Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/113

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat

kemampuan menulis berbagai jenis karya kreatif. Selain puisi, Darman pun menulis prosa, kritik, dan esai. Pada tahun 1971, surat kabar harian Indonesia Raya yang ketika itu dipimpin oleh sastrawan Mochtar Lubis, memuat cerpen Darman yang berjudul “Gantunganku Sudah Putus”. Majalah sastra Horison pun memuat esai Darman yang berjudul “Surat dari Padang”.

 Setelah tamat dari SSRI Negeri Padang pada tahun 1970, pada tahun 1971 Darman melanjutkan kuliah di ABA (Akademi Bahasa Asing) Prayoga di Padang. Pada awalnya, ia ingin melanjutkan ke ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, tetapi ayah, Umi, dan Bak Tuo-nya enggan mengizinkannya sekolah terlalu jauh mengingat fisik Darman yang tidak sempurna. Masa-masa kuliah benar-benar merupakan saat yang menyenangkan bagi Darman. Kesan menerima honor perdana dari “Senja Penentuan” di Haluan dan dilanjutkan dengan tulisan lain di Aman Makmur, Semangat, Singgalang, dan Padang Post menyebabkan ia semakin bersemangat menulis. Ketika berkenalan dengan Rusli Marzuki Saria (Papa) yang ketika itu mengasuh Ruang Budaya di Haluan, ia pun berkesempatan bertandang ke rumah penyair gaek tersebut untuk meminjam buku dan bundel Horison. Pada saat dan tempat bersamaan, ia berkenalan dengan sastrawan A.A. Navis. Sastrawan itu menanggapi kiprah Darman dengan lugas bahwa jika ingin menjadi sastrawan ternama, publikasikanlah tulisan Anda di koran dan majalah ibu kota, kalau perlu gunakanlah nama besar A.A. Navis sebagai rekomendasi. Navis juga menasihati Darnman agar bekerja keras dan banyak belajar untuk menjadi penulis mumpuni. A.A.Navis bahkan memberi Darman uang (untuk ukuran tahun 2011) senilai Rp100.000,00. Darman tidak dapat mengartikan tujuan pemberian uang tersebut: Sekedar tambahan uang sekolah bagi pemuda yang sedang bersekolah, Untuk membeli buku, ataukah memang begitu cara Navis menyemangati anak-anak muda yang berbakat di dunia kepengarangan.

 Pada awalnya, Darman belum memiliki rasa percaya din untuk mengirim tulisannya ke media cetak di Jakarta. Namun, akhimya ia mencoba juga mengirimkan cerpen berjudul “Nasib” ke surat kabar Indonesia Raya dengan surat pengantar yang menyatakan bahwa karyanya itu dikirimkan atas saran dari Navis. Mochtar Lubis yang ketika itu menjadi pemimpin redaksi koran tersebut memuat cerpen “Nasib” dengan mengubah judulnya menjadi “Gantunganku Sudah Putus”. Ketika Darman menemui Navis untuk membuat pengakuan bahwa ia

101