Halaman ini tervalidasi
5. Adat dan upacara kematian.
Apabila ada salah seorang warga masyarakat yang meninggal dunia (ilopatoya), semua kerabat datang berkumpul bahkan sebahagian besar warga suatu desa datang kerumah kedukaan dengan tidak memandang hubungan kerabat.
Mereka datang memberi bantuan baik berupa tenaga, pikiran dan bantuan materiil seperti uang, beras ayam, kelapa, kain putih, dll. Mereka berpakaian serba putih sebagai tanda ikut berduka.
Menurut adat bila peristiwa kematian ini terjadi pada hari Selasa. Hendaknya si mayat di istirahatkan semalam di rumah, dengan mengadakan pengajian Al Quran oleh para kerabat. Keesokan harinya sebelum simayat di usung ke makam, dimandikan terlebih dahulu (mopodungga lo talahu) di bawah pimpinan imam. Kemudian si mayat di bungkus dengan kain putih (taputo), dan disembahyahkan secara jama'ah atau bersama-sama.
Usungan keranda sudah disiapkan dan diberi hiasan sebagai tempat meletakkan si mayat. Sebelum mayat diberangkatkan ke perkuburan di depan pintu diberi seorang anggota kerabat memecahkan piring porselen. Maksudnya segala yang sial dan kesusahan yang menimpa keluarga sudah berakhir. Pada waktu mayat hendak dimasukkan ke liang lahat pada kedua telinganya dibacakan azan dan qamat, sebagaimana waktu di lahirkan.
Malam harinya di rumah berduka diadakan pembacaan doa (tahlilan) disertai jamuan makan. Pembacaan doa tahlil (mongaruwa), disamping bermaksud mendoakan yang meninggal, tapi juga memberi makan kepadanya. Upacara semacam ini diadakan lagi pada hari ketiga (otolohuji), hari ke lima (ulimohuji), hari ke tujuh (upituhuji) dan seterusnya sampai dengan hari ke empat puluh (wapato pulu huji). Setiap hidangan disaji-
62