6. DI TIMUR – DEKAT

Njonja Hoda Hanem Chareoui Pasja ialah seorang pemimpin federasi-wanita Mesir. Pada tahun 1923 ia, bersama-sama dengan beberapa orang wanita Mesir lain, mengundjungi permusjawaratan internasional jang diadakan oleh "Alliance of Women" di Roma. Alliance of Women ini boleh kita samakan dengan persatuan kaum wanita untuk mentjapai hak-pilih dan hak-kewarganegaraan bagi kaum wanita. Dalam permusjawaratan itu banjak dibitjarakan tentang hak dan martabat kaum wanita. Waktu itu wanita-wanita Mesir menetapkan pendapat mereka, bahwa pemakaian selubung merendahkan deradjat kaum wanita! Bukannja selubung sutera jang tjantik dan sedap dipandang mata itu jang menurunkan deradjat sipemakai, tetapi pendirian jang mewadjibkan memakai selubung itu. Seorang wanita jang keluar rumah memakai selubung, tidak boleh memperlihatkan romannja pada lain manusia, sebagai seorang manusia biasa. Memakai selubung bagi wanita berarti, bahwa ia takluk pada kaum lelaki, bahwa ia hanja dalam ruangan kediamannja sadja (dalam harem) dapat berbitjara; memakai selubung djuga berarti, bahwa ia tak dapat bersekolah: kalau ia bersekolah tentu ia akan berhubungan dengan orang lain, hal mana tak diizinkan sang suami. Memakai selubung selandjutnja berarti, bahwa wanita tak boleh bepergian, sekalipun dalam negerinja sendiri, untuk memperluas pemandangannja. Memakai selubung achirnja berarti, bahwa ia tak dapat bekerdja diluar rumah. Maka itu njonja Chareoui serta anggota-anggota pimpinan federasi-wanita Mesir lainnja memutuskan tidak akan memakai selubung kalau mereka kembali ke Mesir. Perbuatan ini menggemparkan! Isteri seorang jang terkemuka berani berbuat sesuatu jang "tak senonoh" dan jang "memberi malu". Hampir semua kaum lelaki dan banjak kaum wanita mentjela tindakan jang revolusioner itu. Akan tetapi kaum wanita Mesir berdjuang terus. Dan dua puluh lima tahun kemudian di Mesir diadakan kewadjiban-bekerdja bagi kaum wanita! Demikianlah madjunja kaum wanita Mesir! Sebagaimana kaum lelaki diwadjibkan mendjalankan dinas militer, demikianlah pula kaum wanita diwadjibkan mendjalankan pekerdjaan sosial untuk rakjat selama setengah tahun.

Pada tahun wanita Mesir menanggalkan selubungnja, pada tahun itu pula Kemal Pasja memegang pemerintahan negara Turki. Telah berabad-abad negara Turki senantiasa hidup atas kebesarannja jang lama. Negara itu telah mendjadi sebuah negara jang amat terkebelakang didunia. Tak lama sesudah tahun 1900, pemuda Turki mulai bergerak untuk mengubah keadaan ini. Hasil revolusi itu memuntjak ketika Kemal Pasja memproklamirkan berdirinja republik Turki. Penghidupan dinegara Turki sekonjong-konjong berubah. Undang-undang dasar negara jang berdasarkan agama Islam dan tak pernah diubah-ubah tak berlaku lagi. Sekarang didjalankan hukum undang-undang baru setjara Barat. Lebih-lebih bagi kaum wanita undang-undang jang baru itu amat penting. Sekarang mereka tak usah takluk lagi pada peraturan-peraturan kaum alim-ulama jang menganggap wanita sebagai machluk jang rendah deradjatnja. Sekaranglah baru mereka mendjadi warga-negara sedjati. Semua hukum undang-undang sampai kini ditafsirkan oleh kaum lelaki. Tjara mereka menafsirkannja itu selalu merugikan kaum wanita. Dan kaum wanita pertjaja sadja, bahwa segala tafsiran itu berasal dari Kur'an adanja.

