Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/110

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


yang terletak tidak begitu jauh dari rumahnya. Surau di pinggir sungai itu pun menjadi tempat bersosialisasi baginya dengan teman-teman sebaya, orang dewasa, dan lingkungan yang beragam, selain belajar membaca Quran. Menurut Darman (dalam Eneste, 2009:19—2), di tempat itu pula ia belajar beradat dan beradab; bersilat raga dan bersilat lidah, semacam intellectual gymnastics.


Darman memiliki hobi membaca semenjak ia bisa membaca di kelas ISR. Ia membaca beberapa buku sastra koleksi ayahnya, seperti Kerikil Tajam yang Terhempas dan yang Putus (Chairil Anwar); Deru Campur Debu (Chairil Anwar); Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani); Puisi Dunia (terjemahan oleh M. Taslim Ali); Salah Asuhan (Abdul Muis); Sitti Nurbaya (Marah Rusli); Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka); Merantau ke Deli (Hamka); Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis). Selain itu, ia membaca buku lain milik ayannya, seperti buku-buku agama, ilmu pendidikan, sejarah, adat, adat, tambo, dan majalah yang semula dilarang untuknya, namun akhirnya diperbolehkan ayahnya. Ketika membaca buku terlintas pertanyaan di kepala Darman, “Mengapa para penulis buku itu mampu, pandai, dan menulis sehebat itu?”


Setelah tamat SR, Darman langsung melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri di Atas Ngarai, Simabua, Kabupaten Tanah Datar pada tahun 1964. Dengan kaki telanjang, ia menempuh perjalanan sepanjang 600 meter pulang pergi setiap harinya ke sekolah. Pada usia remaja itu, ia mulai memahami bahwa dalam sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu (matrilineal), ia sekeluarga berstatus “menumpang” di Nagari Sawah Tangah. Di nagari itu ia bukan urang usali ('orang asal') sebab kampung halaman ibunya adalah Kampung Parak Laweh di Kota Padang. Berdiam di rumah bako (‘keluarga besar ayah’) ternyata tidak merupakan keganjilan bagi Darman dan saudara-saudaranya karena keluarga asal ayahnya itu tergolong punah (sedikit ataupun tidak memiliki penerus matrilneal/saudara perempuan), mereka pun diperlakukan dengan sangat baik. Mereka berdiam di rumah keluarga asal ayahnya bersama “sang pewaris” rumah itu, yakni saudara perempuan ayah (dalam hubungan kekerabatan yang disebut bako oleh ego) yang dipanggil Darman dengan sapaan Umi Bak Tun. Selain itu, juga ada Umi Bak Tun (kakak laki-laki dari ayah) dan Gack (orang lain yang sudah dianggap saudara kandung dalam keluarga ayah). Semua keluarga ayahnya sangat menyayangi Darman dan saudaranya yang lain. Umi

98