Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/109

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


mengherankan kalau di bangku sekolah dasar Darman sudah mengenal tulisan Khalil Gibran, William Shakespeare, dan sastrawan dunia lainnya. Hal itu kelak turut memperkaya wawasan Darman Moenir sehingga ia hadir sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang berbakat.


Sosok ayah memiliki arti yang banyak bagi Darman. Meskipun ayahnya selalu bertekun dengan hobinya membaca, bermain biola, dan menggambar, ia tetap meluangkan waktu untuk Darman kecil. Ia juga memerdekakan anak-anaknya berbuat sesuai keinginan asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama dan adat-istiadat yang berlaku.


Ibu Darman Moenir adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang menjadi pendorong bagi anaknya hingga dapat menyelesaikan pendidikan tinggi dan menjadi sastrawan. Arti ibu bagi Darman adalah sosok yang telah menjadikan dirinya “utuh” dan mampu menampilkan keberadaannya di tengah lingkungan sosialnya dengan mengenyampingkan kekurangan fisik yang dideritanya semenjak kanak-kanak. Darman menempatkan ibunya sebagai inspirator yang banyak mengilhaminya dalam menciptakan karya sastra.


Darman memiliki kenangan masa kecil yang indah di Sawah Tangah. Di negeri beralam elok yang berhadapan dengan Gunung Marapi itu ia dibesarkan. Sawah berjenjang-jenjang, jajaran Bukit Barisan, udara yang sejuk merupakan kenangan yang tidak akan dapat dilupakan olehnya. Jalan setapak, rumput yang selalu basah ketika hujan, capung, kupu-kupu, dan berbagai macam serangga yang selalu mengitari tanaman, benar-benar mengundang inspirasi bagi Dariman. Ia pun terbiasa menjelajahi kampung bersama kawan kawan sesama besar. Darman juga mencatat peristiwa menggelikan di masa kecil dulu, yakni ketika ia dan teman-temannya memanjat menara masjid di kampung mereka. Dari sana mereka mengintip para perempuan sedang mandi telanjang. Dari menara masjid itu pula ketika masa PRRI, ia melihat tentara—mungkin anggota Organisasi Pembela Rakyat (OPR) atau Wajib Bela Desa (WBD)—melemparkan sejumlah buku berupa tulisan tangan yang rapi. beraksara Arab gundul dan Latin, serta berbahasa Minangkabau atau berbahasa Indonesia. Buku-buku tersebut ada yang dipungut dan dibawa ke rumah oleh Darman dan di antaranya terdapat bacaan anak berjudul Bendera Berkibar dan itu pun dibacanya ia sudah duduk di bangku SR.


Darman mengawali pendidikan dasar di SR (Sekolah Rakyat) Sawah Tangah, Batusangkar pada tahun 1958 dan tamat pada tahun 1964. Di samping mengikuti pendidikan formal, Darman pun mengaji di surau

97