Halaman:Amai Cilako.pdf/7

Halaman ini telah diuji baca

 Palupuah tadia nan dibantang
 Puti batanun suto perak
 Sungguahpun kaba nan didendang
 Suri tauladan untuak rang banyak

 (Pelupuh tadir yang dibentang
 Puti bertenun sutra perak
 Sungguhpun kaba yang didendang
 Suri teladan untuk orang banyak)

Hadirnya dendang—atau lebih tepat disebut keterdendangan—dalam kaba, setidaknya ditentukan oleh sejumlah hal: (1) adanya pantun, (2) adanya talibun (pantun berkait, baik 6 seuntai atau 8 seuntai atau bahkan 10 seuntai), dan (3) adanya pola penulisan tertentu berupa pengulangan gatra yang paling tidak terdiri dari 8 suku kata, sehingga, pada saat membacakan kaba, irama bisa muncul seperti halnya metrum atau ketukan dalam musik. Itulah sebab, bila misalnya sebuah gatra dalam suatu kaba kurang dari 8 suku kata, harus ditambahkan suku kata atau kata penupang seperti ‘janyo’ (misalnya pada gatra “manolah mandeh janyo denai”) atau ‘iyo’ (misalnya pada gatra “iyo ka ranah batusangka”).

Sementara itu, karena struktur bahasa Indonesia tidak sama dengan struktur bahasa Minangkabau, kita harus melakukan berbagai upaya agar keterdendangan tetap terjaga. Pada gatra “jadi urang siaklah katidak” misalnya, tentu terjemahannya bukan “jadi orang siaklah ketidak”, melainkan, atau mungkin lebih tepat, “jadi orang alimlah hendaknya”. Begitu pula harus diperhatikan penggunaan kata dalam bahasa Minangkabau yang sering punya makna berbeda dengan bahasa Indonesia. Pada gatra “itulah nan di atiden” misalnya, tentu lebih tepat diterjemahkan menjadi “itulah yang saya kehendaki” dibanding “itulah yang di hati saya”.

Hal lain, pada kasus gatra tidak bisa diterjemahkan dalam jumlah suku kata yang sesuai metrum atau disyaratkan oleh ketukan, penerjemahan dilakukan dengan memberikan catatan kaki. Kasus

vi