Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 10

BAB X

GEDJALA² BUNJI DALAM PEMBENTUKAN KATA DASAR.

266. Dalam bahasa² Indonésia kata dasar tampak tak berubah atau dihubungkan dengan awalan, sisipan dan achiran. Dalam "Batak- sche Texten, Mandailingsch Dialect", hal. 16 (oléh Ophuysen) ter- dapat kata²: hobaran ni lombu na tobaŋ (Tjerita tentang lembu tua). Dalam kalimat itu lombu dan tobaŋ ialah kata² dasar jang tak berubah, tetapi kata hobaran terdiri atas kata dasar hobar (mentjeritakan) dan achiran an jang membentuk kata benda.

267. Begitu djuga halnja djika terdapat formans. Formans itu di- hubungkan atau tidak dihubungkan dengan bunji lain. Dalam ,,Pantun Melaju" jang diterbitkan oléh Wilkinson dan Winsstedt terdapat (pantun ke-4) kata²: dari-mana punay melayaŋ dalam pantun ke-5: bagay-mana mênaŋkap landaq. Kata layaŋ dan taŋkap ialah kata dasar; dalam pembentukan kata mêlayaŋ tak tampak prosés-bunji, dalam kata mênaŋkap bunji t mendjadi n.

268. Gedjala² dalam pembentukan kata dasar jang lebih landjut ialah sama atau tidak sama dengan gedjala²-bunji dalam pembentukan : kata dasar, jang dimaksudkan tadi. Dalam bahasa Djawa kuno bunji a = i dalam bahasa Indonésia purba mendjadi e dalam kata dasar dan begitu djuga halnja dalam pembentukan jang lebih landjut dari kata dasar, djika kedua bunji itu ber-turut² terdapat. Dengan begitu dalam bahasa Djawa kuno terdapat kata len (= lain dalam bahasa Indonésia purba) dan kata meŋet (ma + iŋet; memperhatikan). Dalam bahasa Toba bunji r berasimilasi dengan jang mengikutinja, misalnja dalam kata pallanja (par + lanja; kuli). Dalam kata dasar seperti dalam kata torluk (bélok) sendiri bunji r itu tak berubah.

269. Gedjala² bunji jang tampak djika terdapat achiran ialah seperti berikut. Achiran itu hampir selalu mengandung vokal:

I. Tampaklah bunji-perantara, jaitu bunji y jang mengikuti bunji i dan bunji w jang mengikuti bunji u. Djadi dalam bahasa Bugis terdapat kata turuwaŋ (membakar; tunu + dari kata dasar tunu (terbakar). Atau bunji-perantara itu merupakan h atau q; di Mandailing-selatan misalnja terdapat kata parkalahan (daftar untuk menenung: par kata dasar kala + an) dan dalam bahasa Madura terdapat kata mateqe (membunuh; pate (mati) + e).

Bunji²-perantara itu dapat bertukar tempat. Dalam bahasa Makasar bunji-perantara y mengikuti bunji- e dan bunji-perantara w tetapi dalam ,,Tjatatan harian radja Gowa dan Tello" terdapat kata Bontoya (negeri Bonto; Bonto + artikal a) dan bukanlah Bontowa menurut bahasa Makasar sekarang.

II. Vokal penutup dari kata dasar bersifat konsonan djika diikuti achiran, dengan begitu dalam bahasa Djawa kuno bunji i mendjadi y dan bunji u mendjadi seperti dalam kata katun-wan (dibakar: ka + kata dasar tunu + an).

III. Vokal hata dasar dan vokal formans dalam banjak idiom di- satukan. Dalam bahasa Djawa kuno misalnja dari kěla atau kla + en terdjadi kata klân. Dalam surat piagam dalam bahasa Kawi terdapat kalimat: klaŋ i kawah san Yama (Akan dibeli dari kawah gunung Yama).

IV. Dalam bahasa Madura dan beberapa bahasa Indonésia jang Jain konsonan pada achir kata dasar diduakalikan. Dalam bahasa Madura dari kata dasar ator dibentuk katakerdja ŋatorraghi (mempersembahkan; ŋ + ator + aghi).

V. Dalam bahasa Gayo bunji sengau pada achir kata dasar mendjadi bunjiletus-bersuara-homorgan (homorgan média) + bunji sengau, misalnja dalam kata kuödnön (lebih kekanan; kata dasar kata kuön (kanan) + ön). Dalam bahasa Mentawai bunjiletus tak bersuara (tenuis) menggantikan bunjiletus bersuara (média), seperti dalam kata mämäräpman (akan tidur) jang dibentuk dari kata dasar märäm. Bukti tentang hal itu terdapat dalam tjerita tentang hantu jang dimuat dalam téks Morris (hal. 82). Dalam tjerita itu terdapat kalimat : mämäräpman lä aku (saja ingin hendak tidur disana).

