hanja.......”
Belum habis kata2 Tee Kwan, Ko Kiu sudah tak sabar diri untuk bertanja:
— „Hanja apakah Tee Kwan ? apakah jang kau beratkan lagi ?”
— „Ko Tjiangkun, keberatanku adalah hukuman mati jang didjatukan pada Liem Tjiong. Hal ini aku tetap tidak berani mendjalankannja.”
— „Lalu bagaimana aku dapat menolong anakku ?”
— „ Begini Ko Tjiangkun, biarlah aku mendjatuhkan hukuman buang kepadanja Bila Liem Tjiong aku buang ke Tjhung Tjhiu Too maka perdjalananja akan melalui sebuah hutan, namanja Ya Tie Lim (Hutan Tjeleng) Hutan ini, amat lebat dan banjak sekali babi babi hutan jang ganas dan liar berkeliaran sepandjang perdjalanan itu, djarang jang bisa menjelamatkan djiwanja Maka Tjiangkun boleh membawa istri Liem Tj ong untuk putramu. Dan aku sebagai pelaksana hukum tidak dapat dipersalahkan lagi bukan ?”
Ko Kiu merem merem melek mendengar uraian sang Tee Kwan ini, kemudian ia meng-angguk2kan kepala dan berkata dengan suara parau;
„Baik, baik, itu suatu djalan jang.....eng.... eng ... aku nanti suruh 2 algodjoku untuk mengawal perdjalanannja. Biarlah algodjo2ku nanti menghabiskan dji-
36