Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/16

Halaman ini telah diuji baca

Bagi saya, “Senja di Pelabuhan Kecil” tak pernah ditulis oleh sesiapa yang tak punya visi dan hormat terhadap bentuk syair atau pantun—juga kuatrin pada umumnya, bentuk yang sudah mantap di berbagai sastra dunia—termasuk bagaimana bentuk demikian diolah kembali oleh generasi sebelumnya. Lebih khusus lagi, Chairil meradikalkan bentuk syair yang sudah dibikin modern oleh Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru yang karyanya pernah dikatakan Chairil sebagai “destruktif untuk bahasa lama, tapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.”[1]4 Ia tahu bahwa kekuatan kata yang dicita-citakan Amir tidak akan muncul cemerlang jika si penyair bertahan pada kesempurnaan kalimat dan larik sajak. Bila kita tamsilkan dengan seni lukis: Amir masih menggambar pemandangan molek rupa di mana ruang masih tunggal-menerus, Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah (seperti dalam pascaimpresionisme). Jika pada lukisan Amir kita terpaku akan keseluruhan tamasya, pada lukisan Chairil kita memperhatikan garis, warna, bidang. “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah turunan terpiuh “Berdiri Aku” Amir Hamzah.[2] Demikianlah, saya hendak mengatakan bahwa untuk mengedepankan tenaga kata, Chairil justru menjadi penerus tradisi, bukan perusaknya.

 Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga. “Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiranisi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”[3]: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat



  1. “Hoppla”, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
  2. A. Teeuw pernah menulis bahwa “Berdiri Aku” adalah hipogram dari “Senja di Pelabuhan Kecil”; baca esainya “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”, dalam kumpulan esainya Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983).
  3. Judul “Derai-derai Cemara” datang dari Pamusuk Eneste, editor buku sajak-sajak lengkap Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, yang sedang anda baca. Sesungguhnya sajak ini tak berjudul.

xvii