nya. Dari bangunannya tak banyaklah yang tinggal, sedangkan pun di sini tumbuh-tumbuhan sangat subur menutupi segala apa di sekelilingnya. Baturnya ternyata ada dua, berundak-undak, sedangkan bekas sebuah tangga yang menjorok ke luar menuju ke atas. Di tengah batur atas itu ada lubang besar, tentu bekas penggalian (Schnitger!?).
Pk. 5.30 kami sampai di kampung lagi, dan setelah dijamu minum di rumah Pasirah, pk. 5.45 kami berlayar pulang. Pk. 7.30 mesin kapal mati lagi. Setengah jam lamanya kami mengecap kesunyian rimba di atas air Batang Hari. Pk. 9.30 kami sampai di rumah, dengan membatalkan renca- na singgah di Muara Kompeh.
Selasa. 9 Maret 1954
Hari ini kami menuju Bangko dengan "Landrover" BH-40 yang dapat kami pinjam dari kabupaten dengan perjanjian bahwa bensin kamilah yang membayar. Setelah selesai persiapan-persiapan terakhir, berangkatiah kami pada pk. 9.40.
Dengan lari rata-rata 70 km/jam maka pk. 11.45 kami singgah di Muara Tembesi, di mana kami singgah dulu di kantor Wedana untuk minta keterangan mengenai jalan liwat Pauh, yaitu jalan yang amat lebih singkat ke Bangko. Menurut P.U. di Jambi jalan ini terendam air sehingga tak dapat dilalui. Berita demikian oleh Wedana Muara Tembesi tidak ada diterima, tetapi beliau menasehatkan untuk mengambil jalan yang terang dapat dilewati saja, yaitu lewat Muara Bungo. Hal ini lebih baik daripada lewat Pauh tetapi terhenti di tengah hutan.
Demikianlah setelah kami memperkuat diri di lepau nasi, kami "melayang" menuju Muara Tebo di mana kami melewati pelayangan yang ke-2.
Setelah menyeberang ke-3 kalinya, pk. 4.30 kami sampai di Muara Bungo. Di sini kami mendapat kabar, bahwa sejak pagi hari belum ada kendaraan lewat dari jurusan Bangko dan bahwa air sungai Pelepat di Senamat sedang tinggi sehingga tak dapat diseberangi. Namun karena hasrat untuk sampai di Bangko hari itu juga, kami terus
16