Dalam peperangan dunia jang pertama negara Turki ikut serta. Sebagai senantiasa kedjadian dalam negara-negara jang berperang, segala wanita jang dalam zaman damai "tak terpakai" dan terlebih jang tak boleh mengerdjakan "pekerdjaan lelaki" sekonjong-konjong mendjadi tjakap dan berguna untuk mengerdjakan segala matjam pekerdjaan. Ketika Kemal Pasja mulai memegang pemerintahan sudah ada djuga pemudi Turki jang bekerdja dipaberik. Ada jang sudah beladjar disekolah tinggi dan ada pula jang bekerdja dikantor-kantor. Akan tetapi sebagian besar kaum wanita Turki, sebagaimana djuga kaum wanita Arab, masih tinggal diam dalam "haremlik". Haremlik inii ialah sebuah tempat kediaman (puri) semua isteri seorang bangsawan atau seorang kaja. Jang boleh memasuki harem itu hanjalah suami mereka sadja dan lagi hanja kalau kebetulan mereka tidak sedang menerima tamu. Pekerdjaan wanita-wanita itu sehari-hari hanja menerima tamu sadja. Tetapi ditempat kediaman mereka, wanita itu pun bekerdja berat. Tak terhitung banjaknja permadani jang didjalin mereka sendiri dirumah. Bila seorang wanita hendak keluar rumah, maka dipakainja pakaian jang tebal dengan tiada potongan sama sekali, serta muka dan kepalanja ditutup oleh selubung jang tebal, supaja didjalan ia tak akan dikenal orang.

Dalam keadaan demikian itu tentulah mereka tak akan madju. Bila seorang anak gadis akil balig, maka ia tidak boleh lagi berhubungan dengan orang lain. Pergi sekolah tak diizinkan orang tuanja.

Gadis itu tak boleh mengikuti kursus, tak boleh mengundjungi gedung kemidi dan tak boleh pula melantjong. Pesawat radio untuk menambah pengetahuan dirumah, belum ada waktu itu. Didesa-desa kaum wanita lebih bebas sedikit dari dikota, karena pak tani membutuhkan tenaganja. Akan tetapi, biarpun didesa, apabila seorang wanita melihat seorang asing datang, maka dengan segera ia menjelubungi mukanja.

Tidak berapa lama sesudah Kemal Pasja memegang kekuasaan, ia melarang kaum wanita memakai selubung. Ia menghendaki supaja kaum wanita ikut mengambil bagian dalam kehidupan masjarakat umum, sama dengan kaum lelaki.

Seperti menurut kebiasaan wanita Amerika dan Eropah, isteri Kemal Pasja pun menjertai suaminja bila ia mengundjungi pesta-pesta atau menghadiri upatjara-upatjara. Tidak berapa lama antaranja isteri Kemal Pasja terpilih mendjadi ketua beberapa persatuan-persatuan wanita dan berani mengadakan perundingan dengan beberapa lelaki lain dengan tidak disertai oleh suaminja.

Tak berapa lama kemudian kaum wanita Turki beroleh hak pilih. Mereka berhak menduduki segala djabatan jang mereka kehendaki dan boleh bekerdja sesuai dengan didikan masing-masing. Sebab itulah maka seorang wanita anggota Parlemen Turki, dr. Diblan, baru-baru ini dapat berkata demikian: "Pada masa ini kaum wanita Turkilah jang terlebih berbahagia diantara segala kaum wanita diseluruh dunia." Dr. Diblan ialah seorang tabib wanita, anggota badan Perwakilan Rakjat, wakil-ketua dari perhimpunan-kebangsaan untuk memberantas penjakit tbc. dan setjara aktif duduk dalam pimpinan berbagai persatuan-wanita.

