Anak saudagar Biram sudah remaja dan amat cantik parasnya. Sejak tadi ia sudah ada dalam perjamuan itu. Dan memang sejak tadi pula ia selalu memperhatikan Tenggang.
’’Anakku Puspa Sari,” kata saudagar Biram. ’’Inilah Tenggang tandil kitayang baru!”
Keduanya bersalaman dan menganggukkan kepala. Lalu terlibatlah Tenggang dalam percakapan yang mengasyikkan dengan Puspa Sari putri saudagar Biram. Tenggang memang pintar berbicara. Ia menceritakan pengalamannya selama dalam pelayaran. Yang aneh-aneh dan mendebar-debarkan hati. Terpaut mata Puspa Sari di bibir Tenggang yang asyik berkisah. Tetapi malam kini rasanya berlalu cepat sekali. Perjamuan itu cepat berakhir. Dengan sedih kedua muda remaja itu berpisah. Saudagar Biram merasa gembira karena keduanya lekas menjadi dua orang bersahabat.
Keesokan harinya Elang Segara sudah siap akan membongkar sauh akan berlayar. Tak disangka-sangka Puspa Sari datang ke pelabuhan. Ia melepas Tenggang pergi berlayar. Dibawanya macam-macam makanan dan juadah. Bekal Tenggang berlayar. Dipesankannya kepada Tenggang supaya kalau pulang nanti Tenggang akan membawakannya barang-barang aneh dan garib yang tak ada di Labuhan Puri. Tentu saja Tenggang berjanji akan membelikannya. Keduanya berpisah dengan sedih dan enggan bercerai. Entah perasaan apa pula yang tumbuh dalam hati mereka.
Dalam pelayaran sekali ini bertukar pula yang disusahkan si Tenggang. Dulu wajah si Bulan yang senantiasa terbayang-bayang di ruang matanya. Kini Bulan sudah terbenam. Tak pernah muncul lagi di hatinya. Gantinya wajah Puspa Sarilah yang selalu datang membayang. Tetapi hal itu menambah semangatnya bekerja dan belajar.
Namun kemalangan datang juga. Dalam pelayaran itu serang kapal Elang Segara meninggal karena suatu penyakit. Mayatnya
24