Gumilang Gemintang

Gumilang Gemintang
oleh Yozi Mulfiani
52621Gumilang GemintangYozi Mulfiani

GUMILANG GEMINTANG

Yozi Matffani

SMAN 1 Padang

Gumilang berkaca, Gumilang menangis...

PAGI berselimut kabut, menyamarkan penglihatan, namun suara tangis di seberang sana, tak dapat lagi disamarkan oleh desiran angin pagi. Gumilang kecil belum tahu betul arti kehilangan. Walau begitu, sedih juga, wanita yang selalu memandikannya, mengenakannya pakaian, menyuapi, sampai menidurkannya, meninggalkan dunia selamanya — ibunya.

Sepuluh tahun kini telah berlalu sejak kematian ibunya. Gumilang Gemintang, yang dulu hanya seorang bocah kecil, kini telah menginjak usia 16 tahun. Ia tinggal berdua saja dengan bapaknya.

Dengan penghasilan seadanya dari bapak, segala kebutuhan harus dicukup-cukupkan. Setidaknya, bisa makan

16

dua kali sehari dan mengopi beberapa buku pelajaran dari teman, sedangkan seragam sekolah dapat ia peroleh dari sepupu jauh yang telah menamatkan sekolah menengah atas.

Terkadang ia merasa segan kalau ada temannya yang bertanya, “Gum, Bapakmu kerja apa?” atau, “Bapakmu di mana kerjanya, Gum?” Dengan jawaban diplomatis, Gugum panggilan akrabnya--menjawab bahwa bapak kerjanya berpindah-pindah karena cepat bosan. Meskipun maksudnya berpindah darisatujalanan kejalanan lain, tergantung orang ramainya di mana. Tentu orang lain bisa saja mengartikan dipindah-pindah ke tuar kota atau bapak mudah cari kerja Sehingga dapat memilih pekerjaan sesukanya.

Bapak Gugum, sebenarnya pembaca sajak lepas dari satu tempat ke tempat lain. Sajak yang dibawakan kadang karya sendiri atau karya penyair yang diambil dari koran-koran bekas. Syukur-syukur, kalau ada yang mengajaknya ikut teater kecil-kecilan buat bantu-bantu. Kalau tidak, ya, membawakan sajak-sajak di jalanan, Kalau sedang ramai kadang dapat lumayan, cukuplah buat makan selama 3 hari, tapi pernah Juga cuma dapat 1.200 perak setelah kerja seharian.

Gumilang berkaca, Gumilang menangis...

Hendak berangkat sekolah, Gumilang membuka percakapan dengan bapaknya.

“Pak, mengapa tidak cari pekerjaan tetap saja, sih, biar penghasilannya juga tetap? Kan nggak perlu pusing mikir mau makan apa besok, apa enaknya capek-capek baca puisi, cari Puisi, bikin puisi siang malam, tapi cuma sedikit yang menghargai,” setidaknya begitulah pendapat Gugum yang lebih senang bermain angka-angka rumit dengan seribu satu nimus, di balik meja belajar tripleksnya.

Bapak Gugum sejenak tersentak kaget dengan penilaian anaknya terhadap pekerjaan yang telah puluhan tahun ia geluti. Pekerjaan yang selama ini ia cintai, pekerjaan yang selalu dapat dinikmatinya di tengah kegetiran zaman, pekerjaan yang tidak pernah banyak menuntut, bahkan kertas-kertas yang selama ini ia gores dalam berbagai baur Pmosi tidak merasa keberatan atas tindakannya. Namun, kini anak yang paling ia cintai melebihi dirinya sendiri, satu-satunya buah cinta yang ditinggalkan almarhumah istrinya, tidak menyukai pekerjaan bapaknya.

Ia tidak pernah memaksa Gugum untuk menjadi penyair, seperti dirinya. Biarjadi orang terpelajar saja mengikuti sang ibu. Tapi, siapa sangka anaknya tidak pernah bangga akan pekerjaannya. Sesungguhnya ia menyadari bahwa pertanyaan anaknya tidak dimaksudkan untuk membuatnya sedih. Itu hanyalah pertanyaan polos dari remaja masa kini yang selalu apa adanya. Namun, tak terhindarkan lagi, jiwa seniman yang dikaruniai Sang Pencipta, membuat ia menjadi lebih sensitif.

Dengan menghela napas panjang, ia coba juga menanggapi pertanyaan Gumilang—penuh bintang—Gemintang, “Apa kamu merasa begitu kekurangan, Nak, sehingga mempertanyakan hal itu?” Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan merupakan senjata ampuh baginya untuk menghindar dari pertanyaan yang tidak ingin ja jawab. Harus bilang apa, jelas, tidak mungkin ia meninggalkan profesinya saat ini. Karena telah lama sajak dan puisi menjadi bagian tak terpisahkan dalam dirinya.

