwa RSUD Banyumas.
Ia menyarankan agar aku meneruskan pengobatanku di Poli Psikiatri atau di Rumah Sakit Jiwa. Ia mengirim muridnya (yaitu sepupuku sendiri, anak dari bibiku di Ciamis itu) untuk melakukan ritual berupa zikir dan pengurutan di bagian kepala terhadap diriku.
Setelah itu Ibu mengajakku berobat ke dua paranormal lain yang masih berdomisili di wilayah Tambun, dan mereka berkesimpulan sama: bahwa rumahku ditunggui mahluk halus. Merupakan hal yang tidak mungkin untuk mengusirnya sebab ia diberi makan oleh pemiliknya agar tetap berada di situ. Ayah dan Ibu kembali menarik napas dalam-dalam, karena mereka kini harus berpikir untuk pindah rumah lagi.
Aku sendiri semula tidak setuju untuk pindah rumah lagi karena aku yakin masalahnya bukan terletak pada bagaimana rumahnya akan tetapi masalahnya terletak pada bagaimana kepribadianku. Namun selama berbulan-bulan Ayah, Ibu dan Yayan mendesak agar aku menyetujui pendapat mereka. Karena aku berpikir mungkin di lingkungan yang baru aku dapat memulai segala sesuatunya dari awal, maka aku pun akhirnya menyetujui pendapat mereka.
Aku tak mau kembali ke Sumedang karena aku malu kepada kawan-kawan SMU-ku. Aku tidak mau mereka tahu kalau aku memiliki gangguan kejiwaan. Namun kami telah mencari rumah di berbagai kabupaten di Jawa Barat, tapi tak berhasil menemukan rumah yang cocok, baik letaknya maupun harganya. Ibu dan Yayan mulai mempertimbangkan Sumedang dengan alasan saudara-saudara kami banyak yang tinggal di sana. Selain itu kami pun akan dapat turut merawat makam nenek kami yang meninggal karena pembengkakan jantung pada tahun 1999. Semula aku menolak. Namun karena dibujuk terus-menerus akhirnya aku pun setuju.
Kami tidak membeli rumah di sana akan tetapi membangunnya dengan biaya hasil penjualan rumah yang di Tambun, Bekasi. Yayan menjadi pengatur keuangan pembangunan rumah itu setelah Kamra dibubarkan dan ia kini tak bekerja lagi. Pembangunan rumah kami dimulai pada akhir tahun 2001 dan selesai pada awal tahun 2002, walaupun rumah kami tak berkaca karena kami kehabisan uang untuk memasangnya (sebagai gantinya kami menggunakan plastik). Semua lantai kamar tidur rumah kami juga tak berpelur. Semuanya hanya tanah yang ditutupi dengan tikar. Walaupun begitu kami tetap gembira sebab harapan yang baru telah berdiri.
* * *
Tetangga dekat kami seorang pelukis dan ia serta istrinya ramah sekali. Semua anaknya telah bekerja. Hanya satu yang masih sekolah, yang paling kecil, masih di SMP. Aku sangat senang punya tetangga dekat yang seramah itu. Aku jadi teringat masa kecilku yang punya bakat melukis dan sering ikut perlombaan. Mungkinkah bakat itu dapat dibangkitkan kembali? Mungkin aku bisa menjadi pelukis profesional nantinya. Aku dapat belajar ke tetangga dekatku itu. Ia bilang aku dapat kursus tanpa dipungut bayaran. Aku senang sekali ada yang menawari begitu.
Pada suatu hari anaknya yang nomor dua datang dari Jakarta. Aku belum banyak mengenalnya. Namun dari perbincangan tetangga nampaknya ia adalah anak yang kurang baik akhlaknya. Ia sering mencuri hanya agar dapat bermabuk-mabukan. Konon dari Jakarta ia ke Bandung, dan di sana ia tetangkap basah sedang mabuk berat, maka ia pun digelandang ke kantor polisi setempat. Dari kabar yang kudengar, ia telah keluar dari pekerjaannya di sebuah pabrik di Jakarta. Ia adalah anak yang buruk kelakuannya. Konon sebelumnya ia tidak lulus STM. Dari para tetangga aku tahu namanya, yaitu Ajat.
Namun aku tetap ingin berkenalan baik dengannya. Menurut pendapatku waktu itu, manusia buruk kelakuannya bukan karena sifat dasarnya sudah begitu. Namun terkadang karena pengaruh buruk lingkungan. Kakak keempatku, Yayan, juga mantan seorang pemabuk dan penyalah-guna obat terlarang. Namun bukan karena ia punya kepribadian yang buruk, akan tetapi ia terlampau banyak menuruti lingkungan.
Aku menyambangi teras rumahnya untuk berkenalan. Namun ia malah menghindar dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Namun dari beberapa kali pertemuan sekilas mata dapat kulihat ia punya banyak tato di sekujur tubuhnya (Yayan juga punya tapi hanya satu). Ia hanya mau menerima Yayan dan anak tetangga lainnya sebagai temannya dan tidak mau bergaul denganku.
Karena aku dikecewakan sekali lagi, perasaan tertekan di dalam diriku kembali bangkit bagaikan makhluk mengerikan yang bangun dari tidurnya dan menguasai aku. Aku kembali berkurung diri di dalam rumah. Untuk mengisi waktu, aku mendengarkan radio dan membaca ulang buku-buku yang aku punya. Waktu terasa lama sekali. Hari-hari terasa amat membosankan.
Beberapa minggu berlalu dan kali ini Ajat mulai berani untuk menghinaku dengan kata-katanya yang kasar. Ia mengataiku ‘gila’. Ini terjadi berulang-ulang dan setiap hari. Nampaknya di manapun aku berada, Ajat selalu mengikutiku untuk mengataiku. Aku jadi merasa diteror terus-menerus. Aku takut sekaligus gelisah. Mungkin ia bersikap demikian karena aku jarang keluar rumah dan selalu membaca buku. Apakah itu sebuah kesalahan besar sehingga ia menghukumku sedemikian rupa?
Ia mulai mencontohkan kepada para tetangga bagaimana seharusnya memperlakukanku. Ia mencontohkan bahwa karena tingkah lakuku, aku layak dijuluki ‘gila’. Ia terus-menerus mengataiku dan para tetangga mengikuti begitu saja. Kian hari kian banyak yang mengataiku. Ke manapun aku pergi selalu ada yang mengataiku. Dan hal itu sungguh membuatku sakit hati. Kenapa mereka tega melakukannya?
Ketakutanku terhadap orang kumat lagi. Dan kali ini lebih parah. Aku tak kuat tinggal di rumah. Kebetulan di Sumedang banyak sekali daerah persawahan dan mungkin aku bisa menenangkan diri di sana. Aku pun berangkat pagi-pagi sekali. Menyusuri hamparan persawahan yang luas. Sumedang adalah daerah yang dingin, di dangau (saung) di tengah sawah dapat kurasakan angin yang mengigilkan badan. Untunglah aku memakai jaket. Di hadapanku dua buah kincir angin bambu menemaniku hingga senja hari.
Aku tidak pulang malam itu. Aku mencari dangau yang berdinding penuh dan menginap di dalamnya. Ketakutanku terhadap orang telah mengalahkan ketakutanku terhadap hantu di tengah sawah. Aku berbaring karena pada hari itu aku lelah sekali. Namun karena ketegangan dalam diriku aku tak mampu untuk terlelap bahkan untuk sekejap jua. Malam itu gelap sekali. Aku tak berani menyalakan senter walaupun aku membawanya di dalam tasku. Aku takut ketahuan orang lain kalau aku ada di sana. Dalam jarak yang jauh tak ada cahaya sama sekali. Hanya ada obrolan para peronda di perkampungan yang terdekat yang membicarakanku. Aku jadi tidak tenang perasaan.
Aku tak dapat jatuh tertidur pada malam itu. Apa yang terjadi dalam diriku sungguh membuatku kepayahan. Membuatku lunglai karena menguras tenaga batiniah yang aku punya dalam diriku. Aku berbaring dan merenung di sepanjang malam itu. Pelarian dari manusia di negeri yang banyak manusia adalah tindakan yang benar-benar melelahkan. Aku tiba pada saat bahwa aku butuh berdoa kepada Tuhan. Namun, kali ini aku tak mampu menyusun kata-kata permohonan kepada Tuhan, walaupun ingin.
Pikiranku kacau sekali, dan aku masih terguncang dengan apa yang aku alami. Di kejauhan, kedengarannya para peronda tahu bahwa aku ada di sana. Mereka berniat mendatangi aku untuk menanyai, tapi kawannya mencegah, karena aku sama sekali bukan perampok.
Bagaimanapun waktu tak dapat dicegah. Fajar akhirnya datang jua. Aku harus pulang sebelum suara azan berkumandang, agar aku dapat pulang ke rumah sebelum para tetangga bangun dari tidur malamnya. Perutku pun sangat lapar. Aku pun membenahi tempat itu agar tidak pernah ketahuan kalau aku pernah di sana. Aku beranjak pulang ke rumah.
Aku melangkah dengan hati-hati sekali karena takut membangunkan para tetangga. Aku tak mau mereka mengataiku lagi. Kuketuk pintu dengan perlahan. Dan pintu pun segera dibuka. Ibu berdiri di depan pintu. Ia menangis. Aku menghambur ke dalam.
Ibuku sesegukan sambil bertanya ada apa sebenarnya. Aku tak bisa segera menjawab. Aku terdiam seribu bahasa. Dan ketika tangis Ibu mulai mengeras, barulah kuceritakan segalanya dengan suara yang dipelankan agar tidak kedengaran para tetangga. Ibuku menangis lirih, “Ya Allah, kenapa kau tak sembuh juga...” Dan aku menanggapinya dengan diam menatap lantai.
Pagi merayap datang. Namun matahari tersaput awan kelabu waktu itu.
* * *
Akhirnya pada malam yang lain, malam saat aku tidak pulang, kusadari bahwa mesjid ternyata lebih nyaman untuk dijadikan tempat menginap pada malam hari, karena lebih hangat. Di mesjid, aku pun mampu salat dan berdoa pada malam-malam itu; memohon agar Allah menganugerahkan kasih sayang di antara hati kami sebagai tetangga. “Jangan jadikan kebencian meliputi hati kami,” begitu doaku pada malam-malam yang sepi itu. Di dalam mesjid, aku lebih mendapatkan ketenangan batiniah karena aku dapat berlindung kepada Allah dari keburukan makhluknya.
Begitulah, maka selama berbulan-bulan aku menggelandang dari satu mesjid ke mesjid yang lain, untuk menghindari ejekan para tetangga yang tak juga mereda. Aku hanya pulang untuk mandi dan meminta uang untuk makan; atau aku membekal nasi jika Ibu kebetulan sedang tidak memiliki uang. Yayan dan Ayah pun mulai merasa cemas. Namun mereka tak berbuat sesuatu yang berarti. Tampaknya tidak ada yang tahu bagaimana caranya untuk menolongku.
Kekhawatiran Ibu semakin besar tiap harinya. Matanya mulai rabun karena rasa cemas yang begitu dalam. Badannya semakin lemah. Hingga pada suatu hari tibalah waktu saat kedua kakinya tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Ia mulai berjalan terseok-seok dan sering terjatuh. Ia seringkali harus dipapah untuk pergi ke mana-mana. Kondisiku saat itu sedang parah-parahnya. Dan aku hanya bisa miris melihat kondisi Ibu yang seperti itu. Aku berusaha untuk berdoa setiap hari, akan tetapi situasi semakin bertambah parah. Apakah aku seorang pendosa sehingga doaku tidak didengar?
Pada suatu subuh, Ibu membukakan pintu; ia menyambutku dengan berlinang air mata. Kami duduk di ruang tamu. Sunyi di antara kami. Tak ada kata-kata. Suara serangga kemarau mengisi kekosongan kami. Aku benar-benar gundah waktu itu. Aku mencoba mencari kosakata yang tepat untuk menjelaskan pada Ibu. Tapi yang aku lakukan adalah menggenggam tangan Ibu; dan Ibu balas menggenggam tanganku. Aku berkata dalam kegundahanku, “Ibu maafkan aku, sebab aku belum bisa membahagiakanmu.” Ibu tampak terenyuh. Lalu ia menjawab bersama linangan air matanya, “ Ibu juga minta maaf, sebab Ibu tak sanggup untuk mengerti keadaanmu.”
Aku kemudian diam tanpa kata-kata lagi. Ibu berdoa dalam Bahasa Sunda. Hari masih temaram. Tak ada seorangpun yang terbangun kala itu. Hari demi hari berlalu. Keadaan Ibu bertambah parah, dan pada suatu hari atas saran bibiku aku dan Ayah membawanya ke Ciamis untuk diobati oleh seorang paranormal. Namun karena kondisinya tidak membaik, maka Ibu diantar oleh Yayan ke Tangerang, ke rumah kakakku yang pertama. Di sana Ibu diajak untuk memeriksakan diri secara rutin ke RSCM dan kesimpulannya adalah Ibu menderita radang sendi.
Aku pada waktu itu tidak ikut ke Tangerang karena aku masih trauma dengan sikap kakak iparku pada waktu yang lalu. Setelah mendapat diagnosa yang memuaskan serta obat-obatan, Ibu segera pulang ke Sumedang, karena khawatir akan kondisiku yang ditinggalkannya selama berobat di Tangerang. Namun aku menyayangkan kehadirannya karena aku tak mau Ibu melihat betapa parahnya diriku. Aku tidak lagi hanya menggelandang dari mesjid ke mesjid tetapi juga membobol jendela perkantoran yang sepi hanya untuk bermalam di dalamnya. Aku tak mau Ibu mendengar semua tentangku. Terlebih sikap para tetangga semakin tak peduli terhadap kami. Kenapa Tuhan tak mendengar doaku, aku tak tahu.
Melihatku, sakit Ibu luruh semakin parah, dan kali ini kakak pertamaku berpesan saat aku meneleponnya agar aku kali itu juga ikut ke Tangerang, demi ibu kami. Selama berminggu-minggu Ibu dirawat di rumah. Hingga pada suatu waktu Ibu tak kuat lagi untuk duduk. Esok harinya Ibu koma. Maka keluarga kami pun sepakat untuk merawat inap Ibu di RSUD Tangerang. Kakak lelakiku yang di Jambi, yang telah bertahun-tahun tidak pulang, kini datang untuk menjenguk Ibu yang sakit.
Hasil CT scan menunjukkan bahwa Ibu menderita tumor otak. Penyakitnya bukan radang sendi. Kata dokter yang menanganinya, tumor itu telah ada di dalam kepala Ibu semenjak ia masih remaja. Namun karena sifatnya yang tidak ganas, maka baru sekarang inilah ibuku merasakan keparahan penyakitnya itu. Ibuku terus-menerus koma dan selama dirawat hanya sadar sebanyak dua kali. Hatiku menjerit, aku tidak tahu kepada siapa lagi aku memohon pertolongan; karena Tuhan tidak mendengarku.
Dokter menyarankan operasi untuk memindahkan cairan dari otak ke paru-paru. Namun keluarga kami kecewa karena sang dokter menyatakan bahwa hal itu tidak akan membuatnya sembuh. Itu hanyalah solusi untuk memperpanjang usia Ibu. Keluarga kami berembuk. Akhirnya kami sepakat, Ibu akan kami bawa pulang.
Aku tahu tanpa Ibu aku akan hidup tanpa kasih sayang. Dan karena itu penyakitku semakin menjadi. Aku meneruskan kehidupanku yang menggelandang dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Tiap hari aku mempersiapkan diri untuk kondisi yang terburuk yang mungkin akan menimpa Ibu. Dan memang benar, pada suatu dini hari pada tanggal 26 November 2002, Ibu meninggal dunia.
Aku dapat merasakan kehilangan yang mendalam dalam diriku. Aku berusaha untuk tidak menangis, akan tetapi aku tak dapat membohongi perasaanku bahwa aku amat berduka. Air mataku memang tidak mengalir, namun hatiku remuk-redam. Aku telah kehilangan seseorang yang selama ini melindungi dan menyayangi diriku, dan aku yakin ia tak tergantikan oleh orang lain.
Malam itu adalah malam yang paling kelabu dalam hidupku walaupun tak diiringi oleh air mata yang mengalir. Malam itu diriku dipenuhi dengan tangisan tanpa air mata.
Pada catatan tak bertanggal (waktu itu aku belum menulis Dinten) yang kutemukan pada 4 Januari 2006 jelas tergambar bagaimana perasaan Ibu pada menjelang akhir tahun 2002 itu. Ia menyatakan ingin hidup bahagia namun tak kunjung mengalaminya. Pada masa kecil ia ditinggalkan oleh ibu kandungnya dan terpaksa hidup dengan ibu tiri yang setiap waktu menyiksa dan memfitnahnya sehingga ayahnya (kakekku) ikut menekan kehidupannya.
Ia kemudian menikah dengan Ayah yang sama sekali tak dicintainya. Ayah adalah seorang yang pemarah dan tak peduli pada perasaan orang lain. Pada masa awal pernikahannya ia sering dipukuli (kakak pertamaku yang pada waktu itu masih kanak-kanak masih mengingat kejadian-kejadian itu dengan jelas). Ayahku membenci istri pertamanya yang meninggalkannya sebelum menikah dengan Ibu. Ia meluapkan amarahnya kepada Ibu.
Ekonomi keluarga kami ketika aku belum lahir amatlah sulit dan ini membuat Ibu terpaksa bekerja mencari uang tambahan dengan berdagang. Ini juga bukan sesuatu yang mudah sebab jika Ibu mendapatkan penghasilan yang agak lumayan, uangnya habis dipakai Ayah untuk membeli kudapan dan kopi untuk menjamu kawan-kawan Ayah. Satu tingkah laku yang tetap tak dapat diterima dengan ikhlas oleh Ibu hingga akhir hayatnya.
Mengurus empat anak (waktu aku belum lahir) dalam keadaan ekonomi yang sulit bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Ayahku yang guru penghasilannya tak dapat diharapkan banyak. Apalagi kemudian Ayah memutuskan untuk memelihara (ngukut) tiga keponakan Ibu dan nenekku. Satu keadaan yang seringkali digambarkan oleh Ibu sebagai “bersama-sama dalam penderitaan.”
Ketika aku anak-anak keadaan ekonomi kami membaik. Namun menjelang remaja, Yayan mulai bertingkah. Ia menjadi seorang pemabuk yang membuat hati Ibu menjadi pilu bukan kepalang. Dan kini ia menjadi pati lara karena memikirkanku yang tiba-tiba menjadi seorang pesakit jiwa; yang sering memarahinya, padahal bukan ia yang bersalah. Ia ingin sekali menikmati kebahagiaan hidup di ujung hayatnya. Ia ingin agar aku sembuh. Namun Ibu tidak pernah melihatku membaik. Ia wafat tanpa tahu bagaimana kelanjutan kehidupan anaknya.
Ibuku akhirnya dimakamkan di tanah wakaf dekat komplek tempat kakakku tinggal, di Tangerang.
Masuk ke wisma jiwa - 2002-2003
suntingTernyata setelah Ibu meninggal, kakakku yang di Tangerang bersedia menggantikan posisi Ibu. Ia mengantarku berobat. Kali ini rumah sakit yang aku datangi adalah Sanatorium Dharmawangsa[7] di Jakarta Selatan. Aku konsultasi dengan Prof. Kusumanto dan Prof. Sasanto karena kakakku menginginkan psikiater yang terbaik.
Namun karena masih gelisah (ternyata kini sembarang orang di jalanan pun meledekku!) maka aku masih meneruskan pengembaraanku dari mesjid ke mesjid. Hingga pernah aku kehilangan tasku dan hampir dipukuli massa, disangka maling, karena malam-malam berjalan tak tentu arah tujuan. Aku diberi obat Seroquel (quetiapine) waktu itu, namun obatnya hanya kuminum sesekali saja.
Kakakku risau. Ia membujukku agar bersedia dirawat di Sanatorium Dharmawangsa. Namun aku menolak. Aku tak mau merusak reputasiku menjadi pasien rawat inap rumah sakit jiwa. Bagaimana jika pada suatu waktu seseorang menemukan catatan tentang diriku sebagai seorang pesakit jiwa yang pernah masuk RSJ? Tidak. Aku tak mau.
Namun kakakku terus membujukku. Karena aku pernah merasakan ketidaknyamanan akibat prasangka orang-orang karena aku menggelandang dari mesjid ke mesjid, maka akhirnya aku pun menyetujui saran kakakku dan aku masuk Sanatorium Dharmawangsa.
Sehari sebelum itu (30 Januari 2003), aku membeli sebuah agenda yang kujadikan sebagai buku diri, yaitu semacam buku harian[8]. Kucatat segala yang terjadi dalam buku harian itu.
Pada tanggal 1 Februari 2003 aku menulis:
Saya tidak tahu ini jam berapa. Akhirnya saya melewati gerbang itu setelah 4,5 jam menunggu konsultasi dengan Prof. Sasanto terlebih dulu. Oleh seorang perawat lelaki diantar ke semacam ruang pusat pengaturan, lalu tekanan darah saya diperiksa.
Saya memilih ruangan yang paling ujung yang kosong sama sekali dari pasien yang lain, sehingga saya dapat sendirian. Seorang perawat lelaki [yang lain] menganjurkan dan mendesak agar tak di ruangan itu karena ruangannya baru saja dicat, dan bau catnya keras sekali. Namun saya bersikukuh; dan akhirnya saya diizinkan juga.
Hamparan ruang-ruang di kelas III khusus lelaki ini tidaklah luas. Setelah pintu masuk ada sebuah ruangan dengan meja makan dan kursi-kursinya, semuanya berwarna putih. Dengan televisi di pojoknya. Di sebelahnya ada ruang lagi, tapi saya tidak tahu itu ruang apa. Lalu dalam arah menyiku, terletaklah ruangan pengaturan seperti yang telah kuceritakan tadi.
Di samping ruangan itu terhamparlah sebuah pelataran kecil yang tanpa atap dengan sedikit tanaman-tanaman penghias yang dicocokkan langsung ke tanah atau dalam pot. Dalam arah menyiku dari ruang pusat pengaturan itu terletak ruang perawatan (rawat inap) dengan 6-7 ranjang seukuran tempat tidur seorang manusia. Seprai-seprainya putih, juga rangka-rangkanya; dan juga sarung bantalnya; selimutnya putih berlarik. Di muka semua ruang rawat inap itu terletak masing-masing sebuah kursi panjang tempat duduk-duduk.
Di sebelah ruangan yang saya tinggali terletak Ruang KoAs (dokter muda). Lalu dalam arah menyiku (saya pergi ke WC untuk menyelidik sambil lalu) ada 4 ruangan yang lain; (dan ketika saya kembali dari WC) Astaga! Ternyata ada sesosok jasad kecil tidur terlentang telanjang di atas tempat tidur. Di sebelah ruangan itu adalah WC. Dan di sebelah WC ada lagi 3 pintu yang saya tidak tahu bagian dari ruang apa. Mungkin ruang rawat inap yang belum terpakai. Dari jendela saya dapat melihat handuk-handuk berjemur diri.
Badan saya terasa lemas, mungkin karena pengaruh obat. Kemarin dan semalam saya menjadi khawatir terhadap air muka kakak saya yang murung, tegang dan diam. Mungkin karena ia merasa susah besar memikirkan [biaya] rawat inap saya. Mungkin karena ia berperang hebat dengan suaminya. Mungkin....
Saya sangat takut, kalau ia akan membenci saya. Saya akan kehilangan harapan dan saudari sekandung yang dapat mengerti saya. (Aduh...).
Saya benar-benar tidak tahu, setelah keluar dari sini saya harus ke mana. Semalam saat konsultasi, saya utarakan pertentangan pendapat dengan saudara-saudara saya. Bahwa saya menginginkan tempat tinggal yang kehidupan sosialnya berkadar sesuai dengan kemampuan saya. Sementara kakak-kakak saya berpendapat bahwa sudah seharusnya saya tinggal di lingkungan yang tidak saya sanggupi agar kemudian menjadi sanggup. Lalu Prof. Sasanto menjawab bahwa dua-duanya juga benar, hanya saja kita tidak bisa terus-terusan mengasingkan diri dan harus belajar beradaptasi dengan kenyataan sosial.
Saat saya katakan kalau saya tidak tahu harus ke mana setelah keluar dari Sanatorium, kakak saya menggerutu dengan bergumam. Saya sangat takut kalau ia tidak sanggup menahan semua beban ini lalu jatuh sakit. Mudah-mudahan Allah membantunya untuk tetap tegar. Amin.
....
Tengah hari setelah makan, minum obat dan tidur sebentar saya disuruh pindah ruangan dengan alasan bahwa ruangan yang saya tempati belum selesai dicat. Ketika saya menulis ini, saya menempati ruangan yang paling dekat (di sebelah) dapur.
Di hadapan saya ada seorang yang bertampang seperti Tionghoa yang mengaku datang dari Jawa, dan telah dirawat selama dua tahun karena susah tidur. Di ranjang yang paling pojok ada seorang lainnya yang bergumam tanpa jelas apa yang digumamkan. Di seputar teras di pelataran ada seorang tinggi besar, bercambang bawuk dan berkacamata yang berjalan terus-menerus tanpa henti dengan pandangan mata kabur tanpa berbicara sedikitpun.
Ada lagi seorang lain yang bersarung dan berkalung yang bolak-balik ke aula lalu ke pelataran tapi dengan tempo yang lebih cepat. Saya merasa kebebasan saya dirampas. Sebelumnya saya bisa sendirian, tapi kini saya harus berkumpul dengan orang-orang yang tak saya kenal....
Itulah kesan pertama saya ketika dirawat di rumah sakit jiwa. Beberapa di antaranya kemudian terbukti hanya purbasangka yang salah. Pada hari-hari selanjutnya aku merasa bahwa di rumah sakit jiwa itu ternyata lebih baik daripada menggelandang dari mesjid ke mesjid atau bahkan lebih baik daripada tersiksa oleh ejekan para tetangga ketika berada di rumah. Pada waktu itu aku merasa bahwa rumah sakit jiwa adalah tempat yang paling nyaman di dunia. Apalagi para perawat di Sanatorium Dharmawangsa terlihat sangat simpatik serta terlihat sangat menghargai keberadaan pasien. Di Sanatorium aku masih minum Seroquel, namun di tengah-tengah perawatan obat itu diganti oleh Prof. Sasanto dengan Dogmatil (sulpiride). Katanya agar kakakku tak menanggung beban biaya yang terlampau berat.
Aku berkenalan dengan Hardiansyah, orang Aceh yang mengaku masuk Katolik, tetapi belum dimandikan. Ia menderita tekanan darah tinggi dan nampaknya ia baru saja mengalami stroke karena bicaranya tidak jelas artikulasinya. Aku juga berkenalan dengan Ide, orang Tionghoa yang telah kusebutkan dalam kutipan buku diriku itu. Ia sudah dua tahun berada di rumah sakit itu karena menderita gangguan tidur. Mbak Trisnowati adalah seorang wanita yang sudah memiliki anak, namun dua anaknya yang lain sudah meninggal dunia. Aku tak tahu kenapa ia dirawat di sini.
Aku juga berkenalan dengan Pak Jarot. Orang tua yang memiliki waham sebagai seorang kandidat presiden. Mungkin Anda akan salah sangka jika kusebutkan begitu. Selain wahamnya Pak Jarot adalah seorang yang cerdas; pengetahuan sejarahnya luar biasa. Aku juga berkenalan dengan Ade, yang konon dulunya suka mengamuk, tapi sekarang berkat obat-obatan yang memadai telah membuatnya tenang dan bahkan menjadi ramah. Fandi, si tinggi besar, bercambang bawuk dan berkacamata itu, tidak lulus SMU, daya pikirnya masih bagus, namun ia terkadang suka tertawa karena sebab yang tidak jelas.
Aku juga berkenalan dengan Marlinang, orang Batak yang fasih berbicara dalam dua bahasa asing, Jerman dan Inggris. Dari tingkah lakunya ia terlalu sehat. Adalah hal yang misterius kenapa ia sampai dirawat di Sanatorium. Terakhir aku berkenalan dengan Eliza, seorang Tionghoa wanita, yang menangis ketika baru tiba di sini karena merasa jauh dari keluarganya. Namun ia berhenti menangis ketika kuajak mengobrol dari hati ke hati.
Perawatan juga membuat aku mengenal Shawki, pengungsi dari Irak (waktu itu Saddam Hussein masih berkuasa) yang mengalami gangguan tidur dan berobat dengan dibiayai oleh PBB. Shawki dan aku berkomunikasi lewat bahasa Inggris, karena ia tak pandai berbahasa Indonesia dan aku tak bisa berbahasa Arab. Ia orangnya cukup ramah. Ia kemudian dikunjungi oleh kawannya yang juga pengungsi, Sa’alih.
Pada hari Senin tanggal 3 Februari 2003 banyak dokter muda yang datang dari Universitas Tarumanegara. Dua di antaranya bernama Maya dan Suryadi. Secara terpisah mereka banyak berbicara denganku. Dokter muda Suryadi mengatakan bahwa aku tidak sama dengan yang lainnya. Namun ia juga mengatakan sudah seharusnya kamu ikut menghargai mereka. Esoknya dokter muda Suryadi membawa VCD film komedi dan mengajak aku untuk menonton bersama-sama. Akan tetapi pada waktu itu badanku dipengaruhi obat, aku mengantuk, maka aku pun pamit dan pergi tidur di ruanganku.
Aku dirawat selama 10 hari di Sanatorium. Aku pulang pada tanggal 9 Februari 2003 tanpa bertemu dengan Prof. Sasanto lagi (karena pada hari Minggu dokter tidak masuk bekerja). Aku merasa terkesan sekali dengan perawatan di sana. Sebuah tempat di mana aku diperlakukan secara manusiawi. Tempat di aku merasa tenang dan damai, tanpa memikirkan keruwetan hidup di luar.
Saat pulang aku tidak menuju rumah kakak pertamaku atau kakak ketigaku, tapi pulang ke mesjid bertiang tinggi di daerah Tangerang yang terkenal dengan sebutan Irmas (sekarang terletak tepat di belakang pom bensin Petronas). Aku masih merasa tidak nyaman jika pulang ke rumah. Agaknya kecurigaan saya terhadap para tetangga masih saja kuat, walaupun aku telah keluar dari perawatan. Bagiku, aku lebih merasa nyaman jika berada di rumah sakit jiwa.
Aku hanya pulang ke rumah kakakku selama beberapa jam untuk kemudian pergi ke mesjid lagi. Setelah aku keluar dari Sanatorium, kakakku menawariku untuk dirawat di RSCM, dan tentu saja aku menyetujuinya, karena aku telah merasakan kenyamanan dirawat di rumah sakit jiwa. Aku berhasil masuk ke bangsal psikiatri di sana pada tanggal 14 Februari 2003 saat menjelang sore dan dokter sudah tidak ada yang berada di sana. Aku kali ini tidak masuk di kelas 3 karena tempatnya kotor sekali[9]. Aku terpaksa masuk ke kelas 2, yang lebih mahal tarifnya.
Pada hari Senin tanggal 17 Februari 2003, seorang dokter laki-laki mendatangi kamarku, pada waktu itu aku sedang berbaring di ranjangku. Ia menanyakan tentang apa saja yang kualami selama ini. Aku menceritakan secara ringkas. Ia nampak memegang rekam medikku, namun tidak segera mencatatnya. Tutur katanya lembut dan santun. Kukira ia adalah dokter yang baik. Ia memperkenalkan namanya, dr. Ferdi Trisnomihardja. Dan inilah awal dari hubungan panjangku sebagai seorang pasien dengan dokter yang selalu setia mendengar apa keluhanku walaupun telah bertahun-tahun berlalu; walaupun kami jarang bertemu muka, kami hingga sekitar tahun 2007 masih tetap berkomunikasi lewat telepon dan e-mail.
