Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/143

Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

1998, Wisran menulis tanggapan yang berjudul “Pembicaraan terhadap Empat Novel Darman Moenir: Sastra di Antara Fiksi dan Biografi”. Empat novel yang diulas melalui tulisan tersebut adalah Gumam, Bako, Dendang, dan Aku Keluargaku Tetanggaku. Wisran menulis bahwa sangat sulit untuk mengatakan bahwa karya-karya prosa Darman adalah Otobiografi atau karya fiksi (rekaan) sebab persoalan-persoalan yang dikemukakan Darman adalah persoalan yang ada di sekelilingnya. Seandainya Darman bukan seorang Minangkabau, menurut Wisran, dia tidak akan mampu menghayati, mendalami, serta memahami visi dan misi kebudayaan Minangkabau dengan cermat. Mungkin saja dia dapat menganalisis dan memaparkan budaya yang tidak ia ketahui, namun itu hanya sebatas kerja otak, tidak ada pemahaman yang mendalam pada tulisannya. Darman lahir, besar, menetap, dan berasal dari Minangkabau sehingga mampu melahirkan novel seperti Bako beserta latar sosial budayanya secara pas, teliti, dan menarik. Darman dapat menulis novelnya yang berlatar sosial budaya Minangkabau karena dia lahir, hadir, dan memamah persoalan kehidupan Minangkabau semenjak dari benih yang disemaikan ayahnya ke dalam rahim ibunya, demikian Wisran menulis.


Bill Watson
 Bill Watson dari Universitas Kent, Inggris mengaku bahwa ia sangat terkesan dengan bagian pembukaan novel Bako yang ia baca berulang-ulang. Watson mengatakan bahwa dia sudah berkali-kali mengulas Bako secara panjang lebar. Nampaknya, Watson sangat terkesan dan memiliki perhatian luar biasa pada novel Darman tersebut.


Nashar
 Seorang lagi yang mengkritisi karya Darman Moenir adalah pelukis Nashar, Dalam suatu pertemuan di antara mereka di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Nashar menyatakan bahwa pada prinsipnya, ia tidak terlalu mengapresiasi karya-karya seni (termasuk karya sastra) yang lahir dari suatu sayembara atau lomba. Bagi Nashar, produk lomba itu tidak Murni karena tidak berasal dari sanubari si seniman. Mereka mencipta karena dorongan dari luar yang tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari unsur “pesanan”. Nashar berpendapat, lebih baik seniman berkreasi karena panggilan hati nurani dan dia menyebut beberapa nama besar yang tidak mau mencipta di bawah rangsangan tabel sayembara.

131