“Ah, tidak. Hanya saja kulihat Bapak terlalu lelah untuk melakukan pekerjaan yang demikian terus-menerus.” Tak berani menatap mata bapaknya, Gumilang seolah sibuk mengemasi buku-buku pelajaran di pojok ruang makan mungil itu. Karena tidak sanggup-tepatnya tidak berani mengungkapkan alasan yang sebenarnya bahwa ia merasa lelah dipandang sebelah mata oleh teman-temannya.

“Pak, aku berangkat dulu. Nanti terlambat, assalamualaikum!” Gumilang berlalu sembari mencium tangan bapaknya. Sebelum sempat menjawab salam anaknya, Gumilang telah pergi dari hadapannya. Ia biarkan saja kata- kata tersendat di ujung lidahnya. Dari jendela, ia hanya dapat mengamati punggung anaknya menyandang ransel yang kini kian usang.

“Berhati-hatilah, Anakku, kelak ketika bintangmu redup, kau yang akan menentukan sendiri ke mana arah kakimu menapak,” bisiknya dalam hati.

Panas kian garang saja, namun pepohonan mahoni mampu menaungi perjalanan Gumilang ke sebuah toko buku, 300 meter dari sekolahnya. Gumilang lumayan sering ke toko buku walaupun sangat jarang membeli, sekadar membaca

18

sinopsis atau membaca buku-buku yang tidak tersampul plastik sudah cukup baginya.

Ia memilih untuk mengambil jalan pintas lewat sebuah taman kota yang letaknya berseberangan dengan toko buku. Di sana ia melihat orang berkerumun. Terdengar suara ribut-ribut dari kejauhan. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi, ia memutuskan untuk mendekati kerumunan tersebut. Tak dinyana, orang yang tengah terlibat konflik adalah bapaknya sendiri. Ia mencoba menangkap pokok permasalahan yang melibatkan bapaknya dengan seseorang berpakaian seragam keamanan. Cukup sengit mereka berdebat, tapi yang dapat didengar Gugum, hanya beberapa potong. Kemudian ia dengar kalimat yang diucapkan keamanan pada bapaknya dengan lantang.

“Sudah saya bilang, pengemis dilarang berkeliaran di taman ini!” Mendengar kata pengemis, Gugum tertohok. Bapaknya dianggap pengemis? Marah bercampur malu menjalar ke kepalanya. Ia begitu geram. Bapak sering bilang padanya, “Daripada jadi peminta-minta, lebih baik tidak makan saja. Malu sama Tuhan!” Kalimat itu seketika terngiang di telinganya. Sepertinya, dia dapat merasakan pedihnya hati bapak saat itu. Tapi, ia tak dapat melakukan apa-apa.

Terlalu ramai orang di sana, apabila ia membela bapaknya, tentu ia pun akan ikut-ikutan malu. Semua orang akan melihatnya sebagai anak seorang pengemis. Sebelum bapak melihat, Gumilang memutuskan pergi dari tempat itu.

Namun, terlambat, bapak sempat melihatnya. Gugum tak peduhi, ia berbalik arah lalu berlari sekencang-kencangnya agar sepera tiba di rumah.

Tiga minggu telah berlalu sejak peristiwa di taman. Bapak tidak pernah menyinggung-nyinggung kejadian itu. Walau sebenamya mereka sama-sama tahu mengapa dan apa yang terjadi ketika itu.

Gugum baru saja menyelesaikan tugas sekolahnya ketika bapak masuk dengan wajah berseri. Di tangannya, ditenteng bawaan berbungkus plastik hitam.

“Bapak senang sekali kelihatannya? Seperti dapat durian runtuh saja!” Gugum jarang menjumpai wajah bapak secerah


19

saat itu. Tidak seperti biasanya, ketika bapak pulang dengan wajah letih, yang membuatnya semakin terlihat tua.

“Ayo, ke sini dulu, Gum! Bapak punya berita baik,” perintah bapak sambil duduk di kursi rotan tua, tempat ia biasa melepas lelah.

Bapak mulai bercerita bahwa ia diajak ikut main teater di gedung kesenian pusat kota oleh seorang kawan lama, Dino namanya. Bapak kelihatan begitu bangga. Ia dulu memang pernah bercerita pada Gugum, kalau ada kesempatan, ia ingin terlibat dalam sebuah perhelatan teater yang hanya diadakan lima tahun sekali di kota itu. Tidak mengherankan, apabila bapak begitu bahagia. Karena itulah bapak menggunakan uang yang ia dapat hari itu untuk membeli nasiramas sebagai perayaan kebahagiaannya.