Agaknya ia adalah dokter yang punya komitmen demi kemanusiaan. Pada hari kemudian ia mengaku, “Kalau saya berniat menjadi kaya, saya akan berdagang dan tidak jadi dokter.” Ia mengaku bahwa salah seorang saudaranya adalah pedagang dan berpenghasilan ratusan juta per tahunnya. Namun ia berniat ingin menolong dan karena itulah ia menjadi psikiater, dokter bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.
Pada tanggal 24 Februari 2003, dr. Ferdi memberikan padaku 4 buah majalah Mitra Skizofrenia, majalah terbitan Departemen Psikiatri FKUI-RSCM. Aku membacanya seharian. Dan ini membangkitkan niatku untuk menulis. Aku pun menyerahkan tulisanku yang berjudul Melawan Stigma lewat Bahasa, 5 hari kemudian.
Majalah itu memberikanku banyak pengetahuan, terutama tentang skizofrenia. Sayangnya majalah itu ditulis dalam bahasa yang rumit. Seakan-akan psikiatri hanyalah berisi kajian ilmiah. Bukankah psikiatri juga berisi pengalaman, seperti pengalamanku? Mengapa hal itu jarang dituliskan?
Dr. Ferdi memberikanku antipsikotik Dogmatil (sulpiride), anti kecemasan Clobazam, antidepresan Kalxetin (fluoxetin), dan vitamin Enervon-C. Kombinasinya terbukti menghilangkan depresiku. Kondisiku setelah dirawat di Sanatorium dan melanjutkan perawatan di sini kini telah semakin membaik. Perasaan tertekanku menghilang.
Kawan seruanganku di kelas 2 adalah pegawai Dewan Pertimbangan Agung, yaitu Mas Trisno, yang mengaku berusia 40 tahun; beristri dan beranak dua. Sebelumnya ia dirawat di kelas 1. Karena di kelas itu tidak ada kawannya, maka ia pindah ke kelas 2, bersamaku, agar ada kawan mengobrol. Katanya selama 5 bulan ia berjalan kaki tanpa tentu arah tujuan. Pernah pulang ke kampung istrinya di Tasik dan bertikai dengan adik iparnya.
Setelah melakukan perjalanan di Pulau Jawa dari arah barat ke timur, ia sampai di daerah Jawa Timur. Di sana ada seseorang yang menganggapnya sebagai anak sendiri (di sana ia tinggal sebulan lebih). Ketika kembali ke rumahnya, jenggotnya telah lebat dan panjang. Ia kemudian dijemput oleh Pak Mulyana dari bangsal ini. Ia telah tinggal selama sebulan lebih di sini. Sekarang ia telah merasa sembuh, ingin pulang. Namun dokter belum mengizinkannya karena obat percobaannya belum habis.
Ia mengaku rindu kepada anak istrinya. Namun ia mengeluh. Ia mengaku menjadi sakit karena istrinya itu menuntut cerai. Ini adalah pernikahannya yang kedua. Setelah ia gagal membangun mahligai rumah tangga bersama seorang wanita yang lain sebelumnya. Ia ingin istrinya, yang kini ada di Tasik, di rumah orang tuanya, kembali kepadanya. Saat ia menceritakan hal itu, matanya menerawang jauh dan kemudian berkaca-kaca. Ia tak dapat lagi menahan perasaannya.
Beberapa hari kemudian masuklah Mahmudin, entah berapa usianya, yang jelas ia juga telah beristri dan beranak dua. Orangnya sangat diam. Demikian pendiamnya sehingga aku tak tahu apa-apa tentangnya, karena kami memang tak pernah mengobrol. Makannya susah sekali. Kerjanya hanya tidur dan melamun.
Aku berkenalan dengan Suster Diah, suster yang hingga saat buku ini kutulis masih bekerja di bangsal psikiatri. Ia menasehatiku dan membantuku untuk memahami kata-kata yang sulit yang kudapati dalam majalah Mitra Skizofrenia. Selama perawatan kami menjadi kawan mengobrol yang akrab. Kami saling berbagi pengetahuan tentang penyakit jiwa, aku dari sudut pengalaman dan ia dari sudut ilmu psikiatri.
Dengan Suster Reni pun aku juga akrab, namun karena kesibukannya, kami lebih jarang mengobrol daripada dengan Suster Diah. Di Departemen Psikiatri FKUI-RSCM aku banyak berkenalan dengan dokter muda yang sedang tugas di sana.
Dalam catatanku tanggal 22 Februari 2003 tertulis:
Saya sangat terkesan dengan pendapat 5 dokter muda yang mewawancarai saya untuk tugas kuliah. Mereka mengatakan bahwa mereka juga mengalami hal yang sama dengan saya: tidak suka keluar rumah. Akan tetapi mereka tidak merasa bahwa hal itu mengganggu perasaan mereka. Mereka merasa hal itu biasa-biasa saja. Saya pikir hal ini dapat dikembalikan pada penjelasan Prof. Sasanto, bahwa apa yang dinamakan kepribadian adalah jika seseorang hanya merasa dan tidak terganggu segala perilakunya. Oleh karena saya mulai terganggu aktivitas kerjanya, maka saya didiagnosis mengidap penyakit peralihan antara kepribadian paranoid dan paranoia (belum skizofrenia paranoid).
Kesejahteraan perasaan para dokter muda dalam menjalani perilaku yang aneh secara sosial itu wajib diteladani. Dan nampaknya inilah target penyembuhan saya....
Pada waktu itu tak ada yang secara tegas mengatakan bahwa aku mengidap skizofrenia. Dr. Ferdi sendiri mengatakan bahwa aku hanya menderita paranoid, suatu bentuk yang lebih ringan daripada skizofrenia paranoid. Beberapa tahun kemudian aku mengetahui bahwa apa yang dikatakannya pada waktu itu hanyalah agar aku tak menyangka menderita gangguan kejiwaan berat seperti pasien-pasien lainnya. Mungkin juga karena gejala-gejalanya memang belum nampak secara jelas. Dr. Ferdi sendiri hanya pernah membahas secara sindir sampir bahwa banyak tokoh dunia yang diduga mengidap skizofrenia paranoid, salah satunya adalah Adolf Hitler dan Benito Mussolini.
Aku dan Jayabaya - 1135 - 2012
suntingJangan heran dan jangan terpana.
Itulah putra sulung Batara Indra, yang kuasa mengusir kekuatan jahat....
Tiada bisa dibohongi, karena bisa menyusup ke dalam hati.
Timbalah ilmu dari kedalaman pengetahuan raja tanpa mahkota itu, jangan sampai terlambat.
(Jangka Jayabaya)
Mei 1998 adalah saat yang menggetarkan. Gedung-gedung hancur. 1000 orang terpanggang. Perkosaan massal. Dollar melambung. Sang tiran turun dari kekuasaan dan rakyat tak punya apa-apa selain harapan akan berakhirnya sebuah penantian panjang.
Aku menyaksikan semuanya dari kejauhan. Aku waktu itu sedang berada di rumah orang tuaku di Sumedang. Mengikuti semuanya dari layar kaca. Sebuah kesaksian yang berjarak. Ketika Soeharto lengser, aku sedang di rumah guruku yang sudah beberapa hari tidak datang ke sekolah karena terserang sakit mata.
Guruku waktu itu banyak bercerita soal masa lalu, masa ketika kami belum lahir. Masa di awal tampuk kekuasaan Soeharto, saat satu-dua orang mencoba mengkritik kekuasaan namun dilibas habis hingga tak ada lagi yang mampu bicara lantang.
Aku menerima ijazah dari SMU-ku satu bulan kemudian. Ayah-ibuku yang tak bisa membiayai aku untuk meneruskan sekolah, kutinggalkan berdua karena aku mencari kerja di rumah kakak ketigaku di Bekasi. Seperti yang kita tahu, Bekasi adalah kota yang dekat dengan Jakarta, maka bulu kudukku pun sering meremang jika melihat puing-puing gedung yang aku lewati ketika melakukan perjalanan. Barulah kusadari ternyata dalam diri manusia ada dua kekuatan besar yang saling bertentangan: mencipta dan menghancurkan.
Bayangan akan gedung-gedung yang menghitam tak jua lekang dari ingatanku selama bertahun-tahun. Kiranya hal itu menjadi semacam bayangan visual yang kerapkali meneror ketika aku sendiri. Bangsa sedang menyentuh titik nadir tepat di saat aku sedang membentuk diriku. Hitam. Terbakar. Kerusuhan. Apa yang bisa kupetik dari semua itu?
Aku menjadi semakin penyendiri di lingkungan baruku di Bekasi. Kawanku hanya radio dan majalah serta koran yang dibeli oleh Ayah. Aku gagal untuk bersosialisasi dengan lingkunganku. Aku tak lagi punya tenaga untuk melawan sifat asosialku. Akibatnya aku punya semangat yang semakin ganjil, yakni menyendiri setiap hari.
Pada suatu hari, aku membaca sebuah artikel di majalah yang dibeli oleh Ayah. Artikel yang mungkin tidak akurat namun mempengaruhiku sepanjang waktu di kala itu. Artikel itu berisi pertemuan antara Prabu Jayabaya dengan seorang begawan. Di waktu Sang Prabu Jayabaya sedang berbincang-bincang dengan patihnya, pembantu sang begawan menyuguhkan persembahan kepada Sang Prabu. Prabu Jayabaya terkejut melihat persembahan itu. Persembahan itu menyinggung perasaan Sang Prabu. Prabu Jayabaya menyuruh para pengawal dan patihnya untuk mencari dan membunuh sang begawan. Para pengawal berlarian mengejar, namun sang begawan nampaknya telah pergi jauh.
Sang patih bertanya, mengapakah Sang Prabu begitu berang? Prabu Jayabaya menjawab bahwa sang begawan telah bertindak kurang ajar. Persembahan itu adalah seloka dari suatu kurun waktu di masa depan. Masa setelah melalui zaman terbalik, yang salah dipuja, yang benar dicerca. Lalu muncullah seorang yang pinandita. Persembahan itu menyiratkan bahwa suatu hari kekuasaan Tanah Jawa akan jatuh ke tangan kalangan brahmana dan tidak akan lagi dikuasai oleh kasta ksatria. Kasta ksatria hanya akan jadi kasta kedua.
Aku terdiam dan termangu, dalam gelombang suara yang menyerbu turut datang perasaan yang aneh. Bahwa akulah yang dimaksud oleh Prabu Jayabaya dalam artikel tadi. Aku adalah sang Ratu Adil yang akan datang, Sang Satria Piningit. Aku merasa bahwa gangguan jiwaku adalah satu keburukan yang menjadi pertanda bahwa akulah yang dimaksud dalam ramalan itu. Dalam sebuah acara televisi Permadi, paranormal kondang Indonesia berkata bahwa sekarang ini Sang Satria sedang dalam keadaan penuh dengan kehinaan. Cocok sekali dengan keadaan diriku.
Aku merasa bahwa derita jiwaku hanyalah pengajaran dari Tuhan agar aku siap memimpin Indonesia di suatu saat kelak. Kehinaan akan berubah menjadi kemuliaan. Seperti intan dalam tanah berlumpur yang kemudian menjadi binar permata perhiasan. Kejatuhan yang membawa kepada pencerahan. Tak salah lagi, aku adalah Satria Piningit, yang akan menjadi Mesias bagi bangsa Indonesia. Semakin hari perasaan itu kian kuat.
Bahkan aku punya tafsiran sendiri tentang kata piningit. Kebanyakan orang menafsirkan kata piningit sebagai tersembunyi atau yang disembunyikan (hidden), dalam artian identitasnya ditutupi oleh Tuhan, tak mungkin diketahui oleh orang yang paling sakti sekalipun. Namun aku menafsirkannya sebagai “autistik” sesuai dari kata dasar dari kata tersebut yaitu pingit. Ini cocok sekali dengan masa kecilku yang cenderung tertutup.
Namun nampaknya antipsikotik telah membuatku mulai meragukan akan keyakinan itu. Aku mulai kerap didera keraguan yang membuatku bisa berlama-lama merenungkannya. Diriku jadi seperti pendulum yang berayun di antara dua sisi. Satu sisi adalah kenyataan dan di sisi lain adalah bukan kenyataan. Kadang-kadang perasaan itu begitu kuatnya sehingga menampik semua realitas. Namun di kali lain aku menyadari bahwa semua itu hanyalah pikiran yang datang sebagai subsidi silang dari keadaanku yang sedang akut. Di satu waktu aku adalah Satria Piningit dan di sisi lain aku adalah bukan Satria Piningit. Aku tak dapat membedakan lagi yang mana diriku yang sebenarnya. Memikirkan hal itu membuatku jatuh dalam kelelahan dan membikinku untuk beralih saja melihat kenyataan lain dalam hidup ini, yang tak memicu wahamku untuk timbul.
Bagaimanapun, aku tak dapat menguasai diriku sepenuhnya. Aku masih penasaran dengan keyakinanku tersebut. Ayah seringkali membaca majalah keparanormalan yang banyak menampilkan hal itu. Aku ikut terpengaruh oleh bacaan yang kupinjam dari Ayah. Namun waktu itu aku tak pernah mendiskusikan keyakinanku kepada siapa pun juga. Aku teringat ketika kecil aku pernah pula mengalami keyakinan semacam itu. Aku merasa bahwa aku adalah pusat semesta. Aku merasa bahwa Tuhan menciptakan dunia karena aku. Aku adalah makhluk terpenting di jagat raya ini. Tak ada yang berkedudukan setara denganku. Aku pada waktu itu selalu membayangkan planet-planet berputar mengitariku yang jadi poros segala pergerakan di semesta ini.
Aku dan Tuhan, punya hubungan khusus, hubungan yang tak pernah dan tak akan disamai oleh yang lain. Bagaimanapun, pengajaran agama Islam seringkali membuatku untuk mengkritik diriku. Karena dalam agama Islam, manusia terpenting adalah Nabi Muhammad. Anehnya, aku tak pernah merasa bersalah atas semua itu. Saat itu aku berpikir bahwa itu adalah hal yang wajar dalam diriku. Seseorang boleh saja punya pemikiran semacam itu.
Setelah belasan tahun berlalu, perasaan kebesaran semacam itu muncul lagi. Namun kali ini merupakan bagian dari skizofreniaku. Dengan demikian dalam perjalanan derita jiwaku, satu saat aku terpuruk dan terperosok dalam kecurigaan dan halusinasi, dan kali lain aku melangit, merasa menjadi manusia terhebat di Tanah Indonesia.
Aku masih mengalami waham itu, kawan. Jika dalam edisi perdana buku ini aku mengatakan telah pulih dari semua itu, aku salah. Bersama dengan keadaan Indonesia yang tak pernah berhenti diluluh-lantakkan oleh ulah pejabat dan malapetaka alam, waham itu menguat lagi. Aku memang mencintai bangsa ini karena kehormatan bangsa ini memang harus dipertahankan. Tapi jika orang lain mencintai bangsanya dengan alasan sama sekali di luar delusi, maka aku tidak begitu. Waham yang kumiliki, tak dapat dibantah lagi, telah memperkuat kecintaanku akan bangsa dan negeri ini. Dan terkadang aku menganggap bahwa urusan mengenai bangsa ini adalah urusan pribadiku juga. Dengan kata lain, delusilah yang membuatku menganggap bahwa tak ada jarak antara aku dan Indonesia. Aku dan Indonesia adalah dua entitas yang hanya berbeda wujud.
Dalam kepalaku seringkali muncul kilasan-kilasan kejadian yang akan terjadi di masa depan. Aku seringkali mendiskusikannya dengan kawan-kawanku yang sama-sama mengalami skizofrenia, karena aku tahu psikiater tak punya banyak waktu untuk membahasnya secara mendetail. Lagipula aku merasa lebih nyaman dan cocok jika hal itu dibicarakan dengan sesama yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Bahkan di saat-saat terakhir aku mengedit buku terbitan pertamaku ini, di tahun 2012, aku kerapkali dihadang pemikiran, mungkinkah waham adalah visi akan masa depan yang diberitahukan oleh alam lain? Mungkinkah itu bukanlah sebuah waham akan tetapi merupakan sesuatu yang coba diberitahukan oleh makhluk adikodrati?
Aku lelah memikirkannya, dan bagiku, adalah lebih baik jika aku pergi ke luar dan berjalan-jalan melihat dunia yang kasat mata, dunia sehari-hari yang tak diragukan kenyataannya. Seringkali melihat Metro Mini yang hampir menyerempet Bajaj, atau pengemis yang tertatih-tatih di lampu merah tanpa ada yang memberi sepeser pun, jauh lebih bisa menyadarkanku akan realitas daripada berita-berita di televisi yang membuatku berpikir melayang jauh meninggalkan pijakanku akan realitas sehari-hari.
"Aku bukan siapa-siapa, kataku dalam hati, aku hanyalah seorang dengan skizofrenia, tidak lebih." Itulah yang kukatakan dalam hatiku, setiap kali waham itu muncul.
Di Kota Hujan - 2003
suntingKiranya kenanganku akan RS Marzoeki Mahdi, Bogor, takkan pernah hilang dari ingatan. Gedung-gedungnya yang berciri khas dari zaman Belanda, halaman-halamannya yang luas dan salazar berkanopinya yang panjang mengitari sekitar komplek rumah sakit masih jelas tergambar dalam pikiranku. Di sinilah untuk pertama kalinya aku meminum Haloperidol (HLP), Chlorpromazine (CPZ), dan Trihexyphenidyl (THP).
Aku masuk rumah sakit ini pada tanggal 14 Juli 2003, setelah keluar dari perawatan di sebuah pengajian di Jakarta Selatan, pengajian yang membuatku kumat lagi. Rupanya aku tak dapat mempertahankan kesehatan mentalku jika tak meminum obat. Aku keluar baik-baik dari pengajian itu dengan janji di hati bahwa aku takkan kembali lagi. Sebab aku sangat gelisah di sana. Pengajian itu bukanlah tempat berlindung yang nyaman bagi yang menderita skizofrenia seperti diriku. Karena ada sebagian pengurusnya dan penghuninya yang melontarkan celaan yang tidak semestinya kepadaku. Mereka melecehkanku.
Prosedur di RS Marzoeki Mahdi mengharuskan pasien tinggal selama beberapa lama di barak akut yang bernama Ruang Kresna, untuk diawasi apakah ia termasuk pasien yang dapat tenang atau pasien yang terus-menerus gaduh-gelisah. Aku tak tahan berada di sana. Walaupun perawatnya ramah-ramah, namun pasiennya kebanyakan adalah pasien yang kronis. Mereka seringkali marah-marah atau meninju tanpa sebab yang jelas. Aku kehilangan beberapa pakaianku di sini. Oleh karena itu, aku amat hati-hati. Aku tak pernah mengeluarkan Dinten yang kubawa dalam tasku, yang kutitipkan di ruang perawat, selama aku tinggal di sana.
Aku dirawat di RS Marzoeki Mahdi sebanyak tiga kali. Selama proses perawatan itu aku hanya pernah menulis sekali dalam Dinten. Aku tak mau kehilangan buku yang berisikan banyak catatan penting itu. Lebih baik jika semua kejadian yang kualami di sini kuingat-ingat saja tanpa menuliskannya dalam Dinten.
Di Kresna ada mahasiswi Akper berjilbab yang bernama Ainun. Dari gaya bicaranya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang cerdas. Ia bertugas membuat asuhan keperawatan diriku. Ia tidak pernah mendikteku harus bagaimana dan lebih banyak melakukan wawancara eksploratif dengan diriku. Di tengah-tengah proses perawatan, ia menyerahkan artikel keagamaan yang diambilnya dari internet. Isinya cukup bagus. Aku menyimpannya di bawah matras di ranjangku. Tapi ketika aku kembali dari kegiatan wawancara, artikel itu telah koyak-moyak. Rupanya ada yang merobeknya (Pasien di RS Marzoeki Mahdi memanfaatkan segala macam kertas untuk melinting tembakau yang diambil dari puntung rokok). Aku amat menyesal telah teledor meninggalkannya. Namun karena saking asyiknya mengobrol dengan mahasiswa-mahasiswi Akper Universitas Indonesia yang sedang bertugas di sana, maka peristiwa itu terlupakan begitu saja.
Beberapa waktu setelah itu, Suster Ainun mengucapkan selamat karena aku akan dipindah ke barak tenang (Ruang Nakula) setelah aku tinggal di Kresna selama seminggu lebih. Pasien-pasien lain memerlukan waktu yang lebih lama. Suster Ainun mengatakan akan ke rumahku untuk mengunjungi keluargaku (dalam rangka home visit). Namun baru dua minggu aku tinggal di bangsal Nakula aku sakit fisik dan terpaksa pulang ke rumah terlebih dahulu untuk berobat ke dokter spesialis.
Catatan dalam Dinten menerangkan hal itu ketika aku masuk kembali ke RS Marzoeki Mahdi (dan inilah satu-satunya catatan dalam buku harianku yang kutulis di rumah sakit itu):
Hari ini, Senin tanggal 11 Agustus 2003, saya masuk kembali ke bangsal perawatan Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (Bogor) setelah sebelumnya pulang terlebih dahulu karena bibir saya bernanah[10] dan diobati di rumah selama seminggu. Kakak saya menyangka bahwa saya dapat langsung kembali ke Ruang Nakula (Barak Tenang), namun ternyata tidak dapat dan harus masuk kembali ke Ruang Kresna (Barak Akut) terlebih dahulu, sama seperti ketika mulai perawatan pada tanggal 14 Juli yang lalu....
Ketika aku masuk kembali ke Ruang Kresna, aku dibimbing oleh seorang mahasiswa Akper, juga dari Universitas Indonesia, kawan dari Suster Ainun. Namanya Nirwan. Ia berjanji memberitahu cara meredam gejolak penyakitku, walaupun sebenarnya keadaanku jauh lebih tenang dibandingkan di pengajian di Jakarta Selatan itu. Ia memberikan sugesti yang positif kepada diriku. Ia mengatakan bahwa kekurangan manusia akan tertutupi oleh kelebihan yang harus digali oleh manusia itu sendiri. Ia memberiku semacam PR untuk memandang potensi positif yang lebih banyak lagi dalam diriku.
Kali ini dalam waktu seminggu aku telah dipindah ke Ruang Nakula, ruang yang lebih menyenangkan, walaupun aku pernah kehilangan uangku di sini. Ruang Nakula berada di bagian paling belakang RS Marzoeki Mahdi. Pintu gerbang yang ada di dekat situ selalu terbuka dan tidak pernah dikunci. Mungkin maksudnya agar para pasien terbiasa menghadapi masyarakat sekitar yang lalu-lalang di jalan di dekat situ.
Kami, para pasien, dapat bergerak dengan lebih leluasa, dan dapat berjalan-jalan keluar komplek rumah sakit jika pagi telah tiba. Terbukanya gerbang belakang itu telah menyebabkan banyak pasien yang kabur dengan mudahnya. Namun rupanya Bidang Perawatan di rumah sakit itu tidak mengubah kebijakan mereka pada waktu itu, mungkin dengan alasan agar para pasien mendapatkan terapi sosial dari masyarakat sekitar. Para penduduk sekitar rumah sakit itu tidak pernah meledek kami, para pesakit jiwa, dan nampaknya bersikap biasa-biasa saja terhadap kami. Anak-anak mereka pada pagi hari berjalan kaki atau naik sepeda melewati kami, para pasien, yang melewatkan waktu senggang kami dengan menyaksikan mereka yang berangkat ke sekolah melalui jalan di luar gerbang[11].
Kadang-kadang para pasien meminta rokok yang sedang diisap oleh anak sekolah itu, dan mereka seringkali memberikannya. Anak-anak mereka pada hari menjelang senja banyak yang masuk ke komplek rumah sakit untuk bermain sepak bola, karena memang rumah sakit kami itu punya lapangan sepak bola yang cukup luas dan berumput hijau. Nyaman untuk dipakai berolahraga.
Di Ruang Nakula aku berkenalan dengan Pak Wayan, kepala ruangan, yang sikap tenangnya memancarkan kharisma sebagai pimpinan di ruang itu. Kami sering dinasehati olehnya. Ia jarang bercanda seperti para perawat-perawat lainnya, namun jiwa kami terasa terlindungi jika berada di dekatnya. Ia menyelesaikan segala permasalahan dengan tindakannya yang arif dan bijaksana. Ia tak pernah main kasar. Walaupun ia orang Bali, namun nampaknya ia telah menghayati betul budaya tempat ia bekerja, yaitu budaya Sunda, yang mengharuskan orang-orang saling menghormati dan menghargai, terhadap sesama dan orang yang lebih tinggi, ataupun terhadap yang lebih muda. Namun Pak Wayan tak segan-segan untuk menegur jika salah satu dari kami berbuat kesalahan, misalnya ketika kami dengan sengaja menghindari kegiatan senam pagi atau mangkir minum obat. Ia adalah orang yang berkepribadian tenang namun tegas.
Bawahannya, yang bernama Pak Samuel, orangnya baik juga, namun agak sedikit galak. Ia lebih tegas dari Pak Wayan. Mungkin karena tugas mendisiplinkan juga yang mengharuskannya begitu. Pendidikannya pada waktu aku dirawat di sana barulah D3, namun ia telah sanggup membimbing mahasiswa yang datang untuk berpraktek di Ruang Nakula. Dari pembicaraan dan kritikan-kritikannya terhadap naskah asuhan keperawatan mahasiswa memancar dengan jelas akan pengetahuannya di bidang keperawatan jiwa[12].
Sementara itu Pak Didin adalah orang yang senantiasa menebarkan senyuman. Ia orangnya tak pernah marah. Selalu suka membagikan ilmunya baik kepada pasien maupun calon psikolog, calon terapis atau calon suster. Ia adalah tempat bertanya yang memadai bagi orang yang haus akan ilmu keperawatan. Namun ia ada kekurangannya juga yaitu orangnya tak bisa tegas, maksudku dalam mendisplinkan pasien. Kukira pasien tidak ada yang takut kepadanya, mereka hanya kagum karena keramahannya[13].
Yang dianggap sebagai kepala pasien di Ruang Nakula waktu itu adalah Acung (Kim Ni Cung) seorang peranakan Tionghoa namun telah mendarah daging sebagai orang Indonesia asli. Konon ia telah enam tahun berada di RS Marzoeki Mahdi. Bukan karena penyakitnya parah, melainkan ayahnya menikah lagi tanpa persetujuannya, setelah ibu kandungnya meninggal. Ia mengaku sering bertengkar dengan ibu tirinya. Ia mengaku tak cocok dengan ibu barunya itu.
Ia lebih merasa tenang berada di rumah sakit jiwa. Hal itu juga katanya dapat menghindari keterlibatannya dalam penggunaan obat-obatan terlarang yang digunakannya karena pengaruh lingkungan. Ia merasa jika di rumah sakit jiwa hatinya menjadi bersih, karena bergaul dengan orang-orang yang polos jiwanya. Ia tak pernah berniat untuk pulang lagi ke rumah. Ia akan berada di sana sampai suatu ketika ia sanggup untuk mandiri. Dan memang itu dibuktikannya kemudian.[14]
Sahabat terdekatku pada waktu dirawat pada tahun 2003 itu adalah Agus, seorang penderita skizofrenia paranoid yang berasal dari Cilacap. Ia nampaknya amat kesulitan untuk membedakan mana halusinasi dan mana yang bukan. Ia kadang-kadang mengeluh kepadaku bahwa ada yang mencemoohnya, ia gambarkan ciri-ciri orangnya. Namun aku yang tiap hari ada di ruangan itu tak pernah menemukan orang yang digambarkannya. Maka kita dapat beranggapan bahwa apa yang dialaminya adalah halusinasi.
Pada suatu malam pada saat aku belum tidur, ada yang memberitahukanku bahwa Agus terjatuh. Aku segera berlari untuk menolongnya karena aku curiga ada sesuatu yang tidak beres. Aku membalikan badannya dan ia kelihatan lemas sekali, bahkan ia tak bisa menggerakkan tangannya. Namun ia masih bisa menjawab pertanyaan. Saat kutanya kenapa ia bisa demikian lemas. Ia menjawab bahwa ia telah menelan sembilan Chlorpromazine (CPZ) 100 miligram. Namun ia tak menjawab apa alasannya sehingga ia berbuat senekat itu.
Kebetulan pada waktu itu pintu ruang tempat tidur belum dikunci, aku segera menghambur ke ruangan depan dan memberitahukan beberapa mantri yang ada di situ bahwa Agus terjatuh dan tak bisa bangun lagi. Pak Samuel dan beberapa orang segera memeriksa kondisi Agus. Pak Samuel kemudian mengambil tensi dan mengukur tekanan darah Agus. Ia juga memeriksa frekuensi respirasi Agus. Aku tak ingat berapa tensinya namun yang kuingat adalah respirasinya 28. Ambulans dengan sirinenya yang khas kemudian datang. Agus pun ditandu ke dalam ambulans. Aku menatap lalunya ambulans itu hingga ia pergi menjauh.
Sejak saat itu Agus tak pernah lagi tidur di ranjang di samping tempat tidurku. Statusnya sebagai pasien barak tenang telah dicabut. Ia kemudian dirawat di Subadra, dan setelah itu ia dimasukkan ke bangsal akut yang bernama Ruang Gatotkaca. Namun kami masih bisa bertemu, karena aku, sebagai pasien Ruang Nakula, memiliki kebebasan untuk pergi ke setiap sudut rumah sakit. Pada saat kami mengobrol di Ruang Gatotkaca, Agus mengatakan bahwa ada yang mengatainya bahwa ia crazy (gila). Yang mengatainya adalah seorang polisi. Aku bingung. Sudah sebulan lebih aku di situ tapi tak pernah kujumpai polisi satu pun. Saat kuminta ia untuk menggambarkan ciri-ciri orangnya. Ia mengatakan bahwa orangnya adalah “yang ganteng”. Setiap hari setelah itu aku mengecek kebenaran ceritanya, namun tidak ada polisi yang pernah berkunjung ke Ruang Nakula. Agus hanyalah berhalusinasi.
Agus dinyatakan menderita halusinasi yang parah. Menurut kepala Ruang Kresna ia akan diperbolehkan pulang pada tahun 2008, yaitu 5 tahun setelah ia dirawat di rumah sakit itu. Asal Anda tahu saja, berada di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan saja telah amat menjemukan karena Anda tak bisa menonton televisi dengan bebas dan tidak bisa pergi tamasya ke tempat hiburan atau pusat perbelanjaan. Dan itu terjadi padaku di Ruang Nakula, Ruang paling bebas di rumah sakit itu, apalagi jika berada di Ruang Gatotkaca yang bahkan untuk keluar dari pintu pun tidak diperbolehkan.
Dalam hati aku bertanya-tanya apa jadinya Agus jika telah pulang nantinya. Apakah kondisinya akan semakin baik atau semakin buruk?
Tentang Yayan, kakak keempatku - 1987 -2003
suntingPertentangan antara Ayah dengan Yayan timbul ketika ia mulai masuk STM. Yayan ingin agar ia masuk SMA saja karena ia memiliki fisik yang tidak kuat layaknya calon siswa STM lain yang tegap dan sehat. Namun Ayah menginginkan agar Yayan masuk STM agar ia mudah mencari kerja. Pertentangan itu terus meruncing dan konflik rupanya telah berkembang sehingga pertengkaran tak terhindarkan lagi. Yayan mulai malas-malasan masuk sekolah dan karena pergaulan ia mulai berkenalan dengan zat terlarang seperti alkohol dan ganja. Ayah semakin hebat memojokkan Yayan, dan semakin ia dimarahi semakin sering pula ia mabuk di luar rumah. Akhirnya Yayan putus sekolah sama sekali.