Dr. Diblan menerangkan apa jang ia maksud: "Hak kami sekarang sama sekali tak berbeda dengan hak kaum lelaki. Kami sudah mendjadi warga-negara sedjati. Berhak memilih dan dipilih. Kami berhak mendjadi anggota sesuatu partai politik, malahan sudah mendjadi anggota partai politik! Undang-undang perkawinan kami disususun berdasarkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Sekarang tak mungkin lagi seorang lelaki mentjeraikan isterinja begitu sadja, sebagaimana dahulu diizinkan menurut hukum Islam. Dalam hal perekonomian wanita Turki bebas dari segala pengaruh suaminja. Ia boleh berbuat sekehendak hatinja terhadap hak-miliknja, dan ia berhak menerima harta pusaka dengan tak boleh ditjampuri oleh suaminja. Dari semula pemerintah republik Turki dengan tegas memisahkan agama dari negara. Tiap-tiap warga-negara boleh memeluk agamanja masing-masing, akan tetapi kedudukannja dalam hukum kewarga-negaraan ditentukan menurut undang-undang negara.

Jang terpenting pada permulaannja dan sebenarnja sampai pada masa ini ialah hal pengadjaran, dan pendidikan. Djumlah buta-huruf besar di Turki, dan tidak sadja antara kaum wanita. Waktu Kemal Pasja mulai memerintah hanja 35000 anak-anak jang mengundjungi sekolah rendah. Pada tahun 1947 bilangan ini mendjadi hampir satu djuta anak laki-laki dan 300.0000 anak perempuan. Tetapi di Turki ada kurang-lebih tiga djuta anak-anak harus bersekolah. Djadi belum lagi seperdua dari mereka dapat bersekolah, karena kekurangan guru laki-laki dan guru wanita. Sebuah negara jang 25 tahun jang lalu hanja dapat memberi peladjaran rendah pada 35000 anak-anak, tak mungkin pada saat ini dapat menghasilkan 350.000 orang guru jang dibutuhkan untuk mengadjar disekolah rendah sampai disekolah tinggi. Akan tetapi anak-anak dari anak sekolah sekarang ini, akan dapat dan harus bersekolah semuanja. Di Turki kami mempunjai kewadjiban-bersekolah. Segala peladjaran diberikan dengan tjuma-tjuma. Semua anak jang tak perlu tinggal dirumah karena hendak membantu orang-tuanja mentjari nafkah, boleh terus beladjar, bila telah sampai umurnja untuk bersekolah." Demikian keterangan tabib Diblan.

Diantara pemudi-pemudi Turki tidak sedikit jang berhadjat akan menjumbangkan tenaganja untuk rakjat. Semakin banjak diantara mereka beladjar disekolah tabib berhubung dengan kesehatan rakjat jang masih banjak harus diperbaiki. Kaum wanita itu harus dipudji, karena diantara mereka jang bersedia pergi kedesa-desa dan keluar-kota, dimana kehidupan lebih sukar dari dikota, lebih banjak dari kaum lelaki djumlahnja. Kaum wanita itu dengan begitu merintis djalan untuk angkatan jang datang.

Beribu-ribu pemudi beladjar pada kursus-kursus jang dinamai "lembaga-desa", ialah tempat mereka dididik mendjadi pemimpin "gerakan mempertinggi eradjat kehidupan didesa". Segala-galanja didjalankan menurut rantjangan pemerintah. Maksudnja untuk memadjukan penduduk desa dalam segala hal. Pemudi-pemudi itu beladjar memberi petundjuk-petundjuk pada kaum ibu di desa, bagaimana tjara memelihara anak baji, misalnja. Mereka mempeladjari tjara-tjara bertjotjok-tanam menurut aliran baru, dan segala hal-hal jang mengenai peraturan masjarakat. Mereka dididik djuga dalam hal memimpin, agar kelak dapat memimpin persatuan-wanita didesa mereka.