Gugum tidak mengerti arti penting terlibat dalam perhelatan itu bagi bapaknya. Tapi, yang jelas, apabila bapaknya senang, ia pun akan ikut berbahagia.

Satu bulan menjelang perhelatan tersebut, bapak Gugum terlihat begitu sibuknya. Pergi pukul delapan pagi dan pulang lagi pukul delapan, malam harinya. Setelah pulang pun bapak tidak langsung istirahat, ia berkutat dulu dengan sajak-sajak yang hendak ia bawakan, guna memberi beberapa sentuhan akhir di sana-sini. Gugum merasa terabaikan, namun ia mencoba memaklumi akan impian yang telah lama ingin diraih bapaknya itu. Akan tetapi, tentu sebagai konsekuensinya, Gugum harus belajar untuk dapat mengurus dirinya sendiri.

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Setelah berminggu-minggu bekerja keras, kini saatnya memberikan yang terbaik. Gugum diberikan bapak tiket VIP pada barisan depan deret ke empat dari kanan. Meski tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan kesenian, Gugum penasaran juga melihat hasil kerja keras bapaknya.

Pertunjukan dimulai dengan musik yang mengalun lambat, diikuti tarian topeng. Kemudian, sampailah pada giliran Bapak membawakan sajak. Ah, tidak sia-sia rupanya bapak Gugum bekerja keras selama ini. Ia terhanyut dalam suasana. Bapak bersuara lantang, dengan mimik, dan gerak tubuh yang sempuma. Membuat siapa pun yang mendengarnya jadi merinding.

Penampilan tunggal bapak dengan iringan musik yang juga mempengaruhi emosi penonton, tiba-tiba kisruh. Bapaknya jatuh tersungkur. Tadinya penonton berpikir, hal itu merupakan bagian dari pertunjukan. Akan tetapi, orang-orang dari balik panggung bermunculan seraya membopong Bapak Gugum. Tirai panggung ditutup.

***

Di rumah sakit, Gumilang menunggu dengan gelisah. Detik berganti menit dan menit pun berganti dengan jam. Satu jam lebih, Gumilang mondar-mandir di depan ruang gawat darurat, wajahnya terlihat masih pucat. Bahkan, tak satu pun teman kerja bapaknya mampu menenangkan Gumilang.

Pintu ruang UGD berderit, pria berjas putih keluar dan meminta salah seorang anggota keluarga pasien mengikuti beliau ke ruang dokter, Di ruangan tersebut, dokter menjelaskan kepada Gugum bahwa tekanan darah bapak drop karena bekerja terlalu keras, tubuhnya sangat lemah sehingga harus diberi suntikan cairan infus. Lalu dokter tersebut terus bicara panjang lebar dengan bahasa medis yang tak dapat ia cerna. Yang jelas baginya, bapak didiagnosis terkena anemia dan harus istirahat total selama enam hari di rumah sakit agar kesehatannya dapat selalu dipantau. Mendengar itu, Gugum sanksi apakah dia harus membiarkan bapaknya di rumah sakit, atau membawanya pulang saja. Minum obat-obatan alami, nanti juga sembuh. Ah, pikirannya kacau. Dapat uang dari mana untuk membayar rumah sakit.

Seakan menjawab pertanyaannya, tak lama penanggung jawab dari teater yang baru saja digelar datang ke rumah sakit menjenguk bapak Gugum. Mereka turut merasa sedih atas kecelakaan yang menimpa bapaknya. Dan, memutuskan untok menanggung biaya rumah sakit.

Gugum pulang menjemput pakaian bapaknya untuk menginap di rumah sakit. Ia buka lemari kayu di sebelah dipan bapaknya. Tiba-tiba matanya tertuju pada lembaran kertas yang menyembul dari balik tumpukan baju. Pelan-pelan ditariknya kertas-kertas tersebut. Ternyata semua berisi puisi-puisi karya bapaknya yang belum pernah ia baca sebelumnya. Judul pada tumpukan puisi paling atas menarik perhatiannya.

Mata Gugum menjejali setiap rangkaian kata dan bait dalam puisi itu. Sedikit demi sedikit, air mukanya berubah. Ternyata puisi itu semacam diari bagi bapaknya. Di sana juga tertoreh peristiwa yang ia alami bersama bapaknya, perdebatan-perdebatan kecil mereka, dan yang paling mengejutkan adalah kejadian beberapa waktu lalu di taman kota, yang kemudian mendorong bapaknya terlibat dalam perhelatan teater di pusat kota.