Walaupun pernah setelah bertahun-tahun ia putus sekolah, Yayan melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA di Ciamis. Namun Yayan kemudian kembali ke Bekasi, ke lingkungan yang membuatnya mabuk, hanya dalam jangka waktu beberapa bulan setelah ia mulai bersekolah lagi. Yayan akhirnya tidak pernah lulus SLTA.
Ketidaklulusan dan kebengalannya itu seringkali menjadi bahan perbincangan di antara keluarga dan saudara-saudara kami. Yayan merasa semakin dipojokkan karena hal itu. Pada selembar kertas yang kutemukan ketika aku masih SMP, Yayan menulis sepenggal puisi dengan penekanan pada kata-kata semua orang menghina. Yayan bukanlah orang yang menyukai karya sastra apalagi membaca buku-buku di bidang itu. Adalah hal yang sangat mengejutkan jika ia mengungkapkan perasaannya dalam bentuk sebuah puisi.
Namun semenjak kami pindah dari Bekasi ke Sumedang pada tahun 1995, intensitas kebengalan Yayan berkurang, walaupun ia sesekali masih menenggak alkohol dan menghisap ganja secara sembunyi-sembunyi. Menurut pengakuannya ketika ketahuan, hal itu dilakukannya karena ia tidak tahan sebab sudah kecanduan. Walaupun demikian, ia tidak pernah lagi minum alkohol atau menghisap ganja hingga mabuk seperti dulu.
Ketika keluarga kami pindah lagi ke Bekasi untuk yang kedua kalinya pada tahun 1999 (keluarga kami pindah ke Bekasi sebanyak dua kali dan pindah ke Sumedang sebanyak dua kali pula), Yayan pun melamar sebagai anggota Kamra[15]. Walaupun hasil tes fisiknya kurang bagus namun ia tetap diterima karena waktu itu pemerintah Indonesia membutuhkan banyak anggota keamanan untuk meredam aksi anarki dan unjuk rasa.
Setelah beberapa bulan ia bekerja sebagai Kamra, ia diterima bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan swasta di daerah Jakarta Barat. Pekerjaan sebagai seorang satpam yang tugasnya hanya duduk berjaga jelas lebih ringan daripada pekerjaan seorang Kamra yang harus berhadapan dengan pelaku tindak pidana dan pengunjuk rasa. Oleh karena itu, ia pindah pekerjaan menjadi seorang satpam dan bekerja selama setahun lebih.
Akan tetapi apa yang ia lakukan dahulu mulai menunjukkan akibatnya. Ia terserang pembengkakan jantung karena terlampau banyak mengkonsumsi alkohol. Dan ia pun terserang tuberkolosis karena tak bisa berhenti merokok. Ia kemudian sakit parah di rumah selama dua minggu lebih. Dokter menyatakan bahwa ia harus dirawat di rumah sakit. Namun pada waktu itu kami tidak punya biaya dan kami hanya menebus obatnya untuk dirawat di rumah.
Kami gembira karena ia berhasil pulih dan mampu beraktivitas seperti sediakala, walaupun ia sudah terlanjur menelepon ke perusahaannya bahwa ia menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya (satpam di tempatnya bekarja hanya sedikit, karena itu jika seorang satpam saja tidak masuk maka satpam yang lainnya harus lembur untuk menggantikannya).
Berbulan-bulan kemudian Yayan menyatakan menyesal telah mengundurkan diri dari pekerjaannya karena hal itu mengembalikannya pada kondisi tiadanya uang dan aktivitas yang berarti. Yayan kembali menjadi bahan perbincangan yang tiada habisnya di lingkungan keluarga dan kerabat kami. Pada usia dewasanya ia tetap tidak menikah.
Sebelum kuceritakan mengenai perkara Yayan ini lebih lanjut, aku ingin mengatakan mengapa aku menceritakan semua itu. Yayan adalah kakak yang paling dekat usianya denganku dan kami juga tinggal bersama lebih lama dibandingkan dengan kakakku yang manapun. Apabila ada sesuatu yang terjadi, kami saling mengetahui, baik dari gerak-laku ataupun karena saling berbicara. Karena itu, ketika aku menderita gangguan jiwa, selain Ibu, Yayan adalah orang yang paling sudi mendengarkan omonganku. Meskipun ia adalah orang yang berangasan, namun ia sering memberikan nasehat yang jujur dan apa adanya. Hal inilah yang menjadi sesuatu hal berharga yang terus kukenang bahkan setelah ia pergi jauh.
Sayang sekali peristiwa di bawah ini terjadi. Aku seringkali mereka-reka dalam angan-angan, apa yang akan kami alami seandainya persitiwa di bawah ini tidak terjadi. Mungkin kondisiku akan lebih baik jika memiliki seorang kakak lelaki yang dekat di hati.
Waktu itu tahun 2003, aku sedang dirawat di RS Marzoeki Mahdi[16]. Yayan sedang berada di rumah kakak ketigaku di Cibitung, Bekasi. Entah bagaimana semuanya berawal, tapi terjadi pertengkaran hebat antara Yayan dan kakak ketigaku. Pertengkaran ini mencapai puncaknya dan Yayan kali ini sudah tidak tahan. Kali ini ia memilih untuk pergi saja dari rumah itu. Saat itu rumah orang tua kami sudah dijual, sehingga selama berhari-hari kami tidak tahu ke mana Yayan pergi. Kabarnya baru kami ketahui setelah ia datang ke rumah kakak pertama kami di Tangerang dan menceritakan segalanya. Ia kini mengaku tinggal di perumahan tempat tinggal kami dulu di Kecamatan Babelan, Bekasi, bersama kawan-kawan setianya. Karena kawan-kawannya itu adalah teman dalam kehidupan sehari-hari di masa silam, maka ia tak punya kesulitan untuk beradaptasi dan bergabung lagi dengan mereka.
Tapi kepada kakak pertamaku Yayan mengungkapkan niat baiknya. Ia tidak mau lagi bergantung kepada kakak-kakaknya dan Ayah. Ia ingin memulai usaha yang mandiri. Ia meminta modal berdagang kepada kakak pertama kami dan ia memberikannya.
Ketika aku telah keluar dari RS Marzoeki Mahdi, kami mengunjunginya di perumahan itu dan memang warung itu benar-benar ada. Menurutnya dagangannya cukup laris, walaupun satu warung besar tidak suka ia berdagang di situ karena merasa tersaingi. Yayan pada waktu kami datang mengeluh karena kakinya bengkak. Namun ia tetap melanjutkan berdagang karena menurutnya itu adalah penyakit biasa saja. Mungkin karena ia tidak tidur di dalam rumah. Yayan merasa malu kepada orang tua kawannya jika ia menginap di dalam rumah. Maka ia hanya tidur di kursi panjang yang terletak di teras di salah satu rumah kawannya.
Pada bulan puasa tahun itu tiba-tiba saja Yayan datang ke rumah dan mengeluh dadanya sesak. Kami membelikannya Digoxin, obat yang pernah diresepkan oleh dokter di mana ia pernah berobat. Namun keadaannya semakin parah. Pada hari Lebaran tahun itu ia tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Kami kemudian membawanya ke seorang dokter di daerah Pademangan, Jakarta Utara. Yayan menyatakan tidak kuat tinggal di Bekasi karena udaranya terlampau panas. Maka ia pun dibawa ke Tangerang, ke rumah kakak pertamaku.
Kondisinya stagnan. Ia tidak semakin sehat ataupun memburuk. Dokter di Pademangan itu melarang Yayan untuk makanan yang dimasak dengan menggunakan garam. Namun Yayan membandel. Katanya masakannya tidak enak jika tak pakai garam. Aku selalu melarangnya melakukan hal itu. Akan tetapi ia tetap saja melakukannya. Karena aku tidak minum obat selama menunggui Yayan (antipsikotik menyebabkan kantuk sehingga apabila aku meminumnya, aku tak dapat menjaga kakakku itu) maka aku hanya tidur satu atau dua jam saja selama sehari semalam.
Pada suatu dini hari yang sepi, aku terbangun pukul tiga dan duduk di kursi untuk menunggu pagi. Semua orang masih terlelap dalam tidurnya masing-masing. Aku memandang Yayan, ia tidur menyamping, seperti biasanya. Waktu pun berjalan merambat hingga akhirnya pagi datang jua. Kakak pertamaku secara tiba-tiba meminta agar Yayan dibangunkan. Aku membangunkannya dengan menepuk pundaknya. Tapi ia tak bangun. Kutepuk sekali lagi, namun ia tak bangun juga. Kakak pertamaku menghampiri dengan tiba-tiba dan mengguncang-guncangkan tubuhnya secara perlahan namun ia tetap tak bangun juga. Ia membalikkan tubuh Yayan. Alangkah kagetnya kami karena tangan dan kakinya terlihat kaku. Ia memanggil namanya. Namun ia tak jua bangun. Maka sadarlah kami bahwa ia telah tiada.
Kakak pertamaku menjerit pilu. Ia menangis keras-keras. Tangisnya didengar oleh para tetangga sekitar rumah. Mereka masuk ke rumah kami dan berkerumun di sekitar Yayan. Salah satu tetangga memeriksa nadinya dan berkata bahwa tak ada denyutnya. Ia meraba telapak kakinya, masih hangat. Ia belum lama pergi.
Seorang tetangga yang lain memanggil ustadz setempat untuk memastikan keadaannya. Setelah memeriksa ia memastikan bahwa Yayan memang sudah tiada. Kakak pertamaku menangis histeris. Ia tak percaya adiknya yang satu itu telah pergi jauh meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Aku terguncang. Aku pernah ada di samping Ibu ketika ia sakaratul maut. Dan nafasnya dapat kudengar sangat jelas. Aku ada di samping Yayan dalam saat-saat terakhirnya. Namun tak kudengar nafas yang memburu seperti pada Ibu. Yayan meninggal dalam tidurnya. Aku hampir-hampir tak percaya. Ia yang begitu keras dan kasar, telah wafat dengan demikian tenangnya, hingga tak mengeluarkan keluhan sedikit pun.
Hatiku bertambah kelabu. Baru setahun aku kehilangan Ibu, kini aku harus kehilangan kakak lelaki yang paling dekat denganku. Sungguh, aku tak menyangka. Kepergian Yayan masih tergambar jelas di dalam angan-anganku. Hingga saat ini aku masih sering membayangkan sosoknya, gaya bicaranya, dan sikapnya yang kadang kasar namun menunjukkan kejujuran seorang kakak yang mengasihi adiknya yang sedang sakit. Segala kata-katanya—di antaranya adalah, “Jangan menunggu bergaul hingga usia tua, bergaullah sekarang”—akan kuingat selalu. Seburuk apapun kelakuannya ia akan senantiasa kukenang dan tak akan pernah kulupakan.
Yayan dikuburkan di komplek pemakaman dekat rumah kakak pertamaku. Sama seperti Ibu.
Bekerja untuk pertama kalinya - 2005
suntingDua tahun setelah Yayan meninggal, kesunyian hati dan riuh halusinasi masih saja menyelubungi hidupku. Telingaku hanya berhenti mendengar ejekan jika aku sedang tidur. Selebihnya adalah siksaan. Terlebih-lebih di rumah, aku tak punya kawan bicara. Kakakku terlalu sibuk bekerja. Semua keponakanku, kecuali yang paling kecil, kerapkali mengataiku ‘gila’. Mereka tak pernah mau berbicara panjang-panjang denganku. Aku pikir aku harus punya jalan keluar, dan kebetulan kakakku memiliki solusinya.
Salah satu kantor pemerintahan membutuhkan office boy untuk posisi yang lowong karena seorang pegawai yang lama telah mengundurkan diri. Aku melamar ke sana dan aku langsung diterima karena seorang tetanggaku merekomendasikanku. Pada hari itu juga aku mulai bekerja. Ofice boy di kantor itu kebanyakan bekerja bersih-bersih pada malam hari, saat para karyawan staf sudah pulang, dan juga pada pagi hari saat para pekerja kantor belum datang. Kebanyakan ofice boy di sana menginap di kantor itu untuk menghemat ongkos. Gajinya demikian minim, sehingga bagi yang berkeluarga, gaji itu tidak berarti apa-apa. Untuk mencari penghasilan tambahan mereka tak bisa, sebab mereka harus bekerja secara penuh di kantor itu. Aku belum berkeluarga, bagiku gaji tak masalah, asalkan aku mendapatkan terapi dukungan (supportive therapy) dari lingkungan kerjaku. Aku ingin meluaskan sisi sosialku.
Aku ditempatkan di Gedung A-1 tempat Deputi, para Asisten Deputi dan karyawan lainnya bekerja untuk masalah politik dalam negeri. Kebetulan, ruang office boy-ku adalah juga kantin di gedung itu. Kantin itu dimiliki oleh pasangan kerjaku yang bernama Muji. Maka selain bersih-bersih, pekerjaanku juga melayani para pembeli di kantin itu. Kantin itu sebenarnya kecil. Namun karena kantin itu posisinya strategis, maka setiap harinya ramai dikunjungi orang. Secara perlahan-lahan aku mulai mengenal banyak orang. Hatiku senang sekali memiliki banyak kawan. Para satpam, supir, dan ofice boy lain menjadi kawanku.
Kami berbicara apa saja mulai dari agama hingga seks bebas. Karena tekanan kawan-kawanku di sana, aku merokok. Walaupun bagiku rokok itu hambar rasanya, aku tetap melakukannya. Persahabatan jauh lebih tinggi nilainya daripada sebatang rokok. Persahabatan harus dipertahankan walaupun ada sesuatu yang “terpaksa” dilakukan. Aku ingat Yayan yang tuberkolosis. Namun bukankah lebih baik tuberkolosis tetapi punya banyak kawan daripada tidak merokok tapi hanya mengenal segelintir orang yang menyebalkan?
Aku bekerja serajin mungkin. Beberapa orang bahkan berkomentar bahwa aku “terlalu rajin”. Aku ingin menjadi pekerja yang baik. Lantai di semua ruangan di Lantai A-1 harus bersih dan tak bersisa kotoran. Aku mengepelnya tiap ada jejak sepatu yang membekas di lantai. Aku menghabiskan tenagaku untuk menjaga kebersihan di lantai itu. Belum lagi aku harus melayani para pelanggan yang membeli di kantin. Mereka memesan mie instan, kopi atau hanya sekedar membeli rokok. Lama-kelamaan tenagaku habis terkuras untuk pekerjaan semacam itu. Aku mulai jenuh. Jujur saja, ketika aku bekerja, aku iri pada para staf di sana. Mereka dapat duduk dengan tenang, mengobrol, mengetik atau mencari referensi di internet. Sedangkan aku tiap hari harus berpeluh.
Belum lagi sesaat kemudian musim penghujan datang dan lantai penuh dengan jejak kotoran dari sepatu. Aku menyediakan kardus sebagai keset agar jejak sepatu tidak membercak hingga ke dalam. Usahaku itu kadang-kadang tidak berhasil karena orang-orang yang masuk ke lantai dasar itu seringkali tidak kesetan terlebih dahulu.
Sore hari aku menyapu semua ruangan dan mengepel lantainya. Juga tidak lupa mengelap meja. Pasangan kerjaku (Muji) sibuk mengurusi kantin miliknya pada sore hari. Oleh karena itu, pada sore hingga malam aku bekerja sendirian. Aku merasa sangat letih, apalagi aku masih harus meminum Haloperidol tiga kali sehari dan Chlorpromazine sehari sekali. Tenagaku habis terkuras oleh antipsikotik dan pekerjaan.
Lantai A-1 pada malam hari lebih sepi. Aku menyukainya. Ini adalah kesukaan yang salah, aku menyadarinya. Namun naluri skizofreniaku yang menarik diri dari pergaulan mulai kambuh lagi. Kini aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapinya. Aku juga punya masalah dengan waktu tidur. Jika aku minum Chlorpromazine 100 mg, aku tertidur 12 jam sehari. Aku berkonsultasi dengan dokter di RS Marzoeki Mahdi pada hari Sabtu (ketika libur) dan ia membolehkanku untuk hanya mengonsumsi setengah saja, yaitu 50 mg.
Setelah meminum obat pada waktu magrib, rasa kantuk mulai menyerangku segera setelah aku selesai bekerja. Semua pekerjaanku selesai pada pukul sembilan atau sepuluh malam. Aku langsung menyelonjorkan diri di sofa dan langsung pulas tertidur, karena Chlorpromazine. Aku tidur lekas-lekas agar aku bangun lekas-lekas pula. Aku harus bangun pada pukul lima subuh, dengan aktivitas awal memasak air dan menyeduh teh serta kopi untuk disuguhkan kepada para staf di lantai itu.
Walaupun sebagian besar orang di situ ramah-ramah aku tetap saja mulai sering menghindar jika mereka sedang berkerumun. Aku teringat pada kata-kata psikiaterku di Bekasi, dr. Baringin yang mendiagnosa bahwa selain paranoid aku juga menderita sosiofobia. Aku juga teringat pada kata-kata Ibu Leila Ch. Budiman saat menjawab keluhanku di rubrik psikologi Kompas yang juga mendiagnosisku dengan masalah ketakutan yang sama. Aku kecewa kepada diriku sendiri. Aku telah berupaya melawan setiap sisi penyakit jiwaku .Namun entah karena apa, ada sesuatu dalam diriku, yang selalu menggagalkannya.
Aku semakin sering menyendiri. Dan semakin lama sifat menyendiriku itu semakin jadi. Sampai pada suatu saat aku berlari ke Monas (kantorku terletak tepat di depan Monas) untuk menghindari kerumunan orang di kantin. Aku duduk dan menyendiri di taman pada jam kantor. Aku berpikir keras akan apa yang harus kulakukan untuk menghindar dari semua ini. Akhirnya aku berhasil mendapatkan jawabannya. Aku harus berpura-pura bahwa ayahku sakit keras sehingga aku mungkin dapat beristirahat sementara untuk menenangkan diri. Aku mengatakan seperti itu di hadapan kawan-kawan kerjaku. Aku pun pamit pulang.
Aku telah mendapatkan solusi. Solusi sementara.
* * *
Ke Bagian Kerumahtanggaan aku izin selama dua hari, akan tetapi aku tidak masuk selama seminggu. Kepada kedua kakakku aku berdusta bahwa halusinasiku telah menyerangku dengan hebat, padahal gejala negatiflah yang kualami. Kakakku akhirnya menganjurkan agar aku berhenti bekerja saja. Bagiku, itu sama artinya dengan kembali kepada kesendirian yang menjenuhkan.
Namun setelah kutimbang-timbang, pendapat itu ada benarnya juga, aku belum mampu untuk bekerja. Akhirnya aku mengundurkan diri dengan berdusta. Aku mengatakan kepada Muji dan kawan-kawanku yang lain bahwa aku mengundurkan diri karena harus merawat ayahku yang sakit keras. Sementara kepada tetangga yang memasukkan aku bekerja aku mengatakan apa adanya. Ia dapat memahami, karena ternyata kakaknya adalah juga penderita skizofrenia juga. Namun Muji, pasangan kerjaku, nampak kecewa atas keputusanku itu. Tapi ia tak dapat mencegahku. Mengundurkan diri dari pekerjaan adalah hak seseorang dan itu tak dapat dihalangi. Ia hanya dapat menghela nafas panjang dan berkata: “Sekali-kali datanglah bermain ke sini.” Aku mengangguk. Tapi aku pulang dengan keragu-raguan: Apakah aku telah mengambil keputusan yang benar? Apakah kondisiku akan membaik dengan kebulatan pendapatku itu?
Aku pulang dengan beban yang masih menggayut di hati.
Dua paranormal yang terakhir - 2006
suntingSetelah keluar dari pekerjaan, aku habiskan sisa tahun 2005 dengan ketersiksaan. Karena aku menyendiri lagi, halusinasiku parah lagi. Aku sering mendengar para tetangga membicarakan keburukanku di jalanan di muka rumah tempat kami tinggal. Aku sering mendengarnya saat di kamarku, di lantai atas. Ketika aku melakukan aktivitas yang mengeluarkan bunyi, suara-suara tetanggaku itu semakin keras meledekku:
“Dasar gila!”
“Sakit!”
“Sinting, luh!”
Aku tidak tahu harus melakukan apa. Usahaku agar masuk ke RS Marzoeki Mahdi dan Bangsal Psikiatri RSCM gagal, karena katanya masih banyak yang lebih membutuhkan.
Jika telah mendengar suara-suara itu maka aku duduk merapatkan diri di kursi merah yang ada di kamarku. Walkman-ku kusetel keras-keras, namun itu hanya menghambat sebagian suara-suara itu. Volumenya kusetel lebih keras, dan kadang-kadang penambahan volume itu berhasil. Walaupun akibatnya adalah gendang telingaku menjadi berdenging. Aku diam tak bergerak, karena jika aku bergerak, suara-suara itu akan lebih gaduh. Aku bahkan tak berani batuk, karena batuk itu mengeluarkan bunyi yang dapat memicu suara-suara. Aku makan dengan tangan, tak berani dengan sendok, aku tak mau mengeluarkan bunyi apapun. Sendok akan berdenting di piring beling (keluarga kami tak punya piring plastik besar) dan aku tak bernyali untuk melakukannya. Karena hal itu akan menimbulkan suara-suara yang lebih keras lagi.
Kakakku mulai menegurku: Mengapakah aku tak pernah lagi menonton televisi bersama-sama? Mengapakah aku hanya berkurung diri di dalam kamar seharian? Aku menceritakan apa adanya dan kakakku mengeluh, ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Sampai akhirnya pada suatu hari bibiku yang di Ciamis menelepon kakak pertamaku, bahwa ia kenal seorang ulama yang telah menyembuhkan anak besannya (saudara tiri dari menantunya). Semula pemuda yang mengalami gangguan jiwa itu memiliki gejala-gejala yang amat parah. Ia sering mengancam dan melempari orang lain dengan batu. Amarahnya begitu kuat. Oleh orang tuanya, anaknya itu dibawa ke kota Cilacap di Pesantren R. Kini pemuda itu telah pulih seperti sediakala dan bahkan telah bekerja. Bibiku berjanji akan mengantarkan kami ke Kyai pimpinan pondok pesantren itu dan kali ini ia yakin bahwa aku akan berhasil disembuhkan.
Aku sudah muak dengan paranormal. Aku tak mau lagi berobat ke orang semacam itu. Pengalamanku mengajarkan bahwa paranormal hanya akan menyembuhkan sementara saja. Kemudian gejala akan kembali dan bahkan semakin parah. Bukannya aku menyepelekan agama. Tapi menurutku gangguanku ini tak ada hubungannya dengan ruh, jin atau yang semacamnya. Gangguan jiwaku bukanlah gangguan gaib, akan tetapi kelainan dalam otak. Aku tak dapat memahami jalan pikiran keluargaku yang walaupun telah bertahun-tahun gagal di dalam pengobatan agamawi namun masih tetap saja percaya bahwa gangguan kejiwaanku dapat disembuhkan dengan tirakat yang dijalankan atas saran paranormal. Aku tak percaya. Aku tak bisa percaya lagi.
Akan tetapi kakakku adalah orang yang mudah untuk dipengaruhi. Lagipula dia sudah bosan dengan penyakitku. Ia memang tak punya uang untuk ke Cilacap kali ini. Ia kini menelepon kakak keduaku yang di Jambi, dan kakakku itu, karena merasa bertahun-tahun tidak ikut merasakan betapa sulitnya pengobatan penyakitku, langsung mengirimkan uang. Posisiku jadi terjepit. Aku tak berani melawan kehendak kakak pertamaku itu, karena selama ini aku telah banyak menyusahkannya. Aku takut dibilang sebagai anak yang sukar diatur. Aku bukanlah anak yang suka membantah. Sedari kecil aku adalah anak yang penurut. Walaupun rencana kali ini bertentangan dengan hatiku, akhirnya dengan berat hati aku ikut juga ke Cilacap untuk diobati (26 Februari 2006).
Aku tiba dengan rasa ngeri. Aku melihat bagaimana pasien-pasien bergeletakan begitu saja di lantai mesjid. Kulihat atap mesjid itu: Pesantren R. Kami diterima oleh asisten Pak Kyai, dan karena Pak Kyai sedang ke Semarang, maka kami dipersilakan untuk menginap di ruang samping rumahnya hingga ada keputusan dari Pak Kyai. Lagipula kami adalah pasien terjauh: dari Tangerang.
Malam itu aku tidak boleh minum CPZ-ku dan aku tak dapat tidur sekejap pun, bahkan setelah 24 jam berlalu. Kakak dan bibiku tertidur pulas karena kelelahan. Untuk menghilangkan kejenuhan, aku mulai menulis buku harianku. Kali ini aku membawa buku baru yang biasa (bukan agenda seperti buku harianku terdahulu) karena kuperkirakan aku takkan lama di sini. Anak dari besan bibiku hanya dua minggu di sini. Begitu pula aku.
Pak Kyai pulang pada tengah malam. Ia tak langsung berbicara dengan kami. Aku tak tahu mengapa. Padahal kami telah jauh-jauh untuk datang ke sini. Kami baru diajak berbicara pada keesokan harinya. Nama ulama itu Kyai H. Ia menjelaskan bahwa aku harus menginap di dalam mesjid karena ia telah menempatkan ribuan jin di sana untuk mengusir jin yang ada di dalam tubuh orang yang menderita gangguan jiwa yang dirawat di sana. Aku menentang teorinya; di dalam hati.
Aku tak kuasa melawan. Aku mencoba menjelaskan diagnosa dokter. Namun nampaknya ia tidak suka akan penjelasanku itu. Ia hanya mau didengar dan dituruti. Lain tidak.
* * *
Kakakku pulang hari itu juga. Sementara aku dan bibiku tinggal. Namun seminggu kemudian bibiku pun pulang ke rumahnya di Ciamis. Aku tidak bermasalah dengan orang yang menderita gangguan jiwa. Karena di Rumah Sakit Jiwa pun aku telah terbiasa dengan orang yang semacam itu. Yang menjadi masalah adalah aku tidak boleh meminum obatku. Aku tahu penyakitku akan kambuh. Beberapa hari kemudian obat itu dipinta oleh Pak Kyai dan maksudku untuk sembunyi-sembunyi meminum obat gagal sudah. Aku takkan lagi punya harapan ke depan. Aku akan terjatuh ke dalam lubang skizofrenia yang semakin parah.
Aku jalani hari demi hari di pesantren itu dengan perasaan jenuh. Aku bosan karena pasien-pasien di sini sama sekali tak diberi kegiatan. Dua pengobatan rutin yang dijalankan adalah mandi di sumur keramat dan meminum jamu yang terbuat dari kunir.
Halaman pesantren itu cukup luas untuk berjalan-jalan menghilangkan pegal kaki. Namun tidak cukup luas untuk menghilangkan kebosanan dari aktivitas yang itu-itu saja. Aku ingin pulang. Walaupun begitu, karena aku terpaksa tinggal, aku berkawan baik dengan beberapa orang yang juga berobat di sini. Kami mengobrol tentang segala masalah untuk membunuh waktu.
Fuad adalah sahabat terbaikku. Ia mengaku punya “penyakit bisikan” dan selama beberapa lama pernah dirawat di RSJ Lawang. Ia lebih pendiam dari diriku, tapi ia seorang penggemar sepak bola. Dengan wajah minim ekspresi ia menuturkan setiap pertandingan sepak bola yang pernah disaksikannya. Ia menyayangkan, di sini tak boleh menonton televisi. Ia jadi tak dapat memuaskan kesenangannya itu. Sebagai penawar rasa dahaganya akan sepak bola, ia pun menyaksikan anak-anak sekitar pesantren itu yang bermain sepak bola setiap sorenya.
Andi adalah sahabat baikku juga. Ia sedang kuliah PGSD di Universitas Terbuka. Ia telah mengajar di sebuah Sekolah Dasar di kampungnya. Namun tiba-tiba neneknya memaksanya untuk masuk rumah sakit jiwa. Ia tak tahu apa alasannya. Di RSJ ia meminum obat yang membuatnya kaku. Ia tak tahu obat apa itu. Menurut penilaianku, Andi adalah penderita yang punya tilik diri (insight) yang buruk. Ia bahkan tak mengetahui kenapa keluarganya menempatkan ia di pesantren itu. Di luar semua itu, ia adalah seorang yang cerdas. Ia fasih berbahasa Inggris dan mampu menjelaskan teori tata bahasanya dengan baik.
Jabbar masih kelas 6 SD. Walaupun ia masih kanak-kanak, ia adalah seorang yang kasar, yang ia lampiaskan lewat bahasa maupun kekerasan fisik. Ia nampaknya kesulitan untuk bertutur kata secara halus. Konon ia dibawa ke sini karena di rumah mengamuk terus. Hal itu menyulitkan orang tuanya. Kebetulan, kakaknya, yang akan lebih banyak kuceritakan kemudian, nyantri di sini. Ia akan ujian kelulusan dalam dua bulan lagi. Tapi nampaknya harapan untuk pulang masih jauh di awang-awang. Ia masih bersikap kasar, bahkan terhadap sesama pasien.
Misman semula ditunggui oleh ibunya saat dirawat di sini. Namun karena ia bersikap kasar pada orang tuanya itu, ibunya menjadi takut dan akhirnya pulang dengan diam-diam dan meninggalkan Misman sendirian setelah menitipkannya kepada Pak Kyai. Misman tadinya adalah anak yang baik hati dan rajin (sisa-sisa kerajinannya itu masih terlihat ketika ia dirawat di sini, misalnya dengan setiap hari menyapu halaman mesjid) tapi tiba-tiba di masa pra-dewasanya ia berubah menjadi galak dan sering menyerang orang lain atau memecahkan barang-barang. Misman merasa sistem perawatan di pesantren itu terlampau kasar. Ia sering dimarahi oleh santri di sana karena tingkahnya yang dianggap sulit diatur. Misman kemudian kabur dari pesantren R, dan kembali hanya untuk bayar utang di kantin.
Taryono adalah penderita skizofrenia sengkarut (disorganized schizophrenia) yang berasal dari Desa Sumpyuh. Ia tak mampu untuk menjelaskan di mana Desa Sumpyuh itu. Wicaranya kadang-kadang tak logis walaupun kebanyakan masih dapat dimengerti. Ia mengaku sakit "karena cewek” saat bekerja di Malaysia. Ia bekerja di sana selama dua tahun. Ia pulang dalam keadaan yang sudah sakit. Menurut Pak Kyai, dua saudaranya juga penderita gangguan jiwa dan kemudian menghilang tak tentu rimbanya. Hanya ia yang masih bertahan tinggal. Itu pun jarang dikunjungi oleh keluarganya. Taryono mengaku bahwa keluarganya adalah petani yang apa adanya dan hidup sederhana, bahkan seringkali kekurangan. Keluarganya tak mampu membiayai sekolahnya di sebuah STM. Dan ia terpaksa pergi ke Malaysia untuk membantu keluarganya.
Sedangkan Khamid adalah pasien terparah yang dirawat di sini. Ia sama sekali tak bisa berkomunikasi. Bahkan makan pun harus diambilkan. Ia adalah murid pesantren dari kecamatan lain di Cilacap. Menurut salah seorang kawannya, ia menjadi sakit ingatan karena niatnya ingin hafidz (hafal) Quran, sementara dirinya belum sanggup untuk melakukan hal itu. Seorang kakaknya -- yang bernama Yahya -- yang sabar dan penyayang menungguinya dengan setia.
