AMERTA, 3, 1985
3
Bab III
BEBERAPA HASIL PERJALANAN
1. Garis Pantai Sriwijaya (lihat peta).
a. Palembang
Telaah Coedẻs ”Le royaume de Çrîvijaya” dalam B.E.F.E.O. XVIII th. 1918 telah membuka halaman baru di dalam sejarah negeri kita, yaitu dengan diketahuinya bahwa sejak abad ke-7 ada kerajaan yang bernama Sriwijaya dan yang berpusat di Palembang. Telaah Moens ”Çrîvijaya, Yavaen Katâha” dalam T.B.G. LXXVII th. 1937 sangat memperkecil peranan Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Dikemukakan bahwa pusat kerajaan itu letaknya di semenanjung Malaka, lalu untuk sementara di Palembang, dan kemudian di daerah Muaratakus.
Bagaimanapun juga, mengingat bahwa di daerah Palembang didapatkan peninggalan-peninggalan tertua, seperti arca Buddha dari Bukit Siguntang (langgam Amarawati, antara abad ke-2 dan ke-5 Masehi), prasasti Kedukan Bukit dari th. 683 M, prasasti Talangtuo dari th. 684 M, dan banyak lagi sebagainya, maka tak dapat tidak Palembang harus mempunyai kedudukan sangat penting dalam sejarah Sriwijaya, sekalipun misalnya tidak sebagai ibu kota. Hal ini hanya dapat difahami, jika letak Palembang strategis besar artinya. Oleh karena jaman dahulu hubungan antar-pulau dan dengan luar negeri hanya dapat dilakukan dengan pelayaran, maka untuk memegang peranan penting Palembang harus terletak di tepi pantai dan sebaliknya menjadi kunci untuk bagian rute utama dalam lalu lintas laut.
Telaah Obdeyn ”De oude Zeehandelsweg door de Straat van Malaka in Verband met de Geomorfologie der Selat-eilende” dalam T.A.G. 2e Reeks, dl. LIX 1942 telah membuka perspectief baru mengenai kerajaan Sriwijaya dan letak Palembang. Meskipun hasilnya tidak seluruhnya dapat kami setujui, telaah itu memberi petunjuk yang sangat berharga ke arah mana kami harus berusaha untuk menyelidiki garis pantai Sriwijaya itu. Dan berdasarkan atas peta geologi serta peninjauan dari udara dapatlah kini dengan mendekati kepastian kami tentukan jalannya garis pantai itu dengan alasan-alasan yang cukup kuat.
Garis pantai yang tertera pada peta terlampir sesungguhnya adalah garis-garis perbatasan antara tanah-tanah tua (tertier dan lebih tua lagi) dan tanah-tanah muda (terutama sekali alluvium). Tanah alluvium ini adalah hasil pengendapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai dari pegunungan ke pantai. Jadi sebelum lumpur pengendapan ini menjadi lajur-lajur dataran rendah yang memisahkan tanah tertier tadi dari laut, pantainya harus menyusur garis perbatasan itu. Tinggallah sekarang ditentukan bilamana pengendapan-pengendapan itu mulai menjadi daratan-daratan rendah yang mengubah garis pantainya tadi. Berdasarkan atas bahan bahan sejarah dan kecepatan pengendapan sekarang di muara Batang Hari, dikirakan oleh Obdeyn umur daratan rendah alluvium itu ± 2.000 tahun. Oleh karena geomorfologi sukar
37