Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/18

Halaman ini telah diuji baca
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti

 Sebagaimana terbukti oleh karya di atas, sajak bebas bukanlah sajak tanpa kendali. Bait kedua (yang hanya terdiri dari satu baris saja), sepintas dapat kita gabungkan dengan bait pertama untuk mendapatkan bentuk kuatrin, dengan rima a-a-b-b, namun ia memang harus berdiri sendiri untuk menegaskan unit lanskap yang tersendiri. Hal serupa bisa berlaku untuk bait keenam dan ketujuh. Chairil bukan hanya mengikat larik-lariknya dengan rima luar, yakni bunyi di ujung baris, namun juga rima dalam, yakni pengulangan bunyi vokal dan konsonan di dalam kalimat. Sajak bebas hanya bersifat bebas dalam arti bahwa ia menekankan barisbarisnya untuk berpisah dan menyatu ganti-berganti, mengambang, demi menekankan tenaga kata. Kata “berkakuan” pada bait kedua, misalnya, segera mendapat perhatian kita, karena ia berlaku untuk “kapal-kapal di pelabuhan”, suatu kombinasi yang tak lazim. Namun demikian, satuan-satuan sajak yang mengambang ini ternyata saling mendukung, membentuk sebuah lukisan suasana yang kuat. Rima luar dan rima dalam, dan pertalian imaji yang ketat (antara kapal-kapal yang berkakuan dan si kawan yang menjadi rangka, misalnya) tentu saja hanya terselenggara berkat disiplin. Dan inilah paradoks yang nikmat dalam berbagai sajak penyair yang wafat di Jakarta pada usia 27 tahun ini: kita asyik menjelajahi rerinci, namun pada saat yang sama kita meresapkan keseluruhannya.

 Malah tak jarang cukuplah kita puas (dan sekaligus terkejut selalu) dengan sebuah bagian atau sebuah frase saja dari Chairil Anwar, sementara bentuk sajak dalam keseluruhannya hanyalah

xix