Pasien-pasien yang lainnya datang dan pergi ke mesjid itu dan aku tak dapat mengingatnya satu persatu. Di luar mesjid, ada pula pasien-pasien yang lain. Salah seorang di antaranya adalah Budi, yang tinggal di bangunan di belakang rumah Pak Kyai. Yang lainnya adalah Ipin, yang tinggal di garasi tempat mobil Pak Kyai diparkirkan. Mereka tidak tinggal di mesjid karena terlampau parah. Aku terkejut ketika diberitahu oleh Bu Kyai Bahwa salah seorang dari mereka berumah di komplek pemerintahan yang sama dengan kakakku di Tangerang. Ternyata, di tempat yang jauh, kami saling bersinggungan dalam permasalahan yang sama. Padahal ketika di rumah, kami tak saling tahu masalah masing-masing.
* * *
Pak Kyai menyuruhku untuk sering-sering meminum air kelapa muda karena air itu akan membersihkan darahku dari obat yang telah lama kuminum. Dalam hati aku bertanya: Mengapa setiap pengobatan Islam itu anti terhadap ilmu kedokteran dan bahkan terhadap obatnya? Padahal jika keduanya digabungkan aku yakin akan menghasilkan efek yang menurutku sangat positif. Iman dan pengetahuan yang rasional seharusnya selaras dan bukannya saling punggung-memunggungi. Iman akan mengobati keyakinan sang penderita, sementara obat akan memulihkan otak yang merupakan pusat pikiran dan emosi. Aku berharap di masa yang akan datang akan ada orang yang sanggup menggabungkan keduanya dan memasyarakatkan konsepnya itu.
Makasin (Anto Muchsin) -- yang merupakan pembantu Pak Kyai -- diperintahkan olehnya untuk mengambil sebutir kelapa muda setiap harinya agar airnya dapat kuminum. Namun kadang-kadang ia lupa sehingga tidak mengambilkanku kelapa muda. Akibatnya ada beberapa hari aku tidak meminum air kelapa muda itu.
Menurutku pembersihan darahku itu berjalan terlampau lambat. Aku tidak sabar. Sudah selama satu minggu lebih Pak Kyai tidak mengambil tindakan apapun terhadapku. Sementara orang lain dipijat, aku tidak. Pak Kyai beralasan menunggu darahku bersih. Aku tetap saja tak dapat memrotes sikapnya itu. Dalam sebuah pesantren, ketentuan seorang kyai adalah ketetapan yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Aku hanya bisa diam menghadapi keputusannya itu.
Tetapi, tunggu dulu, ada sesuatu yang terjadi dalam diriku. Entah karena apa, beberapa hari setelah itu halusinasiku menghilang. Aku tak lagi mendengar orang yang mengejekku. Tidak ada lagi yang mengataiku bahwa aku tidak waras. Dalam hati aku bersorak. Aku tak lagi punya halusinasi. Aku juga tak lagi curiga kepada orang lain. Kiranya Tuhan menyembuhkanku. Aku gembira. Aku bahagia. Aku telah terbebas dari penyakitku.
Di kantin, aku mengungkapkan luapan kegembiraanku kepada Bu Kyai yang mudah ditemui di sana. Aku berkata bahwa aku akan segera pulang dalam beberapa hari ini, karena gejala yang menggangguku telah tiada.
Namun ia menegahku. Katanya, “Kamu belum stabil. Tunggulah sampai stabil dulu. Janganlah minum obat lagi. Minumlah air kelapa muda yang diambilkan Makasin untukmu.“
Perkataan itu tak mengecewakanku. Aku menikmati alam perasaan dan pikiranku yang tiba-tiba jadi ceria. Kini aku tersenyum dan bahkan tertawa. Tak ada lagi depresi dalam diriku. Aku bersemangat untuk berbicara dengan semua orang yang kukenal. Termasuk dengan kakakknya Jabbar, yang santri itu, yang putih, cantik dan baik hati. Namanya Nurhidayah.
Nurhidayah baru beberapa bulan nyantri di pondok pesantren ini. Menurut perbincangan kami pada suatu malam, yang juga disaksikan oleh Andi, ia mengaku bukanlah murid yang cerdas. Ia mengeluh, “Saya nggak bisa Bahasa Arab”. Ia menanyakan beberapa soal mengenai diriku: Mengapa aku bisa berada di sana, siapa yang mengantarku waktu itu, dan apakah aku sudah punya pasangan. Soal mengapa aku bisa berada di sana dan siapa yang mengantarku, aku ceritakan apa adanya. Namun aku berdusta soal pasangan.
Aku bercerita bahwa dahulu aku pernah berpacaran, padahal tidak pernah sama sekali. Aku juga berkata bahwa aku telah putus dengan pacarku itu. Sayang sekali, obrolan kami dipotong oleh tindakan Makasin yang melarang secara halus kami bertiga berbincang-bincang di malam yang sepi saat semua orang lain sudah tidur. Seandainya kami dibiarkan berbincang lebih lama tentunya kami akan lebih saling mengenal satu sama lain secara lebih jauh. Tapi sejak saat itu, kami menjadi lebih akrab. Aku terpesona oleh wajahnya, yang cantik, kulitnya yang putih, dan tutur katanya yang lembut. Tak dapat kupungkiri, aku jatuh hati padanya.
Dalam Dinten, aku menuliskan surat cintaku. Aku takut pada santri-santri lain jika mengetahui apa yang kutuliskan. Maka sejak saat itu, isi Dinten kuubah bahasanya menjadi Bahasa Inggris, agar tak ada orang lain, kecuali Andi, yang mengerti isi buku itu. Alhasil, karena ditulis dalam bahasa asing, maka surat cintaku itu tak pernah disampaikan kepada orang yang kusayangi. Namun dari sikap dan gerak lakunya di hadapanku, nampaknya kami telah saling mengerti, kami saling menyukai.
Sejak obrolan malam itu, kami masih beberapa kali bertemu, walaupun tidak pernah mengobrol sedekat malam yang telah lalu itu. Ia menunjukkan sikapnya bahwa ia ingin aku dekati. Meskipun demikian, aku menghormati aturan di pesantren itu. Kami tak pernah berdekatan lagi. Kami hanya saling tegur sapa saat kami berjumpa, entah karena kebetulan, entah karena disengaja. Termasuk saat-saat kami bertemu di pinggir sungai, saat kami berdiri berjauhan, dan tahu, bahwa isi hati kami juga mengalir, seperti sungai itu.
Karena kedekatan dengan kakaknya, maka Jabbar pun mulai dekat denganku juga. Kini, ia-lah yang memetikkan buah kelapa jika Makasin lupa. Ia juga yang membelahnya dan menyerahkan kepadaku. Walaupun ia mengharapkan imbalan berupa uang, bagiku itu tak apa. Jika aku menyayangi kakaknya, maka aku pun harus menyayangi adiknya juga.
Jabbar sering bertanya kepadaku, “Kapan kakakmu akan ke mari lagi?”. Aku menjawab sekenanya, karena ia bertanya dalam Bahasa Jawa. Setelah ia terjemahkan, barulah aku dapat menjawab dengan tepat. Aku bilang aku tak tahu kapan kakakku akan ke mari lagi.
“Kakakku sibuk bekerja,” kataku.
“Di mana?,”tanyanya lagi.
“Di SMP, mengajar, “ jawabku, ringkas dan tandas.
Lalu ia meminta aku menuliskan surat untuk ibunya. Isinya berupa sesal atas perbuatannya yang telah lalu. Ia ingin aku menuliskan bahwa ia takkan mengamuk lagi. Dan memohon agar segera dijemput pulang. Ia sudah sembuh dan takkan mengulangi perbuatannya itu. Surat itu hanyalah curahan hati belaka karena tak pernah dikirimkan.
Beberapa hari kemudian kebetulan ibu dan saudaranya yang lain datang untuk menjenguknya. Namun tidak untuk menjemput pulang, tapi untuk memperpanjang jangka perawatannya di pesantren itu. Jabbar memelas. Aku pun ikut merasa sedih. Kami kini dapat saling merasakan perasaan satu sama lain. Kini kami dapat saling berempati.
Tiga minggu berlalu, Pak Kyai tak juga mengambil tindakan sesuatu apapun terhadapku. Aku merasa diabaikan, tak diindahkan. Tiadanya kegiatan yang berarti membuatku jenuh. Walupun dilarang ke luar komplek pesantren, dengan alasan untuk menghilangkan kejenuhan, maka aku pun berjalan-jalan hingga ke daerah Slarang. Aku juga menyambangi daerah persawahan yang luas terhampar yang letaknya tak begitu jauh dari pesantren itu. Di sana aku dapat memandangi daerah pegunungan yang membiru di kejauhan. Pemandangan yang demikian indah dapat menghilangkan kebosananku. Namun jika aku kembali ke komplek pesantren lagi, aku diserang rasa jemu kembali.
Aku mencoba mengisi waktu luangku dengan menulisi Dinten. Tapi tampaknya hal itu tak dapat juga mengusir perasaan itu. Aku ingin berbincang dengan banyak orang yang enak diajak bicara, misalnya Nurhidayah. Namun aturan jualah yang membuatku tak dapat melakukannya. Rasa suntukku mulai menguasai diriku. Aku tak tahan lagi. Akhirnya aku menelepon ke rumah kakak pertamaku di Tangerang bahwa aku ingin pulang. Namun beberapa hari kemudian, ketika aku meneleponnya kembali, ia mengatakan bahwa menurut Pak Kyai yang ia hubungi lewat telepon, aku belum diizinkan pulang. Aku belum sembuh. Darahku belum bersih dari obat. Aku terhenyak. Aku meminta kakakku untuk datang, dan ia berjanji akan segera meminjam uang ke koperasi di sekolahnya agar ia atau kakak ketigaku dapat menjengukku.
Pada suatu malam, aku terbangun tiba-tiba dari tidurku. Ada yang menertawakan dan mengejek diriku. Dengan perasaan siaga aku mondar-mandir di komplek pesantren itu. Ke mesjid - ke asrama. Ke mesjid lagi dan ke asrama lagi; begitu seterusnya. Namun sumber suaranya tak dapat kutemukan. Aku diserang rasa cemas, jangan-jangan halusinasiku kumat lagi. Aku gelisah lagi.
Hingga pagi, siang, sore dan malam kembali pikiranku tak dapat tenang juga. Aku mulai salat tasbih pada malam hari keesokan harinya. Aku memohon kepada Allah agar jika aku berdosa, dosaku diampuni. Aku berdoa dalam khalwatku agar Ia jangan mengembalikan penyakitku seperti semula. Aku ingin bebas selama-lamanya dari penyakitku dan janganlah membuatku dikuasai oleh halusinasi lagi. Aku berdoa dengan sangat khusyuk hingga air mataku menggenang.
Kurapikan sarungku malam itu lalu mencoba tidur kembali. Namun aku tak dapat. Bahkan pada siang di keesokan harinya aku mendengar banyak santri mengejek diriku. Kiranya Tuhan tak mengabulkan doaku. Malam harinya aku salat tasbih kembali dengan sama khusyuknya. Tapi di manakah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu? Ia tak memakbulkan apa yang kupinta. Halusinasiku bertambah parah dari hari ke hari.
“Aku sudah tak tahan,” kataku kepada kakak ketigaku yang datang bersama anak bungsunya, Iqbal, yang masih kecil, pada suatu hari di bulan Maret 2006.
“Marilah kita izin pulang kepada Pak Kyai,“ tambahku.
Kakakku berpikir beberapa saat, lalu ia berkata, “Baiklah, marilah kita izin.”
Pada senja hari itu kami duduk menghadap Pak Kyai, berkata dan menjelaskan dengan sehalus mungkin tentang kondisi kejiwaanku. Namun Pak Kyai tak setuju dengan rencana kepulangan kami. Ia mengatakan ia tak mau kami menyebarkan berita buruk mengenai kegagalan pesantren yang dipimpinnya dalam hal mengobatiku.
“Itu akan merugikan saya,” begitu katanya.
Ia menceritakan tentang sejumlah kesuksesannya dalam mengobati orang dengan gangguan jiwa. Ia bercerita dengan panjang lebar, dan kami hanya mendengarkan saja tanpa membantah. Ia menutupnya dengan himbauan agar aku bersabar di tempat itu, hingga aku sembuh. Dan kami tak melawan apa yang dikatakannya, kami menurut. Karena melawan adalah tabu.
Halusinasi semakin melumpuhkanku. Aku tak mau makan dengan memakai sendok. Dan kularang kakakku untuk melakukannya juga. Kakakku nampaknya tak merasakan apa-apa. Ia tak merasa ada yang mengganggunya. Karena ia menghargaiku, maka ia makan dengan menjauh dariku.
Kakak ketigaku tidak dapat lama di tempat ini, anaknya harus sekolah. Ia kemudian ke Ciamis dan dari Ciamis ia kemudian pulang ke Bekasi. Ia memberiku uang Rp 50.000,- untuk jajan di kantin. Uang makan sudah dibayar untuk dua minggu ke depan.
“Kamu tak perlu berhutang,” begitu katanya.
Santri-santri semakin sering meledekku. Mereka mencemoohku dengan kata-kata yang menyakitkan seperti ‘gila’ dan ‘anjing’. Akhirnya pada suatu waktu, Nurhidayah mengikutinya juga. Ia telah kena pengaruh santri-santri lain. Mereka memang tidak meledekku dari jarak dekat, akan tetapi tetap saja hal itu menyakitkan. Masalahnya bukan jaraknya akan tetapi muatan emosional yang ada dalam kata-kata itu. Cemooh mereka terjadi siang dan malam dan itu sungguh membuatku tambah sulit tidur.
Aku mengeluarkan dan memanfaatkan Walkman yang kebetulan kubawa. Aku menyetelnya keras-keras untuk menghambat suara-suara yang menggangguku. Seperti biasanya hal itu berhasil. Biarpun demikian, aku kesulitan untuk mempertahankan bahwa benda itu adalah milikku sepenuhnya. Pasien-pasien berebut ingin menyetelnya. Aku tak kuasa melarang. Walkman itu hanya kukuasai pada tengah malam, saat orang-oarang di mesjid sudah jatuh tertidur. Pada siang hari aku tak dapat menyebut Walkman itu milikku, sebab berbagai orang menginginkannya.
Tambah lagi pada suatu hari aku tak dapat menemukan Walkman-ku itu. Aku terkejut, ketika Andi menemukannya di tempat sampah. Sudah hancur berkeping-keping. Kami tak pernah tahu siapa yang menghancurkannya. Mungkin Khamid. Hanya dia yang sering menghancurkan barang-barang. Ia pasien yang paling parah dan pasti ia melakukannya di luar kesadaran. Aku tak boleh marah. Sekalipun demikian, aku merasa sangat tersiksa menjalani malam tanpa Walkman itu. Halusinasi menyerangku semakin gencar. Aku tak tahan lagi. Aku akhirnya memutuskan untuk kabur.
Aku pergi pada dini hari yang sepi. Uang ada di tanganku, ongkos bukanlah masalah. Pada pagi hari aku naik bus dan turun di sebuah persimpangan jalan di kota Cilacap yang ditunjukkan oleh kondektur sebagai perhentian bus menuju Ciamis. Aku memang akan ke sana, menuju rumah bibiku. Karena bila aku ke rumah kakakku di Tangerang atau Bekasi ongkosnya tidak mencukupi. Dari Ciamis aku akan mencoba menghubungi kakakku agar dijemput pulang.
Aku tiba di terminal Ciamis pada pukul 09.30 pagi. Aku sarapan lalu berdiam di mesjid, beristirahat. Sialnya penjaga mesjid itu berulang kali mengejekku. Walaupun kuperhatikan bibirnya tak bergerak. Ia lalu sibuk mempersiapkan perlengkapan salat Jumat. Aku pun lalu Jumatan di sana.
Selesai salat Jumat aku pun beranjak ke rumah bibiku. Aku berjalan kaki karena jaraknya memang tidak terlampau jauh. Tiba di sana bibiku tak ada. Yang ada hanya sepupuku, Mimi, dan suaminya, Bagas. Mimi tersenyum saja menyambut kedatanganku. Ia dengan ramah mengatakan bahwa ibunya (bibiku) berangkat bersama kakak ketigaku ke Bekasi untuk menengok anak lelakinya (saudara lelaki Mimi) yang tinggal di sana. Lalu ia mungkin ke Bogor, ke tempat anak lelakinya yang lain. Ia tidak mengetahui kapan ibunya akan pulang kembali.
Aku sebal sekali pada Bagas. Sikapnya ramah di depan mukaku tapi menghina di belakangku. Kiranya ia sama sekali tak ikut merasakan penderitaanku. Beban batinku sudah berat dan aku tak sanggup lagi untuk memikulnya. Karena itulah aku kabur dari Pesantren R. Tapi ia malah menambah beban itu. Ia tak suka padaku dan aku juga benci padanya. Kami bermusuhan secara diam-diam.
Esoknya aku menelepon kakak ketigaku. Aku tak berani menelepon kakak pertamaku karena orangnya memang pemarah. Rupa-rupanya kakak ketigaku itu langsung menelepon kakak pertamaku, karena sehari kemudian kakakku yang satu itu kemudian datang dengan bus malam. Ia datang dengan seribu amarah. Ia mendampratku.
“Kiranya kamu adalah anak yang susah diatur! Apakah kamu tak dapat merasakan susahnya mencari uang untuk membiayai pengobatan di Cilacap! Sudah, besok kamu kembali ke Cilacap!”
Sore itu aku dibelikan Walkman baru. Aku tak gembira. Itu tak menyelesaikan masalah. Kini problema baru menghadang, aku harus kembali ke sarang pengejek.
Apakah aku bisa tahan kali ini?
* * *
Tiba-tiba pesantren itu berubah menjadi neraka ketika kami kembali. Aku jadi melihat hal buruk yang sebelumnya tak kuperhatikan. Kami melihat bagaimana pasien-pasien yang tak mau mandi ditendangi atau diajak berkelahi oleh pembantu Pak Kyai. Ia melihat betapa orang yang telah bertahun-tahun di sini pun tetap tidak tersembuhkan. Kakakku mengatakan menyesal telah memarahiku. Ia menyadari kesalahannya, akhirnya ia pun memaklumi keadaan diriku. Akhirnya setelah seminggu berlalu, kami minta izin pulang lagi kepada Pak Kyai. Namun Pak Kyai kembali tak mengizinkan, dan kali ini ia berkata lebih keras daripada yang sebelumnya.
Pada suatu pagi saat matahari bersinar cerah, neneknya Andi berkata kepada kakakku bahwa ia baru saja menemukan satu petirahan yang lain di desa itu. Pengakuan Pak Kyai bahwa ia adalah satu-satunya orang yang mengobati gangguan jiwa dengan cara penginapan yang Islami adalah suatu kebohongan (atau memang ia benar-benar tidak tahu ada tempat lain semacam itu?). Neneknya Andi memberikan petunjuk di mana kakakku bisa menemukan tempat itu.
Ia mengeluhkan Andi, ia ingin Andi pindah petirahan, tapi nampaknya Andi betah di pesantren itu karena ia punya banyak kawan. Andi adalah salah satu cucunya yang punya potensi besar, bahkan sebenarnya ia sudah bekerja. Ia menyayangkan penyakitnya yang sukar diobati. Menurutnya, Kyai H terlalu sering menelantarkan pasiennya sehingga cucunya itu tidak tertangani dengan baik. Sekali lagi ia mengungkapkan keinginannya agar Andi pindah petirahan. Tapi bagaimana caranya? Sedangkan Kyai H pun tak mengizinkan mereka untuk angkat kaki dari pesantren itu.
Kakakku menelusuri petunjuk yang diberikan oleh neneknya Andi. Lalu pada siang harinya ia pulang dengan muka berseri-seri, ia berhasil menemukannya. Tempatnya tidak terlalu jauh, hanya sekali naik angkot, berjalan kaki pun bisa jika mau. Hatiku senang karena sebentar lagi aku akan terbebas dari perlakuan buruk santri-santri di sini. Aku akan pindah ke petirahan yang lebih baik.
Tapi bagaimana caranya pergi dari sini?
* * *
Untuk kedua kalinya saya kabur dari Pesantren R. Saya sudah tidak tahan lagi dengan perilaku orang-orang di sana. Santri-santrinya tidak menghargai perbedaan, baik secara fisik maupun mental. Saya terus-terusan dicemooh. Dengan berat hati, saya terpaksa menerima resiko kehilangan banyak teman yang saya kenal di sana, padahal alamat mereka sudah saya catat....
Kali ini saya melarikan diri pada pukul tiga dini hari (sebelumnya, pada aksi melarikan diri yang pertama, saya melarikan diri pada pukul empat kurang sepuluh dini hari). Dada saya berdebar keras. Dengan segera lampu kubah mesjid saya matikan, agar aksi melarikan diri saya sukar dilihat orang walaupun mereka terbangun. Namun pada saat saya akan mengangkat tas, Mbahnya Andi membuka mata. Saya berpura-pura hanya memindahkan tas ke tempat saya tidur, lalu berpura-pura mencari sesuatu.
Setelah beberapa lama ia memejamkan mata lagi, saya mengangkat tas, menjinjingnya. Resletingnya sengaja tidak saya tutup karena khawatir suaranya akan membangunkan orang-orang. Saya menyibakkan tirai pemisah pria-wanita lalu melangak-longok untuk melihat keadaan: persekutor[17] dan pasien ternyata tertidur semua. Saya dorong pintu samping mihrab yang selotnya telah saya buka sebelumnya. Saya melihat ke orang yang tidur di belakang mimbar, ia tidak terbangun.
Dengan selekas mungkin saya beranjak ke luar. Sendal Bata yang ada di bagian bawah tas (sewaktu akan pulang, kakak pertamaku bilang begitu, saya tidak mengeceknya) tidak sempat saya keluarkan. Saya menyeker. Saya meloncat ke permukaan tanah (yang letaknya lebih rendah). Lalu saya bersegera berjalan. Dada saya bertalu lebih keras. Saya berjalan lebih cepat. Lebih cepat lagi. Berlari. Berlari cepat. Lalu berlari lebih cepat lagi.
Nafas saya tersengal-sengal. Saya seperti akan pingsan.
Di samping Madrasah Ibtidaiyah Kalisabuk saya berhenti. Mengambil sendal dalam tas yang dibungkus keresek. Suasana gelap, saya sukar melihat. Dengan tangan yang gemetaran saya menyobek keresek, mengeluarkan sendal. Bungkusnya saya lemparkan di tepi jalan. Saya cemas keresek itu akan menjadi jejak bagi pelarian saya. Namun entah mengapa ada gerak tertahan sehingga saya tidak mengembalikan keresek itu ke tas saya.
Sendal saya pakai. Lalu saya berjalan sambil sesekali berlari jika deru nafas saya mereda. Saya tiba di pertigaan musala. Saya berjalan ke pintu musala. Menggeser batu pengganjalnya, membuka pintunya. Suaranya terlalu keras bagi dini hari yang sepi. Saya takut orang-orang yang tinggal dekat musala akan terbangun karenanya. Namun dengan diiringi perasaan cemas saya masuk juga ke dalam.
Lampu tidak saya nyalakan. Lebih aman bila gelap. Tas saya letakkan di sebelah rak Al-Quran, di dekat pintu. Mungkin karena tegang, perut saya tiba-tiba melilit. Saya masuk toilet.... Di dalam toilet saya mendengar seperti ada orang yang melangkah dari kejauhan. Jantung saya yang belum pulih benar kembali berdenyut kencang.... saya diam membisu.
Saya mendengar baik-baik. Ada bunyi motor dinyalakan. Lalu bunyi gigi berpindah. Gas dihela. Lalu motor itu bergerak menjauh. Saya lihat arloji. Pukul setengah empat kurang sepuluh....
Saya berjalan hati-hati, lalu masuk lagi ke musala lewat pintu yang tadi saya buka (musala itu sendiri punya tiga pintu, dua mengarah ke jalan, dan satu lagi di samping mihrab). Saya berdiam dalam kegelapan. Saya berpikir, hingga pukul berapa saya harus di sini? Sesaat saya memutuskan hingga pukul setengah lima. Akhirnya setelah pendapat dalam pikiran saya berbalah, saya menetapkan akan di sana hingga pukul empat seperempat.
Saya mendengar deru minibus dari kejauhan. Lalu melongok lewat jendela dan bertanya-tanya dalam hati, apakah itu supir angkot yang mengarah ke perempatan toko dekat rumah Pak J. Mungkinkah sepagi ini? Jam berapakah angkot biasanya beroperasi? Dungunya saya sebelumnya tidak bertanya kepada orang yang tahu.
Deru mobil itu semakin mendekat. Beberapa saat kemudian saya melihat sinar sorot mobil menyeruak malam, membelah gelap.
Tidak, ia tidak berasal dari jalan besar. Ia berasal dari arah MI [Madrasah Ibtidaiyah]. Kiranya itu adalah tamu Pak Kyai yang pulang. Mereka datang sesaat sebelum saya melarikan diri. Saat mereka datang saya berpikir itu bagus juga untuk mengalihkan perhatian. Sehingga Pak Kyai yang biasa bergadang tidak tahu kalau salah satu pasiennya kabur.
Arloji telah menunjukkan pukul empat seperempat. Saya beranjak mengangkat tas. Membuka pintu dengan tangan kiri, keluar, lalu menutup pintu. Namun saya tidak ingat apakah saya mengembalikan batu pengganjal pintu ke tempatnya. Suasana demikian senyap. Saya melangkah dalam gelap. Saya tidak merasa perlu untuk berlari lagi. Saya hanya berjalan cepat. Di dekat hamparan sawah kaki saya hampir terkilir karena terperosok lubang jalanan.
Saya sudah lupa pukul berapa saya tiba di SD Kalisabuk 01. Kalau tidak salah pukul empat lewat empat puluh menit. Saya duduk di atas tas dan jaket yang saya lepas di tempat yang agak terang. Radio dengan earphone saya nyalakan untuk meredakan ketegangan dan untuk membunuh waktu.
Satu-dua motor dan kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan melintas. Keluarga yang rumahnya di depan SD membuka pintu, mengeluarkan motor. Sang bapak (setidaknya begitulah saya menduganya) mengendarainya lalu beranjak akan pergi. Sang anak yang masih kecil (dari suaranya kiranya laki-laki) menangis dan ingin agar bapaknya tidak meninggalkannya. Namun akhirnya bapaknya pergi juga.
Saat setengah enam tiba, dan saya bergerak lagi. Di gerbang saya bertanya kepada perempuan muda yang sedang duduk di bangku semen sambil mengasuh anak yang berdiri berpegangan pada pintu gerbang tentang jalur angkot yang melintasi Kalisabuk. Ia menjawab bahwa angkot lewat di depan SD lalu berbelok ke kiri. Saya mengucapkan terima kasih lalu mengikuti arah yang ditunjuknya.
Tiba di perempatan berwarung saya berhenti lagi karena saya tidak yakin akan tempat berbeloknya angkot [tersebut]. Saya duduk di bangku bambu menunggu orang setempat lewat. Beberapa menit kemudian seorang ibu legam agak gemuk memakai kaus singlet melintas. Saya bertanya kepadanya dan ia menjawab bahwa jalur angkot berbelok di pertigaan itu dan melintasi jalan yang baru saja ia lewati. Ia bertanya akan ke manakah saya. Saya menjawab akan ke rumah Pak J. Lalu ia mengatakan bila akan ke rumah Pak J lebih dekat jika melalui jalan yang di samping SD. Luruslah terus ke arah sawah dan di sekitar itulah rumah Pak J.
Saya mengikuti petunjuknya. Saat saya melewati depan pintu gerbang SD, perempuan yang mengasuh anak tadi sudah tidak ada entah ke mana. Saya agak takut ia menganggap saya orang aneh atau orang sinting karena berbalik arah, tidak sesuai dengan arah yang ditunjukkannya.
Saya sampai di perempatan berwarung lagi, namun warungnya agak besar. Seorang perempuan berambut panjang dengan dua anak kecil yang berjalan kaki telah terlampau jauh untuk saya tanya. Saya tahu saya seharusnya mengejarnya. Tapi hal itu tidak saya lakukan.
Saya menunggu dan beberapa saat kemudian seorang pemuda tinggi kurus berkulit gelap melintas. Saya pun bertanya dan ia menjawab bahwa rumah Pak J berada di jalan yang dilalui oleh perempuan berambut panjang tadi. Ia menambahkan bahwa rumahnya ada di belakang musala.
Beberapa saat kemudian saya pun tiba di kediaman Pak J.
Itulah pembuka dalam Dinten keempatku, yang ditulis pada tanggal 3 April 2006, sehari setelah aku merayakan hari ulang tahun ke-27-ku. Sungguh sangat memilukan, merayakan hari ulang tahun dengan melarikan diri dari sebuah Pesantren yang menyiksa batin.
Dinten yang pertama ada di rumah kakakku di Tangerang. Buku kedua -- yang menceritakan pelarianku ke Ciamis -- disembunyikan di bawah kasur di kamar depan di Ciamis, di rumah bibiku, tempat aku kabur untuk pertama kalinya. Sementara Dinten ketiga -- yang menyimpan catatan di Pesantren R -- raib entah ke mana setelah dipinjam oleh Andi (kami adalah sahabat baik, sehingga wajar jika kami saling pinjam-meminjam barang, lagi pula ia juga sering menunjukkan tulisan-tulisannya kepadaku).
Di musala -- tempat yang ditunjukkan oleh pemuda tinggi kurus itu -- aku bertemu dengan tangan kanan Pak J, namanya Achmad. Olehnya aku disuruh menunggu di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian Pak J datang dan kami pun berbincang-bincang sejenak. Ia cukup ramah dan aku menyambutnya dengan suka cita.
Perlakuan di Pesantren R takkan terulang di sini. Aku diantar ke dipan yang akan menjadi tempat tidurku. Ia menunjukkan di mana aku bisa mengambil air wudu dan mandi. Ia dengan bangga menunjukkan dua sapi peliharaannya yang gemuk-gemuk. Aku berjalan-jalan hingga ke ujung halaman belakang rumahnya, yang waktu itu belum berpagar. Di sana terletak hamparan persawahan yang luas. Di dekat kaki tempat aku berpijak mengalir sebuah parit yang deras aliran airnya.
Aku melihat dua orang pasien lelaki sedang membersihkan kolam pemandian. Kutanya siapa namanya, asisten Pak J yang lain -- yang kemudian kukenal bernama Eko -- menjawab bahwa namanya Chan-Chan dan Ikhsan. Mereka begitu serius bekerja sehingga tak malihat ke arahku. Aku menawarkan bantuanku, tapi kata sang asisten itu: “Tidak usah, istirahat saja”.
“ Rumah kamu di mana?”, tanyanya.
“ Di Tangerang,” jawabku.
“Jauh sekali. Dengan siapa kamu ke sini?”
“Sendirian,” timpalku.
Ia nampak tak percaya, dan aku merasa sulit untuk menjelaskannya pada kali pertama. Akhirnya kubiarkan kesalahpahaman itu mengambang. Nanti juga ia akan tahu, begitu pikirku.
Petirahan Pak J punya 4 kurungan berjeruji besi yang -- karena kecilnya -- lebih mirip kandang binatang daripada tempat tidur untuk manusia. Di kandang itu, tinggal Ikhsan, Siti, Rohmah, dan yang datang kemudian, Fajar. Aku berkenalan dengan mereka berempat, termasuk dengan Fajar yang tangannya dikerangkeng karena sebelum di bawa ke sini, ia mengamuk di rumah.
Ikhsan kondisinya paling baik daripada tiga pasien lainnya. namun orangnya sangat sulit diajak bicara. Ia amat pendiam. Aku lebih banyak berbicara dengan Siti yang lebih punya daya sosial yang lebih baik. Sedangkan Chan-Chan adalah pasien yang istimewa. Ia dibiarkan di luar kurungan. Ia tidur seruangan denganku di atas dipan yang berbeda. Chan-Chan hanya menjawab singkat-singkat ketika kutanya. Badannya tidak terlalu besar namun ia tegap, konon karena ia rajin bekerja membantu-bantu Pak J dan tetangganya yang ada di sekitar situ. Kulitnya putih kekuningan karena ia memang seorang Tionghoa. Ia seorang muslim, walaupun karena penyakitnya ia tak pernah salat. Kita harus menghargai orang bagaimanapun penyakitnya, itulah kata hatiku.
