Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat
gurunya itu ketika ia masih bersekolah di SSRI, yakni ketika siswa dan guru SSRI pergi bersama-sama ke Lembah Harau di Payakumbuh untuk melukis alam di sana. Dalam perjalanan, gurunya itu hanya memakai celana jeans, berkaus oblong, dan ia duduk di lantai bus karena bangku sudah penuh. Bagi Darman, sangat tidak beretika jika murid duduk di bangku, sedangkan gurunya di lantai. Namun, bagi Wisran Hadi itu merupakan hal wajar karena ia mendahulukan kepentingan siswanya, bukankah bus itu tidak akan membuang penumpangnya yang tidak mendapat bangku.
Ketika bersekolah di SSRI, Darman mulai mengikuti kursus bahasa Inggris. Ketika itu pula, Wisran meminjaminya buku Seven Arts (disunting oleh Fernando Puma dan diterbitkan oleh Doubleday&Company Inc.) dan memintanya menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan dalam bahasa yang kaku tersebut akhinya dimuat pula di surat kabar. Menurut pengakuan Darman, Seven Arts tidak penah dikembalikannya lagi ke Wisran Hadi. Selain kepada Wisran Hadi, Darman juga rajin meminjam aneka buku silat serta buku-buku karya Iwan Simatupang, Motinggo Boesye, dan Boris Pasternak di kios sewaan buku “Maran” di sudut Museum Negeri Adityawarman, Jalan Diponegoro, Padang. Darman mendapat pinjaman buku pula dari kawan satu kos dengannya, yakni orang sekampungnya yang berprofesi sebagai guru, bemama Sjafiri Dali alias Wan Piri. Ia bahkan dipinjamkan pula mesin ketik dari kantornya oleh Wan Piri. Teman-teman satu kos yang telah berstatus mahasiswa pun meminjaminya buku, di antaranya buku Teknik Mengarang karangan Mochtar Lubis.
Ketika masih bersekolah di SSRI, tepatnya pada tahun 1969, Darman menghasilkan cerpen pertama berjudul “Senja Penentuan” yang dipublikasikan di surat kabar harian Haluan, Padang. Cerpen tersebut berlatar pengalaman Darman berkenalan dengan gadis cantik yang sekelas dengannya. Ia sangat menyukai gadis itu, tetapi untuk mengakrabkan diri dengannya, Darman tidak punya nyali. Keakraban dengan gadis itu hanya dinikmati Darman dalam angannya hingga lahirlah cerpen itu. Sayangnya, sebagai kolektor yang baik, Darman tidak memiliki lagi dokumen cerpen publikasi pertamanya itu karena dipinjam oleh Alm. Anas Kasim dan tidak pernah dikembalikan padanya.
Pada tahun 1970, Darman Moenir mulai serius menerjunkan diri sebagai sastrawan. Dunia sastra yang pada awalnya dirintis Darman dengan menulis puisi dilanjutkannya dengan lebih mengembangkan
100