VI. Dalam bahasa Bontok bunji letus bersuara (média) mendjadi bunji letus tak bersuara (tenuis). Dari kata dasar kaeb dibentuk kata- kerdja kapen (membuat) dari kata dasar faeg dibentuk katakerdja fayeken (memukul dengan tjambuk).

VI. Dalam bahasa Madura bunji letus tak bersuara (tenuis) mendjadi bunjiletus bersuara (média). Kata dasar ,,menjusui" ialah sěpsěp dalam bahasa Djawa kuno dan bahasa Madura dan ,,menjusui anak" ialah ñepsěbbhi dalam bahasa Madura. VIII. Dalam bahasa Maanan bunji letus bersuara (média) hilang dalam hubungan bunji sengau + bunji letus bersuara homorgan antara kedua vokal dari kata dasar.

270. Kwantitét pada kontraksi.

I. Biasanja bunji kwantitét pandjang, antara lain dalam bahasa Makasar seperti dalam kata kasalàŋ (denda); a dalam suku kata jang terachir ialah pandjang (ka + sala tiada berhasil + ).

II. Dalam bahasa² Indonésia jang lain bunji itu péndék antara lain dalam bahasa Toba seperti dalam kata parhutàn (djabatan ditempat jang ketjil); a dalam suku kata jang terachir ialah péndék (par huta (tempat jang ketjil) + an; lihat djuga keterangan dibawah nomor 71).

271. Gedjala² bunji jang tampak djika kata dasar mengikuti awalan kurang banjak kalau dibandingkan dengan hubungan kata dasar dan achiran. Gedjala² itu ialah :

I. Achiran hilang. Dalam bahasa Bugis dari kata dasar onro (diam, berumah) dibentuk kata paonro atau ponro (menjuruh berumah).

II. Kontraksi. Dari ma + kata dasar iŋět dalam bahasa Djawa kuno terdjadi kata mênět (memperhatikan).

III. Bunji perantara tampak. Dalam bahasa Dairi terdapat kata pěhuwap (uap; pě + uwap).

IV. Bunjiletus pada permulaan kata dasar mendjadi bunji sengau homorgan seperti dalam kata měnaŋkap dalam bahasa Melaju jang terdjadi dari kata dasar taŋkap (lihat keterangan dibawah nomor 16).

272. Djika terdapat formans pada permulaan kata bisa terdjadi djuga keselarasan bunji (geluidsharmonie); lihat keterangan dibawah nomor 247.

273. Dibawah nomor 168 telah dikemukakan, bahwa diftong dalam suku kata jang terachir dalam bahasa Indonésia purba seperti dalam kata punay (burung dara) dan patay (membunuh) mendjadi satu vokal dalam beberapa bahasa Indonésia, punay ialah punè dalam bahasa Bugis. Dalam hal vokal jang menggantikan diftong itu dalam beberapa bahasa Indonésia tampak gedjala² jang tidak dengan begitu sadja dapat diterangkan dengan menundjuk akan kontraksi, dsb. Dalam membitjarakan hal² itu kami ingin hendak mempergunakan tabél seperti jang tersebut dibawah ini sebagai dasar:

Bahasa Indonésia purba: gaway (membuat) patay (membunuh)
punay (burung dara)
Bahasa Tagalog: gaway (membuat sihir) patay punay
Bahasa Djawa kuno: gaway pati
Bahasa Djawa baru: gawè
Bahasa Melaju : mati punay
Bahasa Dajak : gawi patäy punäy

Pada tabél itu tampaklah dua hal. Apakah sebabnja dalam bahasa Melaju dan bahasa Dajak dalam satu hal terdapat diftong seperti dalam kata punay dan punäy dan dalam hal lain terdapat satu vokal seperti dalam kata mati dan gawi? Apakah sebabnja kata ay dalam bahasa Indonésia purba mendjadi i dalam bahasa Djawa kuno (dalam kata pati); sedang dalam kata gawé tampak bunji é dengan djalan kontraksi jang langsung ?

Beberapa gedjala dalam bahasa² di Philipina memberikan djawaban atas pertanjaan itu. Dalam bahasa itu satu kata itu djuga jang berachir dengan diftong terdapat dengan beberapa bentuk, diikuti oléh sebuah achiran atau énklitika. Kata balay dalam bahasa Indonésia purba ialah halày (rumah) djuga dalam bahasa Ibanag, tetapi ,,rumah-mu" ialah balè-ra. Dalam bahasa Tagalog bentuk pasif dari kata bigay (memberi) ialah bigyan. Kami berpendapat, bahwa pertukaran bunji itu terdapat djuga dalam bahasa Indonésia purba; djadi kata gaway kadang² diutjapkan sebagai gaway kadang² lagi sebagai gawi. Dalam bahasa Djawa kuno, bahasa Melaju, bahasa Dajak, dsb. dalam hal pertukaran bunji itu kadang² diftong kadang² lagi vokallah jang dipertahankan. Oléh sebab itu terdapat kata 'mati dan punay dalam bahasa Melaju.