“Sudah setahun ia di sini,” begitu kata Riswan.
Riswan adalah mantan pasien di petirahan ini, yang kini sudah sembuh. Ia kemudian menjadi sahabatku yang paling dekat di Petirahan Pak J. Ia menceritakan segala permasalahannya kepadaku: Ia adalah seorang pengangguran. Istrinya minta cerai karena ia tak pernah menafkahi keluarganya. Riswan menjadi pening memikirkannya. Ia adalah seorang tukang bangunan, yang bekerja jika ada order. Sejak ia sakit parah hingga telanjang bulat dan berkelana di jalan-jalan, Riswan tak pernah ada lagi yang mengajaknya bekerja. Kini ia sudah sembuh. Sudah cukup baik untuk dapat bekerja seperti dulu. Tapi tak ada lagi yang mau mempekerjakan dia. “Mantan orang gila,” demikianlah orang-orang kampung menggunjingnya. Kini kerjanya hanya lontang-lantung tak keruan juntrungan. Rumahnya dekat, karena itu ia datang tiap hari ke kediaman Pak J.
“Saya rindu kasih sayang istri saya,“ demikian dambanya.
Aku tak bisa menolong. Hanya mencoba menjadi pendengar setia semua keluhannya.
Tanpa terasa hari beranjak senja. Lalu datang malam. Kami semua tidur hanya dengan diterangi lampu 5 watt. Suara katak dan burung malam saling bersahut-sahutan. Aku terbangun dua kali, keluar, dan melihat malam yang tak berbintang. Kiranya hal itu adalah pertanda bahwa di sini aku akan menghadapi tantangan baru.
* * *
Rabu, 5 April 2006. Pukul 04.03 WIB. Di dipan Chan-Chan.
Saya terbangun pukul 02.35 dini hari karena mendengar ratapan Siti. Ia marah-marah lalu menangis keras-keras. Marah-marah lagi dan menangis lagi. Ia berbicara dalam Bahasa Jawa. Saya tidak memahami kata-per kata namun saya dapat menangkap maksudnya secara keseluruhan. Ia mengeluh kalau ia selalu dibuang oleh keluarganya. Ia telah tiga kali ditinggalkan di Banyumas (maksudnya Bangsal Psikiatri RS Banyumas). Ia juga tidak mengerti mengapa ia dibawa ke sini (ke rumah Pak J).
Saya mendengarkan terus namun keluhannya berhenti saat saya mendengar ada suara siraman air dari ember ke tubuh Siti. Lalu terdengar suara Pak J: “Setan!” Seketika itu juga Siti berhenti menangis. Ia diam membisu dan sepertinya ketakutan.
Stigma ada di mana-mana. Kini saya tahu itu. Di Internet pernah saya baca sebuah peringatan: Stigma will follow you everywhere. Namun saya sudah lupa siapa yang mengatakannya. Perlakuan terhadap Siti memang tidak manusiawi, untunglah [di sini] saya tidak mengalaminya.
Hari Senin malam lalu (3/4) saya memberinya selimut dan bantal agar ia bisa tidur lebih nyaman. Saya memberinya losion anti nyamuk .... Saya juga memberinya roti berisi meises dan kue rasa strawberry. Namun apa mau dikata, saat saya tidur, Pak J mengambil paksa selimut dan bantalnya.
Esok harinya Pak J menanyakan apakah saya memberikan selimut dan bantal kepadanya. Saya mengiyakan. Ia mengatakan agar jangan memberikannya selimut dan bantal lagi. Ia berujar, “Semalam juga saya siram, biar basah” (dengan demikian ia telah disiram dua kali, hari Senin malam dan Rabu dini hari). Saya tidak mengerti apakah perlakuan demikian dapat menyembuhkan. Seperti yang sudah saya tulis di Pesantren R (dalam Dinten ketiga), perlakuan buruk malah akan memperparah penyakit dan bukan menyembuhkannya. Itulah sebabnya saya lari dari Pesantren R .
“Siti, sabar ya, Tuhan menginginkan agar aku dan engkau menjadi orang yang tabah dan tahan uji”.
Karena halaman rumah Pak J cukup luas dan tiap pagi penuh dengan guguran daun-daun maka aku memutuskan kegiatan rutinku di sini adalah menyapu halaman, walaupun tidak ada yang menyuruhnya.Kulakukan tugasku dengan senang hati sebagai balasan keramahan Pak J kepadaku, meski aku tetap khawatir akan kondisi perawatan di sini.
Terus terang perlakuan terhadap pasien-pasien yang “dipenjarakan” membuatku pilu hati. Aku tak dapat membayangkan tinggal di dalam ruangan 1X2 meter dengan kebebasan yang sangat terbatas dan dengan cacian di pagi harinya jika pada malam harinya mengoceh. Mengapa pasien yang aktif berbicara tidak dibiarkan saja? Itu adalah bagian dari penyakitnya. Mereka perlu diperingatkan dengan kata-kata santun jika memang hal itu tidak berkenan di hati para pengobat di sini. Bukannya dengan memaki.
Nampaknya jarang sekali orang yang menganggap bahwa perkara semacam “pemenjaraan” dan “kata-kata kasar” terhadap orang dengan gangguan jiwa adalah pelanggaran hak asasi manusia. Mereka berhak akan tempat dan perlakuan yang layak. Mereka adalah manusia juga yang mendambakan welas-asih. Aku melawan secara halus. Aku tetap mengajak para pasien-pasien yang “dipenjara” itu mengobrol meski hal itu ditabukan oleh Pak J dan para asistennya. Mereka juga punya unek-unek yang takkan pernah terungkapkan jika tak ada yang bisa mereka ajak bicara. Sedikit demi sedikit mereka mengutarakan mengapa mereka bisa sampai dirawat di rumah Pak J.
Siti adalah lulusan Aliyah. Ia mulai menderita gangguan kejiwaan setelah adiknya tewas tenggelam di sungai. Keluarganya adalah dari golongan orang miskin. Di tengah himpitan ekonomi keluarga ia terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga di daerah Bekasi. Ia mengalami penyiksaan. Ia tak tahan, lalu berhenti bekerja begitu saja. Sejak saat itu penyakitnya semakin parah dan akhirnya sering berbicara kepada suara-suara yang tidak jelas wujudnya. Ia tidak mengerti, tiba-tiba ibunya membawanya ke Bangsal Psikiatri RS Banyumas padahal ia hanya mengungkapkan penderitaannya kepada yang mengajaknya berbicara. Ia punya luka batin yang perlu dibagi dengan orang lain. Apa mau dikata, ibunya tak mau tahu. Setelah tiga kali bolak-balik ke RS Banyumas, ia dibawa pulang; dan setelah di rumah beberapa lama, ia dibawa ke kediaman Pak J dan langsung dikurung serta hanya sesekali dikeluarkan.
Rohmah adalah seorang ibu yang memiliki banyak anak. Ia terlalu sibuk mengurusi anaknya sehingga ia lupa bahwa ia juga punya kebutuhan. Hingga pada suatu waktu, karena letih mengurusi anak-anaknya, maka ia pun menghibur dirinya dengan berjalan-jalan ke kampung-kampung terdekat. Suaminya tidak suka ia meninggalkan anak-anak mereka begitu saja, ia memarahi istrinya itu. Namun Rohmah tetap bersikukuh bahwa ia juga butuh hiburan. Suaminya tetap ngotot, ia memarahinya lebih keras. Rohmah tetap pada pendiriannya. Suaminya kali ini bertindak biadab, ia memukulinya.
Pemukulan itu berlangsung tiap kali Rohmah melawan suaminya, hingga tak terhitung jumlahnya. Rohmah merasa batinnya sangat letih. Akhirnya ia sering duduk melamun sendirian, mulai berbicara kepada suara-suara yang mendatanginya. Suaminya tak juga menghentikan kekerasannya bahkan setelah Rohmah berubah menjadi seorang yang depresif.
Rohmah mulai mengabaikan anak-anaknya dan sibuk dengan suara-suara yang mendatanginya itu. Maka aksi pemukulan pun bertambah hebat, dan gangguan kejiwaannya bertambah parah. Hingga akhirnya saudara-saudaranya memutuskan untuk membawanya ke rumah Pak J untuk diobati. Ketika suaminya datang menjenguknya, ia tak berbicara sepatah kata pun terhadapnya. Padaku, setelah suaminya pulang, ia mengatakan bahwa gigi depannya yang patah adalah tanda bahwa memang benar ia dipukuli suaminya.
Perlulah kiranya aku mengatakan hal ini: bahwasanya jika kita bersedia dengan tulus untuk mendengarkan, penderita gangguan jiwa yang sedang akut pun dapat menuturkan apa yang mereka alami walaupun untuk mengetahui hal itu kita perlu mengajaknya berbicara secara lebih intens, karena bagi mereka sendiri derita yang mereka alami telah meluap melebihi kemampuan bahasa yang mereka punya. Tetapi jika kita mau, kita dapat menggali apa yang pernah mereka alami sebelumnya karena di belakang “keterbatasan” atau bahkan “penyimpangan” bahasa itu terdapat juga kisah hidup yang runtut. Di balik kekacauan terdapat keteraturan.
Saya tidak menyukai sikap Pak J yang menolak untuk mengajak berbicara pasien-pasien itu hanya karena penyakit mereka lebih parah dariku. Walhasil, para pasien yang dikurung itu -- termasuk Chan-Chan, Fajar dan Ikhsan yang lebih sulit ditanya -- tak pernah tersembuhkan dan pengobatan penyakitnya tak pernah mengalami kemajuan. Sekali lagi, pada saat itu dan pada saat aku menuliskan kalimat ini pada tahun 2008, aku mendambakan adanya perpaduan antara pengobatan medis yang sangat menganjurkan psikoterapi dengan pengobatan agamawi yang merekontruksi kembali sisi spiritual sang pasien. Sayangnya pengobatan seperti itu sangat langka ditemui, bahkan hampir-hampir tidak ada. Saya sangat menyesalkan hal itu.
Asisten-asisten Pak J, Achmad dan Eko, juga sering menegurku jika aku berbicara dengan pasien-pasien yang dikurung itu. Aku bergeming. Aku tak peduli dan tetap melakukannya di lain waktu di kala mereka tidak menyaksikanku. Setiap orang dengan masalah kejiwaan punya hak untuk berbicara mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara bebas, apalagi jika hal itu membantu kesembuhan mereka.
Dunia ini tak bisa menghargai keberadaan orang lain, orang-orang yang dihargai hanyalah mereka yang punya jabatan tinggi atau harta yang banyak. Lalu siapakah aku, manusia berpenyakit mental yang hina- dina, miskin dan dianggap berada di luar lingkaran garis batas apa yang disebut dengan ‘dunia yang normal’. Aku bukanlah siapa-siapa, oleh karena itu aku selalu saja diperlakukan tidak adil, walaupun di tempat petirahan.
Demikianlah, maka setelah beberapa lama aku tinggal di Petirahan Pak J, aku mulai dikata-katai ‘gila’, ‘sinting’ dan ‘saraf’. Mereka tetap menggunakan kata-kata dan model hinaan yang digunakan oleh orang Jakarta. Satu hal yang kelak kusimpulkan dalam Dinten (April 2006) tentang Sindrom Jakarta, yaitu kebiasaan buruk yang mengarah ke psikopatologi masyarakat yang bertindak menghina orang lain dengan kata-kata seperti yang diucapkan oleh orang Jakarta. Posisi Jakarta yang terlampau penting dalam segala urusan membuat sindrom tersebut menyebar hingga ke luar daerah ibukota Indonesia itu. Sejauh ini aku telah bepergian ke empat provinsi di Jawa dan kata-kata itu masih tetap saja ada. Aku juga pernah mendengar kata-kata itu dari kakak ipar perempuanku yang datang dari Jambi, padahal Jambi ada di Sumatra; ternyata psikopatologi tak mengenal batas geografis. Maka pada tanggal 17 April 2006 pun aku mencatat:
Saya merasa dunia ini runtuh, dan saya hampir pingsan. Tidak ada hal lain yang dapat saya lakukan selain berlari menghindarkan diri untuk menghilangkan pedih di hati. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di zaman ini. Mereka tak dapat lagi menghargai keberadaan dan perasaan orang lain.
Demikianlah, saya mengalami perlakuan yang sama seperti di Pesantren R. Meraka mencemooh saya dan sama sekali tidak menghargai kebaikan saya. Mereka sama sekali tidak tahu bahkan tidak mengerti bahwasanya saya gagal sembuh selama tujuh tahun karena perlakuan yang semacam itu....
Jika saja earphone saya tidak ada yang merusak dan baterai Walkman saya tidak lemah, mungkin saya bisa lebih bertahan. Dengan terpaksa hati saya terluka karena harus mendengar kata-kata kasar sepanjang siang dan malam. Termasuk di kebun bambu ini.
Saya bersumpah, jika saya gagal sembuh kali ini, akan saya teror orang-orang yang menjadi penghalang semua ini. Agar mereka turut merasakan bahwa hidup yang gaduh gelisah adalah hidup yang dekat dengan kegilaan.
May God crush this hell apart apiece.
* * *
Dan akhirnya setelah bertahan selama lebih dari sepuluh hari, aku memutuskan hal di bawah ini:
Saya minggat dari Petirahan Pak J pada hari Jumat pukul 02.40 dini hari, setelah sebelumnya menginap di Mesjid YaBAKII. Saat saya kembali ke runmah Pak J untuk mengambil tas, saya mendengar Bu J mencemooh,”Pih, gila!” (inilah cemoohan yang membuat saya kabur dari Pesantren R).
Di dipan saya ada orang yang sedang tidur. Keadaan gelap, karena lampu dimatikan, saya tak bisa melihat wajahnya. Dari bentuk kakinya yang gempal, tampaknya itu Riswan. Saat saya mulai mengangkat tas, ia terbangun; mengambil selimut di sampingnya, mengemuli tubuhnya.
Saya menghentikan aksi saya. Saya beranjak ke dipan Chan-Chan, menunggu beberapa lama. Sementara itu Bu J terus melontarkan cemoohannya. Terdengar pintu pemisah antara ruang makan dan dapur dibuka. Saya menghindar dengan pergi ke luar, karena tahu siapa pun itu akan berjalan ke kamar mandi atau ke dapur, sseraya menghina. Achmad yang menginap di rumah Mbah [orang tua Pak J, yang rumahnya terletak di sebelah rumah Pak J] tampaknya juga terbangun, demikian pula adik Pak J (anak Mbah yang bungsu). Mereka mengucapkan cemoohan seperti biasanya.
Di teras samping, saya mengintip melalui lubang kusen jendela. Bu J tampak berjalan ke kamar mandi, lalu kembali. Saat kembali, ia mengucapkan uan “Gila!” Kemudian Eko terlihat ke kamar mandi; dari suaranya ia nampaknya berwudu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Saya kembali masuk dan ke dipan saya. Riswan, atau siapapun itu, sudah tertidur kembali. Demikian pula Chan-Chan, yang tadinya terbangun, karena -- atas ulah sengaja seseorang -- menyimpan ember bekas cat yang besar di belakang pintu. Sehingga ketika pintu dibuka dari luar, suaranya akan berisik dan membuat orang yang dekat dengannya terjaga (dipan Chan-Chan adalah dipan yang terdekat dengan pintu).
Saya mengangkat tas, berhasil! Ia tidak terbangun. Lalu agar tidak berisik, saya menjinjing sendal plastik Bata saya. Saya berjalan hati-hati sekali agar tidak menimbulkan bunyi. Lontaran cemoohan dari Bu J dan Achmad dan adik bungsu Pak J masih terdengar. Saya melintasi sisi halaman luas rumah Mbah. Namun ketika berjalan di tanah berumput Jepang di samping musala, langkah saya terdengar juga.
Hujan masih jatuh rimis. Saya melintasi samping rumah Pak Warno dengan perlahan sebab tanahnya lembek dan becek. Saya berjalan terus melintasi gang tanah yang berada di antara rumah-rumah sederhana. Langkah saya tujukan ke musala yang sedang dibangun. Di sana saya mencuci kaki dan menautkan resleting tas saya yang masih terbuka. Saya tak khawatir untuk berisik di sini. Ketakutan saya di sini lebih minim.
Saya berjalan lagi. Sambil berjalan saya berpikir, apa yang harus saya katakan jika orang-orang di terminal atau stasiun bertanya mengapa saya tak punya ongkos? (Waktu itu saya belum memutuskan apakah saya akan naik bus atau kereta). Saya akan menjawab bahwa saya ditodong. Kemudian di perempatan jalan yang tiangnya berlampu, saya menyembunyikan dompet saya. Agar ketika diperiksa, dompet itu tak akan mereka temukan, sebagai tanda bahwa saya memang telah kecurian.
Namun sambil berjalan saya berpikir lagi, bahwa kecurian adalah hal yang terlampau umum dan akan dengan mudah dianggap sebagai dusta. Saya kira, yang paling tepat adalah bahwa saya datang berkunjung ke rumah saudara dan saya diusir. Ini lebih mudah terterima. Mengenai alasan pengusiran itu, saya akan mengatakan bahwa itu stigma akibat saya sakit jiwa. Alasan ini lebih masuk akal dan lebih kuat.
Tanpa dinyana, saya bertemu dua petugas jaga malam di jembatan yang sungainya mengarah ke Pesantren R. Petugas yang gemuk bertanya dalam Bahasa Jawa, saya tidak mengerti. Ia lalu mengganti pertanyaannya dengan Bahasa Indonesia. Lalu saya menjawab dengan dusta: bahwa saya harus kembali lekas-lekas ke Jakarta karena ayah saya meninggal. Saya bertanya apakah bus Sinar JJaya yang ke Jakarta ada yang berangkat pagi-pagi. Ia mmendahak (saya tersinggung sekali) lalu ia menjawab tidak ada. Ia menyarankan untuk pergi ke Purwokerto karena di sana adalah terminal besar yang memiliki bus ke segala jurusan.
Saya bertanya lagi, bagaimana dengan Wangon? Ia menjawab jangan ke sana, di sana busnya jarang. Sementara pembicaraan itu berlangsung, terbetik dalam pikiran saya, saya akan naik kereta saja, karena Purwokerto terlalu jauh.
Entah jam berapa saya tiba di tepi jalan bes ar. Saya menunggu di depan warung beberapa lama. Coca-Cola Sprite, Fanta yang terlihat di warung mie di depan warung itu telah hampir meruntuhkan iman saya. Saya lapar dan sangat dahaga. Namun gembok yang mengunci pintunya telah membuyarkan hasrat mencuri itu.
Aku pergi ke Maos dengan naik bus, tanpa membayar, aku mengaku kehabisan uang. Dari Maos aku naik kereta tapi menuju Bekasi. Di dalam kereta, dengan perjalanan seharian, aku tersiksa sekali. Selain rasa dahaga yang amat sangat, aku juga sangat lapar; aku tak makan dan minum semenjak kemarin siang. Aku berharap ada yang berbaik hati memberikan makanan atau minumannya kepadaku, namun itu tak terjadi. Untuk meminta secara terus-terang, aku terlalu malu. Lagipula, orang-orang di sekitarku, yang menghinaku di sepanjang perjalanan itu akan lebih keras lagi menyerangku, jika aku mengemis makanan atau minuman kepada orang lain.
Aku tak tahu jam berapa saat tiba di Bekasi, aku tak peduli. Jam tanganku telah ditukarkan dengan karcis kereta ketika di Maos. Karena petugas di sana yang melakukan pemeriksaan, mengancam bahwa aku akan diturunkan di tengah jalan jika tak punya karcis. Aku terpaksa merelakan jam tanganku satu-satunya.
Akhirnya aku tiba di rumah kakak ketigaku setelah aku mengaku kecopetan pada supir angkot. Aku sama sekali tak punya uang untuk pulang ke Tangerang. Untuk sementara ini, aku akan tinggal di Bekasi hingga aku diberi uang oleh keluargaku. Ayahku menyambutku, namun tidak kakak ketiga dan kakak iparku, mereka nampak sebal sekali memandangku. Kakak iparku mencibirkan mulut saat aku menceritakan kisah pelarianku. Aku ingin meninju mukanya namun untungnya hawa nafsuku itu masih dapat kutahan. Tak ada empati hari itu, selain dari Ayah yang berbicara seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Ia meminta maaf, uang pensiunnya sudah habis. Aku tak bisa pulang ke Tangerang dengan segera. Aku masih harus menunggu hingga awal bulan. Para tetangga ramai mengata-ngataiku. Bila sudah begitu, aku diam tak bergerak. Aku berusaha meredamnya dengan cara menyetel radio dengan earphone yang kebetulan tergeletak di samping radio itu. Tapi apa mau dikata, suara mereka tetap dapat menembus dan melewati speaker earphone yang kupasang lekat-lekat di telingaku.
Cahaya yang datang sekilas - 2006
suntingSetelah aku diberi uang oleh Ayah pada awal bulan, aku kembali ke Tangerang. Dan ketika aku tiba di Tangerang, orang-orang di sekelilingku semakin gencar mengataiku ‘gila’. Tetangga di depan rumahku bahkan berteriak keras-keras untuk menghukumku karena telah berani kabur dari sebuah tempat petirahan yang seharusnya aku turuti aturannya, bagaimanapun buruknya.
Beberapa hari kemudian (30 Mei 2006) datanglah telepon yang mengabarkan musibah, mertua kakakku meninggal setelah terserang gangguan jantung. Aku tinggal di rumah sendirian menahankan derita yang tak tertanggungkan lagi. Aku harus mencari jalan, pikirku, aku harus sembuh, dan kukira ada baiknya jika aku meminta saran dari ahlinya.
Aku menelepon dr. Ferdi pada malam hari setelah semua orang pergi ke Karawang, ke rumah mertua kakak pertamaku. Ia menyarankan agar datang menemuinya di RSCM pada keesokan harinya. Aku merasa bahagia akan dapat bertemu dokterku yang dulu, yang tahu sejarah diriku. Maka aku pun dengan antusias berangkat ke rumah sakit itu pada saat subuh keesokan harinya (31 Mei 2006).
Aku bercerita panjang lebar, dr. Ferdi mendengarkanku dengan penuh perhatian. Lalu ia membuat kesimpulan: pertama, obatku harus diganti dari Haloperidol menjadi Risperidone; kedua, aku sangat dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit dengan segera jika tak ingin terjatuh ke jurang penyakit yang semakin dalam; ketiga, gunakanlah Kartu Sehat yang kupunya untuk mengurus perawatan, karena keluargaku telah keluar banyak uang untuk membiayai perawatanku.
“Uruslah surat-suratnya sendiri jika keluarga menolak untuk mengurusnya,“ demikian dr. Ferdi. Ia memberikan semacam surat yang isinya menyatakan bahwa aku perlu perawatan segera untuk meyakinkan keluarga dan memperlancar pengurusan surat-suratku. Aku berterima kasih padanya karena ia masih saja santun dan baik hati. Aku merasa beruntung punya dokter sebaik itu.
Dua hari kemudian (2 Juni 2006) aku masuk ke perawatan bangsal Psikiatri RSCM untuk yang kedua kalinya. Suster Reni yang sedang bertugas masih mengenaliku. Pak Suryana yang baik juga menyambutku. Aku merasa gembira diperlakukan sebagai manusia, walaupun sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang berpenyakit kronis yang sukar sembuh. Para perawat di sana, terutama Suster Diah, menasehatiku agar aku jangan berputus asa: harapan masih terbentang luas di depan, masa depan masih terbuka lebar.
Dokter yang kini menanganiku adalah dr. Ayesha Devina (Vivie) yang cantik dan berjilbab. Ia menanyaiku dengan teliti terutama tentang obat-obatan yang pernah kuminum. Ia kemudian menyuruhku beristirahat, dan ia mewawancarai keluargaku, sebuah metode standar untuk mengecek kebenaran pernyataan si pasien.
Selain Risperidone, aku diberi tambahan Diazepam untuk mengatasi insomniaku. Namun pada malam harinya aku hanya tidur setengah malam. Aku terbangun pada jam yang tak kuketahui (di ruang rawat tak ada jam). Aku mendengar kumandang takbir dari mesjid terdekat, namun kemudian berhenti. Aku tidak tahu esok perayaan apa; ataukah aku hanya berhalusinasi?
Aku tak tidur lagi hingga pagi datang.
* * *
Tanggal 3 Juni pagi hari aku mendengar suara-suara perempuan yang meledekku, datangnya dari ruang perawat. Aku penasaran, ingin tahu siapa yang meledekku. Aku pun masuk ke ruang perawat, ternyata di sana ada tiga psikiater, mereka memperkenalkan diri: dr. dr. Vita (yang di kemudian hari kukenal nama lengkapnya sebagai dr. Hervita Diatri), dr. Meta dan dr. Rena. Mereka memang senang berbincang-bincang dengan pasien, seperti hari ini.
Mereka menanyakan namaku, kujawab, “Anta Samsara.”
“Kenapa kamu bisa masuk ke sini?”, tanya dr. Vita.
Aku pun menceritakan diriku dengan ringkas dan mereka mengangguk-ngangguk, dan bertanya dengan lebih mendalam lagi. Kami terlampau asyik berbicara sehingga tahu-tahu waktu berlalu begitu saja. Mereka nampak penasaran sekali. Aku tak menyadari bahwa hari itu adalah hari Sabtu, seharusnya yang ada hanya dokter jaga. Aku tak tahu apakah mereka sedemikian penasarannya dengan pasien sehingga mereka rela masuk di waktu libur. Mungkin juga waktu itu mereka sedang meneliti. Tapi aku tak tahu mereka sedang meneliti apa.
Mereka bertanya tentang stigma. Aku mengatakan jangan bertanya tentang stigma kepadaku, aku tak bisa membedakannya dengan halusinasiku. Aku mengatakan mungkin juga aku menderita sosiofobia selain skizofrenia. Itulah hasil analisa dari suratku yang dimuat di Kompas pada tahun 2002 atau 2003 dan dibahas oleh Ibu Leila Ch Budiman. Dr. Vita tak percaya mengenai hal itu. Seseorang yang berani menemui orang untuk membuktikan halusinasinya tidaklah menderita sosiofobia. Aku mempertahankan pendapatku, karena memang aku merasa demikian; aku seringkali takut pada para persekutor (penyiksa).
Dr. Meta masih mewawancaraiku beberapa hari selanjutnya. Ia bilang daya pikirku bagus, sayangnya aku seringkali punya prasangka buruk terhadap orang lain. “Daya pikirmu harus dimanfaatkan untuk melawan penyakitmu,“ begitu katanya. Pada saat perawatan itu aku juga sering mengobrol dengan dr. Hani. Aku tak tahu ada apa dengan dr. Vivie, nampaknya ia terlalu sibuk dan kurang lama jika mewawancaraiku.
Salah satu pembicaraan dengan dr. Hani yang menarik terjadi pada tanggal 9 Juni 2006:
[Pukul 16.40] Tadi siang saya berbincang sejenak dengan dr. Hani. Ia menjelaskan tentang perbedaan Gangguan Kepribadian (GK) Paranoid dengan Skizofrenia Paranoid. Ia mengatakan bahwa GK paranoid mestilah berusia 18 tahun atau lebih. Sementara Skizofrenia Paranoid dapat berusia kurang dari itu (misalnya 15 tahun). Ia juga mengatakan bahwa GK Paranoid tak berwaham, berilusi atau berhalusinasi. Sementara Skizofrenia Paranoid sebaliknya. Di luar dugaan saya, ternyata Skizofrenia Simpleks juga berwaham, berhalusinasi atau berilusi. Ia juga menjelaskan tentang Skizofrenia Hebefrenik, namun saya lupa.
Saya menceritakan tentang kepribadian di masa kecil saya dan ia mengatakan bahwa itu ciri kepribadian Skizoid (dengan ciri antara lain penyendiri) dan bukan autis karena autisme biasanya bercirikan tidak adanya kontak mata dengan lawan bicara.
Aku memang menggunakan sebaik-baiknya proses perawatanku. Kumanfaatkan untuk menggali ilmu lebih dalam dari para dokter yang ada di sini. Aku memuaskan rasa haus dan penasaranku akan ilmu tentang penyakitku; dan aku cukup lega karena para dokter itu selalu memberikan penjelasan yang rasional. Tak ada lagi jin atau ilmu klenik, semuanya ilmiah. Menurutku, inilah Islam yang sejati, Islam yang berorientasi pada akal dan bukan berkonsentrasi mengurusi makhluk gaib.
Kadang-kadang aku merasa bahwa pasien lain lebih beruntung. Tulisanku membuktikan hal itu:
Senin, 5 Juni 2006. Tengah malam.
Galih (atau Dimas) punya saudara yang banyak, baik-baik dan kooperatif. Saya merasa iri terhadapnya. Saudara-saudara saya pandangannya buruk dan sulit untuk diajak bekerjasama. Galih bahkan dijenguk oleh tetangga-tetangganya; satu hal yang musykil terjadi pada diri saya. Saya ingat saya dahulu pernah berdoa pada Tuhan agar Ia menjadikan orang-orang menyayangi saya. Tapi sampai hari ini Tuhan belum juga memperkenankan doa saya.
Ayahnya menemani Galih setiap waktu. Maksudku, ia ikut menginap di Bangsal Psikiatri karena terlampau khawatir untuk melepas Galih sendirian di sebuah perawatan jiwa. Ia tidur seranjang dengan Galih.
Ibunya, yang penyayang dan suka memberikan makanan kepada pasien-pasien lain, mengunjunginya setiap hari. Ia memandang anaknya itu dengan penuh cahaya kasih, terpancar rasa sayang yang tiada terkira terhadapnya. Ia sangat mencintai anak bungsunya itu.
Bibinya juga membesuk setiap hari. Datang pagi-pagi sekali dan baru pulang menjelang sore, seakan-akan ia tak punya pekerjaan lain di rumah. Saudara-saudara Galih datang ke bangsal itu lalu pulang dengan menciumi pipinya, seolah-olah Galih adalah bayi yang masih mungil dan lucu. Padahal Galih telah berusia 20 tahun saat itu.
Ayahnya bercerita kepadaku bagaimana gejala awal dari penyakit anaknya itu. Galih tidak bisa membedakan mana kejadian yang benar-benar nyata dan mana yang tidak. Ia menyangka seorang ulama telah datang dan mengobrol dengannya, padahal itu sama sekali tidak terjadi. Galih kelihatan seperti orang yang bingung walaupun sebenarnya ia adalah seorang yang cerdas. Ia adalah mahasiswa di Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia seperti tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Ayahnya membisiki aku agar jangan berkata terlalu jujur tentang diriku di masa lalu. Ia melarangku bercerita soal percobaan bunuh diri yang pernah kulakukan. “Jangan bercerita kalau kamu pernah putus asa.” Karena Galih masih lemah, ia takut Galih meniru perbuatanku yang dulu.
Walaupun Galih hanya empat hari di dalam perawatan bangsal, namun tak pelak lagi, ia menimbulkan rasa cemburuku akan kasih sayang orang-orang di sekelilingku. Seandainya ibuku masih hidup; atau ayahku seorang yang lebih peduli terhadap penyakitku; atau tetangga-tetanggaku berhenti melontarkan celaannya yang menyakitkan hati dan datang berkunjung jika aku dirawat; atau jika kakak iparku berhenti bersikap menyebalkan; mungkin setidaknya aku tidak merasa dimusuhi terus-menerus, karena tahu bahwa aku disayangi oleh orang-orang di sekitarku. Kini aku hanya dapat berangan-angan, berandai-andai dalam hati dan pikiran sekiranya kondisiku seperti Galih.