Turki melenjapkan terbelakangnja kaum wanita dengan membuang undang-undang hukum Islam dan menggantikannja dengan undang-undang hukum Eropah. Mesir tidak berbuat demikian, akan tetapi disanapun kaum wanita boleh dikatakan telah mendjadi manusia merdeka. Wanita-wanita Mesir menerangkan pada kami, bahwa banjak keadaan jang buruk, jang telah berabad-abad merendahkan deradjat wanita, sekali-kali bukan bersendikan Kur'an, tetapi hanja berdasarkan adat-kebiasaan jang telah berurat berakar, jang tidak ihapuskan oleh kaum lelaki. Kur'an tidak mengatakan bahwa wanita harus memakai selubung kalau bepergian dan harus dikurung ditempat kediamannja sadja. Dan barang siapa mengatakan, bahwa Kur'an membolehkan permaduan, ia chilaf! Semasa Nabi Muhammad lagi hidup seorang lelaki boleh mempunjai isteri sebanjak kehendaknja sadja. Nabi Muhammad mengerti, bahwa amat besar perubahan rasanja, kalau semua orang laki-laki sekonjong-konjong diharuskan beristeri seorang sadja. Sebab itu Nabi Muhammad membolehkan tiap-tiap orang mempunjai isteri sebanjak-banjaknja empat orang. Djuga dipikirkannja pula, bahwa didunia lebih banjak wanita dari lelaki. Kalau diizinkan seorang lelaki mempunjai lebih dari seorang isteri, maka tiap-tiap wanita masih dapat menurut takdirnja masing-masing. Akan tetapi Nabi Muhammad seterusnja menetapkan, bahwa seorang lelaki boleh beristeri lebih dari seorang, hanja kalau ia sanggup memenuhi sjaratnja, jaitu semua isteri hendaklah dipelihara dan diperlakukannja dengan baik dan adil. Bahwa Nabi Muhammad kurang pertjaja akan mungkinnja sjarat ini dipenuhi, ternjata dalam sabdanja kemudian: "Kamu tidak akan mungkin baik dan adil terhadup semua orang, sekalipun ini kamu hendaki sendiri." Ini sebenarnja berarti, bahwa Nabi melarang permaduan (poligami). Hanja dalam satu hal Kur'an mengizinkan permaduan. Jakni bila isteri pertama tidak mendapat anak. Seterusnja alasan mengambil isteri kedua ialah supaja sisuami djangan sampai mentjeraikan isterinja jang pertama, sehingga isteri pertama ini masih tetap kedudukannja sebagai isteri dan ibu-rumah-tangga.

Betul agama Islam membolehkan kaum lelaki mentjeraikan isterinja, tetapi tidaklah dengan semau-maunja sadja. Isteripun berhak menambah perdjandjian dalam surat kawin, supaja ia boleh mentjeraikan dirinja dari suaminja. Kalau ia mengalpakan kesempatan ini, ia kelak akan mendjadi korban tingkah laku suaminja. Kerugian jang mendjadi tanggungan sang suami ialah berupa uang. Dalam tiap surat nikah harus diadakan ketetapan, bahwa dalam hal talak sang suami diwadjibkan membajar kerugian pada sang isteri. Banjaknja uang pengganti kerugian ini tidak sadja ditetapkan dengan teliti, akan tetapi "mouakhar" ini harus lebih dahulu diserahkan pada orang tua atau wali gadis jang akan kawin itu.

Bila dahulu seorang anak perempuan dikawinkan dengan seorang lelaki jang belum pernah dilihatnja, maka orang jang mengawinkan melakukan suatu pelanggaran. Sebab Kur'an menentukan dengan tegas, bahwa anak perempuan jang akan dikawinkan itu harus lebih dahulu mengaku dimuka dua orang saksi, bahwa ia suka kepada lelaki jang akan mendjadi suaminja itu. Kalau anak perempuan itu tidak memberikan "kata sudinja", perkawinan setjara Islam tidak boleh dilangsungkan.

Dalam beberapa hal undang-undang hukum Islam memberi hak-hak pada wanita lebih dari pada hak-hak jang diperoleh kaum wanita di Barat. Bukan sadja wanita jang tak bersuami, tapi wanita jang bersuamipun berhak menguasai miliknja bebas dari tjampur tangan suaminja. Ia boleh membuat perdjandjian dengan orang lam menurut kehendaknja sendiri. Di Barat sekarang masih ada beberapa negeri, dimana sang isteri dilarang membuat suatu perdjandjian kalau tidak seizin suaminja. Dahulu pernah djuga kedjadian dibeberapa negara Arab, bahwa kaum wanita segera sesudah kawin mendjual harta benda jang ada dalam rumahnja dan memindahkan harta itu atas namanja sendiri (jang "mouakhar" perkawinannja amat rendah). Demikianlah mereka mendjaga, supaja mereka djangan sampai menderita kerugian, kalau ditjeraikan oleh suaminja.

