KATA PEMBUKA
PUISI[1] yang unggul bukan hanya puisi yang minta dibaca ulang terus-menerus, namun juga yang mengubah cara kita membaca dan menulis. Demikianlah, Chairil Anwar bukan hanya nama seorang penyair, tapi juga nama untuk sebuah situasi, tepatnya kompleks kekaryaan yang memungkinkan kita menghidupkan bahasa dan sastra kita. Menempatkan ia sebagai hanya pembaharu-pendobrak memang layak dilakukan oleh sesiapa yang menggemari klise dan nostalgia. Sekadar pembaharu bagi saya adalah ia yang hanya hidup untuk zamannya sendiri: ia hanya melahirkan fashion bagi generasinya, yang cepat menjadi kedaluarsa; si pembaharu segera menjadi bagian masa lampau jika kita memandangnya dari arah zaman kita. Tidak demikian halnya dengan Chairil. Sajak-sajaknya menyediakan dasar bagi penulisan puisi sampai hari ini. Atau, dalam sajak-sajak Indonesia yang terbaik, kita selalu dapat menemukan jejak-jejaknya. Demikianlah, situasi Chairil Anwar
adalah lingkupnya menegakkan sastra dan budaya tulisan.
Terlalu lama khalayak pembaca tenggelam dalam sejenis mitos bahwa Chairil Anwar adalah si binatang jalang yang terbuang darii kumpulannya, bahwa dengan kejalangan ia membangunsastra yang baru. Mitos demikian hanya akan menempatkan Chairil ke dalam kelisanan yang membuat kita malas menyelami karyanya. Terbalik dengan itu, selama 1942-1949 ia sungguh-sungguh mengerjakan budaya tulisan: melakukan studi terhadap para pendahulunya, membaca sastra dunia dan mengambilnya ke dalam dirinya, merumuskan konsep penciptaannya dengan terang,[2] dan akhirnya
- ↑ Dalam tulisan ini saya gunakan dua istilah, “puisi” dan “sajak”: puisi adalah khazanah persajakan, yakni poetry dalam bahasa Inggris; sedangkan sajak(-sajak) adalah poem(s).
- ↑ Esai-esai Chairil Anwar, juga berbagai puisi dan prosa yang ia terjemahkan sebagian atau seluruhnya, juga sajak-sajak Chairil sendiri yang belum pernah terbit pada masa sebelumnya,
xiv