* * *
Kadim berteriak, “Anta, mandikan aku, Anta!”
Ia berjalan merangkak dengan kedua tangan dan lututnya. Ia tak dapat berdiri karena telapak kakinya baru saja dibedah oleh Pak Suryana untuk membuang mata ikan yang dideritanya. Aku pun mengambil sabun, odol, dan sikat gigi cadanganku, lalu menyusul Kadim yang telah masuk ke kamar mandi. Aku memandikannya dengan hati-hati, karena tubuh Kadim telah lanjut; ia yang tertua di antara kami semua. Kulitnya telah mulai mengendur. Mungkin jika ia ada di RS Marzoeki Mahdi, ia akan dimasukkan ke Ruang Saraswati, ruang khusus bagi para manula.
“Kamu sudah mandi?”, tanyanya kepadaku.
“Sudah,” jawabku.
Tangannya menggapai-gapai lalu menemukan tanganku dan mendekatkan ke hidungnya. Matanya telah lamur, ia tak dapat melihat dengan jelas.
“Lalu mengapa tanganmu tak wangi?”, tanyanya heran.
“Sebab aku mandi pakai abu gosok,” kataku bercanda. Ia tertawa keras.
Setelah aku keluar dari kamar mandi, Fahmi mendekatiku, lalu berkata, “Beli rokok dong, Anta,” memohon. “Nanti kalau keluarga ane datang, ane kasih ente makanan,” katanya dengan kata ganti orang serapan dari Bahasa Arab karena memang Fahmi adalah keturunan Arab.
“Tapi aku hanya punya receh,“ jawabku berdusta karena takut uangku habis dan tak tahu kapan keluarganya dan keluargaku akan datang membesuk.
“Tidak apa-apa. Mana?”, matanya berbinar-binar.
Aku masuk ke ruanganku lalu mengambil 5 receh Rp 200,- dari tasku.
“Ini,” kuberikan kepada Fahmi.
Ia tersenyum senang, mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke kantin yang sempit, membeli sigaret. Sesaat kemudian ia telah duduk santai di bangku dekat ruang perawat, bersama Dani, asyik menghirup dan mengepulkan asap ke langit-langit ruangan.
“Kamu beli berapa?,” tanyaku.
“Dapat tiga,” jawabnya.
“Ini, satu buatmu,” ia menyerahkan sebatang rokok kepadaku.
“Tidak usah,” kataku, karena aku tak suka merokok.
Lalu datang Wanda dengan tersenyum-senyum melihat mereka yang sedang merokok.
“Serahkan pada dia saja, “ kataku menunjuk pada Wanda.
“Baiklah. Nih!”.
Ia menyerahkan rokok itu pada Wanda. Lalu mereka pun menikmati pagi itu. Pagi sehabis sarapan.
Fahmi bercerita kepada kami semua bagaimana ia dahulu adalah seorang pedagang yang sukses. Ia menjual apa saja, asalkan itu halal. Sebagai hasilnya ia mampu membeli tiga buah sepeda motor, dan ia pun mampu membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Keadaan berubah semenjak ia sering dirawat di RSJ atau bangsal psikiatri yang menghabiskan banyak uang. Ia telah dirawat di beberapa rumah sakit. Semuanya atas dasar paksaan dari orang tuanya. Ia sebenarnya tidak mau dirawat, ia lebih betah di rumah. Namun kata orang tuanya emosinya terlampau tinggi, membahayakan bagi lingkungan. Ia bahkan memecahkan kaca IGD sebelum masuk ke sini, karena ia mengaku telah ditipu ayahnya.
“Bapak ane bilang cuma beli obat, tapi ternyata malah dimasukin ke sini,” begitu katanya.
Dani bercerita, seingatnya yang ia lakukan sebelum masuk ke sini adalah akan meminta maaf kepada seseorang. Namun anehnya orang itu malah melaporkannya ke orang tuanya, konon karena ia membawa-bawa obeng. Orang itu berkata bahwa ia akan ditusuk, padahal maksudnya bukan begitu.
Wanda hanya diam saja. Lalu kemudian berkata, yang ia rindukan adalah rumahnya; ia ingin pulang ke rumah, tak mau lagi tinggal di rumah sakit, apalagi sampai berulang-ulang kali dengan masa perawatan yang lama. Ia tak tahan. Tapi siapa yang sudi mendengar keluhannya, sedangkan dokter pun kali ini tak mengizinkannya pulang; orang tuanya pun menolak.
Aku tak mau bertutur soal kisah sedihku. Maka aku pun beranjak pergi dan masuk ke ruang rawat kelas 3. Aku tak mau mengingat-ingat masa kelabuku, setidaknya untuk pagi ini. Aku hanya mau bercerita di hadapan dokter atau perawatku.
Kulihat Ari sedang tidur-tiduran di ranjangnya. Ia tersenyum, lalu melambaikan tangan, memanggilku. Setelah dekat, ia berkata, “Kudengar kamu akan membuat buku, benarkah?”
“Ya, itu betul”, jawabku mengiyakan.
“Buku tentang apa?”, tanyanya lagi.
“Sebuah kamus, untuk pelajar,” jawabku lugas.
“Aku juga sedang membuat buku di rumah, buku do’a. Aku telah bekerjasama dengan seorang santri untuk membuatnya,” katanya dengan tersenyum.
Ia merencanakan buku itu adalah buku do’a terlengkap yang pernah beredar di Jakarta. Ia telah punya banyak referensi untuk membuatnya. “Aku pasti berhasil membuat buku itu jika telah keluar dari sini,” katanya antusias.
Aku mendukungnya dan rasanya senang sekali punya kawan yang bercita-cita dalam bidang yang sama: sama-sama ingin menjadi seorang penulis.
Aku menceritakan kamusku. Kamus itu adalah kamus komprehensif untuk pelajar. Bila saat ini seoarang pelajar hanya dapat menemui kamus untuk bidang pelajaran tertentu, maka kamusku tidaklah begitu. Kamusku mencakup semua bidang pelajaran, termasuk di dalamnya ekstrakurikuler yang umum, misalnya Pramuka dan PMR. Kamusku akan dilengkapi dengan etimologi, yang pertama untuk kamus pelajar di Indonesia. Kuperkirakan lemanya meliputi 10.000 entri.
“Hebat sekali, “ katanya tersenyum lagi.
Lalu kami melihat ke luar, seperti hari-hari sebelumnya kakak perempuan Didit datang, menciumi pipi Didit lalu membuka bungkusan besar yang ia bawa, yang isinya makanan untuk dibagi-bagikan. Dengan tertib, kami mengerubunginya lalu menerima jatah kami masing-masing dan memakannya dengan riang. Didit hanya tersenyum saja. Ia telah tiga kali berturut-turut di-ECT (Electro Convulsive Therapy)[18] dan kondisinya membaik. Ia tak dapat berkata sesuatu apapun, karena penyakitnya memang begitu. Kami bubar, dan kakaknya itu duduk-duduk berdua bersama adiknya yang ia sayangi. Kakaknya bercerita, tapi lagi-lagi Didit hanya tersenyum-senyum. Tak peduli akan apa yang dikatakan oleh kakaknya itu.
* * *
Dr. Vivie hanya mengizinkanku tinggal selama 20 hari di bangsal itu. “Pulanglah, kau tak cocok di sini.”
Namun aku menolaknya karena bagiku bangsal psikiatri lebih baik daripada rumah kakakku. Aku merasa diteror oleh tetangga dan kakak iparku di rumah. Di bangsal psikiatri, aku merasa lebih tenang karena aku merasa tak ada yang mengancam dan menyerangku.
“Dengar, bangsal psikiatri itu untuk mereka yang buruk insight-nya[19], bukan untuk orang semacam kamu,” jelasnya.
Tapi kubilang aku butuh rasa aman. Aku tak bisa hidup dalam kegelisahan terus-menerus. Namun dr. Vivie tetap mempertahankan pendapatnya. Aku tetap harus pulang. Aku hanya diberi waktu 3 hari. Pada tanggal 22 Juni 2006, aku pun pulang dengan dijemput oleh kakak pertamaku.
Mungkin karena sekarang obatku atipikal [20]dan secara rutin kuminum bahkan setelah lama kembali ke rumah, aku jadi punya keberanian yang lebih untuk melawan suara orang-orang itu. Ketika mendengar suara, aku dapat membaca, bernyanyi, atau tertidur. Walaupun aku merasa diusir dari bangsal psikiatri RSCM, namun aku bersyukur kepada Tuhan, karena Sang Maha Pengasih itu telah meringankan penyakitku.
Bahkan pada bulan puasa tahun itu, aku mampu salat tarawih di mesjid yang ramai dengan orang. Bahkan pada hari Lebarannya aku keluar rumah dan bersalaman bermaaf-maafan dengan semua tetanggaku. Dalam jangka waktu kurang dari satu bulan berobat medis di psikiatri, gejalaku telah mulai sembuh. Sekali lagi, aku sangat bersyukur karenanya. Kusongsong kesembuhan yang ada di depanku.
Ayah dan hidupnya - 1933-2006
suntingSetiap orang itu eksentrik...,” kata-kata yang diucapkan oleh dr. Ferdi Trisnomihardja pada tahun 2003 itu selalu terngiang di telingaku. “Dan kamu tak perlu khawatir sebab keeksentrikan itu masih masuk dalam batas-batas kenormalan....”
Jika aku teringat kata-kata itu aku selalu teringat pada kepribadianku dan ayahku. Aku adalah seorang pendiam dan penyendiri, sementara Ayah adalah seorang pendiam yang aktif secara sosial. Kepribadian pendiamku jelas merupakan warisan dari Ayah, karena Ibu tidak begitu, hanya saja mungkin ada penyimpangan genetika sehingga ketika berusia 20 tahun aku menderita skizofrenia, sementara Ayah tidak pernah.
Ayah lahir dari seorang Ibu yang bernama Sarkewi di Cilimus, sebuah daerah di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1933. Nenekku adalah seorang keturunan Kasunanan Cirebon yang punya hak waris atas tanah di daerah Watu Belah. Namun karena kebangsawanan itu terwariskan melalui pihak perempuan, ia jadi lemah dan tak punya hak atas tahta. Di depan nama Ayah memang terbubuh R (Raden) tanda ia adalah anggota keningratan Nusantara. Namun gelar itu hanya jadi sekadar penghias nama saja.
Nenekku, Sarkewi, kemudian menikah lagi dengan orang Tegal dan sejak saat itulah hidupnya jadi merana. Tanah warisan dari Kasunanan Cirebon habis terjual dan sejak saat itu mereka jatuh miskin. Kebangsawanan nenekku jadi bagaikan tiang kayu yang ambruk karena digerogoti rayap, tak punya harta dan kuasa.
Karena tak pernah berhenti dari kemelaratan, maka nenekku bercerai lagi dan mengumpulkan uang yang tersisa untuk kemudian sebagai janda berdagang perhiasan emas dari kota ke kota. Maka di sinilah kepribadian ayahku mulai terbentuk: ia harus selalu tinggal di rumah bersama adik lain bapak yang juga tak banyak omong. Hati mereka sepi dan kosong saat ditinggal nenek dan itu bisa terjadi selama berminggu-minggu. Kadangkala mereka kekurangan makanan dan uang dan menutupinya dengan menjual kelapa yang jatuh dari pohon-pohonnya ke warung-warung terdekat. Kadang-kadang mereka didera ketakutan karena kentongan desa berbunyi cepat dan nyaring dan suara tembakan sahut-menyahut tanda kontak senjata antara pihak penjajah dan pribumi sedang berlangsung.
Dalam ceritanya, Ayah pernah berkata bahwa ia merasa diabaikan nenek. Ia menginginkan kasih sayang dan rasa aman, namun itu hanya didapatnya sesekali, yaitu saat nenek pulang berdagang. Lalu karena berhasil meraih telinga dengan tangan yang memintas bagian atas kepala, maka ayah diterima di SR (Sekolah Rakyat). Ayah termasuk murid yang terpandai, para pejabat pribumi menyukainya. Setelah lulus SR ia kemudian melanjutkan ke SMP di kota tanpa harus membayar sepeser pun, karena Pak Camatlah yang menanggung semua biayanya (dari kampungnya hanya ada dua yang masuk SMP, ia dan anak Pak Camat itu).
Ayah adalah anak cerdas yang pernah tidak naik kelas. Karena keadaan keamanan yang gawat, agresi Belanda, Ayah, nenek, dan adiknya terpaksa mengungsi. Mereka baru kembali saat ujian tiba. Ayah tak lulus ujian karena ia sama sekali tak tahu apa yang dimaksudkan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam ujian itu. Ia terpaksa mengulang setahun, dan karena kali berikutnya keadaan keamanan cukup kondusif, maka Ayah dapat belajar dengan tenang. Ayah kemudian naik kelas ke kelas 3 dan pada tahun berikutnya ia lulus dengan nilai memuaskan.
Ketika lulus SMP sebenarnya Ayah ditawari jabatan kopral di TNI. Namun Ayah menolaknya dengan alasan bahwa ia dapat melakukan banyak hal dengan bersekolah lagi. Ia ingin menjadi guru, maka ia pun masuk SGA (Sekolah Guru Atas) yang pada waktu itu dapat ditempuh dengan cuma-cuma oleh para lulusan. Walaupun Ayah ada kesulitan dengan mata pelajaran Bahasa Inggris yang belum menjadi trend di Indonesia pada masa itu, Ayah lulus juga dan mendapatkan surat penempatan ikatan dinas di Solok, Sumatera Barat.
Adalah pecahnya pemberontakan PRRI yang terjadi beberapa tahun setelah ia mengajar di sana yang membuatnya kembali ke Pulau Jawa. Di daerah kelahirannya, Cilimus, Kuningan, Ayah menikahi seorang gadis yang kemudian memberinya seorang anak laki-laki, kakak lain ibuku yang bernama Idi. Dengan gaji yang cuma cukup untuk seminggu, yang membuat ekonomi rumah tangga morat-marit, Ayah terpaksa menanggung kepedihan hati yang bukan main. Ia ditinggalkan istrinya karena selingkuh dengan lelaki lain. Profesi lelaki lain itu, hanyalah seorang supir, namun pendapatannya lebih tinggi ketimbang Ayah. Pada usia menjelang 30, sama seperti usiaku saat menuliskan kalimat-kalimat ini, ia harus kehilangan dua hal yang berarti dalam kehidupannya: istri dan anak satu-satunya.
Ayahku depresi. Karena pada saat itu tak ada psikiater dan antidepresan, maka ayahku menjalani ritual pemulihan dengan cara yang diketemukannya sendiri, yaitu dengan mandi di sungai pada tengah malam. Suara anaknya yang memanggil-manggil dalam batinnya lebih mengganggu ketentraman jiwanya daripada ancaman pelor para kaum pemberontak yang banyak mengganggu keamanan desa-desa pada waktu itu.
Dalam kegelisahannya, Ayah kemudian menikahi ibuku. Ibu sama sekali tak mengenal Ayah, bahkan baru pada hari pernikahan ia melihat wajahnya. Ibu mau menikah dengan Ayah karena dipaksa oleh kedua orang tuanya.
Depresi Ayah kiranya berlarut-larut, ia sering menumpahkan kekesalan atas kegagalan pernikahan pertamanya dengan membentak-bentak dan memukuli Ibu. Ibu, yang sepanjang masa kecilnya mengalami penyiksaan oleh nenek tiriku, seperti dikeluarkan dari satu neraka untuk dimasukkan ke neraka yang lain. Ia tak habis pikir kenapa penderitaan selalu dekat-dekat dengannya.
Ayah jadi penderita sindrom patriarki. Apapun hal yang tak disetujuinya yang dilakukan Ibu dilampiaskannya dengan marah-marah dan memukul. Ibu jadi bulan-bulanan kesengsaraan. Gaji Ayah masih kecil dan Ibu harus menutupi kekurangannya dengan berdagang kue. Ayah yang butuh subsidi silang atas kehampaan jiwanya, mengundang kawan-kawannya untuk dijamu dengan kopi dan kudapan. Ia bersenang-senang dengan uang hasil dagang Ibu. Dan Ibu hanya bisa duduk menyudut ruang, terpekur dengan air mata tergenang karena tak tahan menahankan kegetiran hidup. Ia hampir-hampir putus asa. Ia berdoa memohon kepada Tuhan agar Ia menurunkan pertolongan-Nya untuk membantunya keluar dari lingkaran penderitaan.
Dan Tuhan pun menjawab dengan siksaan Ayah yang tak kunjung berhenti.
* * *
Jakarta, 1965, adalah tempat dan tahun yang panas bergolak. Ayah yang aktif di Partai Nasional Indonesia ikut menolak tuntutan mahasiswa untuk mengadili Sukarno. Ayahku dituding komunis. Dinding-dinding sekolah tempat Ayah mengajar dipenuhi dengan tulisan-tulisan dengan tanda seru untuk menggantung ayahku.
Ayah berusia 32 tahun kala itu, telah menempuh berbagai kesulitan hidup yang membentuknya untuk bermental baja. Ayah tak takut sedikit pun ketika diancam massa. Ia kemudian diseret ke barak militer untuk diinterogasi selama berjam-jam. Ayah bersikukuh bahwa ia tak bersalah. “Aku Sukarnois dan bukan komunis,” demikian tegas ayahku mantap tanpa rasa gentar sedikit pun. Militer tak percaya. Maka interogasi pun dilanjutkan selama beberapa jam lagi.
Ibuku di rumah kontrakannya menangis pilu sambil memeluk erat kakak pertamaku yang waktu itu masih kecil. Tak ada tetangga yang berani mendekat karena mereka takut dituding komunis. Untunglah ada seorang tentara yang mendekati Ibu dan mengatakan bahwa ia akan mengusahakan pembebasan Ayah karena ia telah kenal baik dengan Ayah dan tahu bahwa ia bukan seorang komunis.
Menjelang sore, Ayah pulang dengan diantar oleh tentara tadi. Ia mewanti-wanti agar tak mengucapkan sesuatu yang menentang keadaan sebab kondisi keamanan negara sedang genting. Ayah kini hanya dapat duduk merunduk dan diam, langit telah runtuh dan ia tak dapat menahan dengan telunjuknya.
Karena stigma dituding PKI, hidup Ayah dan Ibu menjadi tidak tentram. Hati Ibu selalu diliputi kekhawatiran akan keselamatan diri mereka. Maka Ayah pun memutuskan untuk pindah ke daerah perkampungan, di Desa Bojong, Ciamis. Di sana Ayah dapat hidup dengan tenang tanpa merasa terancam.
Pekarangannya lebih luas sehingga mereka dapat beternak ayam, yang telur-telurnya diambil untuk dijual ke pasar. Dalam tahun-tahun itu, anggota keluarga bertambah; kakak kedua hingga kakak keempatku lahir di sana. Buyut kami juga ikut menumpang, melewatkan malam-malam yang larut dengan membuat kue kamir, untuk didagangkan pada keesokan harinya. Tak ada lagi yang menuding kami komunis, karena kami memang bukan komunis.
Ayah memutuskan kembali ke Jakarta saat kakak-kakakku mulai beranjak dewasa dan membutuhkan fasilitas pendidikan di kota besar yang lebih memadai. Keluarga kami tinggal di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Aku lahir di sana. Lalu saat aku berusia 4 tahun kami pindah ke Sunter, Jakarta Utara, tempat yang telah kuceritakan pada bagian awal buku ini.
Ayah telah belajar bahwa hidup ini perih. Ia kini bekerja pagi-sore untuk membiayai anak-anaknya. Pagi, ia mengepalai sebuah institusi pendidikan swasta, dan pada sore harinya ia mengajar Geografi di sebuah SMP negeri. Ayah bekerja dengan sangat baik, sehingga pemerintah memberinya penghargaan sebagai guru teladan tingkat nasional yang piagamnya diberikan oleh Presiden Suharto pada tahun yang aku sudah lupa.
* * *
Sifat keras Ayah tak jua lekang oleh zaman. Ia tak membiarkan seorang penentang pun untuk tinggal seruangan dengannya. Murid-murid yang melanggar disiplin seringkali ia tampar. Semuanya tak ada yang berani melawan. Kecuali satu, murid dalam kehidupannya, itulah Yayan, kakak keempatku, sang penentang abadi dirinya.
Ada satu lagi peristiwa yang dapat menggambarkan keberanian dan ketegasan Ayah. Pada suatu waktu, tanah tempat sekolah ia mengajar dipermasalahkan oleh centeng-centeng yang mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Semua guru tak ada yang berani melawan, kecuali Ayah, yang dengan caranya yang tidak umum waktu itu mengajak anak-anak untuk berunjuk rasa di depan kantor polisi, menuntut hak mereka atas sebuah tempat pendidikan tempat mereka belajar. Polisi salut atas aksi itu, mereka pun menolak klaim para centeng itu. Sekolah tetap berdiri.
Tapi lihatlah ia sekarang, ia renta dan rapuh. Ia kini terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit umum. Didiagnosa menderita diare, pleura-pneumonia dan gagal ginjal. Analisa dokter menyatakan bahwa ia terlalu banyak merokok dan kurang minum. Namun kami punya tambahan analisa yang lebih canggih: Ayah terlalu tua untuk bergadang bermain kartu bersama anak-anak muda. Ayah mulai rajin salat sejak aku sakit jiwa. Ia rupanya diam-diam ikut merasakan penderitaaanku. Walaupun kadang-kadang menjengkelkan karena sikap yang ia tunjukkan adalah sikap yang acuh tak acuh. Kebiasaan lamanya tak bisa lepas, ia hampir tiap malam tidak tidur hanya untuk bermain remi atau gaple. Kawan-kawannya adalah orang-orang muda di seputaran rumah. Kawan-kawan seusianya menyindirnya agar ia berhenti berbuat dosa dan banyak-banyak berzikir.
Namun semakin lama Ayah semakin eksentrik. Saat azan tiba ia salat, dan saat malam mulai larut ia bermain kartu. Kebiasaan yang menurut Islam bertolak belakang itu dilakukannya dengan rutin. Pahala dan dosa sama-sama ia raih pada hari yang sama.
Selama di rumah sakit, Ayah disuntik Intrix (Ceftriaxone) dan diberi Ketosteril. Maka dalam jangka waktu delapan hari ia diperbolehkan pulang. Kami kemudian mengajaknya kontrol sekali ke rumah sakit itu. Tapi ketika obatnya habis, Ayah menolak untuk kembali kontrol karena takut ia akan dirawat lagi. Ia trauma dengan rumah sakit. “Aku tak mau kembali ke sana,” demikian katanya.
Kebetulan saudara tetangga kami ada yang menjadi tabib dan mampu mengobati dengan obat-obatan Cina. Setelah beberapa minggu diobati olehnya, ayahku membaik. Pada Lebaran tahun itu. Ayah mampu duduk untuk menyambut maaf dari para tetangga sekitar rumah.
Teman-teman bermain kartunya menjenguknya. Ia kini terlampau ringkih untuk keluar rumah. Ia bahkan jadi enggan untuk sekadar duduk menikmati cerahnya pagi. Kini kerjanya hanya tidur dan tidur. Pagi-pagi ia tidur; siang-siang ia tidur, apalagi jika malam. Ayahku hanya bangun untuk buang hajat. Makan pun mulai sukar untuk masuk. Diare Ayah semakin parah dan ia mulai muntah-muntah.
Dan kematian itu datang pelan merambat bagaikan suara yang lamat-lamat. Berdiri di kejauhan, memanggil mengajak pulang. Ayah yang telah renta, akhirnya wafat pada tanggal 7 November 2006, beberapa waktu setelah Lebaran. Dosanya terhadap sesama manusia telah termaafkan, tinggalah dosanya atas pengingkaran pada perintah Tuhan.
Aku tidak menangis pada pagi hari itu. Aku berkata pada diriku, “Aku kuat. Aku kuat.” Lalu malam mulai larut dan senyap mulai merayap. Saat semua orang telah terlelap karena kelelahan, aku masuk ke kamar mandi, agar bisa sendirian; duduk di lantainya.
Pandanganku memburam karena air mata menggenang di kedua mataku. Lalu air mataku itu jatuh berderai-derai. Aku menangis sesegukan tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku di kamar mandi itu hingga fajar, saat air mataku telah kering dan yang tinggal hanyalah sesak di dada. Sesak yang tak jua hilang hingga bertahun-tahun kemudian. Aku tercenung memikirkan keluargaku yang merangggas. Aku kehilangan Ibu, Yayan, dan hari ini Ayah, di saat aku membutuhkan kasih sayang mereka, kala aku menghadapi skizofrenia. Aku punya firasat bahwa aku akan tambah merana.
Ayah dikuburkan di Bekasi, di tempat yang jauh dari perumahan kakakku.
Malaikat di dalam mesjid - 2007
suntingDi pusara ayahku, ikut terkubur pula harapanku. Aku sedang kuliah Semester 1 Jurusan Penerjemahan di Universitas Terbuka ketika Ayah meninggal. Kakakku hanya sanggup membiayai hingga ujian semester itu. Semester berikutnya, Semester 2, aku sama sekali berhenti kuliah.
Entah hingga kapan. Tanpa uang pensiun Ayah aku tak lagi punya uang untuk melanjutkan pendidikanku. Seringkali aku menyalahkan nasibku yang begitu buruk. Hatiku muram, pikiranku tertekan. Aku enggan berbicara dengan siapa pun termasuk dengan kakak-kakakku. Dokterku di RSCM mulai memberikan antidepresan Kalxetin (Fluoxetin). Untungnya pemerintah masih berbaik hati, program Askeskin memungkinkanku untuk mendapatkan obat mahal itu secara cuma-cuma.
Aku menggunakan Diazepam melebihi daripada yang diresepkan. Dokter meresepkan 5 mg untukku, tapi obat itu seringkali kuminum hingga 10 mg per malam, agar aku lelap tertidur, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk lari dari kenyataan; dengan mengembara di dunia mimpi.
Kiranya tak ada yang memahami bahwa aku sangat kehilangan Ayah. Sama sekali tak ada yang mengerti bahwa bersama dengan wafatnya Ayah, lenyap pula pendukung moril dan finansial bagi proyek perkamusanku. Aku tak lagi mampu membeli kamus-kamus dengan isi yang menakjubkan. Juga tak ada lagi diskusi yang menggairahkan tentang buku-buku yang baru saja kami baca. Setelah terbukti tak mampu bekerja secara purna-waktu, dunia kepenulisan adalah harapanku satu-satunya. Kini, harapan itu sirna bersama dengan kepak sayap malaikat Izrail yang mencabut nyawa Ayah.
* * *
Pagi hari, awal tahun 2007. Aku tidak tidur semalaman. Bukan karena banyak nyamuk dan bukan pula karena udara dingin yang turun bersama hujan deras. Aku gelisah. Sudah seminggu aku tak minum antidepresan, karena seorang dokter menolak untuk meresepkannya. Katanya, Risperidone pun akan memicu serotonin. Aku tak lagi memerlukan antidepresan karena sang antipsikotik sudah sekalian menanganinya.
Namun aku gelisah, tak dapat duduk dengan tenang. Aku memandang ke luar jendela, hujan masih saja deras, angin berderau-derau. Aku merebahkan diri dan mencoba mengusir resah. Tapi tak berhasil. Aku mondar-mandir di ruangan atas. Aku semakin gundah.
Aku berpikir, memutar otak. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba metodeku yang dulu, yaitu dengan cara beritikaf di mesjid. Aku menyandang tas berisi baju dan Quran, turun ke bawah, keluar dan mengambil sepeda. Lalu dalam hujan aku menuju Mesjid Al-Hidayah. Jalanan begitu sepi, mungkin karena hujan bulan Januari ini, yang turun dengan begitu derasnya. Aku tak memakai jaket, aku lupa karena saking gelisahnya.
Di samping SD Panunggangan aku berbelok ke kanan, lurus, lalu belok kiri. Maka tibalah aku di mesjid Al-Hidayah. Kakak pertamakulah yang menyebabkan aku jadi begini. Ia semalam marah-marah kepadaku. Aku mencoba mencegah perzinahan antara keponakan dengan anak sepupuku. Aku bukan sok moralis, tapi kalau mau melakukannya, jangan di depan mataku.
Aku tak suka. Kakak pertamaku jengkel melihatku berkata-kata lantang, meminta agar sebaiknya mereka segera dinasehati. Ia tak mau suaminya tahu mengenai hal ini. Kakakku marah-marah kepadaku. Aku yang tak bersalah kena damprat, sedangkan mereka yang hampir melakukannya malah dapat duduk-duduk berduaan dengan tenang. Aku tak terima. Aku tak ikhlas. Aku memikirkannya semalaman hingga tak bisa tidur. Aku berdoa agar diberikan petunjuk, agar hatiku menjadi tentram. Namun hingga pagi tiba aku masih resah-gelisah, menunggu jawaban.
Di dalam mesjid, kutukar pakaianku yang basah kuyup dengan pakaian yang ada di tasku. Aku berwudu, lalu salat tahiyatul masjid dilanjutkan dengan salat duha. Selesai salat aku merenung, kenapa dunia selalu tak adil padaku. Aku berbuat kebaikan, tapi balasannya adalah keburukan. Apakah semua ini karena aku berpenyakit iwa?
Mesjid itu kosong. Dalam kosongnya, Tuhan dan diriku terasa begitu dekat. Atmosfer spiritual mesjid yang agung menyelusup lewat pori-poriku, menjalari darahku, lalu berdiam di dalam hatiku. Aku takkan lagi menunggu jawaban, akan kucari sendiri jawaban itu dalam terjemah dan Tafsir Al-Hikmah yang ada di dalam mesjid itu. Aku membuka Quran itu halaman demi halaman. Aku membaca ayat per ayat, tapi tetap tak kutemukan jawabannya.
Aku larut dalam kebingungan. Aku tak kunjung menemukan ayat yang kucari. Dengan pikiran yang gelisah dan bingung aku masih membuka-buka Quran itu. Tiba-tiba ada suara yang mengagetkanku dengan berkata, “Aku utusan Tuhanmu.” Aku melihat ke arah sumber suara itu dan aku terlonjak. Aku hampir-hampir tak percaya pada apa yang kusaksikan. Malaikat yang bertubuh putih, melayang di udara mengisi kekosongan ruangan mesjid. Ia bersayap. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. Kakinya melayang jauh di atas lantai mesjid.
Ia berkata lagi,”Buka Surat 20 ayat 112. Baca artinya.” Suaranya jelas terpantul dari sudut ke sudut.
Lalu ia lenyap di udara begitu saja. Tak berbekas. Tak ada sisa.
Aku kaget setengah mati. Dengan tangan gemetar kubuka ayat yang dimaksudkannya. Beginilah bunyi ayat itu menurut terjemah Al-Hikmah:
Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya.
Aku mencatatnya. Perasaan takut menyelubungi hatiku. Aku tak pernah mengira akan bertemu makhluk selain manusia di mesjid itu. Kukembalikan Quran Al-Hikmah ke lemarinya, kusandang tasku, lalu kuambil sepeda dan pulang cepat-cepat dengan menerobos hujan yang belum juga reda. Tanganku yang masih tremor membuatku sulit untuk mengendalikan setang sepeda.
Ketika aku tiba aku langsung duduk di ruang atas. Mengendalikan napasku yang terengah-engah. Setelah sedikit lebih tenang aku mencoba berpikir akan apa yang baru saja terjadi. Apakah itu petunjuk dari Tuhan? Dari jin? Atau hanya halusinasi?