Menurut pendapat kaum wanita Mesir, sebenarnja, ketjuali dalam beberapa hal, orang sekali-kali tak perlu mengubah undang-undang. Hanja kaum wanita hendaklah mendjaga supaja undang-undang itu disana-sini ditambah dan didjalankan dengan benar-benar! Kaum wanita Mesir misalnja telah berhasil menetapkan dalam undang-undang supaja batas umur anak perempuan untuk boleh bersuami 16 tahun, sehingga perkawinan anak-anak tidak mungkin terdjadi lagi. Berkat usaha mereka telah ditetapkan, supaja seorang ibu jang telah bertjerai dari suaminja tetap mempunjai kekuasaan lebih dari sang suami terhadap anak-anaknja. Dan sebab tindakan merekalah, maka dalam undang-undang ada ketentuan, bahwa wanita jang disiksa oleh suaminja berhak minta talak dari suaminja, sekalipun tak ada perdjandjian serupa itu dalam surat-kawin.

Oleh sebab kaum wanita telah mengubah sikap mereka dan kaum lelaki tunduk pada keadaan, sungguhpun ada djuga jang menundjang pergerakan wanita itu – keadaan di Mesir sekarang sedemikian, sehingga dimana-mana dalam masjarakat umum kaum wanita dan anak-anak perempuan ikut bekerdja. Pada permulaan bab ini sudah kami katakan, bahwa di Mesir sudah diadakan kewadjiban bekerdja-sosial untuk pemudi. Ini berarti, bahwa pemudi-pemudi itu harus membantu dimana ada kesukaran, misalnja memberantas wabah penjakit kolera. Selandjutnja diantara pemuda dan pemudi itu diadakan gerombolan-gerombolan jang dikirimkan ke desadesa untuk mendidik penduduk desa. Pekerdjaan mereka boleh disamakan dengan pekerdjaan guna "meninggikan deradjat kehidupan penduduk desa" di Turki.

Di-negara-negara Arab lainnja pun terdjadi demikian. Tidak disemua tempat kaum wanita dapat dengan mudah membebaskan dirinja. Di Iran misalnja Reza Sjah jang revolusioner itu pada tahun 1935 mengeluarkan perintah, supaja kaum wanita dilarang memakai selubung kalau bepergian. Kebanjakan wanita menjambut putusan ini dengan riang-gembira, tetapi dibeberapa daerah jang belum madju, kaum lelaki tidak mengindahkan larangan itu sama sekali. Kalau memakai selubung kaum wanita dilarang keluar rumah, sedangkan kalau tidak memakai selubung sang suami tidak membolehkan mereka bepergian. Akibat larangan ini ialah bahwa kaum wanita itu dikurung sadja didalam rumah. Pengganti Reza Sjah, menarik kembali perintah itu pada tahun 1947. Barulah kaum wanita jang telah dua belas tahun lamanja dikurung itu dapat bepergian lagi. Tetapi tatkala itu timbul pula suatu keadaan lain. Diantara pemudi-pemudi jang telah dibesarkan setjara bebas, banjak jang tidak mau tahu akan peraturan-peraturan jang memisahkan wanita dari lelaki, seperti jang akan dilakukan lagi oleh beberapa kaum lelaki dan kaum alim-ulama. Mereka meninggalkan daerah-daerah jang kolot dan pergi kekota besar-besar, dimana mereka dapat hidup dengan bebas. Kesukaran-kesukaran, sesudah larangan memakai selubung itu ditjabut kembali, sama sekali tidak berkurang. Tetapi di Iranpun tidak akan lama lagi semua penduduknja menjesuaikan diri pada keadaan baru, jang memberi kaum wanita kebebasan jang sepenuh-penuhnja itu.