Dari puisi yang ia baca, Gugum dapat menangkap bahwa bapak mencoba membuktikan bahwa masih ada yang menghargai sajak seorang penyair. Bapak juga menulis betapa ia mengerti Gugum merasa malu atas pekerjaan bapaknya, jauh sebelum kejadian di taman kota. Karena semua itulah, bapak berusaha mati-matian memberikan yang terbaik dari kemampuan yang dimilikinya, pada pertunjukan lalu agar ada sedikit rasa bangga terbersit pada diri anaknya.

Semua semakin menyesakkan. Gugum seketika sadar bahwa bapak latihan siang malam bukan untuk mengharapkan pujian dari orang lain, bukan pula demi kepuasan pribadi semata, melainkan memberi sedikit kebanggaan padaGumilang atas pekerjaan bapaknya. Agar Gumilang dapat dengan bangga berkata, “Kenalkan, ini Bapakku. Ia seorang penyair jalanan!”

***

Gumilang berkaca dan ia pun menangis.

Berbagai pikiran kini berkelabat di benaknya. Ia mencoba merunut rangkaian peristiwa yang telah ia alami bersama bapaknya. Gugum mengingat kembali ketika ia mencoba menghindar dari pertanyaan tentang pekerjaan bapaknya atau ketika ia memilih untuk pergi di saat bapaknya dipojokkan banyak orang, cuma karena takut merasa malu. pikiran-pikiran itu beruntun menjadi rentetan panjang yang memerintahkannya untuk kembali memutar memori masa lalu, Perasaan Gumilang lebur jadi satu, ia terduduk lemas, cairan hangat menetes dari sudut matanya.

Kakek pernah bilang padanya, bahwa laki-Iaki ksatria itu tidak boleh meneteskan air mata, seberapa pun sedihnya. Tapi, menurutnya, kali ini berbeda, ia bukan ksatria, bukan pula pahlawan atau penyelamat bagi siapa pun. Ia hanya seorang anak manusia yang punya air mata. Ia juga punya hak meneteskan sesekali apabila perasaan sedih menghing-gapi.

Ketukan pintu kemudian membuat ia tersadar, pasti akan sangat memalukan bila ada yang melihat seorang anak lelaki menangis. Dengan kasar dihapusnya sisa air mata yang mulai mengering. Ketika membuka pintu, Pak Dino, kawan lama bapak, berdiri di hadapannya.

“Ah, Pak Dino. Silakan masuk, Pak!” Gugum mempersilakan teman bapaknya itu masuk.

“Tidak usah, Gum. Bapak ke sini mau menjemputmu, tadi Bapakmu mengigau dan terus menyebut nama kamu. Tapi, sepertinya kamu tak kunjung juga datang, saya menawarkan diri untuk menjemput. Kebetulan saya bawa mobil.” Pak Dino meminta Gugum untuk segera mengemasi pakaian bapaknya agar dapat ke rumah sakit secepatnya. Gugum menjinjing tas kulit cokelat berisi pakaian bapak untuk menginap. Gugum berjalan agak cepat agar dapat menyamai langkah Pak Dino.

***

Di koridor rumah sakit, Gugum segera memacu langkah agar dapat menemui bapaknya. Di ruang tempat bapak dirawat, Gugum melihat bapak sedang tidur dan tergeletak lemah di atas tempat tidur, Tubuhnya kian ringkih. Ketika Gugum mendekat, bapak masih terlihat pucat dan belum Sadarkan diri.

“Pak, maafkan aku...” Gumilang berujar lirih. Walaupun tahu bapak tak bisa mendengamya, ia terus mengungkapkan penyesalannya. Ketika ia menggenggam tangan kanan bapak, terasa olehnya jari-jari bapak mulai bergerak, lah: matanya perlahan terbuka.

Samar-samar Bapak melihat anaknya menangis. Dengan tenaga yang tersisa, tangan kirinya lalu mengelus rambut hitam Gumilang. Serta merta Gumilang memeluk Bapak, kemudian menangis, seperti anak kecil di pelukan bapak.

"Sudahlah, Nak! Bukankah Kakek pernah bilang bahwa anak lelaki tidak baik kalau menangis. Bapak cuma punya


23

kamu, Nak. Bapak tak ingin orang yang paling Bapak sayangi menangis. Sudahlah, Bapak tidak apa-apa.” Gugum masih sesenggukan. Terkenang olehnya pelukan hangat yang selalu ditawarkan Bapak ketika ia ketakutan. Kata-kata bijak yang selalu dilontarkan oleh Bapak demi memberinya dorongan, kembali terngiang. Rasa bangga yang mendalam mulai memenuhi rongga jiwanya yang dulu katup. Gumilang

semakin mempererat pelukannya. Ia takut kehilangan bapaknya. Takut sekali.

24