Ini bukan pertama kalinya aku melihat makhluk lain. Aku pernah melihat pocong dan hantu yang bersliweran lewat di depanku. Petunjuk tadi memang berguna namun kupikir itu hanyalah halusinasi. Tindakan pertama yang kulakukan adalah menaikkan dosis Risperidone-ku menjadi 3 mg.
Esok aku akan melaporkan kejadian itu kepada dokterku di RSCM.
Berbagi dengan gelandangan psikotik - 2007
suntingAku terperangah pada apa yang dikatakan oleh dokterku, dr. Vivie, “Kamu harus dirawat, Anta. Kamu gelisah dan halusinasimu parah sekali.” Ia memandangku lekat-lekat, mencoba meyakinkanku. Aku hanya melaporkan perkembanganku. Aku tak ingin dirawat lagi.
Aku terdiam. Aku memang tidak suka pada sikap keluargaku di rumah, dan perawatanku takkan mempengaruhi sikap keluargaku. Dr. Vivie terus membujukku, dan aku berpikir, “Mungkin saja keluargaku akan berubah jika aku keluar nanti. Sedikit waktu mungkin akan membuat perubahan.” Dan akhirnya aku memutuskan, “Baiklah, dokter. Buatkan saya surat untuk meyakinkan keluarga saya.“ Lalu ia pun membuatnya dan menyerahkannya kepadaku.
Aku merasa terperangkap dalam dunia derita diri. Tak ada jalan keluar. Yang ada hanyalah sistem dan orang-orang yang itu-itu saja. Aku adalah bola yang senantiasa dipingpong oleh rumah dan rumah sakit. Aku terjerat dalam lingkaran setan. Di Indonesia tak ada rumah perantara yang membuat para penderita gangguan jiwa menjadi berdaya. Para penderita skizofrenia di Indonesia hanya dapat meminta kemurahan hati bangsal psikiatri yang merawat mereka dan memohon belas kasih keluarga yang menanggung beban hidup mereka. Aku merasa jadi orang yang tak berguna. Jadi benalu kehidupan. Hidupku adalah sebuah simbiosa: simbiosa parasitisma.
Dalam bus yang kacanya bergetar aku membayangkan apa yang akan dikatakan oleh kakakku ketika aku menyampaikan apa yang dikatakan oleh dokter untuk dirawat untuk yang ketujuh kalinya: “Engkau memang anak yang pintar. Pintar membuat masalah dan pintar membuat susah keluarga. Engkau adalah orang yang pandai berhemat sampai-sampai aku berhutang ke sana ke mari hanya untuk ongkos menjengukmu dan memberimu bekal ketika dirawat. Engkau benar-benar mandiri: manusia yang doyan menyendiri. Sampai kapan engkau akan diam di rumah terus dan tidak mau bergaul dengan tetangga?”
Titik-titik air yang berjatuhan di kaca membuyarkan lamunanku. Bus meraung menyibak hujan yang baru turun. Dua orang penyair jalanan tampil dan bersajak membawakan puisi Orang Gila, Apa yang Kaucari?
Aku memperhatikan pertunjukan seni itu dan penasaran dengan bagian penghabisannya. Sayangnya suara kaca yang saling beradu membuat apa yang mereka katakan jadi tidak jelas terdengar.
Ketika tiba di Kebon Nanas, Tangerang, derai hujan telah menderas. Aku diam menunggu di jembatan penyeberangan yang beratap. Aku bukan menunggu hujan reda, karena tukang ojek menyediakan tudung bagi penumpangnya. Aku menunggu siap batin untuk menghadapi sikap kakakku.
Aku melihat arus lalu lintas yang bergerak di bawahku. Tetap hilir mudik walaupun hujan keras mendera. Sifat yang tak peduli pada keadaan. Hanya punya satu sasaran: tiba di tempat yang dituju. Mungkin aku harus begitu pula, tetap berjalan walau apapun yang terjadi. Tindakan harus tetap dilakukan meski kesulitan menghadang.
Kini hatiku telah tetap. Aku akan dengan berani menceritakan apa adanya pada kakakku. Meskipun mungkin ia akan menjawab dengan mengaum, sama seperti singa savana Afrika.
* * *
Berkat surat dari dr. Vivie, kakakku menyetujui perawatanku. Kami pergi ke RSCM, namun aku gagal masuk, sebab di sana penuh. Karena kami pengguna program JPS Bidang Kesehatan, kami disarankan untuk mencoba ke RS Duren Sawit yang juga punya bangsal psikiatri. Dengan alasan yang sama, RS Duren Sawit juga menolakku. Kami diberi nomer telepon oleh pegawai di sana. Kami harus menelepon setiap hari untuk memastikan bahwa tempat yang tersedia—jika ada pasien yang pulang—tidak ditempati oleh orang lain.
Esoknya (7 Februari 2008) aku menelepon dan katanya ada tempat bagi pasien baru. Siang itu juga kami datang dan, setelah melewati pemeriksaan di IGD (Instalasi Gawat Darurat), aku akhirnya berhasil masuk ke dalam perawatan di sana.
Sore itu juga aku disuntik Serenace (Haloperidol) dan Diazepam. Lalu aku jatuh tertidur di ranjang dalam ruangan yang pengap. Aku bangun lewat tengah malam dan duduk di ranjangku. Beberapa pasien nampaknya juga terjaga atau tidak tidur sama sekali. Salah satunya adalah Dodi, sang pasien bertato. Ia tidak minum obat, sehingga tidurnya tidak pulas. Sejak malam itu ia menjadi kawanku yang terdekat di bangsal ini.
Esoknya, kami bertemu dokter kami. Psikiaterku di rumah sakit ini adalah dr. Lina Regina Mangawean, yang kelak menjadi salah seorang psikiater terbaik yang pernah kutemui di sepanjang riwayat penyakitku. Ia banyak memberikan nasehat-nasehat yang berharga untuk masa depanku. Ia tidak hanya memperhatikanku, tetapi juga perikehidupan keluargaku. Bahkan ia menelusuri gangguan-gangguan kejiwaan yang diidap oleh keluargaku.
* * *
Sabtu, 10 Februari 2007. Pukul 06.40.
Kemarin kakak pertamaku datang. Tanpa diduga ia datang bersama kakak ketigaku dan anaknya yang paling kecil, Iqbal. Mereka mengatakan bahwa surat-surat untuk jaminan perawatanku sudah beres.
Lalu kami berkonsultasi dengan dr. Lina. Ia mengatakan bahwa penyakit saya sudah kronis, namun kognitifnya masih bagus dan mungkin akan pulang dalam jangka waktu dua minggu. Kami berdebat tentang keadaan di rumah (yaitu tentang hubungan saya dan keluarga); dr. Lina tidak menengahi, ia diam saja. Namun dr. Lina mengatakan bahwa saya perlu diajak berkomunikasi.
Sebelum pulang, kakak-kakakku itu berpesan agar jangan terlampau lancar berbicara sebab Gakin [program jaminan untuk keluarga miskin] hanya menanggung asuransi jika dirawat selama sebulan atau lebih. Sementara jika hanya dua minggu harus membayar.
Mulai hari Sabtu itu aku mengikuti kegiatan Rehab Mental yang dibimbing oleh Pak Iwan, Pak Riza, Suster Ferika dan Terapis Okupasi yang bernama Tri. Hari itu kegiatannya adalah karaokean. Ada satu hal yang mengejutkanku: ternyata aku bisa bernyanyi!
Kegiatan Rehab Mental hanya dilakukan sebanyak 10 kali per pasiennya. Aku harus memanfaatkan dengan baik setiap sesinya untuk mempercepat kesembuhanku.
* * *
Ada seorang pasien yang dititipkan oleh keluarganya dan tidak pernah dibesuk, namanya Arpan. Kami sebenarnya pernah bertemu di perawatan RSCM pada tahun 2003. Dulu istrinya setia sekali, ia dibesuk tiap hari. Kini itu tak terjadi lagi. Arpan disingkirkan oleh keluarganya di Panti Laras, tempat pembuangan yang kumuh namun setidaknya masih manusiawi daripada ia ditinggalkan di jalanan.
Hari ini lewat tengah hari[21]saya berbincang-bincang dengan Arpan. Ia menyanjung istrinya yang katanya adalah seorang bidadari yang datang dari langit melalui pelangi sebagai tangga. Ia merasa malu dilihat istrinya sebab ia adalah ‘orang gila’ yang kerapkali keluar-masuk rumah sakit jiwa. Ia takut istrinya ‘dipake’ orang lain ketika ia ada di sini. Ia juga kerap malu karena anaknya sering membanding-bandingkan antara ibunya yang cantik luar biasa dengan dirinya yang menjadi ‘orang gila’....
Sementara itu Dodi, sahabatku itu, lain lagi kisahnya. Ia mengaku dibuang oleh keluarganya karena ia kecanduan narkoba.
Semalam Dodi bercerita banyak tentang keluarga[nya]. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyukai sikap ayahnya yang berlaku diskriminatif terhadap dirinya. Ayahnya itu memperlakukan para menantunya secara istimewa. Ia ingin agar ia lepas, bebas saja dari rumah, dan mencari makan secara serabutan dan tinggal di pinggir jalan. Ia hanya akan pulang dua hari sekali untuk mandi dan mungkin makan sesekali.
Saya angkat topi atas pendiriannya itu. Sayang sekali saya tak dapat berbuat hal yang sama, walaupun konflik yang kami alami mirip. Memang, kemampuan sosial saya kurang cukup mantap untuk dapat menghadapi dunia jalanan. Mungkin jika saya diusir dari rumah kakak saya, saya akan tinggal di Panti Laras saja. Saya bisa menanyakan alamatnya kepada orang-orang yang ada di sini.[22]
Sahabatku yang lain, penderita skizofrenia paranoid, adalah Eko. Ia kumat di rumah orang tua angkatnya sebab rumahnya kebanjiran. Sebelumnya ia telah dirawat beberapa kali di rumah sakit jiwa. Sakitnya tak kunjung sembuh. Karena keluarganya sudah bosan dengan penyakitnya, maka ia disuruh merantau ke Jakarta. Di sini ia diakui sebagai anak oleh sebuah keluarga. Kerjanya adalah berdagang asongan.
Ia adalah seorang yang mudah marah. Emosinya gampang terpancing. Ia hanya baik hati pada aku dan Dodi karena kami tak pernah menanggapi tingkah lakunya dengan kekerasan. Menurut pengakuannya di hadapan psikiater, ia merasa ada sensor di telinganya, yang mengawasinya terus-menerus.
Sementara itu, Frans adalah seorang Tionghoa yang merasa dibuang oleh keluarganya hanya gara-gara ia mencuri boneka cicinya (kakak perempuannya). Menurutnya boneka itu tak seberapa harganya, namun hukuman keluarganya berat sekali. Di Panti Laras ia dikurung selama 6 hari dalam ruangan yang sempit dan banyak nyamuk dan juga sangat kotor. Frans sakit semenjak pertengahan tahun 1990-an namun ia tidak minum obat secara rutin. Frans telah mencoba untuk mandiri dengan mendirikan toko pakaian yang modalnya merupakan hasil patungan dengan kawan baiknya. Ia bertanya pada dokternya apakah ia dibuang oleh keluarganya. Ia terus-menerus berbicara tak habis-habisnya. Ia minta tolong agar keluarganya ditelepon. Ia terus-menerus memohon, dan akhirnya dokternya menelepon keluarganya, lalu mereka datang.
Menurut keluarganya, Frans telah salah sangka, mereka tidak membuangnya akan tetapi mereka berusaha menggunakan pengobatan yang semurah mungkin. Dan pengobatan yang paling murah itu adalah Panti Laras.
Ali besar (Ali yang telah tua umurnya) adalah seorang arsitek. Ia pandai melukis; di ruang Rehab Mental terpampang beberapa lukisannya. Ia adalah pengidap skizofrenia kronis yang telah berpuluh kali dirawat di bangsal psikiatri RS Duren Sawit. Pernah juga ia dirawat selama beberapa bulan di Pesantren Suryalaya, Tasik, Jawa Barat. Ia punya keimanan yang cukup kuat. Itu terbukti dengan selalu salat tiap kali azan telah berkumandang. Akan tetapi ia tak selalu nyambung jika diajak bicara. Sesekali, ia juga berteriak-teriak dari jendela ruang tidur kami, memanggil istrinya yang menurut pandangannya lewat di jalanan di samping rumah sakit.
Sedangkan Ali kecil (Ali yang umurnya masih muda) adalah seorang pedagang kelapa parut. Ia dipaksa masuk ke sini karena di rumah omongannya melantur. Ia mengaku sebagai lulusan pesantren; ia rajin salat dan zikir. Dalam jangka waktu 2-3 hari pertama tinggal di perawatan ini, bicaranya tak keruan arah. Pada hari-hari pertamanya di rumah sakit ini ia seperti orang yang kehilangan ingatan. Ketika aku mencoba berkenalan dengannya, ia menampik, namanya bukanlah Ali seperti yang dikatakan oleh para perawat, akan tetapi Wali, singkatan dari Wali Songo, julukan penyebar Islam di Indonesia.
* * *
Bangsal psikiatri rumah sakit ini kaya dengan gelandangan psikotik. Kebanyakan dari mereka terjaring oleh operasi Kamtib dan dijebloskan ke Panti Laras. Walaupun ada juga yang dititipkan oleh keluarganya di sana dengan pertimbangan Panti Laras adalah tempat menginap yang paling murah. Di Panti Laras tak ada psikiater. Oleh karena itu jika memerlukan obat, sang pasien akan dikirim ke bangsal ini.
Tinggal bersama gelandangan psikotik bukanlah perkara yang mengenakkan. Sebagian besar dari mereka diam membisu atau berbicara kacau. Alangkah sulitnya membuat mereka menjawab suatu pertanyaan dengan benar. Namun mereka amat rakus terhadap makanan. Mata mereka tidak boleh melihat makanan yang tergeletak, segera saja mereka berebut untuk menikmatinya.
Pernah suatu hari aku dijenguk keluargaku. Aku diberi dua bungkus kue, satu untukku dan satu untuk dibagi-bagikan. Aku baru membuka bungkusnya, namun mereka telah berebut mengerubung. Aku membagikan kue itu satu-persatu, tapi seseorang yang bernama Pak Kasim – seorang gelandangan psikotik – tidak sabar dan merasa kurang. Ia memukul wadah kue yang kupegang. Kue pun jatuh dan hancur berantakan. Namun tanpa perasaan yang jijik akan lantai bangsal yang belum disapu dan telah terinjak-injak banyak kaki kotor, mereka memunguti bubuk kue itu sambil menjilati tangan mereka. Seolah-olah mereka baru saja menemukan makanan paling lezat di dunia. Kue itu pun bersih dari lantai hingga ke dedak terakhir, termasuk juga debu lantainya.
Kami – pasien yang masuk ke sana bukan karena tertangkap Kamtib – tidak pernah membiarkan sendal jepit tergeletak begitu saja. Karena pasti ada saja gelandangan psikotik yang menyambar lalu memakainya, seolah-olah sendal jepit itu adalah miliknya sendiri. Kami menyembunyikan barang-barang kami di bawah kasur di ranjang kami masing-masing, termasuk sendal jepit yang kotor dan handuk yang basah, karena kami tak mau selalu kehilangan barang kami.
Suatu hari aku kehilangan satu celana dalamku. Aku tahu seorang gelandangan psikotik pasti mencuri dan menyembunyikannya. Aku tak mencarinya karena setelah dipakai oleh orang lain aku bermaksud merelakannya. Aku takut tertular penyakit kelamin. Selang dua hari kemudian celana dalam itu kembali ada di bawah kasurku, dengan kondisi basah dan kotor. Aku ingin muntah lalu segera membuangnya. Kemudian Eko mengabarkan kepadaku, bahwa yang meletakannya di bawah kasur adalah Trisna, seorang gelandangan psikotik yang sangat gelisah, yang kemarin berusaha menjebol atap untuk melarikan diri.
Dua kejadian itu tidak membuatku marah. Aku justru merasa kasihan kepada mereka. Mengapakah seseorang bisa menjadi gelandangan psikotik? Apakah karena keluarga yang tak lagi peduli kepada mereka? Atau apakah memang mereka tak punya lagi keluarga? Aku teringat pada pengalamanku menggelandang dari mesjid ke mesjid. Ternyata aku pernah serupa seperti mereka. Hanya saja bedanya aku masih punya keluarga, terutama Ibu pada waktu itu. Aku merasa dizalimi oleh para tetangga dan itu sungguh membuatku jadi sakit hati. Tak ada jalan keluar waktu itu, selain berlari dan berlari menjauh dari orang-orang yang keji itu. Kadang keadaan itu masih kukenangkan sebagai laracerita dalam hidupku. Aku ingin menumpahkan segalanya kepada seseorang. Namun aku tak lagi punya seseorang yang dapat kuajak bicara dari hati ke hati. Kini hanya ada kakakku yang hanya peduli jika aku sedang “parah”.
Aku tak dapat melampiaskan semua isi hatiku. Mungkin para gelandangan psikotik itu punya kesamaan denganku, hanya saja hingga saat ini aku tetap punya keluarga yang mau menolongku di saat-saat sulit. Pikiranku yang muncul kemudian menakutkanku: mungkin pada suatu hari mereka tak sudi lagi untuk peduli. Aku akan menjadi gelandangan psikotik seperti mereka. Hidup dengan memungut sembarang makanan di jalanan ....
* * *
Obat oralku di sini adalah Abilify (Aripiprazole) yang berhasil menghilangkan halusinasi dan memperkuat daya pikir tanpa menimbulkan rasa kantuk.
Rabu, 14 Februari 2007. Selagi azan asar.
Dr. Lina telah memberikan saya nasehat yang sangat berharga. Ia mengatakan agar saya jangan lagi memikirkan sesuatu yang sudah berlalu (tidak ada) yaitu waham dan halusinasi yang sekarang menghilang karena pengaruh obat dan suasana perawatan. Bagaikan seorang yang telah putus dengan pacar, ia kini punya banyak pilihan wanita-wanita yang lain. Kini, saya punya kesempatan hidup yang lebih luas.
Dr. Lina juga menyatakan bahwa saya punya fobia sosial. Ia menyarankan agar saya membayangkan suasana sosial yang tidak mengenakan. Dan memang dr. Lina telah meminta keluarga agar membantu saya untuk “keluar” rumah. Saya menceritakan bahwa dahulu dr. Baringin [psikiaterku di Bekasi] dan Leila Ch. Budiman (dalam kolom psikologi di Kompas) [mendiagnosa] bahwa saya memang menderita sosiofobia....
Di rumah sakit itu aku berbincang-bincang dengan perawat yang bernama Pak Aris. Ia mengaku menuliskan laporan-laporan medis yang menyimpulkan bahwa aku takut untuk berinteraksi sosial. Ia menyimpulkan bahwa aku tetap saja takut untuk bersosialisasi walaupun aku sudah tahu apa penyakitku dan bagaimana cara menanganinya. Memang itulah kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan kondisi penyakitku.
Pada tanggal 17 Februari aku mencatat dr. Lina mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan secara tegas oleh psikiater lain:
Kemarin, dr. Lina menyatakan diagnosa baru untuk penyakit saya. Ia berkata bahwa saya menderita skizoafektif, yaitu semacam gabungan antara gangguan mood dengan skizofrenia. Hal semacam itu ditegakkan karena menilik perilaku keluarga saya yang temperamental akan tetapi kadang-kadang bersikap baik.
Dr. Lina mempersyaratkan kesahihan diagnosa skizoafektifnya jika halusinasiku tertangani dalam 2 minggu. Apabila dalam 2 minggu itu halusinasiku tidak tersembuhkan, maka diagnosanya akan dikembalikan kepada skizofrenia paranoid. Aku merasa menderita penyakit yang ganda. Semula aku hanya dinyatakan menderita skizofrenia, tapi kini aku juga dinyatakan mengalami gangguan perasaan.
Dr. Lina mengatakan bahwa keluargaku mungkin menderita gangguan afektif, hal itu ia simpulkan setelah panjang-lebar mendengar keteranganku dan merupakan hasil dari mewawancarai pihak keluarga. Ibuku adalah seorang pemurung, ayahku adalah seorang pemarah, dan Yayan adalah seorang yang berangasan, kakak pertamaku adalah orang yang kerapkali bangkit emosinya. Dr. Lina berkata bahwa aku akan memerlukan dua obat utama untuk penyakitku, yaitu antipsikotik dan antidepresan.
Mungkin penyakit kejiwaan memang telah berkembang jauh di dalam lingkungan kerabatku. Menurut cerita orang tua dan bibiku, saudara yang paling parah menderita penyakit kejiwaan adalah pamanku yang di Ciamis. Ia pernah mengalami episode psikotik selama beberapa waktu. Ia mengaku sering bertarung dengan peri penunggu situ (danau) yang bernama Nini Undu. Ia tidak pernah berobat ke dokter. Ia menjalani terapi gaib bersama seorang paranormal yang kemudian dinikahinya, dengan cara berzikir dan beribadah. Konon, ia menderita penyakit kejiwaan karena menuntut ilmu gaib yang berat-berat seperti misalnya ilmu samber nyawa.
Aku tak tahu bagaimana akan riwayat penyakit dari pihak saudara-saudara Ayah, karena Ayah tidak pernah bercerita soal itu. Mungkin sekali sebelum aku sakit, Ayah tidak pernah mengamati keadaan jiwa kerabat dari pihaknya. Dan jika ia menyadarinya kemudian, ia mungkin enggan untuk bercerita. Karena itu adalah riwayat pahit lain yang ada dalam hidup Ayah.
* * *
Aku disarankan untuk mengikuti CBT (Cognitive Behavioral Therapy) bersama psikolog di rumah sakit itu yang bernama Bu Ade. Kebetulan pada waktu itu ada mahasiswa Universitas Atmajaya yang bernama Dhita, yang sedang menempuh praktek di akhir kuliahnya untuk mengambil gelar psikolog. Atas izin Bu Ade ia berbincang-bincang secara panjang lebar denganku.
Ia mendengarkan ceritaku yang panjang dalam beberapa kali pertemuan sambil bertanya sesekali. Setelah mendengarkan dengan seksama akhirnya ia mendapatkan gambaran. Ia kemudian memberikan analisa:
Pada dasarnya Dhita menyarankan agar saya lebih percaya diri dalam bersosialisasi, karena sebenarnya potensi saya besar, salah satu di antaranya adalah cerdas. Ia tanya apakah saya merasa diri saya cerdas. Saya jawab tidak. Saya mengatakan bahwa saya hanya punya rasa penasaran yang tinggi, sehingga seringkali mencari hal-hal yang tidak saya tahu. Lama-kelamaan pengetahuan saya bertambah banyak.[23]
Salah satu nasehat berharga dari Dhita adalah jadilah diri sendiri. Pertahankanlah nilai-nilai yang dianggap baik dan jangan jadi orang yang beradaptasi dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri. Tidak semua orang yang dianggap pandai bergaul itu membuat nyaman. Kadang-kadang ada dari kalangan mereka yang annoying (mengganggu) dengan wicara mereka yang seringkali banyak berbasa-basi dan tidak to the point yaitu berkata berlarat-larat dengan memutar sehingga pendengar yang mengharapkan jawaban yang “kena” tidak terpuaskan.
Dhita juga mengatakan agar saya bergabung dengan www.friendster.com untuk mencari teman. “Carilah saya di sana,” begitu katanya. “Bagaimana dengan Lilo (apakah sama dengan Friendster juga)?” Ia menjawab tidak tahu, dan baru pertama kali mendengarnya. Saya tahu Lilofriends dari iklan di Radio Prambors.[24]
Pada hari terakhirku dirawat di RS Duren Sawit, Dhita mewawancarai kakak pertamaku. Kakakku itu bercerita bahwa aku sakit karena aku tidak kuliah. Ia sama sekali tidak bercerita soal trauma sosial yang begitu hebat yang aku alami semenjak aku lulus SMU. Kiranya tidak ada yang peduli pada sikap buruk orang-orang di sekitarku. Aku tetap harus berperilaku sehat sementara orang-orang di sekitarku selalu memperlakukanku secara tidak sehat. Bagaimanakah caranya berperilaku normal dalam dunia yang menganggapku sebagai seorang majnun ini?
Aku pulang setelah dirawat selama 19 hari di rumah sakit itu. Dr. Lina memintaku agar di rumah aku menjalankan dua hal; yang pertama yaitu berpikir positif, dan yang kedua memperluas pergaulan sosial. Kakakku diminta untuk membantu secara penuh sosialisasiku. Kakakku menceritakan segala perasaannya pada hari perpisahan dengan Dr. Lina. Ia merasa kesulitan untuk meredakan konflik yang timbul dalam keluarganya, padahal sebenarnya ia ingin agar hidup saya pulih seperti sediakala. Air matanya berlinangan saat mengatakan “Saya sebenarnya ingin agar Anta sembuh.” Dr. Lina menyatakan empati dengan mengatakan kami sebenarnya saling menyayangi tetapi belum bertemu perasaan dan pikirannya.
Apa yang terjadi kemudian di menit-menit terakhirku di rumah sakit itu sungguh di luar dugaan. Kami diminta membayar Rp 3,9 juta atas biaya yang tidak ditanggung oleh Askeskin. Kakakku telah menanyakan tentang pembiayaan pada awal perawatan dan ia mendapat keterangan bahwa semua biaya perawatan yang akan aku jalani mendapatkan klaim penuh. Biaya dalam porsi terbesar di daftar yang dibaca oleh kakakku adalah biaya untuk obat Abilify. Ada juga biaya dalam daftar untuk aktivitas yang tidak pernah aku jalani.
Di sana tertulis bahwa aku menjalani TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) bersama orang yang bahkan tak bisa kubayangkan wajahnya, karena memang aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Dr. Lina mengatakan telah menanyakan tentang Abilify pada bagian Askeskin, dan petugas di sana mengatakan bahwa biaya antipsikotik Abilify ditanggung oleh asuransi. Setelah kami selidiki, ternyata masalahnya adalah kami bukan penduduk DKI Jakarta, dan karena itu kami tak mempunyai hak untuk mendapatkan klaim penuh, karena RS Duren Sawit adalah rumah sakit Pemda DKI Jakarta.
Kami pulang dengan hati yang diliputi kekhawatiran: dari mana kami akan mendapatkan Rp 3,9 juta untuk mengganti biaya perawatanku? Cahaya matahari meredup lagi, karena cuaca kembali mendung ....
* * *
Aku kembali pada Risperidone berhubung Abilify terlalu mahal bagi kami. Halusinasiku timbul lagi, semenjak masih meminum sisa antipsikotik Abilify. Faktor ketidakmampuan ekonomi telah membuatku kembali terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Dr. Lina mencabut diagnosa skizo-afektifnya karena terbukti halusinasiku tidak tertangani dalam jangka dua minggu. Diagnosaku kembali pada skizofrenia paranoid.
Aku belajar untuk dapat menerima keadaan. Aku mencoba bersabar walaupun itu sangat sulit. Aku berupaya dalam keadaan sesukar apapun untuk tidak lagi merepotkan keluarga. Aku berobat jalan ke RSCM yang sepenuhnya gratis karena ditanggung jaminan kesehatan, walaupun obat yang kudapat hanyalah Risperidone. Aku ingin minum obat yang lebih ampuh, tapi kondisi keuangan keluargaku tidak memungkinkan.
Sewaktu berkunjung ke RSCM untuk memperpanjang lembaran asli Askes yang dirujuk ke sana—karena aku berencana kembali berobat di RSCM setelah terbukti aku tidak mendapatkan klaim penuh di RS Duren Sawit—aku diminta menceritakan pengalamanku dalam perkuliahan dr. Wahjadi Asmadibrata (seorang dosen di Departemen Psikiatri FKUI).
Perkuliahan berjalan amat intensif dan efektif. Sang dosen nampak amat cerdas, bersemangat, dan banyak canda. Ia mengungkap mengapa saya [bisa sampai] punya halusinasi visual. Ketika halusinasi visual itu terjadi, saya merasa amat lelah karena masalah. Zat gula dalam darah menurun. Sebenarnya halusinasi ini wajar dan bisa terjadi pada non-penderita skizofrenia jika waktunya menjelang dan setelah bangun tidur.
Ia juga mengungkap kepribadian saya. Semula ia menduga saya berkepribadian skizoid[25] atau avoidance[26]. Namun setelah ditelusuri secara lebih mendalam, ia mendiagnosa saya berkepribadian anankastik (perfeksionis) karena selalu merasa bermasalah dengan sesuatu yang tidak beres. Pandai sekali, ia dapat menebak ada orang yang otoriter pada masa kecil saya (yaitu Ayah). Ia bilang saya penurut di masa lalu karena superego[27] saya kuat sekali.[28]
Ia bilang aku bisa sembuh sempurna, namun ada satu yang dikhawatirkan yaitu kekambuhan. Ia berkata aku punya potensi untuk dikembangkan, namun ada satu hal yang mengganjal, yaitu kepribadianku. Aku merasa sedikit lega karena mendapatkan jawaban yang ilmiah.
Di rumah, kata-kata sang pengajar itu terngiang-ngiang di telingaku. Aku mencari kata anankastik pada beberapa kamus yang kupunya. Namun aku tak mendapatkan penjelasan lebih jauh. Aku harus puas pada penjelasan sang dosen.
Izrail tak datang menjemput - 4 Agustus 2007
suntingSiang yang sunyi.
Aku meletakkan buku memoar Sidney Sheldon Sisi Lain Diriku di atas kursi di samping tempat tidurku. Buku itu kubeli dengan uang sisa pembelian buku-buku Universitas Terbuka. Kakakku menginginkan agar aku tak terus-menerus memikirkan penyakitku. Ia memberikan sejumlah uang agar aku dapat melanjutkan kuliahku, sehingga pikiranku teralihkan. Pulangnya, aku membeli buku ini, memoar Sidney Sheldon ini. Di bagian belakang buku itu tertulis bahwa ia adalah penderita gangguan manik depresi.
Aku pasti dapat mempelajari sesuatu dari hidup yang dijalaninya. Buku itu akan kubaca besok karena hari ini aku lelah sekali. Selang satu jam kemudian kakakku masuk kamar. Ia menanyakan kembalian membeli buku. Aku berkata terus terang bahwa uang itu dipotong saja dari uang bulananku. Waktu itu aku masih mendapat uang Rp 100.000,- per bulan karena kakakku berhutang kepada Ayah dan pesan Ayah waktu itu agar uang pelunasannya diberikan saja kepadaku agar ia tak perlu repot-repot mengantarnya ke Bekasi. Ayah memang sering memberikan uang tiap bulan kepadaku. Uang itu kupakai untuk mengembangkan pengetahuan. Kakakku masih belum dapat melunasi hutangnya bahkan setelah Ayah meninggal.
Kakakku rupanya tak terima akan perbuatanku itu. Ia memarahiku. Ia berkata bahwa ia-lah yang harus menanggung semua beban penyakitku. Aku sama sekali tak tahu diuntung telah membelikan sisa uangnya untuk sesuatu yang tidak penting. Aku tersudut di kamar. Aku tak menyangka akan begini jadinya. Aku membeli buku itu karena ingin mengetahui pengalaman orang lain dalam menangani gangguan jiwa yang dideritanya. Berbagi pengalaman melalui media buku adalah salah satu cara yang efektif untuk mencegah pemburukan gangguan yang kualami.
Aku bungkam dan tak bisa menjelaskan argumenku karena kakakku tidak sudi mendengarkanku. Ia terus mengomel dan aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Akhirnya aku lebih memilih untuk pergi ke rumah kakak ketigaku. Perasaanku berkecamuk mengenai apa yang harus kulakukan di sana. Aku tiba dengan pikiran dan perasaan yang labil. Akhirnya aku menulis:
4 Agustus 2007. Pukul 12.47.
Di sepanjang perjalanan, kedua bagian hatiku bertikai apakah aku harus bunuh diri atau tidak …. Kakak tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah mengerti mengapa aku selalu membeli buku-buku seperti itu: kisah hidup itu meredam depresi. Sudah sebulan ini aku depresi berat. Dan sama sekali tidak ada yang bertanya bagaimana keadaanku. Sama sekali tak ada.
Mungkin aku akan meminum semua diazepam yang aku punya agar aku mati. Rencanaku untuk memerangi stigma akan gagal. Ternyata aku hanyalah debu jalanan yang mudah tersingkirkan oleh angin. Aku akan menyusul ibuku ke alam sana… Bahkan kakak ketigaku tak peduli saat aku datang …
* * *
Pukul 13.59.
Aku telah menelan semua diazepam yang aku miliki. Kini tinggal menunggu malaikat Izrail datang menjemput.
* * *
Pukul 19.00.
Bunuh diri dengan diazepam tidak berhasil. Kini saya mencoba Luften dan Risperidone generik sekaligus.
* * *
Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Yang dapat kuingat hanyalah kilasan kejadian: Aku ditolak sebuah rumah sakit, aku diturunkan dari mobil, dan orang-orang yang hilir mudik. Rumah sakit yang sibuk. Aku tak suka banyak orang. Aku ingin sendiri.
Kakak iparku memasangkan selang oksigen di hidungku, namun itu malah membuatku sulit bernafas. Sesaat aku merasa bahwa aku di ambang kematian. Malaikat maut akan datang. Aku bisa merasakan dengus nafasnya. Sebentar lagi aku akan mati. Meninggalkan dunia yang menyengsarakan ini.
Lalu kantuk dan gelap datang lagi. Aku tidak sadar untuk yang kesekian kalinya. Entah untuk berapa lama.
Aku terbangun saat tak ada keluarga di sampingku. Kulihat orang yang tergeletak di sampingku. Seorang lelaki Tionghoa paruh baya. Kakinya buntung sebelah, dan yang satunya telapaknya berlubang besar. Tapi aku berkata dalam hatiku: kaki, bukan jiwa. Ia tak akan mati karena bunuh diri.
Lalu makanan datang. Aku disuapi. Bubur yang pahit rasanya. Aku menolak makan karena sesaat lagi aku akan mati. Tak ada gunanya kita makan jika kita akan mati.
Dua orang suster datang dan menyuntik di infusanku. Apakah itu penawar nyawa? Oh, tidak. Keluargaku menginginkanku agar tetap hidup, sementara aku lebih memilih mati. Lalu gelap dan rasa mengantuk datang lagi; dan aku kembali tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
* * *
Aku terbangun dan tak sadarkan diri terus-menerus. Sampai akhirnya aku terbangun di tengah perjalanan pulang. Aku menatap ke luar jendela. Pikiranku melayang jauh. Semua yang kami lewati nampak begitu asing. Aku rindu pada orang tuaku dan kasih sayangnya. Tapi mereka telah tiada dan tak tergantikan lagi. Mungkin aku harus terus hidup menderita. Aku tak tahan. Tapi nampaknya mulai hari ini harus kuhadapi kenyataan itu. Tak ada jalan yang lebih baik selain menerima semua kenyataan buruk ini: penyakitku dan sikap keluargaku yang memburuk akhir-akhir ini.
Namun aku berjanji dalam hati bahwa aku tak akan bunuh diri lagi. Karena jika belum ajalnya, seseorang takkan bisa mati, walaupun ia telah berusaha untuk itu. Kematian takkan bisa dimajukan atau dimundurkan.
Sebagaimana hidup, kematian adalah takdir yang diatur Tuhan.
Sidney dan Sisi Lain Diriku - 2007
suntingJiwa itu seperti gelombang di lautan, tak pernah diam, tak pernah tetap; demikian juga dengan aku. Lahir, besar, jatuh, dan merayap bangkit. Hidup memang tak dapat melanggar hukum alam, namun kita, sebagai manusia dapat menjelajah semua kemungkinan yang pernah, sedang, dan akan ada. Manusia boleh terluka saat ini tapi di masa depan mungkin ia akan menjadi manusia yang paling berbahagia.
Aku membaca memoar Sidney Sheldon yang kusimpan di atas kursi di samping ranjangku. Memoar yang telah membuat aku bertikai dengan kakakku dan kemudian mencoba bunuh diri. Aku langsung terpukau pada bab pembukanya. Dalam bab pembuka itu Sheldon menceritakan bahwa ia juga pernah berniat untuk bunuh diri dengan obat, karena ia mengharapkan hidup yang lebih baik namun ia tak kunjung mendapatkannya. Sebelum melakukan niatnya itu, ia ketahuan ayahnya. Ayahnya itu mengajak jalan-jalan keluar dalam suasana cuaca yang dingin dan berangin.
Ayahnya bertanya padanya, “Ceritakan kepadaku, mengapa kau ingin bunuh diri?” Dalam memoarnya, Sheldon menulis:
Dari mana aku mesti memulainya? Bagaimana menjelaskan kepadanya betapa aku merasa kesepian dan terjebak? Aku setengah mati menginginkan hidup yang lebih baik – tetapi tidak ada hidup yang lebih baik untukku. Aku ingin masa depan yang indah dan tidak ada masa depan yang indah. Aku punya lamunan yang indah, tetapi pada penghujung hari, aku tetap saja kurir yang bekerja di apotek.
Khayalanku adalah bisa kuliah, tetapi tidak ada uang untuk itu. Impianku adalah menjadi penulis... namun yang kuterima sebagai balasan adalah penolakan tertulis. Akhirnya kuputuskan aku tidak bisa menghabiskan sisa hidupku dalam kesengsaraan yang menyesakkan ini.
Ayahku berkata kepadaku, “... dan begitu banyak tempat di dunia ini yang belum kaulihat...” Ayah Sidney terus berkata tapi ia tidak mendengarkannya. Sampai akhirnya:
“Sidney, kau bilang kau ingin jadi penulis lebih dari segalanya di dunia ini.”
Tiba-tiba perhatianku teralih kepadanya. “Itu kemarin.”
“Bagaimana dengan besok?”
Aku menatapnya bingung. “Apa?”
“Kau tak tahu apa yang akan terjadi besok. Hidup seperti novel, kan? Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kaubuka halamannya.”
“Aku tahu apa yang akan terjadi. Tidak ada apa-apa.”
“Kau tidak tahu pasti, kan? Setiap hari adalah halaman yang berbeda, Sidney, dan setiap hari bisa penuh kejutan. Kau tak pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kaubuka halaman itu.”
Aku memikirkannya. Kata-kata itu ada benarnya. Setiap hari esok memang seperti halaman dalam novel.
...
”Kalau kau benar-benar ingin bunuh diri, Sidney, aku mengerti. Tapi aku tidak suka melihatmu terburu-buru menutup bukumu dan melewatkan kesenangan yang mungkin saja terjadi padamu di halaman selanjutnya – halaman yang akan kautulis.”
Jangan terburu-buru menutup bukumu... Apakah aku terburu-buru menutupnya? Sesuatu yang indah bisa saja terjadi besok.
(Halaman 13-15).
Aku layak berterima kasih kepada Sidney, karena memoarnyalah yang telah membuatku bangkit kembali. Sidney punya kesamaan denganku, sama-sama miskin dan menderita gangguan jiwa (Sidney menderita gangguan bipolar walaupun pada mulanya ia tak tahu), dan pernah berniat atau mencoba bunuh diri dengan obat. Namun ia berhasil bangkit dan menjadi orang yang sangat kreatif dan dihargai dunia. Beberapa dari karya-karyanya menginspirasi banyak orang, termasuk aku, yang baru kembali dari jurang keputusasaan, dan tak punya teman selain buku Sidney itu.
Nampaknya kami harus berterima kasih kepada ayah Sidney, karena berkat perumpamaannya yang bersahaja dan menyentuh, kami berhasil bangkit kembali, dan mulai merintis hidup dengan pandangan baru.
Kisah tentang Jiwa Sehat - 2008-2012
suntingLebih baik sepanjang hidup penuh perjuangan daripada hidup tak punya cita-cita. (R.A. Kartini).
Aku juga berhalusinasi. Waham membuatku seolah-olah berada dalam Perang Dunia III,” Ariandy berkata tanpa takut-takut, karena semua yang mendengar adalah aktivis kesehatan jiwa.
“Kalau adikku seolah-olah ia memakai narkoba terus, padahal ia sudah berhenti,” kata Yeni bercerita. Hari ini kami berkumpul untuk mendirikan suatu organisasi konsumen kesehatan jiwa: Yayasan Jiwa Sehat. Tanggalnya adalah 5 Desember 2008. Tepat 489 hari setelah aku bunuh diri untuk yang kedua kalinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama yayasan diganti dengan perhimpunan sehingga menjadi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) karena kami menyelidiki Undang-Undang tentang yayasan dan menyadari bahwa bentuk yayasan tidak cocok untuk organisasi yang berbasis anggota. Kini sudah tiga tahun lebih usia Perhimpunan Jiwa Sehat.
Dalam usianya itu sudah banyak yang kami lakukan. Di antaranya audiensi ke Komisi VIII dan IX DPR-RI, advokasi ke Komnas HAM, bertemu dengan Menteri Kesehatan dan merintis kerjasama dengan Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, demi memperjuangkan upaya pemulihan yang paripurna bagi orang dengan masalah kejiwaan. Kami juga menjadi peserta beberapa pelatihan; termasuk di antaranya iMHLP (International Mental Health Leadership) di Melbourne; dan menjadi penyelenggara Pelatihan Recovery (Pemulihan) dan Peer Support (Pendukung Sesama) dengan bekerjasama dengan Mind, LSM kesehatan jiwa terbesar di Australia.
Kami berpendapat bahwa masalah kesehatan jiwa adalah masalah yang menyangkut banyak aspek, dan bukan masalah tunggal, karena itu kerjasama semua pihak harus dilakukan dengan intensif. Setelah banyak berkecimpung di Perhimpunan Jiwa Sehat, aku banyak mengenal berbagai ragam penderita skizofrenia. Banyak yang perjuangannya lebih sulit daripada aku, namun Perhimpunan Jiwa Sehat seperti menyuntikkan semangat agar jangan gampang menyerah. Kami mengadakan pertemuan-pertemuan yang dikhususkan untuk berbagi pengalaman, juga menjalin perkawanan dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia, organisasi konsumen kesehatan jiwa yang lain.
Setelah bersama Perhimpunan Jiwa Sehat, aku seperti menemukan dukungan yang tidak kudapatkan di rumah; kini kondisiku lebih baik karena ada kawan-kawan yang sama-sama mengalami skizofrenia yang selalu mendorong agar lebih maju lagi. Walaupun banyak kesulitan menghadang, kami tidaklah patah arang. Karena kami yakin tak ada cuaca buruk yang tiada berganti.
Kami berharap dapat mendirikan cabang di seluruh daerah di Indonesia, dan ini adalah sebuah kerja besar, bukan kerja main-main. Kami juga berharap adanya pelayanan kesehatan jiwa di seluruh Puskesmas, sehingga yang membutuhkannya tidak lagi pergi jauh-jauh jika ingin berobat. (Bayangkan jika Anda tinggal di Papua, Anda harus keluar uang banyak untuk berobat ke Ambon atau Manado).
Cita-cita kami yang lain adalah untuk memberikan kesempatan kerja bagi orang dengan skizofrenia (ODS). Bagaimanapun kemandirian secara finansial bagi orang dengan skizorenia adalah ciri bahwa kami juga bisa berdaya. Juga kelak, suatu hari, kami akan mendirikan Day Center, tempat semua orang dengan masalah kejiwaan melakukan hal bermanfaat yang disukainya, misalnya belajar komputer, atau berkebun, tanpa harus dirawat di rumah sakit dulu yang proses masuk dan konsekuensinya dapat menguras keuangan dan energi mental keluarga.
Kiranya, bersama Perhimpunan Jiwa Sehat, aku berusaha menyebarluaskan empati terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa. Sambil seringkali menyampaikan bahwa mereka sebenarnya punya banyak hak untuk diperoleh, misalnya hak bahwa mereka sebenarnya punya jatah kuota pekerjaan di berbagai perusahaan dan institusi negara sesuai dengan Undang-Undang Penyandang Cacat[29] No. 4 Tahun 1997.
Boleh kukatakan aku bahagia bisa berbagi. Walaupun kukatakan dengan jujur di sini, kadang-kadang aku merasa ada yang rumpang dalam kemampuanku kini. Aku punya keterbatasan dalam stamina dan gairah untuk berbicara. Aku memang seringkali berbicara dengan fasih tentang semua hal yang aku ketahui. Namun aku juga kadangkala merasa gagal dengan apa yang kusampaikan jika perasaanku tak nyaman. Aku harus bersyukur dengan apa yang ada pada diriku. Karena walaupun aku tak sebaik yang kuangankan, namun aku turut menyumbang dalam perjuangan panjang dan tak mudah dalam pembelaan terhadap orang dengan masalah kejiwaan.
Bersama dengan kedua kawanku, Suhari Bunadi dan Hady Sucarsa, kami merintis kelompok swa-bantu (self-help group) lintas organisasi konsumen, yang kami namai Semesta Jiwa. Namanya menyiratkan bahwa jiwa adalah sesuatu yang infinit, tanpa batas. Di kelompok itu kami saling bercerita tentang apa yang sukar untuk diungkap atau tak pernah dibahas dalam pertemuan-pertemuan lain. Misalnya, kami membahas waham Satria Piningit-ku atau bayangan-bayangan untuk bunuh diri yang muncul dalam diri Suhari.
Karena gajiku di Perhimpunan Jiwa Sehat tidak banyak, aku kini menjadi seorang doktor,sebuah istilah yang kupinjam dari ketuaku, Yeni Rosa Damayanti, yang kepanjangannya adalah mondok di kantor. Kantor kami tidaklah besar, apalagi megah. Tapi kami harus bersyukur karena perkembangan pencapaian kami cukup baik, bahkan pada perayaan Hari Kesehatan Jiwa pada bulan Oktober 2011 kami menerima penghargaan dari Menteri Kesehatan untuk usaha kami dalam advokasi kesehatan jiwa.
Seiring dengan hal-hal positif yang muncul dalam hidupku akhir-akhir ini, hubungan dengan kakak-kakakku mencair dan membaik. Aku sesekali mengunjungi mereka dan mereka juga sesekali mengunjungiku. Walaupun bagiku kini merupakan masih hal yang sulit untuk berlama-lama di rumah kakakku yang penuh dengan kenangan kelabu.
Bagaimanapun, aku bersyukur semuanya menjadi lebih membahagiakan untuk kami. Akhirnya hati yang saling bersimpang jalan dan sukar untuk saling memahami itu akhirnya mulai selaras. Aku bersyukur karena aku telah bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, para aktivis Perhimpunan Jiwa Sehat, yang telah membuatku seolah lepas dari jeratan skizofrenia. Aku berharap ada banyak penderita, di masa kini dan di masa datang, yang juga merasa seperti aku.
"Makna dalam derita": Sebuah epilog
suntingKita tidak akan pernah belajar menjadi berani dan sabar jika yang kita temukan hanyalah sukacita. (Hellen Keller)
2 April 2010. Pukul 12.47.
Aku berada dalam rak berdebu ketika Anta bangun pada suatu dini hari dan merenungi hidupnya. Ia ingin membuat sesuatu yang keluar dari hatinya, karena ia sedang tak bergairah untuk mengedit kamusnya yang tak kunjung selesai. Aku kemudian diambil dari rak dan disingkirkan dari debu. Denganku, ia menjelajah ulang hidupnya, mencari benang merah yang melandasi hidupnya. Saripati dari segala hal yang telah berlalu bersama waktu, yang tertulis pada diriku atau yang hanya terlukis dalam kenangan. Maka kali itu ia menyalakan komputer untuk menuliskan sesuatu yang lain: pantulan diriku dan cermin jiwanya, psikomemoarnya.
Berbulan-bulan ia menuliskan kisah hidupnya dalam cerita yang runtut. Seringkali ia harus lama berhenti, karena rasanya tidak mudah dan menyakitkan. Juga kadang-kadang ia tak mampu menemukan asosiasi kata yang tepat, terbata-bata, macet-kalimat. Namun ia tahu apa yang ditulisnya mungkin akan sangat berguna bagi yang mencarinya. Maka ia menulisnya terus. Ia meminta pendapat pada beberapa orang kawannya, dan semuanya menanggapi positif dan mendorongnya agar terus menuliskan kisahnya; dengan satu catatan: hati-hati menuliskan keburukan dari sistem kesehatan jiwa kita, karena dirinya dapat dituntut.
Maka ia pun menghapus 3 paragraf dan satu kalimat penting dalam psikomemoarnya, yaitu kisah kekerasan dalam perawatan yang disaksikannya sendiri. Ia ingin menceritakan segala sesuatunya dengan apa adanya, namun ia pikir nasehat temannya itu ada benarnya. Semula, di awal penulisan ia tak percaya bahwa Tuhan itu Maha Pengasih, sebab hidupnya memang menyakitkan. Tak tertahankan, tanpa bisa dicegah, terludahkan ironi tentang-Nya, seperti misalnya dalam kisah Ibunya: Ia [Ibunya] berdoa memohon kepada Tuhan agar Ia menurunkan pertolongan-Nya untuk membantunya keluar dari penderitaan. Dan Tuhan menjawab dengan siksaan Ayah yang tak kunjung berhenti (Bab “Ibu, Jiwaku”).
Namun ia menemukan sesuatu setelah menulis puluhan halaman; pasti ada sesuatu yang positif dalam segala yang dialaminya: pasti ada makna dalam derita. Akan tetapi dari manakah datangnya kesadaran itu? Bisikan dalam pikiran? Hal dari bawah sadar yang menyeruak? Ia merasa bahagia menyadarinya karena itu artinya ia tidak hanya jadi memiliki pandangan positif dalam hidup, akan tetapi juga telah menemukan inti yang dicarinya selama ini. Kiranya tanpa dinyana, ia telah menemukan intan berkilauan dalam penyelesaian penulisan kisah jiwanya.
Ia bercerita kepadaku:
Aku jadi teringat pada bukuku yang dipinjam kawan dan tak pernah kembali; judulnya “Men’s Search for Meaning” karya Viktor E. Frankl, dokter saraf dan jiwa yang pernah tinggal dalam kamp konsentrasi Dachau, Maidanek, Treblinka, dan Auschwitz. Dalam kamp konsentrasi, ia menemukan bahwa ada dua golongan orang: yang bertingkah laku seperti “nabi” dan yang bertingkah laku seperti “babi”. Ia menyelidiki apa penyebabnya dan ia berkesimpulan bahwa perbedaan dua golongan itu adalah pada pandangannya tentang hidupnya saat itu. Yang bertingkah laku seperti nabi, yakin bahwa hidup masih berguna dan mereka yakin akan melakukan sesuatu yang bermanfaat di masa depan.
Hidupnya bukan hanya saat itu. Mereka bersikap empatik terhadap orang lain dan tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu seperti mereka yang seperti “babi”. Frankl menamai apa yang ada dalam diri orang-orang baik itu sebagai “makna hidup”; yang kemudian mengilhaminya untuk mendirikan mazhab psikologi “logoterapi” (dengan etimologi Bahasa Yunani ‘logos’ yang berarti ‘makna’). Menurutnya, manusia dalam hidupnya punya kehendak untuk bermakna (the will to meaning).
Aku teringat kalimatnya dalam buku itu, yang berbunyi kira-kira seperti ini: “Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri.” Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat uunik, spesifik, personal, sehingga masing-masing orang memiliki makna hidup yang khas dan istimewa serta cara penghayatan yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Frankl juga menentang pendapat Sigmund Freud yang mengatakan bahwa tujuan dari manusia adalah untuk memuaskan diri (the will to pleasure) dan pendapat Alfred Adler yang berpendapat bahwa tujuan dari manusia adalah untuk berkuasa (the will to power Mengenai kedua pendapat tersebut Frankl berpendapat bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan akibat sampingan dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri, karena kesenangan (pleasure) dan kekuasaan (power) sebenarnya sudah tercakup dalam kehendak untuk bermakna.
Frankl juga mengakui keagungan agama, walaupun ia berpendapat bahwa agama itu berasal dari ajaran sosial-budaya. Spiritualitas adalah salah satu pilar yang penting dalam Logoterapi. Lalu, ia tak sepaham dengan berbagai pemikiran yang menganggap manusia itu sebagai ‘sub-human’, ‘mirip komputer’, dan sebagainya.
Usiaku saat psikomemoar ini pertama kali selesai dituliskan adalah 7 tahun. Usia yang masih sangat pendek. Namun dalam tahun itu, Anta menjangkau titik nadir dan sekaligus titik puncak serta menemukan hal berharga dalam penderitaannya. Bahwasanya Tuhan ternyata melakukan segalanya (atau membiarkan segalanya terjadi) karena menghendaki kebaikan di masa depan hidupnya.
Akhirnya setelah menyimpanku dalam rak berdebu di kamarnya, ia ternyata menemukan sesuatu dalam catatan-catatanku. Bahwa tak ada kesia-siaan dalam hidup ini. Apa yang dialaminya selama ini adalah pelajaran berharga dari Tuhan. Segala siksa melalui deritanya adalah sebuah “cara” untuk membuatnya tahan terhadap kekejian kehidupan, sehingga ia tak pernah lagi merasa kalah dan mudah menyerah.
Derita diciptakan Tuhan bukan untuk membuat manusia terpuruk tapi untuk membuatnya bangkit dan punya semangat yang baru untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Tuhan mengajar melalui derita yang dialami manusia. Seperti Muhammad yang menemukan kemandirian setelah ditinggal wafat ayah-ibunya. Seperti Yusuf yang menjadi petinggi Mesir dan menolong keluarganya setelah dibuang oleh saudara kandungnya.
Anta berkata, Tuhan adalah Zat yang Misterius, membawa kebaikan dengan cara yang tidak terduga. Dalam derita yang luar biasa perih, banyak manusia menyerah, dan memilih mengakhiri hidupnya atau berpaling dari-Nya. Tapi, seperti yang dialami oleh sebagian manusia, Ia menyelusup ke dalam relung jiwa, mengembalikan manusia kepada Sang Maha Makna.
Anta sebenarnya tidak benar-benar bebas dari gejala skizofrenia -- ia kini masih mendengar suara dan mengalami waham. Namun ia menemukan filosofi baru yang mungkin tidak pernah dijumpai oleh orang yang sehat: derita bukanlah bencana akan tetapi merupakan pengalaman bermakna.
Aku, Dinten, sang buku harian, turut bahagia karena mengantarkan seorang manusia menemukan makna hidupnya. Apakah Anda seperti itu juga dengan buku harian Anda?
Dinten, buku harian Anta Samsara
Tentang penulis
suntingParagraf-paragraf akhir bagian "Tentang penulis" ini telah dimutakhirkan dan tidak sama dengan yang termuat pada edisi Jagat Jiwa yang dipublikasikan pada tahun 2018.
Anta Samsara (nama samaran; dari Bahasa Sansekerta artinya “akhir derita”) lahir di Jakarta, 2 April 1979. Ia sejak Desember 2008 hingga akhir Mei 2012 bekerja sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak orang dengan masalah kejiwaan yang bernaung di bawah organisasi konsumen, Perhimpunan Jiwa Sehat.
Ia tercatat pernah memberikan testimoni di berbagai acara termasuk di program Sore-Sore (iRadio, 2009), Buka Rahasia (B Channnel, 2010), Apa Kabar Indonesia (tvOne, 2010), Coffee Break (tvOne, 2011), Guru Kita (KBR 68H, 2011), Ruang Keluarga (Daai TV, 2012), Sunting (ANTV, 2012) serta di berbagai pertemuan dan seminar termasuk dalam Seminar “Keberpihakan hukum dan Etik terhadap Penderita Gangguan Jiwa” yang diselenggarakan oleh Universitas Atmajaya (2008) dan “Seminar Nasional Kesehatan Jiwa” di Hotel Horison, Bekasi (2009).
Pria yang sempat menjalani pendidikan English for Translation di Universitas Terbuka ini, mulai aktif menulis sejak tulisannya “Melawan Stigma lewat Bahasa” dimuat di majalah Mitra Skizofrenia edisi ke-6 (Januari-Maret 2003). Sepanjang tahun 2009, ia menulis dan menjadi editor bagi e-Newsletter yang bernama Newsmail Jiwa Sehat, yang merupakan media informasi dan edukasi Perhimpunan Jiwa Sehat. Anta Samsara adalah juga pemain utama dalam film tentang hak politik kelompok rentan yang berjudul Forgotten Voices (Suara-Suara yang Terlupakan), produksi Komnas HAM dan School for Broadcasting Media.
Ia adalah satu-satunya perwakilan konsumen kesehatan jiwa dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Kesehatan Jiwa di Indonesia (National Taskforce on Mental Health System Development in Indonesia) untuk masa kerja 2008-2010. Selain itu ia juga pernah mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan kesehatan jiwa, antara lain International Mental Health Leadership Program (iMHLP, Melbourne, 2009) yang disokong oleh AusAID serta Pelatihan Pendukung Sesama (Peer Support) yang diselenggarakan atas kerjasama Perhimpunan Jiwa Sehat dan Mind, Australia (Jakarta, 2010).
Sejak akhir Mei 2012 ia memutuskan untuk bergabung dengan Komunitas Sehat Jiwa di Cianjur untuk menjadi aktivis tim penjangkauan (outreach) yang mendatangi berbagai konsumen kesehatan jiwa dari rumah ke rumah untuk mengupayakan medikasi dan edukasi bagi mereka, termasuk untuk mengupayakan pembebasan bagi mereka yang dipasung.
Setelah itu Anta menjadi pembina di Yayasan Cahaya Jiwa, untuk dua periode kepengurusan yaitu 2012-2017 dan 2017-2022, yang merupakan organisasi konsumen kesehatan jiwa yang didirikan dengan tujuan sosial-kemanusiaan untuk membantu meringankan beban baik edukasi kesehatan jiwa maupun kemandirian ekonomi bagi orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya.
Anta banyak menerjemahkan materi kesehatan jiwa, yang sebagian besar diambilnya dari situs web NIMH (https://www.nimh.nih.gov/) yang berada dalam ranah publik sehingga bebas dibagikan oleh siapa saja kepada siapa saja. Mulai pertengahan tahun 2020, ia memulai suatu proyek penulisan yang menyederhanakan dan menyaripatikan apa yang telah diltulisnya selama ini. Beberapa di antaranya dirilis dalam bentuk PDF yang diletakkan pada kandar (drive) daring (online) yang terbagikan secara publik. Peta daring dari proyek penulisan kesehatan jiwa tersebut dapat diakses di sini, sementara proyek penulisan Wikibukunya dapat dilihat secara agak menyeluruh di sini.
Catatan Akhir
sunting- ↑ Kata dinten berasal dari Bahasa Sunda, yang be-rarti “hari.”
- ↑ Pengajar di Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- ↑ Aku pernah menang juara 3 sekabupaten, namun itu terjadi pada waktu aku duduk di bangku Sekolah Dasar (di Bekasi).
- ↑ Wahyudin adalah orang Subang sehingga orang tuanya tidak tinggal di Sumedang. Oleh karena itu ia tidak tinggal di rumah sendiri melainkan kost.
- ↑ Undak-usuk adalah aturan kesantunan dalam berbahasa Sunda di daerah Priangan (bukan di Banten) di mana suatu kata memiliki padan kata yang lain bila berbeda derajat kesantunannya.
- ↑ Kamra atau Keamanan Rakyat adalah semacam anggota keamanan sipil yang membantu tugas polisi (pada masa-masa awal Orde Reformasi).
- ↑ Nama sanatorium tidak berarti bahwa tempat perawatan itu ditujukan bagi penderita tuberkolosis. Nampaknya ia dinamai demikian untuk menghindarkan stigma sebagai rumah sakit jiwa.
- ↑ Yang pada tahun-tahun mendatang kemudian kunamai Dinten (Sunda: hari).
- ↑ Bangsal Psikiatri RSCM kini telah berpindah tempat ke Jalan Kimia (dekat Mesjid Ash-Shifa). Fasilitasnya lebih bersih, namun lebih sempit.
- ↑ Setelah bertahun-tahun berlalu dari kejadian ini, tetap tidak jelas apa sebenarnya yang terjadi dengan bibirku. Beberapa dokter kulit yang kudatangi dalam waktu yang berbeda memberikan penjelasan yang berlainan.
- ↑ Kini, Ruang Nakula telah dipindah ke bagian barat rumah sakit itu, yang meniadakan aktivitas menyenangkan menyapa penduduk setempat yang berangkat ke tempat aktivitas mereka seperti yang bisa kami lakukan dulu.
- ↑ Pada waktu aku ke RS Marzoeki Mahdi pada tahun 2006 untuk menemuinya, Pak Samuel telah pindah ke Ruang Subadra.
- ↑ Pada waktu aku berkunjung pada tahun 2006, Pak Didin dikabarkan telah pindah ke Ruang Yudhistira (semacam ruangan kelas 2, tapi dengan pergerakan pasien yang lebih dibatasi daripada mereka yang dirawat di Ruang Nakula). Aku pernah beberapa kali berusaha menemuinya, tapi petugas yang ada di sana selalu berkata bahwa Pak Didin bertugas pada malam hari.
- ↑ Pada waktu kunjunganku ke Marzoeki Mahdi pada tahun 2006, Paw Paw (Kwi Liong An) menyatakan bahwa Acung telah keluar dari rumah sakit itu dan kini berdagang di Kota, Jakarta Utara.
- ↑ Kamra atau Keamanan Rakyat adalah semacam anggota keamanan sipil yang membantu tugas polisi (pada masa-masa awal Orde Reformasi).
- ↑ Peristiwa di rumah kakak ketigaku yang terjadi saat aku di RS Marzoeki Mahdi kuketahui dengan cara mendengarkan cerita dari kakak pertama dan kakak ketigaku.
- ↑ “penyiksa”: istilah dalam Dinten untuk menyebut orang-orang yang mengata-ngataiku.
- ↑ Yaitu ‘terapi kejut listrik’ pada bagian kepala.
- ↑ Disebut juga tilik diri, yaitu kemampuan dalam menyadari apakah dirinya mengalami gangguan jiwa atau tidak.
- ↑ Nama atipikal, seperti arti harfiahnya, yaitu “tidak biasa,” adalah obat yang memiliki cara bekerja di otak yang berbeda dengan obat generasi lama. Obat atipikal identik dengan antipsikotik (obat bagi gangguan jiwa dengan geja-la utama distorsi realitas) generasi kedua dan setelahnya.
- ↑ 24 Februari 2007.
- ↑ Dinten, 11 Februari 2007.
- ↑ Dinten, 24 Februari 2007.
- ↑ Dinten, 1 Maret 2007.
- ↑ Kepribadian yang cenderung mengarah ke skizofrenia.
- ↑ Kepribadian yang cenderung menghindar.
- ↑ Superego adalah salah satu dari tiga komponen psikis (dua yang lainnya adalah id dan ego) dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud yang menegakkan standar moral dan mengganjar diri jika melakukan “kebajikan” atau “kejahatan”, misalnya dengan merasa bersalah setelah mencela orang tua.
- ↑ Dinten, 1 Maret 2007.
- ↑ Penyandang cacat yang dimaksudkan dalam undang-undang itu juga mencakup penyandang cacat mental. Istilah “penyandang cacat” banyak dikritik oleh anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, namun karena isi undang-undang itu sangat menguntungkan bagi orang dengan masalah kejiwaan, maka mereka merasa bahwa peristilahan yang kurang tepat itu bukan masalah besar dalam kasus ini.